Pagi itu, Luna memasuki kantor Daehan dengan perasaan yang campur aduk. Keberaniannya sudah terkumpul selama berminggu-minggu, dan hari ini adalah saatnya ia berbicara. Selama beberapa bulan terakhir, hubungan mereka hanya dipenuhi ketegangan, cemoohan, dan luka yang terus membekas.
"Sepertinya aku sudah tidak tahan lagi, aku harus pergi." Daehan selalu berkata kasar, menyudutkan Luna dengan komentar-komentar yang menyakitkan, dan memperlakukannya seolah-olah Luna hanya masalah kecil yang perlu segera dihilangkan. Tapi Luna sudah cukup. Dia tidak bisa terus hidup dalam pernikahan kontrak ini yang semakin hari hanya membuatnya merasa terjebak. Ketika pintu ruangan terbuka, Daehan sedang sibuk membaca dokumen di mejanya. Luna melangkah masuk, menutup pintu dengan pelan dan menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara, “Pak Daehan, aku ingin kita berpisah. Daehan mendongak, sejenak terkejut melihat Luna berdiri di depannya dengan ekspresi serius. Dahinya berkerut dan nada suaranya penuh ketidakpedulian saat ia menjawab, “Apa maksudmu? Berpisah ?" Luna menatapnya langsung, mencoba mengendalikan emosinya. “Aku tidak bisa terus begini. Pernikahan ini sudah terlalu berat untukku. Kau sendiri bilang bahwa ini hanya sementara, dan kita hanya punya tiga bulan lagi. Tapi aku tidak tahan menunggu selama itu. Aku ingin keluar sekarang.” Daehan terdiam. Ada jeda yang cukup panjang di antara mereka, seolah-olah waktu berhenti sejenak. Dia memandang Luna dengan tatapan tajam, mencoba memahami apa yang sedang terjadi dalam pikirannya. Selama ini, dia berpikir Luna hanya akan mengikuti semua aturan tanpa melawan. Tapi sekarang, Luna berdiri di depannya, meminta kebebasan. Sesuatu di dalam diri Daehan mulai bergejolak, sebuah perasaan yang aneh dan sulit dijelaskan. "Kau ingin keluar dari perjanjian kontrak kita begitu ?" Daehan mengulang dengan nada dingin. "Ini tidak semudah itu, Luna. Pernikahan kita bukan hanya antara kita berdua. Ada keluarga yang akan mencurigai jika kita berpisah sekarang." Luna menggelengkan kepalanya, mencoba tetap tenang meskipun hatinya bergetar. "Aku tidak peduli lagi tentang itu. Aku lebih baik menghadapi kecurigaan keluargamu daripada terus bertahan dalam hubungan ini." Sebuah senyuman sinis muncul di wajah Daehan. “Kalau kau ingin pergi, silakan. Tapi ingat, ini kontrak. Kalau kau yang ingin mengakhirinya lebih dulu, kau yang harus membayar kompensasinya. Kau tahu berapa banyak yang terlibat, kan?” Kata-kata itu membuat Luna terhenti. Dia tahu sejak awal bahwa pernikahan kontrak ini melibatkan sejumlah uang besar, dan ia memang tidak sanggup membayar kompensasi yang Daehan sebutkan. Namun, Daehan begitu tak peduli, seperti biasa. Meski demikian, kali ini terasa berbeda. Ada sesuatu di balik tatapan Daehan, seolah ia menyembunyikan perasaan yang lebih dalam, namun terlalu sombong untuk mengakuinya. “Kau… benar-benar akan menahanku dengan kontrak ini?” Luna bertanya pelan, matanya bergetar dengan campuran amarah dan kekecewaan. Daehan menatapnya dengan tatapan dingin. “Kontrak itu masih berlaku tiga bulan lagi, Luna. Kau tahu apa risikonya kalau kau melanggar. Jika kau ingin pergi sekarang, aku tidak akan menghalangi. Tapi bersiaplah untuk menghadapi konsekuensinya.” Luna merasa tubuhnya melemah, seolah seluruh energinya terkuras. Dia sudah tahu bahwa Daehan tidak akan mempermudah segalanya, tapi mendengarnya langsung dari mulut pria itu membuatnya semakin terluka. Luna mencoba menahan