Share

Bab 8

Lelaki Yang Kau Tolak Jadi Suami Ternyata Seorang Milyarder Tampan

#TERIMA_KASIH_TELAH_MENCINTAIKU (8)

Selamat Membaca! 

Mobil yang dikemudikan oleh Pak Agus sudah mulai memasuki jalan tol. Jarak dari kediaman Abah dengan tempat tinggal Pak Bagas bisa ditempuh dalam waktu sekitar dua jam jika melalui tol. Namun tujuan mereka kali ini ialah ke sebuah pusat perbelanjaan yang bisa ditempuh hanya dengan satu jam saja.

Bu Ayu mengamati Sukma yang tampak ketinggalan mode pakaian, ia merasa iba. Kelembutan hatinya seolah bisa meraba kehidupan seperti apa yang Sukma jalani di dalam rumah itu. 

Aira sudah mulai menguap. Sukma memeluknya dan membiarkan gadis kecil itu bersandar nyaman dalam pelukannya. 

Diusap-usapnya lembut punggung Aira agar dia bisa tidur dengan nyaman. Tiba-tiba hatinya rindu akan pelukan ibunya yang sudah lama tak pernah dirasakannya. Diciumnya pucuk kepala Aira sambil memejamkan mata. 

“Ya Allah … gadis kecil ini sudah tak memiliki Ibu … hatinya pasti kesepian sepertiku … semoga aku bisa menjadi ibu yang baik untuknya, Ya Allah … bisa menjadi orang pertama saat dia sedih, saat dia ketakutan, saat dia terluka dan saat dia bahagia ….” 

Sukma memejamkan mata dan memeluk Aira dengan sayang. Tak terasa air matanya mengalir. Hingga satu tepukan pada bahunya membuatnya terjaga.

“Kenapa nangis? Aira berat?” 

Sukma terkejut ketika Raga menepuk bahunya. Dia menyodorkan tissue. 

“Eh, eng—enggak, Mas!” Sukma tergagap. Diterimanya tissue yang disodorkan Raga. Lalu dihapusnya air mata yang masih menetes. 

“Lalu? Apa kamu merasa terpaksa dengan semua ini?” Raga kembali bertanya. Wajahnya hanya sesekali menoleh lalu fokus kembali ke gawainya. Raga masih sibuk mengurusi pekerjaan rupanya.

“Enggak, aku cuma kasihan sama Aira. Sekecil ini sudah tak mendapat kasih sayang dari ibunya,” ucap Sukma sambil mencoba menetralkan rasa sedih yang tiba-tiba menjalar. Dipejamkan kembali matanya sambil menarik napas dalam-dalam. Menenangkan hati yang terasa kacau. 

“Ibu … Sukma kangen Ibu … do'akan Sukma, Bu! Semoga bisa jadi ibu yang baik untuk gadis malang ini!" batinnya. Kembali air mata meleleh tak tertahan. Merembes, lalu diusapnya menggunakan tissu yang masih digenggamnya. 

“Aira gadis kuat. Kamu tak perlu sedih,” ucap Raga datar. Seolah mengerti apa yang Sukma pikirkan. 

“Aku tahu, aku hanya merasakannya sendiri seperti apa hidup tanpa orang tua, Mas. Maaf kalau aku terlalu perasa.” Sukma berucap lirih sambil kembali menciumi pucuk kepala Aira. Dihapusnya air mata yang meleleh. 

Keduanya kembali saling terdiam. Sukma melempar pandang pada jendela. Membiarkan netranya menangkap pepohonan yang berlarian, berganti sawah, berganti area perumahan. Menghalau rasa sedih dalam hati karena memikirkan Aira yang nyaman dalam pelukannya. 

Mobil yang ditumpangi akhirnya keluar dari tol. Kemudian berbelok pada jalan yang padat merayap. Bu Ayu yang duduk di belakang memecah sunyi yang terjadi sejak obrolan Sukma dan Raga terhenti tadi.

“Ga, kita mampir beli makan dulu gak? Sekalian istirahat … mungkin Sukma capek!” tanya Bu Ayu. 

“Terserah Mama, atur saja,” jawab Raga singkat. 

“Pak Agus, cari restoran ya, Pak … kita istirahat dulu sambil makan … nanti ‘kan mau keliling mall biar ada tenaga …,” pekik Bu Ayu yang duduk di belakang dengan suara agak kencang. 

“Kenapa gak di mall saja, Ma makannya?” protes Pak Bagas yang sejak tadi tampaknya terlelap.

“Kasihan Sukma, Pah … kalau di resto bisa cari yang tempat agak luas dan lesehan … Aira dari tadi tidur soalnya … pasti Sukma pegel,” ujar Bu Ayu. Rupanya sejak tadi memikirkan calon menantunya itu. 

“Eh, gak apa, Bu eh Ma … aku gak apa-apa,” ucap Sukma merasa tak enak atas perhatian Bu Ayu padanya. 

“Sudah, nurut saja … Mama gak mau kamu kelelahan di mall nanti. Kita ‘kan mau shopping, Sayang!” ucap Bu Ayu. 

