Share

BAB-5 20 APRIL 2016

"Di—a Ayu, Mah. Ayu yang membunuh Bagas dan meneror Mella." Mellani berkata pelan dan terbata-bata, suaranya terdengar bergetar menahan takut.

"Ayu? Ayu temanmu SMA? yang meninggal waktu hiking dulu?" Bu Rosa berusaha memperjelas apa yang dimaksud oleh Mellani.

Mellani mengangguk mengiyakan perkataan ibunya, dia tak menyangka kalau ibunya masih ingat dengan Ayu sahabatnya, lebih tepatnya sahabat yang dia khianati.

"Jangan mengada-ada kamu, Mell! Ayu temanmu itu sudah lama meninggal, jangan bercanda kamu, Mamah tidak suka!" Bu Rosa melotot sambil meninggikan nada suaranya. Sebab, menurutnya pengakuan anak gadisnya itu benar-benar tidak masuk akal. Mana mungkin orang sudah meninggal bisa meneror orang lain, bahkan menulis pesan ancaman segala.

"Mella nggak bercanda, Mah! Suara yang Mella dengar memang Ayu, dia ngajak Mella ke neraka. Hanya saja entah mengapa riwayat panggilan di ponsel Mella hilang semua. Tapi Mella yakin kalau itu Ayu, Mah!" Mellani masih terus bersikukuh dengan pendapatnya jika dalang dibalik semuanya adalah Ayu.

"Sudah hentikan omong kosong kamu, Mell. Mamah kamu benar, tidak mungkin orang yang sudah meninggal bisa telpon, apa lagi sudah tahunan lalu yang meninggal. Itu mustahil." Pak Rudi angkat suara. Dirinya juga tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh putrinya itu.

"Mella nggak bohong, Pah! Mella yakin itu suara Ayu." Mella masih berusaha meyakinkan jika dirinya itu tidak berhalusinasi. Suara yang dirinya dengar memang Ayu. Dirinya hafal betul walaupun suara itu seperti suara di radio yang siarannya terganggu.

"Mellani! Cukup! Kamu bercandanya kelewatan!" Pak Rudi tidak tahan lagi dan akhirnya memarahi anak gadisnya itu.

Mellani terisak, dia tidak menyangka ayahnya akan membentaknya, dia sangat sedih karena orang tuanya tidak percaya perkataan.

Mellani pun berdiri dengan kasar, lalu pergi meninggalkan mereka. Sebelum melangkah jauh, Mellani membalikan badan menatap orang tuanya.

"Terserah kalau Mamah dan Papah tidak percaya Mella! Mella benci kalian berdua!"

Mellani pun pergi memasuki kamar tamu, tidur di atas ranjang sambil terisak.

"Ayu ... maafkan aku!" Mellani terisak sambil membekap bantal di wajahnya telah basah oleh air mata.

Sementara itu di ruang tamu, Om Ilham yang memperhatikan percakapan orang tua dan anak tersebut nampak berpikir keras, jemarinya mengetuk-ngetuk meja.

"Ayu itu siapa, Mbak Rosa? Kenapa Mellani nampak begitu takut?" Setelah keadaan tenang Ilham pun memberanikan diri untuk bertanya siapakah sosok yang dikatakan oleh Mellani dan membuat kakaknya itu marah.

"Ayu itu sahabat Mellani, Ham. Mereka sudah bersahabat sejak kecil. Ibunya Ayu adalah asisten kami dulu sewaktu rumah kami di Jogja." Bu Rosa menghela nafas berat, seolah mengatakan hal itu adalah sebuah hal yang menyakitkan.

"Lalu, Mbak. Maksudnya Ayu sudah meninggal itu bagaimana? Kronologi jelasnya seperti apa?" Ilham sangat penasaran.

Bu Rosa bukannya menjelaskan tapi justru terisak, seperti menahan sedih yang teramat sangat. Hingga akhirnya Pak Rudi yang melanjutkan ceritanya.

"Dulu kalau tidak salah tanggal 20 April 2016 ada kegiatan hiking di sekolah waktu Mellani dan Ayu masih SMA, kalau tidak salah mau ke Waduk Sermo Kulon Progo."

"Waduk Sermo katamu, Mas? Sepertinya Mas belum pernah cerita ke saya tentang masalah ini." Ilham berkerut dahinya.

"Iya, Ham. Mereka pergi ke Waduk Sermo. Sebelum berangkat Mellani dan Ayu tampak sangat antusias. Walaupun Ayu anak asisten rumah tangga, tapi kami memperlakukan Ayu dan keluarganya seperti keluarga kami sendiri, tidak ada firasat apapun, kami pun melepaskan kepergian mereka dengan senyuman, hinggal kabar yang sangat menyedihkan itu datang menemui kami." Pak Rudi rupanya juga sama sedihnya dengan Bu Rosa hanya saja tidak sampai terisak.

Pak Rudi menghela nafas berat, punggungnya dia sandarkan di sofa, seperti menahan sesak di dada, setelahnya beliau pun melanjutkan perkataannya.

