Malam itu, Daehan duduk di sofa apartemen Ryuka, mencoba menikmati malam yang seharusnya dipenuhi dengan keintiman dan gairah. Ryuka, model internasional dengan kecantikan luar biasa, tampak begitu memikat. Dengan gaun seksi yang memperlihatkan keindahan tubuhnya, Ryuka mengelilingi Daehan, tersenyum lembut saat dia mendekat. “Sudah lama kita tidak bertemu,” bisiknya manja, jemarinya melingkari leher Daehan, menariknya lebih dekat.
Daehan tersenyum, mencoba untuk merespons, tapi hatinya terasa hampa. Ia memandang Ryuka, yang selama ini menjadi sosok yang ia cintai, namun malam ini ada sesuatu yang berbeda. Sentuhannya, suaranya, bahkan senyumnya yang dulu begitu ia rindukan, kini terasa seolah jauh."Ya, aku juga sangat merindukanmu Ryuka." Daehan dengan ekpresi datarnya. Ryuka melanjutkan pembicaraan dengan nada yang penuh godaan, “Kau pasti merindukan momen-momen seperti ini, bukan?” Dia mendekat, mencium bibir Daehan dengan penuh gairah, tapi di balik semua itu, Daehan merasa pikirannya melayang. Wajah Ryuka perlahan memudar dari benaknya, digantikan oleh bayangan seseorang yang lain—Luna. Ia teringat kembali pada tatapan Luna saat terakhir kali mereka berbicara di kantornya. Saat Luna meminta untuk berpisah, ada sesuatu dalam dirinya yang goyah. Daehan selalu meyakinkan dirinya bahwa pernikahan dengan Luna hanyalah sebuah kontrak, dan Luna tak lebih dari alat untuk mencapai tujuannya. Namun, mengapa bayangan wajah Luna terus menghantuinya? Mengapa ia merasa bersalah atas cara ia memperlakukan Luna? Ryuka mengerang pelan di telinganya, menarik perhatian Daehan kembali ke ruangan. “Kau tampak jauh malam ini, ada yang salah?” tanyanya sambil memandangnya dengan tatapan tajam. Daehan tersentak, sadar bahwa pikirannya telah melayang terlalu jauh. “Tidak, tidak ada apa-apa,” jawab Daehan cepat, mencoba untuk tersenyum, tapi senyum itu terasa hambar. Dia berusaha keras untuk fokus kembali pada Ryuka, mencoba mengingatkan dirinya bahwa inilah yang seharusnya ia inginkan. Tetapi, tidak peduli seberapa keras dia mencoba, Luna selalu kembali ke pikirannya. Ryuka mendesah kesal, menyadari perubahan dalam sikap Daehan. “Kau berbeda, Daehan. Kau tidak seperti biasanya.” Daehan mengalihkan pandangannya, menatap ke luar jendela apartemen yang menawarkan pemandangan kota yang indah di malam hari. “Aku hanya banyak pikiran tentang pekerjaan,” katanya, mencoba mencari alasan. Namun, alasan itu tidak cukup untuk menghapus bayangan Luna dari benaknya. Malam yang seharusnya penuh gairah dengan Ryuka berubah menjadi refleksi internal yang mendalam bagi Daehan. Mengapa ia selalu kembali memikirkan Luna? Meskipun pernikahan mereka hanyalah kontrak, mengapa ada perasaan bersalah setiap kali ia memperlakukannya dengan kasar? Di satu sisi, Ryuka adalah wanita yang sempurna di mata dunia—cantik, sukses, dan penuh percaya diri. Namun di sisi lain, Luna yang sederhana, cerdas, dan penuh keteguhan, telah menciptakan perasaan yang tidak Daehan sadari sebelumnya. Mungkin karena Luna tidak pernah mencoba menarik perhatiannya seperti Ryuka atau wanita-wanita lain. Luna tidak peduli dengan kekayaan atau status sosialnya, dan itulah yang membuatnya berbeda. Sementara itu, Ryuka kembali berbicara, mencoba menghidupkan suasana. Tapi Daehan hanya memberikan jawaban singkat, merasa semakin jauh dari keintiman yang mereka ciptakan. Ia terjebak dalam pikirannya, bertanya-tanya apa yang sebenarnya ia rasakan terhadap Luna. Tiba-tiba, Daehan teringat percakapan terakhir mereka di kantor. Luna meminta untuk berpisah, wajahnya penuh ketegangan dan kesedihan. Pada saat itu, Daehan hanya berpikir tentang kontrak mereka dan keuntungannya. Tapi sekarang, ia mulai merasa bersalah. Apakah ia terlalu keras pada Luna? Apakah semua ini