Alifa menatap kedua orang yang memasuki rumah mereka dengan mata berkaca-kaca. Wanita itu menyeka cepat air matanya yang kembali jatuh. Tidak.Alifa tak ingin membiarkan Farrel bersama perempuan itu. Alifa segera menyusul dan menghadang keduanya di depan pintu kamar."Jangan masuk!" cegahnya tegas. Dia menatap tajam pada perempuan yang masih merangkul bahu suaminya. "Aku bilang jangan masuk! Berhenti dan pulang sana kamu! Apa kamu nggak dengar?" Perempuan berpakaian seksi itu mencibir dan menyingkirkan lengan Alifa. "Apa pedulimu? Ini rumahnya Farrel. Jadi, kamulah yang pergi. Dasar istri tak tahu diri!" ejeknya.Plak.Alifa tak tahan lagi. Dilayangkannya tamparan keras ke pipi mulus perempuan tersebut. Winda hendak membalas, namun dengan cepat Farrel memeluk erat tubuh Alifa.Alifa memberontak dengan kuat. "Lepaskan aku, Mas! Biar aku usir perempuan pelakor ini!" teriaknya."Diam kamu, Fa! Winda bukan pelakor. Kamu masuk kamar kamu!" teriak Farrel dengan tegas.Alifa tertegun. Ucap
"Jangan tinggalkan aku ... aku sayang kamu, Mas," Alifa terus meracau. Farrel mendekatkan wajahnya dan berbisik lirih di telinga Alifa sembari mengusap pelan pipi wanita itu. "Fa," panggilnya. Namun, Alifa tak membuka mata. Alifa kembali membuka bibir pucatnya. "Mas, Farrel, jangan pergi ... kamu di mana, Mas? Jangan tinggalkan aku...," ucapnya setengah berbisik. Farrel mengusap kepala sang istri yang tertutup hijab simpel."Aku di sini, aku nggak akan meninggalkan kamu, Sayang." Farrel berbisik lirih, kemudian mencium kening Alifa yang panas. "Terima kasih atas kehadiran kamu dalam hidup aku, Fa. Bangunlah. Ada kejutan untuk kamu, Sayang," bisiknya lagi.Alifa masih nyaman dalam tidurnya. Farrel tidak bosan menunggu sang istri untuk bangun. Walaupun dia sendiri merasakan pusing karena tidak tidur hampir semalaman.Pagi harinya, Bu Halimah dan Alisha datang ke rumah sakit. Mereka meminta Farrel untuk pulang beristirahat, namun laki-laki tersebut tidak menuruti permintaan mereka. Far
Laki-laki berkulit putih itu mendekat ke arah Alifa dan meletakkan parcel ke atas nakas. Dia mengamati wajah pucat Alifa dengan tatapan prihatin. Sedangkan Alifa, masih diam, dia tidak tahu harus berkata apa. Alifa melirik sekilas pada laki-laki yang mengambil tempat duduk di sebelahnya, berseberangan dengan Farrel. "Pendekar juga bisa sakit ternyata," godanya sambil mengulurkan tangan mengusap kepala Alifa yang tertutup hijab. Alifa menoleh ke arah Farrel yang menunjukkan wajah tak suka. Alifa merasakan genggaman tangan Farrel semakin erat, seolah menegaskan hanya Farrellah yang berhak menyentuhnya."Hei, Rabit Kecil, kenapa kamu jadi pendiam begini? Ke mana selama dua tahun ini, hm? Kamu sengaja menghindari aku?" tanya laki-laki itu beruntun.Alifa tersenyum sekilas dan mengedipkan mata pelan ketika tatapan mata Farrel seolah menuntut jawaban darinya. "Aku hanya ingin fokus sama kuliah aku, Mas Kev. Sekarang aku juga fokus menjadi seorang istri," ucapnya lirih. Kevin mengangguk p
Farrel menatap protes pada Alifa yang kesekian kalinya kembali menyebalkan. Alifa tidak memperdulikan raut wajah protes suaminya.Alifa justru lebih penasaran akan isi rantang di atas nakas tersebut. "Mas, Mbak Alisha kasih makanan apa?" tanyanya tanpa rasa bersalah.Farrel menoleh dan kembali berdiri. Dia membuka rantang susun tiga itu. Aroma gulai ayam yang menggugah selera. Alifa bertepuk tangan kecil membayangkan rasa gurih dari ayam tersebut."Uuuh, kayaknya enak!" serunya antusias.Farrel mengangguk lemah dan membekap mulutnya.Huukk! Rasa mual bergejolak di dalam perutnya. Laki-laki itu pun segera berlari ke dalam kamar mandi. "Mas, kamu kenapa sih?" tanya Alifa dengan heran.Farrel tak menjawabnya, justru muntah-muntah di dalam kamar mandi."Mas!" "Huuk!" Farrel mengguyur seluruh wajahnya dengan air kran kamar mandi. Alifa bangkit dari brankar sembari mendorong tiang gantungan infus untuk mencapai kamar mandi.Alifa mengerutkan keningnya mendapati sang suami yang dalam kea
