Dikhianati kekasih dan sahabatnya sendiri, Anya kehilangan segalanya—termasuk perusahaan yang ia bangun dari nol. Dalam pelariannya, ia mabuk dan secara impulsif mempermalukan seorang pria asing di bar. Ia tak tahu… pria itu adalah Reynard Andinata. CEO tampan, dingin, dan kejam—yang tak pernah memberi maaf. Ketika Anya datang menawarkan kerja sama bisnis untuk menyelamatkan sisa-sisa impiannya, Reynard menyodorkan syarat tak masuk akal: menjadi pasangan palsunya sebagai pembalasan karena Anya sudah mempermalukannya. Sebuah fake relationship. Sebuah kontrak penuh manipulasi. Tapi saat batas antara kepura-puraan dan kenyataan mulai memudar, siapa yang akan lebih dulu jatuh?
view more"Akhirnya kamu datang juga, Ny. Tapi sayang… semuanya sudah terlambat."
Suara Clara terdengar ringan namun mengandung racun, seperti pisau yang dibungkus senyum. Anya berhenti di ambang pintu ruang kerja Dio, napasnya masih tersengal karena berlari—dan karena amarah. Tapi pemandangan di depannya membuat tubuhnya mendadak membeku. Clara duduk di pinggir meja Dio, terlalu dekat, tangannya menyentuh lengan pria itu dengan intim. Dio tersenyum, tidak terganggu sedikit pun. Bahkan seolah menikmati kehancuran yang sedang menimpa Anya. Anya menatap mereka lalu melempar tumpukan dokumen ke meja Dio. Tangannya bergetar, tapi matanya tajam menusuk. “Ini apa? Dana perusahaan dipindahkan ke rekening pribadi kamu dan... Clara?!” Beberapa jam sebelumnya, Anya mendapat kabar dari divisi keuangan bahwa perusahaannya, Ardistya Corp, resmi dinyatakan bangkrut karena penghasilannya minus membuat para investor menarik diri. Selain itu, berbagai asetnya juga banyak yang dibekukan, menambah beban di perusahaannya untuk bangkit. Belum lepas dari keterkejutan itu, Anya mendapati hal yang janggal di laporan trasnfer keuangan. Ketika ia mengeceknya, ternyata ada sejumlah uang ratusan juta yang selama ini diam-diam mengalir ke rekening Dion Mahesa, pacarnya, dan Clara Oktaviani, sahabatnya. Oleh karena itulah, ia bergegas menuju ruangan Dion untuk meminta klarifikasi tapi malah mendapati keduanya sedang bermesraan. Membuat Anya buru-buru melabrak masuk ruangan Dion. Dio tidak tampak panik. Ia malah menyandarkan punggung ke kursi, ekspresinya santai. Clara berdiri dengan angkuh, menyilangkan tangan di depan dada. “Kamu terlalu sibuk jadi superwoman,” ujar Clara datar. “Kami cuma ambil alih sebelum semuanya benar-benar hancur.” “Ambil alih?” Anya tertawa kering. “Kalian nyolong uang perusahaan! Mengkhianati aku di belakang! Itu yang kalian sebut ambil alih?” Clara mengangkat bahu. “Kami cuma menyelamatkan yang tersisa dari puing-puingmu.” Anya menatap Dio, hatinya nyaris runtuh ketika melihat senyum tipis pria yang ia cintai selama empat tahun itu. “Dan tidur bersama?” bisik Anya dengan suara tercekat. “Itu bagian dari penyelamatan juga?” Tak ada jawaban. Hanya senyuman sinis. Amarah Anya mendidih. Tapi bukan hanya karena dikhianati, melainkan karena diremehkan. Ia melangkah mendekat. “Kalian pikir aku bakal diam?” Dio tertawa pelan, meremehkan. “Apa yang bisa kamu lakukan dengan posisimu sekarang, Anya?” katanya, “Kami hanya mempercepat proses yang memang akan terjadi.” Anya menampar Dio. Keras. “Selamat,” ucapnya getir. “Kalian berhasil membunuh satu-satunya hal yang aku cintai selain kalian berdua.” Ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan ruangan tanpa menoleh. Tapi air mata tak sempat jatuh. Tidak di depan pengkhianat. -- Beberapa jam kemudian – Bar di pusat kota Langit Jakarta meneteskan gerimis, tidak cukup untuk menenangkan pikiran Anya yang sedang berdiam diri di bar. Anya duduk di pojok dekat jendela. Gaun hitamnya masih terpasang rapi, makeup-nya belum luntur, tapi sorot matanya mati. Ia menyulut rokok, mengisapnya dalam, lalu menatap gelas whiskey yang belum tersentuh. Lalu—CRANG! Suara pecahan gelas dari sisi ruangan membuatnya menoleh refleks ke sumber suara. Anya melihat seorang pria tinggi berjas hitam berdiri di dekat seorang hostes muda yang tampak gemetar, wajahnya memucat. Posisi tubuh hostes itu agak terhimpit ke dinding dan dari sudut pandangnya, pria itu terlihat mendominasi situasi. Tangan hostes itu