Ini." Pak Yogi menyerahkan satu kardus lumayan besar, entah isinya apa. Beliau bilang ini titipan dari mama.Aku menerimanya dengan senang hati, rasanya cukup berat, aku jadi semakin penasaran dengan isinya."makasih. Bapak mau masuk dulu?" tawarku."Bisa nggak sih, kalau panggilannya diganti?""Hah, maksudnya diganti gimana?" Kenapa harus diganti? Bukannya di mana-mana anak buah memanggil bosnya dengan sebutan bapak."Saya ini calon suami kamu, masak panggilnya BAPAK. Berasa saya ini orang tua kamu," jelas pak Yogi."Mau dipanggil apa?""Ya terserah. Mau panggil Mas, Kakak, Abang, atau Sayang juga boleh," ujarnya.Aku harus memanggil dengan sebutan apa? Sementara selama ini aku sudah nyaman dengan sebutan bapak."Lebih enak dipanggil Mas Yogi atau Bang Yogi?" Sedikit aneh saat mengucapkannya, tapi aku akan berusaha."Sayang aja, kedengerannya lebih enak," jawabnya."Sayang? Terus pas banyak orang manggil Yang, gitu? Malu sama umur lah, Pak. Diketawain banyak orang nanti," ucapku. "U
"Mbak Linda, gabung ya," ucap Irma, aku mengangguk."Mbak, aku tadi ketemu ibunya mas Hasan," ungkap Irma setelah dia duduk di sampingku."Terus?""Beliau tadi nanyain, mbak Linda masih kos di sini apa enggak. Pas aku jawab masih, beliau titip salam buat mbak Linda," jelasnya."Waalaikumsalam," jawabku."Maaf ya mbak, aku cuma nyampein salam aja. Aku jadi nggak enak sama mbak Linda.""Nggak apa-apa, Ir, kamu nggak salah kok. Kamu kan cuma nyampein salam, dan aku juga udah jawab. Cuman, lain kali kalau ibunya mas Hasan tanya gitu lagi, kamu jawab aja kalau mbak Linda udah pindah atau keluar dari kos," jelasku."Siap, mbak. Kalau gitu aku masuk dulu ya, mau belajar besok ujian," ucap Irma, dia lalu masuk ke dalam rumah.Tidak berselang lama, Ruri keluar dari kamarnya. Ruri duduk di sebelahku dengan membawa satu paper bag, entah berisi apa."Buat mbak Linda," ucap Ruri seraya menyerahkan paper bag itu padaku.Aku menerimanya. Meski kecil, paper bag ini cukup berat. "Apa ini?""Hadiah bua
"Udah sana masuk. Saya mau pulang," ucap pak Yogi.Aku berjalan dengan gontai. Pak Yogi yang biasanya galak dan pemarah, kenapa bisa bersikap seromantis itu?"Dari mana, Mbak?" tanya Irma."Dari ambil ini," aku menunjukkan kantung kresek yang kubawa."Wih, beli martabak nggak bilang-bilang. Mau dong, Mbak," pinta Irma.Aku lalu mengajak Irma untuk duduk di teras depan kamarku, ada juga beberapa ank kos yang berada di luar kamar aku ajak sekalian. Kami menikmati martabak manis dengan senda gurau.Karena mata sudah sangat berat, aku akhirnya pamit lebih dulu untuk beristirahat. Perut kenyang, pasti ujung-ujungnya mengantuk.***"Pagi mbak Linda," sapa Budi."Pagi juga, Bud. Eh, kamu nikahnya tanggal berapa? Kok udah nyebar undangan?" tanyaku pada Budi."Tanggal lima belas, mbak Linda bisa dateng kan?"Tanggal lima belas, berarti satu minggu lagi. Aku masih punya waktu untuk menghadiri pernikahan Budi dan Nia sebelum aku kembali ke kampung halaman."Semoga bisa ya, Bud. Acaranya pagi kan
