Pagi itu masih dibalut gerimis ketika dua unit mobil hitam berhenti di depan sebuah vila mewah di kawasan Puncak. Tak ada sirine. Tak ada keributan. Hanya langkah-langkah senyap dari petugas berseragam sipil yang menyebar diam-diam ke sisi bangunan.
Dari dalam mobil, Reynard menatap arloji di pergelangan tangan kirinya. Ia menoleh ke arah pria paruh baya di sampingnya, mantan penyidik yang kini bekerja sebagai salah satu kepala investigasi internal AndinataCorp. "Pastikan tidak ada celah. Aku ingin mereka dibawa hidup-hidup," katanya datar, namun cukup dingin untuk membekukan suasana. "Perintah sudah diterima. Tim kami sudah temukan data pendukung dari audit bayangan. Termasuk transaksi ke rekening offshore Dion,” jawab pria itu. Reynard mengangguk tipis, “Bagus. Selesaikan sebelum Anya tahu.” *** Dion Mahesa baru saja membuka laptopnya ketika pintu rumahnya dan empat pria berseragam masuk cepat, tanpa basa-basi. Dua orang langsung membekuk tangannya ke belakang, memborgolnya dengan paksa. Sementara dua lainnya menyisir ruangan, —mengamankan laptop, ponsel, dan dokumen di atas meja. “Apa-apaan ini?!” Dion membentak. Wajahnya merah. Matanya membelalak. Tapi tak satu pun dari mereka memberi penjelasan. Hanya satu kalimat dingin yang keluar dari mulut petugas: “Anda ditahan atas tuduhan penggelapan dan manipulasi laporan keuangan.” Sementara itu, di lobi sebuah hotel mewah, Clara Oktaviani baru saja menuruni lift dengan koper kecil di tangan ketika langkahnya dihentikan. Dua pria berbadan tegap menghadangnya. “Clara Oktaviani. Anda ikut kami.” “Tunggu! Saya mau check out dulu! Ini salah paham!” Clara panik. Tapi suaranya nyaris tak terdengar karena degup jantungnya lebih keras dari kata-katanya. Petugas menarik paksa koper di tangannya kemudian membukanya di tempat. Terlihatlah dokumen, uang tunai, dan dua flashdisk. Petugas segera menyita semuanya tanpa ampun. Clara hanya bisa terdiam. Tubuhnya membeku. Matanya menatap keluar dan ia melihat sosok pria yang berdiri tegak di samping mobil hitam yang menunggunya, Reynard Andinata. Jas hitam. Wajah dingin. Tatapan tajam yang seperti menembus jiwanya. Clara menelan ludah. Kakinya lemas. Di sisi kota yang berbeda, Anya mengakhiri presentasinya dengan senyum tipis dan suara mantap. "Dengan dukungan penuh dari pihak anda, saya yakin kita bisa menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dan berjangka panjang." Investor asal Jepang di layar tersenyum, mengangguk penuh hormat. "Kami menyukai visi Anda, Ms. Anya. Tim kami akan segera menghubungi untuk tahap kontrak awal. Selamat." Begitu sambungan Zoom tertutup, ponsel Anya bergetar pelan. Ia segera memeriksa ponselnya dan menemukan notifikasi dari aplikasi berita bisnis. Judul besar terpampang jelas: "Dion Mahesa Ditangkap atas Tuduhan Penggelapan Dana. Clara Oktaviani Ikut Diamankan." Anya membeku. Tangannya yang memegang ponsel perlahan menegang. Ia membuka berita tersebut dan membacanya perlahan. Berita itu menyebutkan soal dugaan manipulasi laporan, transaksi ilegal, dan kemungkinan besar akan berkembang ke penyelidikan pidana. "Mereka beneran tertangkap?" gumamnya nyaris tak terdengar. Layar ponsel digulir turun. Ada foto Dion digiring petugas. Dan satu foto lagi, Clara di lobi hotel, wajah pucat, koper di tangan. Di latar belakang, ada foto samar—seorang pria berdiri di sisi mobil hitam, seseorang yang terlihat familiar bagi Anya. Anya mendekatkan ponsel. Matanya menyipit. Ia mengenali siluet itu, Reynard Andinata. Wajah Anya berubah, ekspresinya kini penuh dengan tanda tanya dan kekhawatiran. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan semuanya terasa semakin dekat dengannya. Anya menggigit bibirnya mencoba menyusun pikirannya yang kacau.Sudah dua minggu sejak Anya memutuskan untuk membangun kembali apa yang dulu pernah ia miliki atau setidaknya, bagian dari dirinya yang ikut runtuh bersama Phoenix Creative. Dulu, nama Anya Kirana adalah sinonim kesuksesan di dunia pemasaran digital Jakarta. Ia membangun agensi Phoenix Creative dari nol dengan kerja keras, darah, dan air mata. Tapi semua itu sirna dalam semalam. Pengkhianatan dari dua orang yang paling ia percaya, rekan bisnis sekaligus tunangannya, menghancurkan segalanya. Kini, sebuah ruangan mungil di coworking space Jakarta Selatan menjadi markas sementaranya. Tak semewah dulu, tapi cukup untuk mulai lagi. Siang itu, ia duduk membungkuk di depan laptop, menata ulang model bisnis untuk lini produk lifestyle dan digital branding yang dulu pernah mendominasi pasar. Excel sheet, mindmap digital, dan catatan proposal bertebaran di mejanya. Namun di balik bara semangat itu, ada awan gelap yang tak juga pergi: pendanaan. Ia telah mengirimkan beberapa proposal ke