menutupi dadanya, seolah sedang mempertahankan diri. Tanpa berpikir panjang, Anya bangkit dari sofa. Kepalanya berat karena alkohol, emosinya masih membara. Ia menghampiri mereka dengan langkah cepat. “HEI!” teriaknya, “Apa kamu pikir wanita itu barang, hah?! Dasar laki-laki brengsek!” Sebelum siapa pun sempat bereaksi, Anya meraih gelas whiskey di meja terdekat dan menyiramkannya tepat ke wajah pria itu. Hostes menjerit kaget, beberapa tamu menoleh. Musik berhenti. Keheningan menyelimuti bar. Pria itu mengangkat wajahnya perlahan. Tetesan whiskey menetes dari dagunya. Matanya—gelap dan dingin—menatap Anya dalam diam. Tatapan itu… membuat jantung Anya berdegup keras. Ada sesuatu di balik sorot mata pria itu yang membuatnya membeku di tempat. Tatapan penuh kendali. Penuh ancaman. Tapi juga tanpa ekspresi—membuatnya semakin tidak bisa menebak. Tiba-tiba hostes itu berkata terbata, “Ma-maaf, Bu. Bukan salah dia. Tadi saya yang salah langkah, saya hampir jatuh, dan dia… menahan saya…” Darah Anya mengalir surut. Astaga. Perlahan, wajahnya memucat. Ia baru saja mempermalukan pria yang salah. Tanpa menunggu lebih lama, Anya langsung berbalik dan berjalan cepat ke luar bar. Diterpa angin malam dan rasa bersalah yang samar, ia menghilang di balik kabut gerimis, tak tahu bahwa pria yang barusan ia siram adalah… --- Keesokan harinya – Kantor Andinata Corp Anya berdiri di depan cermin, wajahnya tegang. Rambutnya disanggul rapi, makeup-nya sempurna. Tapi matanya masih menyimpan bayangan kemarin malam. Ia menghela napas, menggenggam map proposal kerja sama yang bisa jadi satu-satunya harapan menyelamatkan hidupnya. Di ruang rapat eksekutif, langkahnya terdengar menggema di antara dinding kaca dan furnitur mewah. Pintu terbuka. Sosok pria berjas gelap berdiri membelakanginya, membalik badan dengan tenang. Tatapan mereka bertemu. Anya berhenti bernapas. Dia. Pria dari bar. Yang ia siram whiskey di depan publik. Reynard Andinata. CEO Andinata Corp. Dingin. Dominan. Tak tertebak. “Jadi kamu yang datang ingin kerja sama?” suaranya datar, “Sebelum kita bicara bisnis… bagaimana kalau kita selesaikan dulu urusan pribadi kita?” Anya berdiri membeku. Untuk pertama kalinya, ia benar-benar kehilangan kata. Dan ia sadar—ia baru saja memulai babak baru yang jauh lebih berbahaya.Sudah dua minggu sejak Anya memutuskan untuk membangun kembali apa yang dulu pernah ia miliki atau setidaknya, bagian dari dirinya yang ikut runtuh bersama Phoenix Creative. Dulu, nama Anya Kirana adalah sinonim kesuksesan di dunia pemasaran digital Jakarta. Ia membangun agensi Phoenix Creative dari nol dengan kerja keras, darah, dan air mata. Tapi semua itu sirna dalam semalam. Pengkhianatan dari dua orang yang paling ia percaya, rekan bisnis sekaligus tunangannya, menghancurkan segalanya. Kini, sebuah ruangan mungil di coworking space Jakarta Selatan menjadi markas sementaranya. Tak semewah dulu, tapi cukup untuk mulai lagi. Siang itu, ia duduk membungkuk di depan laptop, menata ulang model bisnis untuk lini produk lifestyle dan digital branding yang dulu pernah mendominasi pasar. Excel sheet, mindmap digital, dan catatan proposal bertebaran di mejanya. Namun di balik bara semangat itu, ada awan gelap yang tak juga pergi: pendanaan. Ia telah mengirimkan beberapa proposal ke
Sinar matahari menari pelan di antara tirai tipis, menyusup masuk dan menyentuh seprai yang kusut. Sisa aroma semalam masih melekat di udara saat Anya membuka matanya perlahan. Tubuhnya lelah, namun terasa ringan. Di sampingnya, Reynard masih tertidur. Dada telanjangnya naik turun perlahan, damai. Ada bekas cakaran di bahunya. Jejak mereka. Bukti bahwa malam itu bukan sekadar mabuk.Ia memutar tubuhnya perlahan, menatap wajah pria itu. Ada damai di sana—damai yang justru membuat jantungnya berdegup lebih keras. Hubungan ini… dimulai dari kontrak. Tapi entah sejak kapan, batas-batasnya mulai kabur.Perlahan, ia menyentuh pipinya. Hangat. Hidup. Dan saat itu juga, mata Reynard terbuka, seperti merespons sentuhan itu.Tatapan mereka bertemu.“Pagi,” ucap Reynard, suaranya berat dan—dalam.Anya tersenyum kecil. “Pagi.”Satu alis pria itu terangkat. “Menyesal?”Anya menatapnya lama, seperti menimbang sebuah kebenaran yang enggan diucap. “Kalau aku bilang ya… kau akan marah?”Reynard tetap
