Pukul sembilan malam saat mobil yang dikendarai Arkasa akhirnya memasuki komplek perumahan. Perjalanan dari resto memakan waktu sekitar tiga puluh menit dan terasa senyap sunyi karena dua manusia didalamnya memilih untuk mengelana di pikiran masing-masing.Suasana hati Arkasa jelas sedang tak begitu baik. Sepulangnya mereka dari resto, Alana masih dapat melihat jejak kesal di wajah Arkasa dan bagaimana Adara nampak menunduk takut-takut. Ia hendak bertanya, namun waktunya seperti tidak mendukung. Dia tidak mau memperkeruh suasana.Sungguh perubahan suasana bisa sedrastis ini. Alana ingat bagaimana mereka mengawali pagi dengan manis dan bahagia namun bisa terbanting seratus delapan puluh derajat hanya dalam beberapa jam setelahnya. Alana memicing menatap mobil asing yang berada tepat di depan gerbang rumahnya. Setelah melihat seseorang berdiri di dekat pintunya, ia menaikkan satu alisnya. Beralih melirik Arkasa yang membalasnya dengan tatapan dingin saat menyadari siapa manusia yang be
"Selamat pagi!"Masih pagi dan keberadaan mantan kekasihnya itu telah berhasil membuat mood Alana memburuk. Dia menghela nafas kasar, kedepannya dia akan sering bertemu dengan manusia ini, jadi Alana harus mulai membiasakan diri. Sebuah senyum dia paksakan untuk terbit, "apa yang membawa tuan Saddam yang terhormat bertandang kemari pagi- pagi begini?" ucapnya.Saddam menaikkan sebelah alisnya lalu berjalan mendekati meja, meletakkan satu cup large kopi. Mendorongnya perlahan diatas meja hingga berada tepat di depan sang wanita."Ini kompensasi dariku, kemunculanku disini mungkin membuatmu tidak nyaman," balasnya.Alana kembali mengernyit heran, "tidak perlu repot- repot membawakan kopi kalau kamu sendiri sudah tahu penyebab buruknya suasana adalah keberadaanmu itu sendiri," pungkas Alana.Saddam menarik tangannya, kembali menyelipkan keduanya di dalam saku tanpa terpengaruh oleh ucapan sarkas Alana. Dia menyunggingkan satu senyuman kecil."Tapi itu tidak terelakkan. Kamu harus menah
"Aku rasa dia sudah mulai curiga."Seorang wanita menghembuskan asap dari lintingan yang diapit dua jemarinya. Rambutnya dicepol asal, hanya mengenakan tank top dan celana pendek super santai yang membalut tubuh sintalnya. Tubuhnya kini bersandar penuh pada tembok dibelakangnya. Netranya tenang menanggapi laporan dari laki- laki berpenampilan klimis yang baru saja masuk kedalam kamarnya. "Ck, kamu pasti gegabah!" tuduhnya.Si lelaki nampak gusar, dia menarik dasinya hingga terlepas secara paksa. Dengan kasar merebahkan diri diatas ranjang single tanpa peduli bahwa pembungkus kasur ikut tertarik dan berantakan. Wanita dengan kulit pucat itu melirik sekilas lelaki yang tadinya masuk dengan setelan rapi itu. Dia bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju jendela, membukanya sehingga udara penuh polusi itu ikut hinggap memenuhi pernafasannya. Namun setidaknya itu masih lebih baik daripada harus terus menerus mengurung diri dalam ruangan pengap ini.Pandangannya menerawang, memperhatik
Satu cangkir kopi mendarat diatas meja kerja lengkap dengan kepulan asapnya. Alana meliriknya sekilas sembari menyajikan senyum kecil kearah si pembuat kopi yang tengah mengusak lembut pucuk kepalanya. "Makasih, mas!" ucapnya tanpa suara sembari kembali lagi fokus pada laptop dihadapannya yang sudah mencuri fokusnya selama kurang lebih tiga puluh menit. Menampakkan wajah para perwakilan perusahaan baik dalam maupun luar negeri. Alana saat ini tengah mengikuti konferensi secara virtual yang masih berlangsung hingga diluar jam kerja. Karena sudah tak banyak lagi yang perlu Alana presentasikan, ditambah lagi sempat ada jeda dua jam, Alana memilih untuk melanjutkan di rumah saja. Lagipula dia tak ingin membuat Rosaline juga ikut lembur bersamanya. Sisa konferensi ini masih bisa dia ikuti sendiri. Arkasa yang masih rapi dengan pakaian kerjanya masih sempat membuat dua cangkir kopi untuk menemani istrinya itu. Dia jelas melihat lingkar kebosanan dan kelelahan di wajah Alana meskipun m