Sukma tersenyum. Mendengar dirinya dipanggil sayang oleh seorang perempuan yang akan menjadi ibu mertuanya membuat dadanya menghangat. Ada rasa yang tiba-tiba membuat hatinya meleleh. Senyum pada sudut bibir Sukma mengembang. 

Mobil menepi pada sebuah restoran mewah. Pak Agus sudah tahu selera seperti apa yang disukai oleh keluarga majikannya. Semuanya turun. Bu Ayu menggantikan Sukma menggendong Aira. Mereka mencari area saung lesehan yang terkombinasi langsung dengan tempat makan yang menggunakan kursi dan meja. Sengaja mereka mencari tempat seperti itu agar Raga tidak harus turun dari kursi rodanya, tetapi Aira juga bisa tiduran dan bisa beristirahat santai setelah makan. 

Sukma melangkah kaku mengikuti Bu Ayu. Sedangkan Pak Bagas sudah duluan untuk memastikan tempatnya nyaman. Pak Agus yang bertugas mendorong Raga dan membantunya melewati jalan yang sedikit rumit untuk pengguna kursi roda. 

“Aira mau bobok, gak mau makan,” rengek Aira yang manja. 

“Ya sudah, bobok sama Nenek dulu, ya!” ujar Bu Ayu sambil membawa Aira ke saung lesehan. Dia menyuruh yang lainnya makan duluan, sedangkan Ia menyuapi Aira yang makan sambil tiduran dan ogah-ogahan. 

Sukma menatap hidangan yang penuh di atas meja dengan bingung. Tidak tahu harus mengambil yang mana. Baru kali ini dia melihat sebegitu banyak makanan terhidang. Biasanya hanya di acara hajatan atau acara ibu-ibu PKK akan tetapi itu pun tidak semewah ini. 

“Jangan dilihatin terus, dimakan.” Raga yang duduk di sebelah Sukma berucap. 

“Iy—iya, Mas …,” lirih Sukma malu. 

Setelah memastikan semua fokus dengan piringnya. Sukma menyendok nasi. Lalu mengambil satu paha ayam bakar madu, lalap dan sambal. Setelah itu makan dalam diam. Namun tanpa Sukma sangka, Raga menambahkan sesuatu pada piringnya. 

“Sapi lada hitam di restoran ini paling enak. Cobain, kamu butuh tenaga banyak untuk bermain dengan Aira nanti. Kulihat dia sudah mulai menyukaimu,” ujarnya tanpa menatap Sukma. Disendokkannya sapi lada hitam ke piring Sukma. 

“Makasih, Mas. Ini sudah banyak, kok!” ucap Sukma canggung.

“Iya, Sukma … makan yang banyak. Papa lihat Aira sudah nemplok terus sama kamu. Pasti nanti minta ajak main mulu tuh di mall,” kekeh Pak Bagas menimpali Raga.

“Iya, Pah! Gak biasa soalnya lihat makanan sebanyak ini,” ucap Sukma malu-malu. 

“Mulai hari ini harus terbiasa, Neng Sukma … Saya saja yang cuma jadi supirnya pasti kenyang dan kewalahan kalau ke mana-mana. Apalagi Neng Sukma, calon mantu Tuan Besar,” ucap Pak Agus sambil bersemangat menyuap makanan. 

“Iya Pak Agus,” ucap Sukma tersenyum simpul. 

Raga mengambilkan lagi beberapa sendok capcay, lalu menambahkan potongan gurame asam manis juga pada piring Sukma. 

“Ini sayuran dan ikan, bukan sekadar enak tapi bagus buat kesehatan, makanlah!” ucap Raga datar. Wajahnya masih tanpa ekspresi akan tetapi perhatiannya sampai pada hati.

Sukma melirik sambil tersenyum. Haru sudah jelas. Hatinya pun menghangat mendapat berlimpah perhatian. Mereka bagi Sukma hanya orang baru yang belum dia kenal. Namun bersama keluarga itu sudah membuat Sukma merasa nyaman. 

“Terima kasih Ya Allah … semoga semua kebaikan terlimpah untuk kehidupanku kelak … berharap semua sikap ini bukan balutan kepalsuan atau hanya perkenalan diawal saja,” batin Sukma. 

Lalu dia menyuap dengan cepat mengingat harus segera menggantikan Bu Ayu menjaga Aira. Bagaimanapun semua makanan itu terasa istimewa, terlebih perhatian dari seorang pria rupawan meski dalam segala keterbatasan. Namun, bukankah yang sempurna hanya milik Allah? Sukma tidak muluk-muluk mengharapkan Imam sesempurna Nabi Muhammad SAW, karena dirinya sendiri pun sadar jika masih sangat jauh dari sosok Sayyidah Khadijah yang mulia.

Comments (12)
goodnovel comment avatar
Nabilah Azzahra
nyangkut di koin
goodnovel comment avatar
Vanesha Store
seru bgt ...bagus
goodnovel comment avatar
Santi Dataw
suka tapi jadi males dgn koin teruuuuus
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status