Alana terkesiap kala Arkasa yang entah muncul darimana menarik dan mendekap pinggangnya posesif. Penampilan lelaki itu masih sama seperti tadi pagi saat mengantarnya. Seingatnya tadi setelah mengantarnya, Arkasa langsung melenggang ke kampus karena ada jadwal ajar. Alana mendongak sekilas, mendapati satu senyuman ringan namun berarti terukir di bibir tebal Arkasa. Sorot matanya nampak tenang meskipun satu alisnya yang terangkat bisa jadi mengartikan sesuatu yang berbeda.
Bukan hanya Alana, kehadiran Arkasa juga turut mengagetkan baik Rosaline maupun Saddam yang membeku di tempat masing- masing. Meskipun Arkasa masuk dengan senyuman ramah, tapi jelas semua yang berada disana paham apa maksud dari tarikan tersebut.
"Mas?"
Arkasa menoleh sebentar kearah Alana yang memandangnya sedikit bingung. Lebih tepatnya bingung mengapa Arkasa yang tiba- tiba bisa berada disini.
Lelaki tiga puluh tahun itu tersenyum kecil sembari mengusap pelan lengan A
"Kenapa kesini?"Memindai suasana luar yang terlihat cukup ramai, Alana menengok kearah Arkasa yang tengah memarkirkan mobil. Lelaki itu mematikan mesin lalu balas melirik Alana, "saya lapar, kita berdua juga baru sarapan roti satu slice tadi pagi," jawabnya datar.Alana tak mau banyak mendebat Arkasa, terutama setelahbantuan lelaki itu. Sungguh, Alana belum bisa melupakan wajah panik Saddam dan cengo Veronica di depan cafe tadi. Karena ia cukup puas dengan hasil kerja Arkasa, kini Alana berniat membayarnya setidaknya dengan mengikuti saja kemana Arkasa membawanya.Keduanya masuk kedalam rumah makan yang cukup sederhana. Arkasa memang lama tinggal di negeri orang, tapi kalau sudah kembali ke tanah air, dia jadi lebih suka makanan-makanan khas disini. Tipikal yang meskipun sultan namun tetap merakyat. Untuk makan sendiri, Arkasa juga bukan tipikal yang pilih-pilih dan harus di resto
"Bikin malu!"Veronica duduk bersila sembari menyilangkan tangan di depan dada di kursi kebesarannya. Tatapannya tajam menghunus kearah suami mudanya yang kini duduk lesu sembari menunduk dihadapannya. Lelaki dengan rambut mulai panjang itu sama sekali tak mampu melontarkan sepatah katapun pada wanita yang berstatus sebagai istrinya itu. Memang benar, seluruh kendali ada pada Veronica."Maaf," lirihnya. Katakanlah Saddam tipikal suami takut istri. Namun dia bisa apa? Kenyataan bahwa lelaki itu memang ada dibawah tekanan istri adalah sesuatu yang tak terelakkan.Veronica yang delapan belas tahun lebih tua darinya itu memang wanita kaya yang telah banyak menyelamatkan hidupnya, terutama dalam bidang finansial. Meskipun Saddam terkenal cerdas dan banyak relasi, hal itu masih belum bisa banyak membantu perekonomiannya. Belum lagi orang tuanya yang meninggalkan milyaran hutang membuatnya kian terdesak. Disaat Alana tengah merintis bisnisnya, g
Alana keluar dari kamar tidurnya dan mendapati kehampaan merayap. Dia menarik nafas dalam bak mengendus, menyadari tak ada aroma kopi ataupun roti bakar disana. Padahal biasanya Arkasa sudah berada di pantry dan duduk santai dengan secangkir kopi yang aromanya akan memenuhi seluruh rumah. Gadis itu melirik jam dinding yang tergantung diatas pintu menunjukkan pukul sembilan pagi. Ini hari sabtu, mungkin Arkasa sudah berada di Gym ataupun lari keliling kompleks sekarang. Gadis itu mengenakan kaos oversize dan celana pendek santai seperti biasa. Kaki jenjangnya melangkah riang menuju pantry untuk menyiapkan kopi miliknya. Setelah sepekan di Manhattan dan kemarin langsung kembali ke kantor, akhirnya hari ini dia punya waktu istirahat yang cukup. Itu juga yang akhirnya membuat Alana bablas baru bangun pukul sembilan. Tersenyum menghirup aroma kopinya yang menyeruak, Alana baru saja hendak menyeruputnya. Namun suara batuk yang samar- samar terdengar lebih menarik atensi w
Arkasa membuka matanya perlahan, hal pertama yang menyapanya adalah rasa pegal berkat kepala Alana yang menimpa tangannya. Sebenarnya itu salahnya sendiri, guna mencegah Alana keluar dari kamarnya, Arkasa menggenggam kuat tangan Alana hingga gadis itu pasrah dan tetap duduk menemaninya.Menengok jam di nakas, memicing untuk memastikan benar angka yang ditunjuk disana pukul 7. Kembali ia tolehkan pandangannya pada Alana yang masih bernafas teratur, pasti lehernya akan sakit akibat tertidur dengan posisi demikian.Putra sulung Pradipta itu berusaha menegakkan tubuhnya dengan perlahan, bukan karena pusing, tapi karena tak ingin membangunkan Alana yang terlelap. Omong-omong soal pusing, sekarang ini dia sudah merasa lebih segar, tak ada pening dan suhu tubuhnya tak begitu panas lagi.Senyuman kecil terbit di bibir tebalnya, perlahan tangan satunya mengelus lembut puncak kepala dan rambut gadis y