"Mas Yogi mau design yang gimana?" tanya Sandi.Sandi menyalakan layar komputernya. Pak Yogi duduk di samping Sandi, dan aku duduk di samping pak Yogi.Sandi menunjukkan beberapa referensi design undangan. Ternyata pak Yogi ke sini untuk memesan undangan, kok jantungku jadi berdebar ya?"Kamu suka yang mana?" tanya pak Yogi padaku.Aku melihat beberapa contoh yang Sandi tunjukkan. Karena hanya gambar, aku jadi bingung memilih yang mana?"Ada contoh fisiknya?" tanya pak Yogi, pas sekali dengan apa yang aku pikirkan."Ada. Bentar aku ambilin," ujar Sandi, ia lalu beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ruangan tempat ia keluar tadi.Sandi kembali dengan membawa beberapa contoh undangan, ia lalu menyerahkannya pada pak Yogi."Kamu yang pilih." Pak Yogi menyerahkannya padaku.Aku menerimanya dan memilah undangan mana yang menurutku bagus. Ada tiga contoh undangan yang aku pilih, satu berwarna krem, satu berwarna biru dan satu lagi berwarna abu-abu."Ini bagus semua, aku bingung milih y
"Pak!" panggilku agak keras karena pak Yogi tetap diam menatapku."Kenapa?" tanyanya dengan pandangan masih mengarah padaku."Nggak cocok ya aku pakek baju ini?" tanyaku.Pak Yogi meneliti penampilanku dari atas sampai bawah, beliau lalu mendekat padaku."Cantik." Pak Yogi membelai rambutku. Beliau mendaratkan kecupan singkat di puncak kepalaku."Pak, jangan sering-sering bersikap manis kayak gini, nanti saya diabetes," ujarku.Pak Yogi membelai pipiku dengan punggung jarinya, menatapku lekat hingga membuatku sadar akan sesuatu. "Pak.""Hmmm.""Pak. Munduran, banyak yang liatin tuh, malu," ucapku. Pak Yogi segera menjauh dariku setelah sadar dengan tatapan pegawai butik di sekitar kami. Hampir saja kami memberikan tontonan yang kurang pantas.Aku segera mengganti gaun ini dengan baju yang tadi aku pakai, membawanya menuju meja kasir untuk dibayar oleh pak bos. Enak juga ya kalau jadi orang kaya, belanja nggak perlu mikir berapa harganya. Sementara aku beli dalaman di pasar saja masih
Pak Yogi menyerahkan sebuah kartu kepada kasir, kasir lalu menerimanya dan menggeseknya. Enak sekali jadi orang kaya, mau beli apa tinggal gesek saja."Ayo, kamu mau beli apa lagi?""Udah, Pak, Bapak saja mau beli apa? Saya antar," jawabku."Kita beli sepatu sama tas," putusnya."Sepatu yang dari bu Sandra kemarin masih ada yang belum saya pakek," jelasku."Itukan yang beliin Mama, sekarang saya yang beliin, jadi beda. Udah ayo, ikut aja," jelas pak Yogi, dia lalu menggenggam tanganku menuju counter tas dan sepatu."Kamu pilih sendiri, saya tunggu di sini," ujar pak Yogi lalu beliau duduk di kursi yang sudah disediakan.Aku berjalan perlahan, berkeliling melihat apa yang sangat aku inginkan. Kalau menuruti apa yang aku inginkan, semuanya aku ingin membawanya, tapi kan itu nggak mungkin.Berkeliling beberapa kalipun aku tetap tidak mendapat apapun, dari sekian banyak sepatu dan tas, tidak ada yang harganya di bawah lima ratus ribu. Sedari tadi yang aku lihat selalu harga di atas satu j
"Tante." Oh, aku lupa kalau ini dekat dengan rumah mas Hasan, jadi kemungkinannya sangat besar aku bertemu dengan ibu mas Hasan."Ya ampun, nggak nyangka bisa ketemu sama kamu di sini. Udah lama banget Tante pengen ketemu sama kamu, tapi nggak bisa-bisa. Selalu sibuk kerja atau lagi pulang kampung. Kamu apa kabar?"Wow, ramah sekali ibu mas Hasan ini. Sangat jauh berbeda dengan sikapnya yang dulu, kemana ibu mas Hasan yang galak dan pemarah itu?" Baik, Tante.""Tambah cantik ya sekarang. Tante boleh duduk di sini ya?" Tanpa menunggu jawabanku, ibu mas Hasan langsung duduk di sebelahku. Aku melihat pak Yogi sudah menghentikan kegiatannya menyuap bakso."Maaf, Tante ....""Nggak perlu minta maaf, justru Tante yang mau minta maaf sama kamu atas sikap Tante selama ini. Mungkin Tante sudah keterlaluan sama kamu, tapi sebenarnya Tante itu sayang sama kamu," ucapnya. Mimpi apa sampai ibu mas Hasan yang dulu sangat membenciku, sekarang bisa begitu baik padaku."Maaf ya, Tante buru-buru, dit