layak dijalani hanya demi menjaga citra keluarga di mata publik? Ryuka, yang masih berada di sisinya, akhirnya menyerah. Dia menyadari ada sesuatu yang mengganggu Daehan, dan malam itu tidak akan berjalan seperti yang diharapkannya. “Kalau kau ingin bicara, aku di sini, Daehan,” katanya lembut, meskipun kekecewaan jelas terlihat di wajahnya. Daehan mengangguk tanpa berkata-kata, merasa tidak mampu menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di dalam hatinya. “Maaf, Ryuka,” ucapnya lirih. “Aku hanya lelah. Mungkin aku harus pulang.” Ryuka menatapnya dengan penuh pertanyaan, tetapi tidak berusaha menghentikannya. “Baiklah,” katanya dengan nada datar. “Tapi lain kali, pastikan kau benar-benar di sini, bersamaku.” Daehan berdiri, mengambil jaketnya dan menuju pintu. Setelah mengucapkan selamat malam kepada Ryuka, ia melangkah keluar dari apartemen, meninggalkan Ryuka yang masih duduk di sofa, memandang kosong ke arahnya. Di dalam lift, Daehan terdiam. Pikirannya kembali ke Luna. Bayangan wajah Luna, ekspresi sedihnya, cara dia selalu menunduk ketika Daehan melontarkan kata-kata tajam, semua itu tiba-tiba menjadi nyata di benaknya. Daehan merasa hatinya bimbang. Ia tidak mengerti mengapa Luna begitu mempengaruhinya, sementara pernikahan ini seharusnya hanya sebuah formalitas. Tapi kini, semakin hari, perasaan itu semakin sulit diabaikan. Luna bukanlah wanita yang Daehan pilih, tetapi dia adalah wanita yang, entah bagaimana, mulai memenuhi pikirannya, bahkan ketika Daehan berada bersama seseorang seperti Ryuka. Ketika ia kembali ke rumah malam itu, Daehan mendapati dirinya termenung di depan pintu. Rumah yang dulu terasa tenang kini penuh dengan keraguan dan kebingungan. Luna mungkin berada di kamarnya sekarang, berpikir untuk bertahan tiga bulan lagi hingga kontrak mereka berakhir. Daehan tahu satu hal, apapun yang terjadi, perasaan ini tidak akan mudah diabaikan. Dan meskipun ia tidak siap mengakui perasaannya, Daehan mulai menyadari bahwa Luna bukan hanya sekadar alat dalam pernikahan kontrak ini—dia telah menjadi lebih dari itu, sesuatu yang membuat hatinya tidak tenang. Luna duduk di sofa sambil menatap ke arah jendela kamar mereka. "Kukira kau akan pergi dari rumah ini, saat aku pergi ."Daehan dengan suara bariton nya. Membuat Daehan membuyarkan lamunannya. "Arrgh, Pak Daehan sudah datang." ujar Luna. "Kenapa, kau belum tidur, apa kau sudah memikirkan apa yang akan kamu bawa dari rumah ini?" "Apa maksud Pak Daehan? jadi menurut bapak saya ini matrealistis ? da...n saya ... seorang pencuri?" Air mata Luna mengalir deras tak tertahankan. "Baik, kalau begitu, bersiaplah ... karena aku akan menguras semua hartamu, dan juga semua asetmu, hiks hiks hiks."Luna menuju balkon kamar tersebut, dan menumpahkan semua kepedihannya nampak punggung Luna bergetar. Daehan mematung, ada sedikit rasa bersalah dalam hatinya karena ucapannya. Namun dia enggan untuk meminta maaf dan pergi ke kamar mandi tanpa peduli dengam Luna. Bulan dan bintang menjadi saksi Luna yang sedang menahan rasa pedih di hatinya. "Ya Allah, kuatkan hati hamba, berikan jalan keluar dari permasalahan ini." "Haloo, ... Luna, kau menangis?"ucap sang Ayah. "Euhmm tidak Ayah, aku tadi habis makan bakso yang pedas jadi keluar airmata dan hidungku berair."lirih Luna . "Owh begitu, besok kamu jadi kan, ke rumah Ayah?"tanya ayah Luna. "Iya Ayah, InshaAllah Luna datang."jawab Luna menahan sesak di dadanya. Ingin rasanya dia mencurahkan segala keluh kesahnya pada sang ayah, namun lidahnya keluh tak bisa berucap. "Kalau begitu, Ayah tunggu ya nak, jangan lupa ajak suamimu ya nak."Ayah Luna dengan lembut. "Iya Ayah mudah-mudahan dia ada waktu, kalau begitu Luna tutup dulu ya Ayah Assalamualaikum. " "Waalaikumsalam. "Arya mengakhiri