air matanya, mengalihkan pandangannya dari wajah Daehan yang kaku. "Baik," gumamnya pelan. "Kalau begitu, aku akan kembali bekerja." Daehan tidak merespons, hanya memandangnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Luna berbalik, meninggalkan ruangan tanpa berkata apa-apa lagi, menutup pintu di belakangnya dengan lembut. Kembali di meja kerjanya, Luna merasa sesak. Ia tak menyangka akan berada dalam situasi seperti ini—menjadi istri dari seseorang yang jelas-jelas membencinya, terjebak dalam pernikahan kontrak yang hanya membawa luka. Bahkan, saat dia berusaha untuk mengakhiri semuanya, Daehan masih menahannya dengan alasan kontrak dan uang. Luna merasa tak berdaya, tak bisa melawan arus yang begitu kuat. Di sisi lain, Daehan duduk diam di ruangannya. Setelah Luna pergi, ia kembali tenggelam dalam pikirannya. "Si*l berani sekali dia ingin berpisah dariku, jika aku mau aku yang lebih dulu mencampakkanmu gadis licik." Daehan mengepalkan tangannya. Sejujurnya, ada rasa janggal yang mulai tumbuh di dalam hatinya. Selama ini, ia selalu bersikap kasar pada Luna, membiarkan dirinya tenggelam dalam kebencian yang berasal dari luka masa lalu. Tapi sekarang, setelah Luna berani mengatakan bahwa dia ingin pergi, Daehan mulai merasa ada yang berubah. Rasa kesal yang biasanya muncul kini bercampur dengan sesuatu yang lain—rasa takut kehilangan, meskipun dia tidak akan pernah mengakuinya. Daehan menyandarkan tubuhnya ke kursi, memejamkan mata sejenak. Ia masih ingat bagaimana perasaannya ketika pertama kali bertemu Luna—wajahnya yang mengingatkannya pada seseorang dari masa lalunya, seseorang yang ia benci. Namun, perlahan tapi pasti, Luna mulai menunjukkan sisi yang berbeda, dan itu membuat Daehan mulai meragukan kebenciannya. "Apa yang terjadi dengan ku, kenapa aku senang melihat dia menangis dan terluka tapi aku tak ingin melepas dia pergi, apa yang terjadi sebenarnya denganku?" Tetapi kebingungan itu hanya menambah tekanan dalam pikirannya. Di satu sisi, ada perusahaan yang sedang kacau, dengan ancaman peretasan dan penyelundupan produk yang belum terselesaikan. Di sisi lain, ada Luna, wanita yang ia nikahi atas dasar kontrak, tapi yang kini mulai menggoyahkan keyakinannya. "Arrrrgh."Daehan melemparkan berkas yang ada di mejanya hingga berhamburan . "Aku takkan melepasmu sebelum kau menderita yang teramat dalam Luna." Lirih Daehan. Sementara itu, Luna duduk di mejanya, mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan. Tapi setiap kali ia menatap layar komputernya, bayangan percakapannya dengan Daehan terus menghantui pikirannya. Ia merasa hampa dan tak punya harapan. "Apa yang harus kulakukan?" bisik Luna pada dirinya sendiri, meremas tangan di pangkuannya. Luna tahu ia harus bertahan, setidaknya untuk tiga bulan lagi. Tapi jika setiap hari akan seperti ini, ia tidak yakin bisa melewati semuanya tanpa terluka lebih dalam. Di rumah, mereka berdua seperti dua orang asing yang tinggal di bawah atap yang sama. Setiap percakapan singkat dan penuh ketegangan, tak ada kebersamaan, hanya kehampaan yang mengisi ruang di antara mereka. Namun, meski Daehan selalu berusaha menyembunyikan perasaannya, ada sesuatu dalam cara dia memandang Luna akhir-akhir ini—sesuatu yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata. "Pak, besok saya mungkin izin pulang terlambat ."Luna mencoba memberanikan diri untuk meminta izin kepada Daehan. Dengan tatapan dingin dan ekspresi wajah yang datar. Daehan menanggapi ucapan