"Sayang banget, Pak, tinggal sebulan lagi.""Dua minggu lagi kamu saya pulangin," ungkapnya."Kok dua minggu? Kan akadnya satu bulan lagi. Saya masih harus kerja, Pak. Kasian Mama kalau semua biaya beliau yang nanggung," jelasku."Ada saya, Lin. Kamu juga nggak percaya kalau saya kaya? Tau gitu tadi saya bayarin sekalian warung baksonya!""Bukan gitu, Pak. Saya cuma nggak mau dibilang matre. Saya mau uang untuk acara nikahan nanti pakai uang saya sendiri," jawabku."Kamu itu nggak matre, kebetulan aja saya banyak uang. Kalau kamu matre, pasti udah dari dulu kamu mempan saya kodein." Pak Yogi menghentikan mobilnya karena kami sudah sampai di depan kos.Aku tertawa mendengar jawaban pak Yogi. Bukannya nggak peka, hanya berhati-hati. Logikanya memang sangat langka orang kaya raya mau sama gadis miskin, tapi kalau masalah cinta dan takdir memang tidak bisa disalahkan."Kenapa nggak seminggu sebelum akad baru dipulangin?""Kalau bisa aja saya maunya sekarang kamu balik ke rumah Mamamu, tap
"Heh, jam segini udah keramas aja. Abis ngapain kalian?" Aku baru saja keluar dari kamar saat melihat bu Najwa yang juga keluar dari kamarnya. Kapan dia datang?"Aku kok nggak tau kalau mbak Najwa di sini?""Jelas lah, kamu di kamar mulu. Ganas banget ya mantan duda satu itu," goda bu Najwa.Malu, sebenarnya aku sangat malu terpergok begini. Padahal tadi aku sudah menolak, tapi mas Yogi sangat pandai menggoda. Aku yang awalnya tidak mau, akhirnya menikmati juga."Panas, Mbak, abis perjalanan jauh. Jadi aku mandi sekalian keramas," bohongku."Alesan aja, aku udah pengalaman kali, Lin. Udah, turun aja yuk, di tungguin Mama di bawah."Aku mengikuti bu Najwa menuruni tangga, di ruang tengah sudah banyak orang berkumpul."Cerah banget penganten baru," ujar pak Dafa."Jangan digodain, itu sekarang kakakmu!" Peringatan mas Yogi untuk pak Dafa."Sewot banget, Pak. Baru juga dikasih enak, masih emosian aja," ucap bu Najwa."Apa, Ma, yang enak? Tasya mau juga," sambar Tasya."Udah, udah, janga
Aku keluar dari kamar setelah menunaikan salat subuh, mas Yogi ---aku harus menbiasakan memanggil mas mulai saat ini--- masih di masjid bersama Arman. Aku berjalan menuju dapur untuk memulai memasak.Hari ini aku ingin masak nasi goreng sebagai sarapan dan membuat rawon untuk nanti siang. Tadi malam mama sudah membantuku menyiapkan bumbunya, jadi aku bisa langsung memasaknya.Selagi menunggu nasi goreng panas, aku menyeduh air untuk membuat teh. Lima gelas teh panas sudah aku siapkan di meja makan. Nasi goreng juga sudah siap di sana.Mengambil piring dan sendok lalu menatanya di samping gelas teh masing-masing."Harumnya," ujar mama yang baru keluar dari kamar saat aku sudah selesai menyiapkan sarapan."Nasi goreng, Ma," ujarku. Mama menarik kursi, beliau duduk di meja paling ujung."Bangun jam berapa? Kok Mama nggak denger pas kamu masak?""Pas Arman sama mas Yogi ke masjid, aku mulai masak," ujarku."Assalamu'alaikum.""Waalaikumsalam," jawabku dan mama bersamaan.Mas Yogi berjala