Begitu mereka sampai rumah dari kegiatan jalan-jalan, Reynard mencondongkan tubuhnya perlahan ke arah Anya. Ia tidak terburu-buru. Matanya menatap mata Anya sejenak—mencari izin, atau mungkin kerelaan. Ketika melihat Anya hanya terdiam, bibirnya lalu menyentuh bibir Anya. Begitu pelan, begitu lembut, seolah takut menghancurkan sesuatu yang rapuh. Ciuman pertama itu seperti helaan napas yang tertahan terlalu lama. Hangat, tapi juga mengejutkan. Bibir mereka menyatu dalam gerakan ragu namun tulus. Anya mengerjapkan mata, jantungnya berdegup tidak beraturan. Detik itu, waktu seolah berhenti. Anya menutup matanya, membalas perlahan. Rasa hangat menjalar dari bibir ke lehernya, hingga ke ujung jari. Sentuhan lembut Reynard di pinggangnya membuatnya mendekat tanpa sadar. Angin malam yang menyelinap dari jendela kini tak lagi terasa dingin karena tubuh Reynard di sampingnya memancarkan kehangatan yang membungkus. Ciuman itu berkembang. Lebih dalam, lebih menuntut. Napas mereka membur
Anya duduk di sofa, menatap ke luar jendela sambil memikirkan tentang apa yang terjadi pada Dion dan Clara. Ia merasa bingung dan khawatir, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Tiba-tiba, ia teringat tentang Reynard. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan perasaannya sendiri. Ia telah mencoba untuk tidak mencintainya, tapi ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang kuat antara mereka. Anya berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, mencoba untuk menghilangkan pikiran-pikiran yang berputar di kepalanya. "Tidak mungkin," kata Anya pada dirinya sendiri, "Aku tidak bisa mencintainya. Ia terlalu dingin, terlalu keras." Tapi ketika ia melihat dirinya sendiri di cermin, ia melihat sesuatu yang berbeda. Ia melihat seorang wanita yang lemah, yang tidak bisa menyangkal perasaannya sendiri. Anya merasa seperti terjebak dalam dilema. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tidak tahu apa yang harus dipilih. Ia hanya tahu bahwa ia harus membua
Anya melangkah masuk ke ruang kerja pribadi Reynard di lantai 52. Dinding kaca membingkai kota Jakarta, tapi suasananya hening—terlalu hening.Reynard berdiri membelakangi jendela, jas sudah dilepas, kemeja hitamnya terbuka dua kancing teratas. Satu tangan menyelip di saku celana, yang lain memegang selembar berkas."Laporan terakhir dari investor Jepang. Presentasimu membuat mereka yakin," katanya tanpa menoleh.Anya mengangguk, tetap menjaga jarak. “Terima kasih sudah memfasilitasi semuanya.”"Aku tak fasilitasi siapa pun," ucapnya pelan, kini menoleh. Tatapannya menusuk."Aku hanya pastikan kau tidak membuat kesalahan lagi. Termasuk soal siapa yang kau percaya."Anya membalas tatapan itu. tatapannya dari Reynard."Aku tidak butuh perlindungan, Reynard."Senyum tipis menyentuh bibir Reynard—dingin, nyaris sinis."Salah. Kau hanya belum sadar seberapa banyak musuhmu, dan seberapa keras dunia bisa menghancurkanmu tanpa ampun."Ia berjalan perlahan mendekat. Langkahnya tenang. Tapi aur
Restoran itu tenang, berkelas, dengan cahaya temaram dan interior modern minimalis.Anya mengenakan setelan semi-formal, rambut digelung rapi, sepatu hak tak terlalu tinggi. Tidak untuk menggoda. Tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia datang dengan kepala tegak.Seorang pelayan mengantarnya ke meja sudut paling privat. Ketika Anya sampai di sana, ia... sudah melihat Reynard. Pria itu duduk santai, mengenakan kemeja hitam dan jam tangan perak yang mencerminkan lampu gantung di atasnya. Tatapannya langsung menancap begitu Anya datang.“Kau datang.”Anya duduk dengan tenang, menyilangkan kaki, lalu meletakkan clutch-nya di atas meja.“Kupikir ini soal kerja sama. Ternyata restoran bintang lima?”Reynard menyeringai tipis, tidak menjawab langsung. Pelayan datang membawakan dua gelas wine merah, yang satu ditaruh persis di depan Anya.“Kau masih ingat yang ini?” tanyanya sambil menoleh ke Anya.“Prancis, tahun yang sama dengan ulang tahun Andristy yang keempat.”Anya tertegun. Ia tidak men
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments