Share

BAB-6 DIA TAK PERLU LIDAH

"Rokok?" Sasha menyodorkan sebungkus rokok kepada Mellani yang terlihat melamun.

"Sorry, gue udah berhenti ngerokok, Sha!" Mellani melambaikan tangannya sebagai bentuk penolakan.

"Okay. Tapi jangan terlalu dipikirin begitu, Mell. nanti gampang miskin kita." sasha dengan santainya menghembuskan asap rokok yang dirinya hirup itu ke udara.

Di sini, Mellani dan Sasha sedang berada di sebuah cafe, setelah sebelumnya mereka pergi ke rumah duka untuk mengucapkan salam perpisahan kepada Jonathan untuk yang terakhir kalinya.

"Gue pikir lo benci sama Jo, Mell? Sekarang lo malah ngajak gue buat melayat ke rumahnya. Nggak habis pikir gue sama jalan pikiran lo, Mell."  Sasha berucap sambil membakar ujung rokok di bibir seksi miliknya karena rokoknya mati.

"Entahlah, Sha. Gue pusing, satu persatu orang-orang yang ada di dekat gue celaka, bahkan sampai meninggal. Gue sekarang sedang merasa, entahlah. Gue aja bingung sama diri gue sendiri." Mellani berucap sambil mengaduk-aduk es caramel latte miliknya.

Sasha menghembuskan asap rokoknya perlahan ke udara, berfikir sejenak.

"Mell, lo tahu nggak alasan kenapa Jo meninggal?"

Mellani menggerakkan bahu pertanda tak tahu.

"Jo itu dibunuh, Mell!" Sasha menatap Mellani dengan tatapan serius.

"Serius lo, Sha? Lo tahu dari mana? Jangan sebar gosip sembarangan deh!" Mellani tentu saja tidak langsung percaya ucapan Sasha.

Sasha tersenyum sinis.

"Dompet gue sekarang seorang polisi Mell, bukan polisi bawahan, tapi atasannya, pasti tahulah gue. Asal lo tau Mell ...."

Sasha mencondongkan tubuhnya agar lebih dekat dengan tubuh Mellani yang hanya terpisah meja kecil di antara mereka.

" Jo jasadnya nggak utuh, lidah sama kemaluannya hilang. Gila banget kan? Seumur-umur baru kali ini gue ketemu pembunuhan yang modelnya sesadis itu. Bahkan katanya Jo itu nggak langsung dibunuh, tapi dibiarkan mati perlahan karena kehabisan darah dan kesakitan." Sasha berbisik agar tak mengganggu tamu cafe yang lain dengan suaranya.

“Serius, Sha? Lo gak bohong kan?” Mellani bergidik ngeri, kenapa nasib Jonathan mirip sekali dengan Bagas.

"Hahaha, ngapain juga gue boong demi orang yang sudah dead. Lo tahu, Mell. Si Jo itu emang pantes buat dapet kematian tragis macam itu, justru gue salut sama cewek yang udah bunuh Jo." Sasha tertawa sarkas. Ketawanya yang keras itu membuat seisi pengunjung cafe menatap ke arah mereka tapi sasha yang cuek tidak peduli.

"Kok lo tahu kalau yang bunuh Jo itu cewek?" Mellani mau tak mau jadi penasaran dengan cerita Sasha tentang kematian Jonathan.

"Jo meninggal di kamar hotel, Mell, dan  pihak hotel bilang sebelum ditemukan meninggal Jo check in sama cewek, lo kan tau sendiri si Jo sifatnya gimana. Gonta ganti cewek, kalau bosen langsung dibuang tuh cewek, mungkin salah satu dari mereka dendam gitu sama Jo." sasha mengedikkan bahunya cepat .

"Sadis banget tapi, Sha!" Mellani sampai merinding mendengar cerita dari mulut Sasha.

"Lo gak pernah sih jalan sama si Jo, dulu gue pernah sekali jalan sama dia, Mell. Itu lidah kalau ngomong tajam banget, akhirnya dulu gue batalin buat jadiin dia target gue, sok kaya tapi zonk, dan mulutnya pedes, kalau ngomong gayanya tinggi selangit. Pantas dia mati tanpa lidah, dia emang gak butuh tuh lidah, gak ada manfaatnya buat Jo selain keluar kata-kata kotor." Sasha kembali berbisik dan mendekatkan wajahnya ke wajah Mellani.

"Satu lagi yang harus kamu tahu,Mell. Gue hampir lupa buat cerita ke lo. Di sebelah jasadnya si Jo ada tulisan dari darah Jo, bunyinya

KITA KETEMU DI NERAKA."

"Kita ketemu di neraka?" Mellani mengulangi perkataan Sasha.