"Masih jauh?" tanya pak Yogi. Kami akan menuju simpang lima Gumul, menikmati suasana malam di sana. Rencananya sore kami akan ke sana, tetapi rencana berganti karena suatu hal."Udah deket, lurus aja," jawabku.Kami sudah berada di depan kantor kabupaten, sebentar lagi untuk mencapai tempat parkir sebelum masuk ke area Gumul."Di situ aja," tunjukku pada tempat parkir yang masih luas. Ini bukan malam minggu, jadi parkiran tidak begitu penuh.Kami turun dari mobil, berjalan mendekati tempat masuk menuju area monumen."Jauh jalannya?""Enggak, tinggal lurus terus naik tangga, sampai," jelasku.Kami sudah berada di area monumen, cukup banyak pengunjung meski tidak seramai saat akhir pekan."Mau foto?" tanya pak Yogi. Aku mengangguk setuju.Kami mengabadikan foto berdua di gawai pak Yogi, pak Yogi memasang salah satunya sebagai foto profil di aplikasi hijau."Kok foto profilnya diganti? Nggak mau sama kolega?""Kenapa harus malu? Aku pasang foto sama istriku sendiri," jawabnya.Meski han
Pagi ini aku terbangun pukul lima, aku tersenyum kala melihat suamiku masih tertidur di sampingku. Wajah yang kulihat setiap hari kala aku berkutat dengan pekerjaan, sekarang aku melihatnya saat baru membuka mata.Aku berusaha turun dari ranjang, rasa nyeri masih terasa di pangkal paha. Padahal tadi malam tidak sesakit ini, kenapa sekarang rasanya aku seperti tidak mampu berjalan.Beruntung tadi malam aku sudah memakai baju saat aku merasa kedinginan. Perlahan aku berdiri, menyeimbangkan kaki yang masih bergetar. "Aduh!" Suara yang cukup keras keluar dari mulutku, aku segera menutup mulutku dengan kedua tangan. Aku menatap pak Yogi. Terlambat! Pak Yogi sudah membuka matanya dan menatapku."Kamu kenapa?" tanyanya yang langsung bangun dan menghampiriku."Astaghfirullah!" Aku menutup mataku dengan kedua tangan. Bagaimana aku tidak terkejut, saat ini pak Yogi berlari ke arahku tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Mataku yang masih polos ini belum mampu menerima pemandangan yang iya
Pak Yogi tidak jadi membuka pintu, ia menatapku lekat. "Kamu istirahat aja, pasti masih capek kan? Aku aja yang ke sana, nanti aku pulang kalau keadaan Arya sudah membaik," ujarnya."Arya sekarang juga anakku, gimana seorang ibu bisa tenang saat anaknya kesakitan?""Ya udah ganti baju, aku tunggu di depan," ucap pak Yogi.Aku segera berganti baju yang lebih pantas karena tadi aku hanya memakai baju tidur.Aku segera keluar dari kamar dan mencari keberadaan pak Yogi, ternyata ia sedang duduk di ruang tamu bersama mama dan Arlan."Ma, kami pergi dulu ya," pamitku."Iya, hati-hati. Mama cuma bisa berdoa semoga Arya cepet sembuh," ujar mama."Makasih doanya, Ma. Maaf malam-malam malah ganggu istirahat Mama," ucap pak Yogi."Nggak apa-apa, namanya juga musibah. Apa Arlan ikut aja sekalian?""Nggak usah, Ma. Kami pergi berdua aja. Di sana juga sudah ada bu Najwa," ucapku.Aku dan pak Yogi pamit dan dengan cepat naik ke mobil pak Yogi. Pak Yogi melajukan mobilnya menuju rumah sakit Bhayangka
"Udah selesai ganti bajunya?" Itu suara mama yang berada di depan pintu."Sudah, Ma," ucapku lalu membuka pintu kamar."Kamu suruh nak Yogi ganti baju di kamar Arlan?"Aku mengangguk saja, padahal tadi aku hanya meminta pak Yogi keluar, bukan ganti baju ke kamar Arlan."Kalian itu udah nikah, kok bisa-bisanya kamu usir suamimu sendiri. Kamu itu gimana? Mama kan jadi nggak enak sama bu Sandra. Udah sana, semua pada makan. Nanti setelah salat dhuhur tamu-tamu udah banyak," omel mama.Dengan lemah aku mengikuti mama menuju meja makan. Aku merasa menjadi istri yang kejam saat ini. Padahal di kamarku sudah ada kamar mandi, kenapa tadi aku tidak bergantian ganti baju di sana saja."Kamu kenapa?" tanya pak Yogi.Aku menggelengkan kepala, tadi tidak sengaja menepuk jidatku."Maaf ya, maklum udah umur segini baru nikah. Mungkin pikirannya juga ikut konslet," ujar mama.Astaghfirullah, kenapa mamaku jadi kejam begini?"Duduk sini." Bu Sandra menepuk kursi di sebelahnya.Aku duduk di dekat bu Sa