"Kamu gak apa tidur seranjang sama saya?" Alana langsung naik keatas ranjang Arkasa, menarik selimut dan menenggelamkan dirinya disana. Malam ini keduanya harus sekamar karena duo ibu berada tepat di kamar sebelah, ngotot untuk menginap. Meskipun ada dua kamar lagi di lantai atas, mereka tak mungkin tidur terpisah. Bisa-bisa muncul wejangan 1001 malam. "Gak ada masalah. Lagipula waktu di Manhattan juga kita tidur satu ranjang terus, kan?"Gadis itu memutar bola matanya malas. Terkadang, Arkasa yang nampak gagah dan tenang itu selalu mempertanyakan hal yang menurutnya bukanlah hal besar. Tidur di ranjang yang sama misalnya. Arkasa mengerutkan alisnya sebelum tersenyum miring, "bukan," decaknya. Lelaki itu ikut menaiki ranjang dan mengambil posisi tepat disebelah Alana, keduanya telentang memandangi langit-langit langit kamar. "Maksudnya, saya kan masih agak demam. Kamu memangnya gak takut ketularan?" Agak malu s
Alana menggigiti kuku jarinya cemas. Sementara dua kaki jenjangnya mondar-mandir gusar di dalam kamar mandi berukuran cukup besar yang untuk pertama kali dia gunakan. Gadis itu kembali menelaah tampilan dirinya di cermin, wajah bangun —ralat wajah tidak bisa tidurnya akibat banyak pikiran semalaman. Bagaimana tidak? setelah melemparkan sebuah kalimat menantang pada suaminya, Alana mendapati pancaran panas tersorot dari netra Arkasa. Jujur saja dia masih terus berdebar bahkan hingga kini jika mengingat bagaimana tangan besar Arkasa yang kemarin merambat naik dari pinggangnya menuju punggung memberi sengatan luar biasa. Belum lagi bisikan sialan yang membuatnya terus meremang hingga kini. Semuanya masih terekam jelas dalam benak wanita dua puluh delapan tahun itu. Bagaimana Arkasa memerangkapnya dalam pelukan ditengah selembar selimut dan membisikkan kata-kata yang berdampak besar pada ketenangan batinnya. "Saya pastikan untuk mendapatkan apa yang meman
Melepaskan kaca mata kerja lalu meletakkan laptopnya di sofa. Alana meregangkan tubuhnya yang kaku setelah seharian membabi buta mengerjakan hal-hal yang bisa dia lakukan untuk mengisi hari minggunya. Gadis itu bisa saja istirahat, namun pikirannya seolah tak mengizinkannya untuk bersantai barang sedetikpun. Rencana awalnya adalah menonton drama sembari menikmati cemilan yang penuh dalam kulkas. Berada sendirian di rumah artinya ia bisa leluasa menonton tanpa harus diganggu suaminya yang sering jahil itu. Namun belum lima menit ditayangkan, Alana sudah gelisah karena pikirannya terus tertuju pada satu nama, Arkasa Dean Pradipta. Merasa bersantai justru tak bisa membantunya rileks sama sekali, Alana memilih menyibukkan diri dengan pekerjaan. Setidaknya dengan sedikit tekanan, dia merasa sibuk dan pikiran-pikiran tak penting tidak akan bisa menembusnya. Itulah yang dia yakini hingga akhirnya nekat mengerjai diri sendiri seperti itu. Tak membiarkan barang sedi
Memicingkan matanya pada tamu tak diundang yang mendadak duduk bersilang kaki di ruang kerjanya. Ralat, tidak pantas disebut tamu, ini lebih cocok masuk kategori penyusup. Alana berkacak pinggang, menatap tak suka pada lelaki sepantaran dengannya yang tengah memamerkan senyuman tipis nan licik di bibirnya. "Selamat pagi, Bu Alana," sapanya dengan nada menyebalkan. Siapa sih yang membiarkan lelaki ini masuk kedalam ruangannya pagi- pagi begini? Suasana kantor masih amat sangat lenggang, hanya ada beberapa pekerja yang sampai di meja masing- masing. Melirik jendela ruangan yang terbuka lebar seolah memberinya jawaban bahwa pria gila dihadapannya itu benar- benar masuk lewat frame lebar yang mudah dibobol. Rasanya seperti keluar dari kandang harimau lalu terperangkap bersama buaya. Alana yang tadinya tengah menghindar, mau tak mau berangkat cepat- cepat tanpa membangunkan suaminya yang tadi masih tidur memeluknya. Meskipun Alana benar- benar ingin protes se