Luna. "Hoooh mau kemana heumm." Daehan mengernyitkan keningnya. Dan mendekatkan wajahnya dengan wajah Luna. Hingga pertama kalinya Daehan melihat wajah yang dia benci itu dari dekat. "Deg." Jantung Daehan berdegup kencang. "Ternyata dia cantik , baru kali ini aku melihatnya dari dekat." Daehan dalam batinnya, dia memalingkan wajahnya untuk mengalihkan rasa gugupnya. " Aku.... ada urusan yang tidak bisa saya katakan, saya rasa Aku punya hak atas itu. Dan janji takkan pernah melewati batasan dari kesepakatan. "Luna sambil meremas bajunya. "Benarkah, baiklah kali ini aku ingin lihat , apakah kau bisa diberi kepercayaan atau tidak ?"Daehan menyeringai menarik sudut bibirnya. "Terimakasih pak, kalau begitu saya pergi tidur dulu."Luna setelah melaksanakan sholat Isya langsung tertidur di sofa yang baginya sangat mewah, daripada tidur satu ranjang dengan Daehan. "Kira-kira mau kemana ya dia? aku harus menyelidikinya , gadis tu pasti merencanakan sesuatu.!" Bersambung....Luna duduk di tepi jendela sebuah apartemen kecil di negara asing, menatap langit kelabu yang seolah mencerminkan hatinya. Keputusannya untuk pergi jauh dari Daehan terasa seperti belati yang menembus jantungnya. Namun, ancaman dari Tuan Kim Do Hyun tidak memberinya pilihan. Ia harus menjaga kebahagiaan Daehan dengan cara yang menyakitkan: meninggalkan pria yang ia cintai. Hari itu masih pagi, tapi hawa dingin membuat tubuh Luna menggigil. Wajahnya yang biasanya ceria kini tampak muram. Bekas air mata masih jelas di pipinya. Ia mengenang setiap momen indah bersama Daehan—senyumnya, perhatian kecilnya, bahkan pelukan hangatnya yang selalu membuatnya merasa aman. Semua itu kini terasa seperti mimpi yang perlahan memudar. Tuan Kim Do Hyun telah mengatur segalanya. Tiket pesawat, akomodasi, dan dokumen perjalanan disiapkan dengan rapi. Luna hanya perlu menjalankan perannya sesuai dengan kesepakatan: pergi sejauh mungkin dari kehidupan Daehan dan memulai hidup baru. “Ini demi Daehan,” p
Percakapan Luna dan Tuan Kim Malam itu, Luna duduk di sofa apartemennya, mengumpulkan keberanian untuk melakukan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Tangannya gemetar saat ia mengetik nomor Tuan Kim Do Hyun. Setelah beberapa dering, suara berat dan dingin menjawab di ujung telepon. “Luna, apa yang kau inginkan?” Tuan Kim langsung to the point. Luna menarik napas panjang. "Tuan Kim... Saya sudah memikirkan tawaran Anda." Ada keheningan singkat sebelum Tuan Kim menjawab, “Dan?” “Saya setuju,” kata Luna, suaranya hampir bergetar. “Saya akan meninggalkan Daehan.” Nada suara Tuan Kim berubah sedikit lebih lunak, namun tetap tegas. “Kau membuat keputusan yang bijak. Aku tahu ini tidak mudah untukmu.” Luna tersenyum pahit, meskipun Tuan Kim tidak bisa melihatnya. “Saya hanya ingin yang terbaik untuk Daehan. Tapi... saya punya satu permintaan.” “Apa itu?” “Saya butuh waktu dua hari. Dua hari untuk menghabiskan waktu bersamanya, menciptakan kenangan yang akan membua
Pertemuan yang Menguras Emosi Luna duduk di ruang tamu apartemennya dengan tatapan kosong. Ia memegang segelas teh yang sudah dingin, namun tak sedikit pun ia menyentuhnya. Pikirannya terus melayang pada Daehan, pada janji dan cinta mereka, serta calon bayi yang kini tumbuh di dalam rahimnya. Hari-hari terakhir begitu berat setelah mengetahui ancaman dari Tuan Kim Do Hyun kepada suaminya. Ketukan pintu yang tiba-tiba membuat Luna tersentak. Dengan langkah ragu, ia menuju pintu dan membukanya. Di depannya berdiri Tuan Do Hyun dengan wajah dingin dan penuh wibawa. Aura pria itu begitu tegas hingga membuat Luna merasa menciut. "Selamat siang, Luna," ujar Do Hyun dengan nada datar. "Selamat siang, Tuan Kim," jawab Luna dengan sopan, meskipun ada gemetar di suaranya. "Bisakah kita bicara?" tanyanya tanpa basa-basi. Luna mengangguk dan mempersilakan Do Hyun masuk. Mereka duduk di ruang tamu yang kecil namun nyaman. Luna mencoba menenangkan hatinya, tetapi tatapan dingin Do Hyun membua