"Yoi, Mell. Horor banget kan, Mell. Macam film horor di bioskop aja. Pembunuhnya adalah seorang psycho. Kalau lo nggak percaya, lo bisa lihat beritanya di internet, seorang anak dewan mati dibunuh teman kencannya di hotel." Sasha mematikan puntung rokoknya di asbak yang disediakan oleh cafe dan minum es coffee latte miliknya. Agaknya tenggorokan Sasha mengering karena terlalu bersemangat ketika bercerita.

Mellani tertunduk sambil memegangi kepalanya yang pening. Kata-kata Sasha sudah tak bisa dia dengar dengan jelas lagi.

Mungkin karena Mella terlalu lelah atau justru cerita Sasha itu terlalu mengerikan untuk dirinya dengar sehingga otomatis tubuh Mellani memberikan respon rasa sakit di kepalanya.

"Lo pucet banget, Mell. Mau gue antar pulang? Daripada kenapa-napa di jalan. Entar nyokap lo marah lagi ke gue. Sebentar, gue bayar dulu." Sasha yang semakin panik langsung memanggil pelayan untuk membayar bill.

Begitu pelayan datang Sasha langsung memberikan selembang uang seratus ribuan ke pelayan dan memapah Mellani yang terdengar merintih kesakitan.

"Iya, Sha. Tolong antar gue pulang, pusing banget gue."

Sasha pun bergegas membawa temannya itu ke mobil dan mengantar Mellani pulang.

Di dalam mobil Mellani menyandarkan pasrah tubuhnya di jok mobil sambil memejamkan matanya.

“Gimana perasaan lo, Mell? Sudah gue bilang jangan terlalu dipikirin tapi lo ngeyel, kan jadinya sakit.” Sasha terus mengoceh membuat Mellani semakin tambah pusing.

Akhirnya Sasha berasil mengantar temannya itu ke rumah. Sasha ingin membawa Mella ke rumah sakit tapi ditolak dengan tegas oleh Mellani karena takut jika akan repot sendiri nantinya.

Sesampainya di halaman rumah Sasha pun keluar terlebih dahulu untuk membantu Mellani turun karena takutnya Mella akan terjatuh dan kembali menimbulkan masalah untuknya.

Akan tetapi, saat Sasha tengah membantu Mellani, nampak sebuah mobil yang tidak asing, mobil Om Ilham.

Saat akan naik ke dalam mobil, Om llham keluar dari rumah dan melihat ke arah Mellani dan Sasha, Om Ilham hanya mengangguk kemudian pergi dengan mobilnya.

Sasha menatap kepergian Om Ilham hingga mobilnya benar-benar menghilang dari pandangan gadis itu.

"Mell, itu tadi siapa? Ganteng banget." Sasha menatap Mellani Terlihat sekali jika Sasha begitu penasaran.

Mellani sendiri menghela nafasnya karena tingkah Sasha tersebut.

"Oh, itu om gue, Om Ilham. Tapi mending lo jangan deket-deket sama Om Ilham deh, Sha. Dia itu miskin, nggak seperti dompet berjalan lo. Udah ah, gue cabut dulu, kepala gue pusing. Sorry, lo jangan mampir ke rumah ya, Sha. Gue mau langsung tidur, nggak kuat rasanya. Terima kasih sudah nganterin gue, Sha.” Mellani melepas tangan Sasha yang sejak tadi memegangi tangannya.

"Haha. Oke santai aja, gue pergi dulu, bye Mell … lla … ni ...."

Sasha langsung kembali ke dalam mobilnya dan keluar dari halam rumah temannya itu karena dia sudah ada janji dengan dompet berjalan miliknya yang baru.

Suara mobil Sasha menjauh, tapi bukan suara deru mobil yang terdengar di telinga Mellani, tapi justru suara saat Sasha menyebut namanya, seolah dia kenal suara itu, dejavu.

"Mellani, sayang. Ngapain kamu bengong di depan gerbang rumah? Ayo masuk!"

Suara ibunya menyadarkan Mellani dari suasana dejavu tadi.

"Om Ilham ngapain ke rumah, Mah?"

"Oh, dia mau melamar kamu, Mell. Gimana? Kamu mau menerima lamaran Om kamu?"

"Mellani pusing mah, mau tidur." Mellani tak menanggapi gurauan ibunya.

"Haha, Mamah bercanda, Mell. Itu tadi Om Ilham bantu pasang cctv rumah, supaya kamu aman. Sudah ayo masuk rumah terus kamu istirahat."

Mellani mengekor langkah ibunya.

Mellani ....

Mell ... lla … ni ....

Ah suara itu terdengar lagi di gendang telinganya.

Mellani tiba-tiba merasa pusing. Pandangannya menjadi gelap. Entah kenapa rasanya dia sangat lelah, matanya sangat berat, yang terakhir dia dengar adalah suara ibunya yang manggil-manggil namanya dengan panik, selebihnya dia seperti pergi ke tempat yang sangat gelap, pengap dan dingin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status