sambungan seluler mereka. Saat Daehan selesai mandi, dan menuju walking closet, Luna mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat Isya. Daehan menatap nanar, ada rasa kagum pada Luna namun rasa bencinya terlalu besar sehingga menutupi rasa kagumnya. Keesokan paginya Luna pergi pagi-pagi sekali, dia sudah memasak sarapan dan kopi untuk Daehan, Luna sudah izin sebelumnya bahwa hari ini dia akan pergi ke suatu tempat. Luna sudah sampai di kantornya karena naik Bus. Sehingga dia harus prepare datang pagi-pagi. Dia langsung membuka laptop nya dan mengerjakan pekerjaannya. Supaya dia bisa selesai dengan cepat. Sekitar pukul 09:00 Daehan sampai tatapannya tertuju pada Ruangan kantor dimana ada Luna di sana. Daehan berjalan ke ruangna tersebut seolah-olah dia sedang sidak para karyawannya. "Ehemm, semua mata tertuju padanya, namun satu orang yaitu Luna tidak sama sekali mengarah padanya. Luna seoalah enggan menatap wajah Daehan padahal Daehan didambakan hampir setiap wanita di kantor. "Selamat pagi pak,"sapa setiap para karyawan kecuali Luna. Sehingga temannya menegur Luna agar fokus pada Daehan sejenak. "Luna .... kau kenapa? malah sibuk dengan komputer, enggak lihat ada Pak Daehan? kenapa kamu tidak menyapanya?"Ujar sang manajer. "Saya sedang sibuk bu, lagipula beliau kan ingin melihat kinerja kita, dan baginya waktu adalah uang, kalau saya meninggalkan pekerjaan satu menit saja maka itu akan membawa kerugian bagi perusahaan. "Luna dengan tegas tanpa merasa takut sedikitpun. "Luna....!" Pekik seorang wanita BersambungLuna duduk di tepi jendela sebuah apartemen kecil di negara asing, menatap langit kelabu yang seolah mencerminkan hatinya. Keputusannya untuk pergi jauh dari Daehan terasa seperti belati yang menembus jantungnya. Namun, ancaman dari Tuan Kim Do Hyun tidak memberinya pilihan. Ia harus menjaga kebahagiaan Daehan dengan cara yang menyakitkan: meninggalkan pria yang ia cintai. Hari itu masih pagi, tapi hawa dingin membuat tubuh Luna menggigil. Wajahnya yang biasanya ceria kini tampak muram. Bekas air mata masih jelas di pipinya. Ia mengenang setiap momen indah bersama Daehan—senyumnya, perhatian kecilnya, bahkan pelukan hangatnya yang selalu membuatnya merasa aman. Semua itu kini terasa seperti mimpi yang perlahan memudar. Tuan Kim Do Hyun telah mengatur segalanya. Tiket pesawat, akomodasi, dan dokumen perjalanan disiapkan dengan rapi. Luna hanya perlu menjalankan perannya sesuai dengan kesepakatan: pergi sejauh mungkin dari kehidupan Daehan dan memulai hidup baru. “Ini demi Daehan,” p
Percakapan Luna dan Tuan Kim Malam itu, Luna duduk di sofa apartemennya, mengumpulkan keberanian untuk melakukan sesuatu yang akan mengubah hidupnya selamanya. Tangannya gemetar saat ia mengetik nomor Tuan Kim Do Hyun. Setelah beberapa dering, suara berat dan dingin menjawab di ujung telepon. “Luna, apa yang kau inginkan?” Tuan Kim langsung to the point. Luna menarik napas panjang. "Tuan Kim... Saya sudah memikirkan tawaran Anda." Ada keheningan singkat sebelum Tuan Kim menjawab, “Dan?” “Saya setuju,” kata Luna, suaranya hampir bergetar. “Saya akan meninggalkan Daehan.” Nada suara Tuan Kim berubah sedikit lebih lunak, namun tetap tegas. “Kau membuat keputusan yang bijak. Aku tahu ini tidak mudah untukmu.” Luna tersenyum pahit, meskipun Tuan Kim tidak bisa melihatnya. “Saya hanya ingin yang terbaik untuk Daehan. Tapi... saya punya satu permintaan.” “Apa itu?” “Saya butuh waktu dua hari. Dua hari untuk menghabiskan waktu bersamanya, menciptakan kenangan yang akan membua
