LOGINHidup Ghea bagai sosialita kecil yang tiba-tiba dijatuhkan dari singgasananya. Setelah Maminya memaksanya bekerja—padahal untuk gadis manja seperti Ghea, bekerja adalah hal paling menakutkan. Dengan nekat, ia mencoba peruntungan di sebuah klub malam. Tapi di malam pertamanya, ia justru menumpahkan minuman ke seorang pria berjas mahal. Belum sempat minta maaf, ia malah ditagih ganti rugi dalam jumlah besar. Saat sepupunya yang pulang dari luar negeri, Ghea hampir pingsan. Pria yang menatapnya dingin di ruang tamu—adalah orang yang sama dari klub itu. Mas Juna. Sepupunya yang baru pulang dari luar negeri. "Mas..." suara Ghea merendah. "Ada yang bangun.... kayanya." "Keras gak?" WARNING 21+ MATURE
View MoreLorong VIP club malam itu berkilau dengan lampu temaram dan dentuman musik bass yang bergetar di dada.
Ghea melangkah dengan napas bergetar, menenteng nampan berisi minuman mahal—malam ini adalah hari pertamanya bekerja. Rok mini dan atasan ketat yang diberikan manajer membuat tubuhnya terekspos lebih dari yang ia harapkan. Di sampingnya, sang pengawas yang berwajah cantik tapi penuh iri berjalan sambil melirik sinis. Begitu sampai di meja tamu penting, langkah pengawas itu tiba-tiba berhenti. Bruk! Kaki Ghea tersandung. Nampan oleng, gelas-gelas jatuh, dan minuman tumpah membasahi jas serta celana pria yang duduk di depan mereka. “Sial!” desis pria itu tajam. Matanya menatap Ghea dari ujung kepala hingga kaki, lalu turun ke pakaiannya yang basah. “Ah! Maaf, Mas! Saya– saya nggak sengaja!” Ghea panik, wajahnya merah menahan malu. Dengan tangan gemetar, ia menepuk-nepuk celana pria itu, berusaha mengeringkannya—namun gerakannya justru berhenti saat tangannya nyaris menyentuh area sensitif. Pria itu segera menahan pergelangan tangannya. Tatapannya berat, rahangnya mengeras. “Cukup. Jangan sentuh,” ucapnya datar, tapi napasnya terdengar berat—seolah berusaha menahan sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya. Ghea menelan ludah, jantungnya berpacu. Pria itu menatapnya dingin. “Kamu dilatih kerja nggak, sih? Ini jas custom, harganya nggak bakal kebeli dari gajimu setengah tahun.” Tangannya terulur, mencengkeram dagu Ghea agar menatap balik. “I-iya, Mas. Saya minta maaf, saya benar-benar—” “Maaf aja nggak cukup.” Suaranya tegas, datar, tapi berbahaya. “Kamu harus ganti rugi. Kalau nggak, tanggung akibatnya sendiri.” Ghea menatapnya takut-takut. “Saya… bisa bantu mengeringkannya, Mas. Di ruang ganti…” “Tidak perlu. Aku mau barang baru, bukan murahan.” Salah satu pria di meja tertawa kecil. “Santai aja sih, kan bisa bayar pakai cara lain, kan?” Ghea menunduk, wajahnya semakin merah. “Saya mohon, Mas. Tolong ringankan saya kali ini aja.” Pria itu menatapnya lama, lalu akhirnya berkata datar, “Baik. Bawa saya ke ruang ganti sekarang.” Di dalam ruang ganti, udara terasa tegang dan pengap. Pria itu duduk di sofa, masih dengan jas basah menempel di tubuhnya. Tatapannya mengikuti setiap gerak Ghea dari ujung kaki sampai ke wajah. Pandangannya terhenti pada tahi lalat kecil di belahan dada gadis itu—terpampang jelas di bawah cahaya lampu neon. “Mas… ada yang bisa saya bantu?” suara Ghea nyaris berbisik. “Bantu aku lepas jasnya,” ujarnya singkat, dingin. Ghea menelan ludah, lalu perlahan menunduk. Jemarinya gemetar saat membuka kancing satu per satu. Napasnya tak beraturan; setiap sentuhan terasa menegangkan. Saat kancing terakhir hampir terlepas, tangan pria itu menahan pergelangannya lagi. “Stop.” Nada suaranya tajam, namun bergetar. Ghea menatapnya bingung. “Kenapa, Mas? Saya salah lagi?” “Cukup. Biar aku yang lanjut,” jawabnya singkat, lalu menarik napas dalam-dalam menahan diri. Ia tampak seperti seseorang yang tengah berperang melawan pikirannya sendiri. Beberapa detik hening, hingga ia mengambil selembar kertas dan kartu nama dari saku jas. “Ini surat hutangmu,” ucapnya datar. “Nomorku ada di kartu ini. Hubungi aku kalau ingin berdamai. Tapi jangan coba kabur.” Tanpa menunggu reaksi, ia pergi meninggalkan Ghea yang terpaku di tempat. “Hutang?” Ghea menggumam getir, menatap angka besar di kertas itu. “Padahal aku yang mau bantu, tapi dia malah nulis ini? Gila, jumlahnya lebih besar dari