Alifa mengangguk dalam pelukan suaminya. Dia mendongak, menatap wajah tampan Farrel yang mulai memejamkan mata. Alifa tersenyum. Bila diperhatikan lebih seksama, suaminya itu begitu tampan. Inilah yang dinamakan jodoh di tangan Tuhan. Sekuat apa pun dirinya dan Farrel menolaknya jika Allah berkehendak maka mereka hanya bisa menjalani.Dulu, sebulan yang lalu di awal pernikahan, Alifa pesimis jika bisa mencintai laki-laki seperti Farrel. Namun, kini Alifa semakin takut kehilangan laki-laki tersebut."Terima kasih ya Allah, telah menulis nama kami berdampingan," ucapnya dalam hati.Tanpa disadari Alifa, Farrel membuka matanya sedikit. Laki-laki itu tersenyum ketika mengetahui sang istri memperhatikan dirinya. "Kalau mau memperhatikan suami ganteng nggak usah sembunyi-sembunyi begitu, Sayang."Alifa tergagap. Dia menyembunyikan rona merah di pipinya dengan menenggelamkan wajahnya di dada bidang Farrel."Mas, besok aku sudah kuliah lagi," ucapnya lirih.Farrel menjawab dengan berat, "Ka
Pada akhirnya, Alifa bisa menarik nafas lega ketika berada di dalam mobil Novi. Novi menoleh sekilas, kemudian fokus pada kemudi mobilnya.Dia mendengar Alifa berkali-kali mendesah gusar. Hal tersebut membuat Novi tidak tahan untuk tidak bertanya."Ada apa, Lif? Kamu bertengkar lagi sama Mas Farrel?" tebaknya.Alifa tak menjawab, dia malah kembali mendesah kasar. Novi yang merasa tebakannya benar, menggeleng pelan. Gadis manis itu menghentikan mobilnya ketika melihat Zizi sudah menunggu di depan rumahnya."Kenapa sih, Lif, kalian itu hobi banget berantem? Perasaan tadi, dia masih antar jemput kamu ke kampus, deh!" ucap Novi. "Apa ini ada hubungannya dengan rencana kita touring itu?" tanyanya tak enak hati."Mas Farrel nggak mengizinkan kamu pergi ikut touring?" Kali ini giliran Zizi yang bertanya sambil menutup pintu tengah.Alifa menoleh sekilas dan mengangguk pelan. "Iya, posesif banget dia. Apalagi tahu aku hamil, huuh tambah memperlakukan aku mirip anak PAUD!" Alifa menjawab denga
Tanpa menunggu persetujuan Alifa, Kevin segera bangkit dari tempat duduknya. Laki-laki itu memesankan makanan yang menurutnya lebih bergizi. Alifa mengamati semangkuk gulai yang terlihat begitu nikmat. Tiba-tiba, dia kembali teringat akan suaminya itu. Alifa menunduk, mengambil handphone yang sejak tadi dia simpan di dalam tasnya dalam keadaan mati."Mas Farrel," gumamnya lirih, ketika handphone telah dinyalakan. Ada beberapa panggilan tak terjawab dari suaminya itu. "Faa, makan dulu, mumpung masih hangat." Kevin kembali memperingatkan. Alifa mendongak dan mengangguk kaku. Sedangkan Zizi dan Novi memperhatikan interaksi keduanya dengan tatapan penuh arti. Melihat perhatian Kevin pada Alifa yang tidak wajar, Zizi tampak gelisah.Kevin menggeser mangkuk lebih mendekat ke arah Alifa. "Makan dulu, biar baby kamu sehat," titahnya.Alifa kembali mengangguk. Dia mulai menyuap. Tetapi, tiba-tiba rasa mual itu bergejolak di dalam perutnya. Alifa segera bangkit sambil memegang perutnya."Lif
Farrel memejamkan matanya rapat. Dia mendongakkan wajah. Ucapan sang istri menyesakkan dadanya. "Astaghfirullah," gumamnya lirih. Dia tidak boleh terpancing emosi sesaat yang akan menghancurkan segalanya. Bukan hanya rumah tangga yang baru dimulainya yang hancur. Akan tetapi, kekecewaan dari semua anggota keluarga besarnya. Jika Farrel menuruti emosi istrinya maka detik ini juga semua akan selesai. Arsyi Allah akan berguncang dengan kata talaq.Tidak. Dia tidak ingin mengalah. Farrel mendekat ke arah sang istri yang masih mematung di tempatnya. Wanita itu menatapnya tajam dengan nafas memburu.Farrel menangkup wajah tirus istrinya dengan telapak tangannya. Dia menatap wajah cantik itu dalam-dalam walaupun Alifa tak membalas tatapannya."Kamu tahu, Sayang." Farrel berucap lirih sambil mengusap-usap pipi istrinya dengan ibu jarinya. "Jika aku sangat marah, itu artinya aku takut kehilanganmu. Aku khawatir akan keadaan kamu. Tadi sewaktu aku tinggal pergi kamu sedang marah, dan...""Ng