ini aku didandani oleh mbak Dian lagi. Setelah salat subuh semua sudah berPagisiap di ruang tamu mama yang disulap menjadi tempat rias pengantin.Ada dua remaja putri yang merupakan sepupuku sebagai pagar ayu, dua anak kecil sebagai unyil atau cantrik yang nantinya akan membawa kipas. Ada juga empat among tamu dan arang tua pengantin yang diwakilkan oleh Arlan dan adik dari ibuku."Dingin ya," ujar Lia, anak dari sepupuku pada kembarannya saat mereka sedang diberi es batu pada wajahnya."Iya, dingin banget," ujar Tia.Aku tersenyum mendengar celotehan mereka. Ibu dari Tia dan Lia adalah teman sekolahku, dia menikah saat usianya baru delapan belas tahun karena perjodohan. Bersyukur sampai sekarang pernikahan itu masih langgeng."Akadnya jam berapa, Mbak?" tanya mbak Dian."Jam delapan, Mbak," jawabku."Calonnya berangkat jam berapa? Kan jauh jaraknya?""Dari tadi malam sudah menginap di hotel Surya, Mbak. Kalau berangkat dari sana pagi, nanti kasihan yang bawa anak kecil."Memang tadi
"Ya Allah, anak Mama, akhirnya mau nikah juga," ujar mama saat aku baru tiba di rumah."Assalamualaikum, Ma," aku meraih tangan mama lalu menciumnya."Waalaikumsalam. Sampai lupa. Masuk dulu yuk," ajak mama.Aku membantu mama masuk ke rumah dengan tongkat di tangan kirinya. Arman dan Arlan membantu membawa beberapa barangku, aku hanya membawa yang sekiranya tidak diperlukan lagi, sementara baju, sepatu dan barang-barang yang masih bisa dipakai dibawa pak Yogi ke rumahnya."Duduk, Sayang, pasti capek banget ya." Mama mengajakku duduk di kursi ruang tamu."Aku masukin kamar aja ya, Mbak," ujar Arlan."Iya, yang di motornya Arman, taruh di meja makan aja."Arlan dan Arman masuk ke dalam, aku duduk bersama wanita terhebatku."Mama nggak nyangka kalau kamu bakal nikah secepat ini, perasaan baru beberapa bulan lalu kamu masih nggak punya pacar. Jodoh memang nggak bisa ditebak ya, ternyata jodoh kamu yang selama ini ikut jagain kamu," ujar mama."Ini semua juga berkat doa Mama, semua kebaika
Aku segera ke belakang untuk beribadah."Mbak, aku tiduk sini aja. Mbak tidur di ranjang," ujar Arya. Ia sudah merebahkan diri di kasur lantai."Kamu aja yang tidur di ranjang, kamu kan tamu.""Nggak lah, aku kan cowok. Kata Papi, cowok itu harus ngalah sama cewek. Aku udah biasa ngalah sama Tasya," jelasnya.Pak Yogi memang pintar dalam mendidik anaknya. Terbukti Arya menjadi pribadi yang sopan dan pengertian, atau ini didikan maminya dulu? Kalau didikan pak Yogi sepertinya nggak sebagus ini.Sorenya pak Yogi benar-benar tidak pulang, dengan terpaksa aku membawa Arya bersama anak kos untuk berjalan-jalan, kata mereka sebagai kenangan sebelum kami berpisah.[Uangnya sudah kutransfer, traktir anak-anak sepuasnya. Tanya juga sana anak lelakimu apa yang mau dibeli.]Pesan masuk dari pak Yogi. Aku lalu membuka aplikasi M-banking dan ternyata benar sudah masuk uang sebesar lima juta.Hah, lima juta? Aku sampai dua kali mengeceknya, tidak percaya kalau pak Yogi mentransfer uang sebanyak it