"Aku mau buat kesepakatan!"Nada tegas Alana Diandra Yasmin bergema. Arkasa yang baru saja keluar dari kamar mandi mendapati istrinya sudah menyilangkan tangan sembari duduk di ujung ranjang dengan tatapan tajam menghunus. Bukannya terintimidasi, Arkasa justru terkekeh pelan. Ia mengusak rambutnya yang masih basah, pun bulir air masih mengalir di kulitnya. Lelaki itu muncul dari kamar mandi masih dengan menggunakan celana tanpa atasan. "Kesepakatan apa?" tanyanya sembari bersandar di depan lemari, berhadapan langsung dengan Alana yang sepertinya sedang berada dalam mode maung. "Kita harus buat kesepakatan supaya kamu tidak bisa ciam-cium sembarangan!" ujar Alana dibubuhi satu dengusan kesal diakhir. Kedua alis Arkasa tertaut, "kalau aku menolak, bagaimana?" tantangnya. Alana menatapnya dengan tajam, "aku tidak mau tau. Aku gak suka ya kamu pamer cium atau menyentuhku di depan umum begitu," keluhnya lagi. Konferensi Virtual baru saja usai dan Alana mendapati beberapa rekannya men
Arkasa berjuang keras semalaman. Kepalanya sekarang berdenyut pusing karena memaksakan diri untuk tidur di sofa ruang kerjanya. Semuanya semata- mata dia lakukan untuk menghindari Alana. Bagaimana dia bisa tahan tidur tanpa memeluk Alana jika wanita itu berada disampingnya? Ia melirik jam di meja kerja, hampir semalaman tak bisa tidur. Ia tertawa miris, baru satu hari tidur terpisah dan dera sakit di kepalanya sudah separah ini? Sihir macam apa yang Alana gunakan untuk menjeratnya selama ini? Kalau bukan karena jiwa kompetitifnya yang bergemuruh, Arkasa tak akan mau mengiyakan tantangan menyebalkan dari istrinya ini. Tentu dia tak mau menyakiti dirinya sendiri. Langkahnya belum begitu stabil, namun Arkasa tentu tak mau terlihat lemah. Sebisa mungkin ia tepuk- tepuk wajah dan berusaha mendapatkan kesadaran penuhnya. Saat ia membuka pintu ruang kerja, hal pertama yang dilihatnya adalah istrinya telah siap dan rapi duduk di meja makan sembari melirik fokus tabletnya. "Sudah mau ber
"Kamu gak ada kelas hari ini, Kay?" Arkasa mengusap sudut bibirnya setelah menyeruput tetes terakhir kopi buatannya. Mata elang dibalik kaca mata itu menatap was-was namun tegas seolah meminta konfirmasi.Kayla yang baru saja menyelesaikan sesi pertama wawancara bersama Alana mengangguk kecil. Dibelakangnya terlihat Alana menyusul berjalan masuk dengan cuek seakan tak tertarik akan perbincangan keduanya. Wanita itu dengan sigap merapikan barang- barang dan bersiap untuk berangkat.Arkasa yang tengah merapikan beberapa file dan memasukkannya kedalam tas kerja tak luput ikut menatap mengekori istrinya. Menyadari hal itu, Mikayla mengulas satu senyum misterius."Kenapa? Takut kangen aku kalau gak ketemu di kampus?""Tck!" Arkasa berdecak kasar memandang tak suka kearah Kayla yang memandangnya penuh kemenangan. Alana yang masih sibuk sendiri berlalu menjauhi keduanya. Tak lupa memasang senyum kecil, "aku berangkat duluan!" ucapnya tanpa basa-basi.Ada sesuatu yang terasa hampa. Tak ada
"Kamu pulang lebih awal?!" Arkasa tidak bisa tidak memekik ketika menemukan istrinya telah tiduran santai di kamar di hari yang hendak menjelang petang. Sangat jarang menemukan Alana bersantai di waktu- waktu seperti ini. Ia hampir saja berhambur membelai dan memeluk tubuh Alana kalau saja dia tidak ingat bahwa keduanya sama- sama sedang berada dalam misi. Melihat pakaian santai dan wajah tanpa makeup Alana, jelas wanita itu telah selesai mandi. Arkasa mulai meletakkan tas dan melepaskan kancing teratas kemejanya. Setelah itu duduk di tepi ranjang, menyisakan sedikit jarak diantara keduanya. Mata cantik itu menyipit menatapnya, ada sedikit raut berbeda yang Arkasa tangkap. Kulit mulus tanpa cela namun bibirnya terlihat sedikit pucat. "Sudah makan malam?" tanyanya. Alana menggeleng lemah, cukup untuk menjawab pertanyaan suaminya yang sebenarnya sudah mulai khawatir. "Kamu menginginkan sesuatu?" tanya Arkasa lagi. Dia sungguh menahan diri untuk tidak membelai surai panjang Al