"Apa?!"Teriakan itu menggema, membuat semua orang yang ada di ruangan sontak terdiam dan menoleh. Damon melongo tak percaya, sementara Tino memandangi lawan bicaranya dengan wajah terheran-heran, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja dia dengar. "Heh!" Tino mengerutkan kening, suaranya serak saat bertanya, "Kakiku ini sudah lumpuh lima tahun, Nak. Lima tahun lalu, aku tersesat waktu menyelinap keluar dari kepungan musuh. Aku jatuh di Gunung Salak, tak sadarkan diri selama tiga hari tiga malam. Beku nyaris mati!" "Dokter waktu itu nyuruh amputasi! Tapi aku nggak rela... aku maksa mereka selamatkan. Tapi sejak itu, kaki ini cuma pajangan. Nggak pernah bisa dipakai jalan lagi!" "Kau yakin bisa menyembuhkannya?!" "Tentu saja!" jawab Yoga mantap, wajahnya tenang namun tegas. "Apa yang aku bilang nggak bisa disembuhkan, bahkan malaikat pun tak bisa menyentuhnya. Tapi kalau aku bilang bisa, meskipun Tuhan turun langsung, tetap aku yang akan menyembuhkannya!" Kata-katanya memba
Tapi wajahnya masih terlihat segar, tenang, dan menyimpan keberanian luar biasa. Sepasang mata tuanya yang masih jernih dan tajam memancarkan wibawa yang sulit ditandingi orang biasa setajam tatapan seekor elang Jawa dari puncak pegunungan. Ia mengenakan jubah kebesaran, duduk di kursi roda. Meski tubuhnya lumpuh, auranya tetap menggetarkan hati siapa pun yang melihat. Seorang diri, tapi seolah menyandang kekuatan seribu prajurit kehadirannya membuat orang terpana. itulah Tino Nugraha. "Salam hormat, Panglima Tino," ucap Damon sambil membungkuk dengan penuh takzim. "Beberapa waktu lalu saya sempat menyebut soal pemuda bernama Yoga. Hari ini, saya membawanya langsung ke hadapan Anda." "Oh?" Tino menatap tajam ke arah Yoga dari atas kursi rodanya. Ia mengamati pemuda itu dengan saksama, lalu tampak ragu. "Damon, kau bilang waktu itu ingin mengenalkan seorang ahli pengobatan yang luar biasa padaku. Masa dia ini orangnya? Masih muda begini? Jangan-jangan kau sedang main-main dengan
"Ahhh!" Teriakan itu menggema di seluruh ruangan. Mendengar kabar duka itu, hati Febri terasa hancur. Matanya memerah, dan amarah membuncah dalam dadanya. "Jason... anakku yang malang... kau tewas dengan mengenaskan!" Wajahnya menegang. Dengan suara gemetar dan penuh dendam, ia meraung: "Itu pasti Yoga! Bajingan sialan itu! Dia pasti pelakunya... dialah pembunuh anakku dan si Pembantai!" Meski Febri tidak tahu persis apa yang terjadi di gudang terbengkalai, semuanya mengarah ke satu nama: Yoga. Putranya sudah mati. Si Pembantai juga tewas. Dua nyawa melayang dalam satu insiden. Sulit membayangkan bahwa semua ini bukan ulah Yoga. "Tidak ada tersangka lain! Hanya dia!" "Hu hu hu..." Tangis pelayan-pelayan di sekitarnya pecah, menyelimuti ruangan dengan duka. "Tuan... Tuan Muda telah tiada... apa yang harus kita lakukan sekarang?" "SIALAN!!!" Aura membunuh menyelimuti Febri. Napasnya memburu. Ia meraung bagaikan binatang terluka. "Darah harus dibayar dengan darah! Pembunuh
Segera, Yoga membawa Lisa kembali ke vila pantai milik Keluarga Jaka. Waktu sudah menunjukkan larut malam. Lisa mengetuk pintu ruang kerja ayahnya, Pak Mulyadi. > "Ayah, aku… ada sesuatu yang harus aku ceritakan." "Hmm?" Melihat Lisa masuk bersama Yoga dengan wajah tegang, Mulyadi bertanya penasaran, > "Sudah malam begini, ada apa, Lis?" Setelah ragu sejenak, Lisa akhirnya bicara. >"Ayah… malam ini, Jason nyuruh orang buat nyulik aku. Mereka bawa aku ke gudang kosong di pinggiran kota… dia… dia mau berbuat yang nggak-nggak..." > "Tapi pas saat genting, Yoga datang nyelamatin aku. Kalau bukan karena dia, entah apa yang bakal terjadi sama aku!" > "Apa?!" Mulyadi langsung berdiri, wajahnya berubah marah. > "Ini nggak bisa dibiarkan!" "Anak kurang ajar itu sudah kelewatan batas!" "Kamu nggak apa-apa kan, Nak? Yang penting kamu selamat. Tapi ini nggak bisa didiamkan!" "Paling tidak, Ayah harus lapor langsung ke kantor Gubernur!" Meskipun Keluarga Jaka sudah kaya d
“Hmph, terus kenapa? Kayaknya nggak ada yang istimewa. Masa iya cuma gara-gara satu keluarga kaya dunia bisa jungkir balik?” “Jangan, Mas!” Lisa buru-buru menahan. “Mas, tolong tenang. Jangan sembrono ngomong soal Keluarga Parto. Energi dari Tuan Kedua Limas itu di luar dugaan!” Mendengar itu, Jason mulai merasa percaya diri. Ia mendengus sambil memasang wajah sombong. “Hmph! Baguslah kalau kalian sadar betapa hebatnya Keluarga Parto!” “Yoga, aku kasih kamu jalan keluar. Lepasin aku sekarang, kita bisa salaman dan lupakan semua yang udah terjadi.” “Mulai sekarang, kita nggak usah saling ganggu, gimana?” Meski begitu, sorot mata Jason penuh niat busuk. Jelas dia sedang menyusun rencana balas dendam kalau berhasil bebas nanti. Yoga hanya meliriknya sekilas, lalu mencibir. “Udah cukup pura-puranya. Aku udah sering ketemu orang kayak kamu di Penjara Kambangan.” “Wajah bisa berubah, tapi sifat susah diubah. Anjing tetap aja suka makan kotorannya sendiri. Kamu pikir aku bakal p
Dengan tatapan yang tajam, seolah ribuan pisau dan pedang keluar dari matanya, hampir membutakan siapa pun yang melihat! "Sialan! Sekarang giliranmu!" "Ah!" Jason ketakutan setengah mati. Kakinya lemas, hampir terjatuh dan pingsan di tempat. Dia sudah ciut! Dia pikir dengan menyewa pembunuh bayaran papan atas, dia bisa menghabisi Yoga hari ini. Tapi dia tak pernah menyangka kalau kekuatan anak itu di luar nalar! Sekarang, dia sendirian. Tak ada yang bisa melindungi, dan tak ada tempat untuk lari. Habis sudah! Tap! Tap! Tap! Langkah kaki Yoga terdengar berat dan mantap. Ia mengepalkan tinjunya, berjalan mendekat dengan alis terangkat. Aura membunuh yang menguar dari tubuhnya seperti naga mengamuk! Setiap langkahnya seolah menginjak langsung ke jantung Jason. Napasnya tercekat. Dalam kepanikan dan keputusasaan, Jason gemetar. Ia tiba-tiba mencabut sebilah belati dari pinggangnya. Matanya merah. Ia berbalik dan langsung menyandera Lisa! Ujung belati dingin dan tajam