Se connecterParman terus berteriak, suaranya pecah menembus kegelapan hutan yang sunyi. “Tolong! Ada siapa pun di sana?” Ia melangkah tergesa, menoleh ke segala arah, berharap ada sosok yang muncul dari bayang-bayang. Namun, hanya gema suaranya sendiri yang kembali menggaung, diselingi gemuruh air sungai yang deras dan suara hewan malam yang samar. Napasnya mulai memburu, dada terasa sesak oleh keputusasaan yang merayap perlahan.Setelah beberapa saat, Parman menyerah. Ia duduk di atas batu besar di tepian sungai, tubuhnya yang basah oleh keringat malam terasa dingin disapu angin. Sorot matanya terfokus pada riak air yang beriak liar, diterpa cahaya api unggun kecil yang baru saja dinyalakannya. Nyala api itu menari-nari, memantulkan bayangan labil di permukaan air yang bergolak, seolah mengiringi kegelisahan hati Parman.Dengan tangan gemetar, ia mengambil cacing dari kotak kecil di sampingnya dan memasang umpan di kail jorannya. Gerakannya cepat dan terampil, seolah ini adalah rutinitas yang m
Selesai mereka mengobrol di dalam dan menghitung jumlah uang yang telah terkumpul cukup banyak oleh ibunya. Parman duduk di teras kecil rumahnya, angin pagi menggerakkan lembut dedaunan di sekitar. Di sebelahnya, ibu tua itu dengan wajah penuh kasih kembali berbicara pelan tentang rencana mencari kolam untuk menernak ikan—sebuah harapan sederhana yang mengusir penat dari pikirannya. Parman mengangguk, sesekali menyeka keringat di dahinya, tubuhnya yang lelah masih terasa berat. Setelahnya, ia melangkah pelan ke kamar sederhananya, pintu kayu berderit halus saat ditutup. Tubuhnya kembali direbahkan di atas kasur tipis, mata yang mulai mengantuk menatap plafon yang kusam. Ia ingin mengumpulkan tenaga sebelum malam nanti harus kembali ke sungai, memancing dengan harapan rejeki sedikit lebih baik. Namun, pikiran Parman tidak bisa lepas dari kejadian semalam—detik-detik ketika nyawanya seakan terenggut saat terperosok ke arus deras. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat siapa yang sebe
"Tolong jawab panggilan saya, apabila kau mendengar teriakan saya!" Teriaknya lagi. Parman terus-menerus berteriak sampai akhirnya putus asa, suaranya membelah keheningan malam di tepi sungai yang gelap gulita. Matanya terpejam, lalu terbuka lebar, berputar-putar menatap kegelapan tanpa ada jawaban, hanya sunyi yang membungkam segala harapnya. Nafasnya tersengal, tubuhnya bergetar oleh dingin dan rasa cemas yang semakin mencekam. Ia menoleh ke tumpukan ikan dalam karung besar yang hampir tak muat lagi, sisinya basah oleh embun dan percikan air sungai. Tiba-tiba wajahnya berubah—mata Parman membelalak saat ingat ibunya yang pasti tengah gelisah di rumah. Biasanya, pukul tiga pagi seperti ini ia sudah ada di balik pintu rumah, tapi malam ini tak juga kunjung pulang. "Aduh... Maafkan aku Mak, malam ini aku terlambat pulang, tapi mohon maaf, aku tidak akan menceritakan apa yang telah terjadi, walaupun sampai kini masih menjadi pertanyaan bagiku." Parman menghembuskan nafas panjang.
Betul-betul saat itu Parman terbaring lemah di lantai pondok kecil yang remang, tubuhnya masih basah dan dingin meski sudah dibuka pakaiannya setelah diseret arus sungai yang ganas. Matanya tertutup rapat, napasnya berat dan tidak beraturan, seolah-olah terjebak antara dunia nyata dan mimpi. Di sampingnya, wanita cantik dengan rambut hitam terurai lembut, mengenakan gaun putih tipis yang berkilauan dalam cahaya redup lilin, memeluknya dengan lembut. Tatapannya penuh kelembutan namun misterius, menembus kedalaman jiwa Parman yang masih terperangkap dalam ketidaksadarannya.“Sengaja aku belum mau menyadarkan kamu, Mas,” bisiknya pelan, suaranya seperti angin malam yang menyejukkan sekaligus mengundang rasa penasaran. “Aku ingin menemanimu terus sampai pagi menjelang. Nanti saat kamu bangun, kamu akan kembali ke tempat di mana kamu memancing... Tapi kamu pasti akan bingung, karena seolah-olah waktu tak pernah bergeser, dan kamu sudah berada di tempat semula.”Parman menggeliat kecil, n
"Aduh... Suara apaan itu?" Tanya salah satu di dari mereka sambil memutarkan tatapannya ke segala arah. "Mana aku tahu, kita kan sama di sini dan tak melihat ada siapapun, atau jangan-jangan hantu ya? Lagian ini ikan pada ke mana ? Jelas-jelas tadi kita melihat Parman terus-menerus menarik ikan dimasukkan ke dalam karung, tapi kok, kenapa sekarang isinya batu semua?" Jawab temannya tubuhnya bergetar hebat perlu ketakutan. Pria itu tak menyahuti ucapan temannya malah berteriak. "Woi! siapa kau, tunjukkan wujudmu, jangan main-main denganku!" Teriak pria tersebut, namun sayangnya, sudah tidak ada yang menyauti lagi selain suaranya seperti mutar-mutar bercampur dengan gemuruh air di sungai. "jangan-jangan benar hantu lebih baik kita pulang ayo." tanpa menunggu jawaban dari pria tersebut yang terus memutarkan tatapannya, temannya langsung lari terbirit-birit saking takutnya setelah dari tadi pria itu berteriak namun tak ada yang menyauti. Melihat temannya sudah berlari duluan, ten
Dua pria itu berjongkok di balik semak lebat, napas mereka tertahan saat mata tajam mengawasi Parman yang sibuk melemparkan kail ke sungai. Suara gemerisik daun menjadi saksi bisu rencana licik yang mulai mengendap di pikiran mereka. "Joran itu yang bikin dia hoki, kan?" Bisik pria berbadan kekar dengan mata penuh ambisi, suaranya nyaris tak terdengar. "Apa sebaiknya kita habis saja dia agar kita mendapatkan joran itu?" Katanya.Pria yang satunya, dengan wajah penuh keraguan, menatap sekeliling, mencari cara yang tak terlalu berisiko. "Kalau harus membunuh, aku nggak sanggup... Tapi kalau cuma dorong ke sungai, mungkin bisa," gumamnya pelan, tangan gemetar menahan gelisah. Mereka saling bertukar pandang, ketegangan menguar di udara, sementara Parman tanpa sadar terus memasukkan ikan-ikan segar ke dalam karungnya, tak tahu bahwa nasibnya tengah dipertaruhkan oleh niat gelap dua sosok di balik semak.Sedangkan Parman dengan tenang duduk di tepi sungai, joran pancing di tangan kanannya