"Setiap tahun di sekolah Mellani memang mengadakan kegiatan hiking, dan berlanjut dengan kemah. Kegiatan itu berlangsung selama tiga hari. Tapi pada hari ke dua, saya di telpon Mamahnya Mellani untuk segera pulang ke rumah, padahal Mas sedang pergi meeting. Sesampainya di rumah, Mamahnya Mellani berbisik-bisik menyuruh Mas untuk masuk ke kamar, dan di dalam kamar, Mamahnya Mellani cerita kalau dia baru saja ditelpon pihak sekolah. Mereka memberikan kabar kalau Ayu menghilang, tentu kami syok, kami bingung." Pak Rudi bercerita pelan sedang Ilham mendengarkan setiap kata dengan seksama.

"Mbak dan Papahnya Mellani pun akhirnya sepakat untuk menyusul Mellani dan Ayu, tentu saja mengajak Bu Romlah dan Pak Karjo orang tua Ayu, sesampainya di sana, Mellani nampak pucat seperti mayat dan seperti menahan beban pikiran yang berat. Terpaksa Mbak dan Papahnya Mellani pulang untuk membawa Mellani ke rumah sakit, tapi tidak dengan Bu Romlah dan Pak Karjo. Mereka memaksa untuk tetap mencari Ayu. Kami pun pergi meninggalkan mereka. Hingga di hari ke dua pencarian Ayu...." Bu Rosa tak sanggup melanjutkan lagi ceritanya, tapi justru menangis sesenggukan.

Pak Rudi mengelus-elus punggung istrinya yang sudah berderai air mata, nafas Bu Rosa naik turun menahan sesak di dada.

"Hari ke dua pencarian Ayu kenapa, Mbak?" Ilham sangat penasaran, entah kenapa dirinya merasa jika cerita Ayu ada sangkut pautnya dengan apa yang keponakannya alami.

Tapi nampaknya Bu Rosa kakak perempuannya sudah tidak sanggup melanjutkan perkataannya, hingga Pak Rudi yang melanjutkannya lagi.

"Pada hari ke dua pencarian Ayu, mereka menemukan Ayu mengapung di waduk dengan muka hancur, kami mengetahui kalau itu Ayu karena kalung yang ada di lehernya. Kalung itu pemberian kami sebagai tanda kasih dihari ulang tahunnya ke tujuh belas." Pak Rudi ketara sekali jika merasa bersalah dengan apa yang menimpa anak asisten rumah tangganya itu.

"Innalillahi," Ilham terperanjat, "Pantas saja Mellani terlihat sangat takut." Ilham mengangguk pelan seolah telah memahami sesuatu.

Pak Rudi pun melanjutkan ceritanya.

"Semenjak itu Mellani menjadi pendiam, dia tidak mau sekolah, kejiwaannya terganggu, setiap malam selalu menyebut-nyebut nama Ayu.

Kami pun membawa ayu ke psikolog, kedua orang tua Ayu mengundurkan diri dari pekerjaannya. Mereka beralasan ingin pergi jauh dari rumah kami di Jogja, setiap melihat rumah di Jogja mereka seperti melihat Ayu.

Hingga kami putuskan kami dan Mellani juga pergi meninggalkan Jogja, dan pindah ke Jakarta hingga sekarang."

"Kalian tidak tes DNA, Mbak? Belum tentu itu jasad Ayu karena mukanya hancur?" Ilham bertanya lebih lanjut, rasa penasarannya sangat tinggi.

"Tidak, Ham. Orang tua Ayu tidak mau autopsi jasad Ayu, mereka beralasan kasihan kalau jasad Ayu harus di autopsi, selain itu juga mereka beralasan kalau mereka tidak punya uang untuk biaya tes DNA, padahal mas Rudi, Masmu ini sudah mau menanggung semua biayanya." Bu Rosa yang melanjutkan kembali ceritanya.

"Terus, Mbak? Kasus Ayu ditutup begitu saja?"

"Iya Ham, orang tuanya memaksa menutup kasus tersebut dengan alasan biaya." Ibu Rosa masih terisak ketika menjawab alasan kenapa orang tua Ayu menolak autopsi jasad Ayu.

"Berarti kejadiannya sudah lama sekitar lima tahun yang lalu ya, Mbak."

"Iya...." Pak Rudi dan bu Rosa menjawab bersamaan.

"Oke, Mbak, Mas. Saya akan berusaha menyelidiki kasus ini, karena menurut saya ini sudah tidak beres." Om Ilham melihat arlojinya lalu berpamitan

"Nanti Ilham kabari lagi Mbak, Mas. Saya ada pekerjaan lain. Assalamualaikum."

"Iya, Ham. Hati-hati di jalan, Waalaikumsalam." Bu Rosa dan Pak Rudi mengantarkan Om Ilham di depan pintu.

Sementara itu, di kamar Mellani yang sedang terisak syok saat membaca pesan yang dikirim Sasha lewat aplikasi WA.

"MELL,JO MENINGGAL!"

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status