Sinar matahari menari pelan di antara tirai tipis, menyusup masuk dan menyentuh seprai yang kusut. Sisa aroma semalam masih melekat di udara saat Anya membuka matanya perlahan. Tubuhnya lelah, namun terasa ringan. Di sampingnya, Reynard masih tertidur. Dada telanjangnya naik turun perlahan, damai. Ada bekas cakaran di bahunya. Jejak mereka. Bukti bahwa malam itu bukan sekadar mabuk.Ia memutar tubuhnya perlahan, menatap wajah pria itu. Ada damai di sana—damai yang justru membuat jantungnya berdegup lebih keras. Hubungan ini… dimulai dari kontrak. Tapi entah sejak kapan, batas-batasnya mulai kabur.Perlahan, ia menyentuh pipinya. Hangat. Hidup. Dan saat itu juga, mata Reynard terbuka, seperti merespons sentuhan itu.Tatapan mereka bertemu.“Pagi,” ucap Reynard, suaranya berat dan—dalam.Anya tersenyum kecil. “Pagi.”Satu alis pria itu terangkat. “Menyesal?”Anya menatapnya lama, seperti menimbang sebuah kebenaran yang enggan diucap. “Kalau aku bilang ya… kau akan marah?”Reynard tetap
Begitu mereka sampai rumah dari kegiatan jalan-jalan, Reynard mencondongkan tubuhnya perlahan ke arah Anya. Ia tidak terburu-buru. Matanya menatap mata Anya sejenak—mencari izin, atau mungkin kerelaan. Ketika melihat Anya hanya terdiam, bibirnya lalu menyentuh bibir Anya. Begitu pelan, begitu lembut, seolah takut menghancurkan sesuatu yang rapuh. Ciuman pertama itu seperti helaan napas yang tertahan terlalu lama. Hangat, tapi juga mengejutkan. Bibir mereka menyatu dalam gerakan ragu namun tulus. Anya mengerjapkan mata, jantungnya berdegup tidak beraturan. Detik itu, waktu seolah berhenti. Anya menutup matanya, membalas perlahan. Rasa hangat menjalar dari bibir ke lehernya, hingga ke ujung jari. Sentuhan lembut Reynard di pinggangnya membuatnya mendekat tanpa sadar. Angin malam yang menyelinap dari jendela kini tak lagi terasa dingin karena tubuh Reynard di sampingnya memancarkan kehangatan yang membungkus. Ciuman itu berkembang. Lebih dalam, lebih menuntut. Napas mereka membur
Anya duduk di sofa, menatap ke luar jendela sambil memikirkan tentang apa yang terjadi pada Dion dan Clara. Ia merasa bingung dan khawatir, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba, ia teringat tentang Reynard. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan perasaannya sendiri. Ia telah mencoba untuk tidak mencintainya, tapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang kuat antara mereka. Anya berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang berputar di kepalanya. "Tidak mungkin," kata Anya pada dirinya sendiri, "Aku tidak bisa mencintainya. Ia terlalu dingin, terlalu keras." Tapi ketika ia melihat dirinya sendiri di cermin, ia melihat sesuatu yang berbeda. Ia melihat seorang wanita yang lemah, yang tidak bisa menyangkal perasaannya sendiri. Anya merasa seperti terjebak dalam dilema. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tidak tahu apa yang harus dipilih. Ia hanya tahu bahwa ia harus membua
Anya melangkah masuk ke ruang kerja pribadi Reynard di lantai 52. Dinding kaca membingkai kota Jakarta, tapi suasananya hening—terlalu hening.Reynard berdiri membelakangi jendela, jas sudah dilepas, kemeja hitamnya terbuka dua kancing teratas. Satu tangan menyelip di saku celana, yang lain memegang selembar berkas."Laporan terakhir dari investor Jepang. Presentasimu membuat mereka yakin," katanya tanpa menoleh.Anya mengangguk, tetap menjaga jarak. “Terima kasih sudah memfasilitasi semuanya.”"Aku tak fasilitasi siapa pun," ucapnya pelan, kini menoleh. Tatapannya menusuk."Aku hanya pastikan kau tidak membuat kesalahan lagi. Termasuk soal siapa yang kau percaya."Anya membalas tatapan itu. tatapannya dari Reynard."Aku tidak butuh perlindungan, Reynard."Senyum tipis menyentuh bibir Reynard—dingin, nyaris sinis."Salah. Kau hanya belum sadar seberapa banyak musuhmu, dan seberapa keras dunia bisa menghancurkanmu tanpa ampun."Ia berjalan perlahan mendekat. Langkahnya tenang. Tapi aur
Restoran itu tenang, berkelas, dengan cahaya temaram dan interior modern minimalis.Anya mengenakan setelan semi-formal, rambut digelung rapi, sepatu hak tak terlalu tinggi. Tidak untuk menggoda. Tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia datang dengan kepala tegak.Seorang pelayan mengantarnya ke meja sudut paling privat. Ketika Anya sampai di sana, ia... sudah melihat Reynard. Pria itu duduk santai, mengenakan kemeja hitam dan jam tangan perak yang mencerminkan lampu gantung di atasnya. Tatapannya langsung menancap begitu Anya datang.“Kau datang.”Anya duduk dengan tenang, menyilangkan kaki, lalu meletakkan clutch-nya di atas meja.“Kupikir ini soal kerja sama. Ternyata restoran bintang lima?”Reynard menyeringai tipis, tidak menjawab langsung. Pelayan datang membawakan dua gelas wine merah, yang satu ditaruh persis di depan Anya.“Kau masih ingat yang ini?” tanyanya sambil menoleh ke Anya.“Prancis, tahun yang sama dengan ulang tahun Andristy yang keempat.”Anya tertegun. Ia tidak men