Pertemuan yang Menguras Emosi Luna duduk di ruang tamu apartemennya dengan tatapan kosong. Ia memegang segelas teh yang sudah dingin, namun tak sedikit pun ia menyentuhnya. Pikirannya terus melayang pada Daehan, pada janji dan cinta mereka, serta calon bayi yang kini tumbuh di dalam rahimnya. Hari-hari terakhir begitu berat setelah mengetahui ancaman dari Tuan Kim Do Hyun kepada suaminya. Ketukan pintu yang tiba-tiba membuat Luna tersentak. Dengan langkah ragu, ia menuju pintu dan membukanya. Di depannya berdiri Tuan Do Hyun dengan wajah dingin dan penuh wibawa. Aura pria itu begitu tegas hingga membuat Luna merasa menciut. "Selamat siang, Luna," ujar Do Hyun dengan nada datar. "Selamat siang, Tuan Kim," jawab Luna dengan sopan, meskipun ada gemetar di suaranya. "Bisakah kita bicara?" tanyanya tanpa basa-basi. Luna mengangguk dan mempersilakan Do Hyun masuk. Mereka duduk di ruang tamu yang kecil namun nyaman. Luna mencoba menenangkan hatinya, tetapi tatapan dingin Do Hyun membua
Hari itu, Luna sedang duduk di ruang tamu apartemennya sambil membaca buku kehamilan. Perutnya sudah semakin besar, dan ia mulai merasakan bayi dalam kandungannya bergerak lebih sering. Kebahagiaannya dengan Daehan perlahan pulih, meskipun masa lalu yang sulit tetap membayangi pikirannya. Tiba-tiba, bel apartemen berbunyi. Luna mengerutkan kening, lalu berjalan perlahan menuju pintu. Saat ia membukanya, wajah seorang wanita paruh baya dengan tatapan penuh harap muncul di hadapannya. “Luna…” suara wanita itu bergetar. Luna terdiam sejenak, mengenali wajah itu dari foto-foto lama yang tersimpan dalam kenangannya. Dina, ibunya yang telah lama pergi, kini berdiri di depan pintunya. “Aku ingin berbicara, Luna. Tolong izinkan aku masuk,” pinta Dina dengan suara lirih. Luna menahan napas, ingin segera menutup pintu. Tapi ia teringat bahwa Daehan-lah yang mengatur pertemuan ini. Setelah ragu sejenak, ia membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Dina masuk. Pertemuan Penuh Kete
Daehan mengajak Luna makan malam di ruang tempat perjamuan yang terletak di lantai atas gedung kantor. Tempat yang biasanya digunakan untuk acara-acara besar kini sepi, hanya ada mereka bertiga — Daehan, Luna, dan Berryl, sang bos. Setelah menikmati makan malam yang sederhana namun lezat, Berryl terkejut ketika Daehan mengucapkan terima kasih padanya. "Terima kasih banyak, Berryl, atas keringanannya terhadap Luna. Aku tahu dia sedang hamil dan sedang butuh banyak istirahat. Kamu sudah banyak membantu dengan memberi keringanan dalam pekerjaannya." Berryl hanya tersenyum, sedikit canggung mendengar pujian dari seorang pria sekaya Daehan. "Tidak masalah, Tuan Kim. Luna memang bekerja keras, dan saya tahu dia membutuhkan waktu untuk menjaga kesehatan. Saya senang bisa membantu." Luna yang duduk di samping Daehan hanya tersenyum kecil, merasa sedikit terharu. Tidak semua bos memperhatikan kesejahteraan karyawannya seperti Berryl. Namun, dia tahu bahwa keputusan Daehan untuk mengajakn
Luna memulai harinya seperti biasa, mengenakan pakaian kerja yang sopan dan sederhana. Ia tiba lebih awal di kantor untuk menyelesaikan tugas yang tertunda. Sementara itu, suasana kantor mulai terasa lebih sibuk dari biasanya. Semua staf terlihat panik dan sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut kunjungan penting dari seorang CEO perusahaan besar yang akan berinvestasi di tempat mereka. Pagi itu, kantor Luna penuh dengan aktivitas. Semua karyawan tampak sibuk mempersiapkan kunjungan penting dari seorang CEO yang akan berinvestasi di perusahaan mereka. Sang bos, Berryl, seorang pria berusia 30 tahun yang karismatik dan ambisius, memberikan arahan kepada semua bawahan dengan suara tegas namun penuh antusias. “Semua harus terlihat sempurna hari ini! Ini adalah kesempatan besar untuk perusahaan kita. Cecil, kau yang akan bertugas menjamu CEO itu. Pastikan dia merasa nyaman dan terkesan,” ucap Berryl sambil melirik sekretaris cantiknya yang mengenakan pakaian formal namun