Hari itu, Luna sedang duduk di ruang tamu apartemennya sambil membaca buku kehamilan. Perutnya sudah semakin besar, dan ia mulai merasakan bayi dalam kandungannya bergerak lebih sering. Kebahagiaannya dengan Daehan perlahan pulih, meskipun masa lalu yang sulit tetap membayangi pikirannya. Tiba-tiba, bel apartemen berbunyi. Luna mengerutkan kening, lalu berjalan perlahan menuju pintu. Saat ia membukanya, wajah seorang wanita paruh baya dengan tatapan penuh harap muncul di hadapannya. “Luna…” suara wanita itu bergetar. Luna terdiam sejenak, mengenali wajah itu dari foto-foto lama yang tersimpan dalam kenangannya. Dina, ibunya yang telah lama pergi, kini berdiri di depan pintunya. “Aku ingin berbicara, Luna. Tolong izinkan aku masuk,” pinta Dina dengan suara lirih. Luna menahan napas, ingin segera menutup pintu. Tapi ia teringat bahwa Daehan-lah yang mengatur pertemuan ini. Setelah ragu sejenak, ia membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Dina masuk. Pertemuan Penuh Kete
Daehan mengajak Luna makan malam di ruang tempat perjamuan yang terletak di lantai atas gedung kantor. Tempat yang biasanya digunakan untuk acara-acara besar kini sepi, hanya ada mereka bertiga — Daehan, Luna, dan Berryl, sang bos. Setelah menikmati makan malam yang sederhana namun lezat, Berryl terkejut ketika Daehan mengucapkan terima kasih padanya. "Terima kasih banyak, Berryl, atas keringanannya terhadap Luna. Aku tahu dia sedang hamil dan sedang butuh banyak istirahat. Kamu sudah banyak membantu dengan memberi keringanan dalam pekerjaannya." Berryl hanya tersenyum, sedikit canggung mendengar pujian dari seorang pria sekaya Daehan. "Tidak masalah, Tuan Kim. Luna memang bekerja keras, dan saya tahu dia membutuhkan waktu untuk menjaga kesehatan. Saya senang bisa membantu." Luna yang duduk di samping Daehan hanya tersenyum kecil, merasa sedikit terharu. Tidak semua bos memperhatikan kesejahteraan karyawannya seperti Berryl. Namun, dia tahu bahwa keputusan Daehan untuk mengajakn
Luna memulai harinya seperti biasa, mengenakan pakaian kerja yang sopan dan sederhana. Ia tiba lebih awal di kantor untuk menyelesaikan tugas yang tertunda. Sementara itu, suasana kantor mulai terasa lebih sibuk dari biasanya. Semua staf terlihat panik dan sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kunjungan penting dari seorang CEO perusahaan besar yang akan berinvestasi di tempat mereka. Pagi itu, kantor Luna penuh dengan aktivitas. Semua karyawan tampak sibuk mempersiapkan kunjungan penting dari seorang CEO yang akan berinvestasi di perusahaan mereka. Sang bos, Berryl, seorang pria berusia 30 tahun yang karismatik dan ambisius, memberikan arahan kepada semua bawahan dengan suara tegas namun penuh antusias. “Semua harus terlihat sempurna hari ini! Ini adalah kesempatan besar untuk perusahaan kita. Cecil, kau yang akan bertugas menjamu CEO itu. Pastikan dia merasa nyaman dan terkesan,” ucap Berryl sambil melirik sekretaris cantiknya yang mengenakan pakaian formal namun