gaji lima bulan!” Ia mengacak rambut, wajahnya kesal. “Mami, kalau bukan karena Mami cabut semua fasilitasku, aku nggak bakal kerja di tempat kayak gini!” Dulu, Ghea hidup di dunia yang berbeda—mobil pribadi, kartu kredit tanpa batas, tas branded tiap musim. Tapi semua itu hilang seketika setelah Maminya marah besar dan menyita segalanya. Kini, gadis sosialita itu berdiri di club malam, demi memenuhi ekspektasi Maminya yang berharap dirinya bisa memenuhi diri sendiri. Malam semakin larut. Usai kerja, Ghea berdiri di depan club menunggu taksi online. Roknya ia tarik-tarik agar tidak terlalu naik, sementara kaki pegalnya terasa berdenyut karena high heels murahan. Jarum jam menunjukkan tengah malam ketika Ghea tiba di rumah. Pintu besar bergaya kolonial itu masih menyala terang. Bik Siti membuka pintu, menyambutnya dengan senyum lembut. “Non Ghea baru pulang?” “Iya, Bik. Mami udah tidur?” “Sudah, tapi tadi sore ada tamu—Mas Juna dan Mamanya.” Langkah Ghea terhenti. “Mas Juna?” matanya membesar. “Iya. Katanya baru pulang dari London.” “Oh my God…” Ghea menutup mulutnya, wajahnya berubah sumringah. “Akhirnya dia pulang juga…” Bik Siti tersenyum. “Besok katanya mau ke sini lagi. Katanya kangen sepupunya yang cantik.” Ah, sepupu ya?Juna segera memindahkan mobilnya ke area parkir yang lebih tersembunyi. Ia mematikan mesin, lalu menatap Ghea yang masih membenahi roknya dengan wajah memerah.“Kita masuk sekarang,” ucap Juna, nadanya bertekad.Juna dan Ghea turun dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk restoran mewah itu. Begitu masuk, Juna langsung mendekati salah satu pelayan.“Saya mau pesan ruangan VIP,” kata Juna singkat.Pelayan itu mengantar mereka ke sebuah ruangan privat yang terletak di sudut paling belakang. Ruangan itu didesain eksklusif.“Mas, ini ruangannya terlalu besar dan kita cuma berdua,” ucap Ghea sembari melirik isi ruang makan yang dipesan oleh Juna. Di sana terdapat meja makan besar, beberapa kursi, dan sebuah sofa panjang yang tampak nyaman di sudut.“Biar gak ada yang ganggu,” bisik Juna, senyum jahil muncul di bibirnya. Ia tidak mengajak Ghea duduk di meja makan, melainkan langsung menuju sofa panjang di sudut ruangan. Juna menarik
Sore itu, udara terasa hangat dan padat. Ghea baru saja selesai kuliah dan berdiri di depan gerbang, menunggu jemputan Juna. Meskipun lelah, hatinya dipenuhi antisipasi. Setelah malam yang penuh gejolak, ia sangat ingin bertemu Juna.Saat sebuah mobil hitam elegan berbelok, jantung Ghea langsung berdetak kencang. Itu mobil Juna. Ia tersenyum, senyum pertama yang benar-benar lepas sejak semalam, dan segera berlari menuju mobil Juna.Tiba-tiba, sebelum Ghea sampai, seorang wanita ikut turun dari kursi penumpang depan. Wanita itu cantik, mengenakan blazer yang rapi, dengan rambut yang tertata sempurna.Langkah Ghea terhenti mendadak. Senyumnya pudar.Kak Celina? gumam Ghea dalam hati, rasa terkejut dan cemburu langsung menyengat.“Eh, Ghea! Sini cepetan! Lumayan panas nih,” panggil Celina pada Ghea sembari melambaikan tangannya, suaranya riang.Ghea awalnya tampak ragu melangkah, kakinya terasa berat. Perasaannya yang tadi berbunga-bunga kini terasa seperti jatuh menghantam tanah.Meliha
Juna keluar dari kamar mandi dan menjatuhkan diri ke kasur. Malam itu, ia tahu, akan menjadi malam yang sangat panjang. Ia meraih ponselnya, mencari cara untuk mengalihkan bayangan kulit putih, puting yang mengeras, dan celana dalam Ghea yang basah. Di benaknya, hanya ada satu pikiran: ia harus memastikan Ghea benar-benar menjadi miliknya, sesegera mungkin. Juna menjatuhkan diri ke kasur. Malam yang seharusnya diisi tidur nyenyak kini terasa panas dan panjang. Ia memejamkan mata, berusaha mengosongkan pikiran, tetapi yang muncul hanyalah bayangan Ghea. Ia melihat lagi bibir Ghea yang bengkak, leher jenjang dengan tanda kemerahan yang ia ciptakan, dan terutama, dua bola kenyal yang sempat ia hisap. Ia membayangkan pepaya gantung milik Ghea—padat, putih, dengan puting yang mengeras. Ingatan itu mengirim gelombang panas yang menyengat langsung ke pangkal pahunya. Juna gelisah. Ia bangkit dari kasur. Ia tahu tidur tidak akan datang. Ia mulai melakukan push up. Satu set, dua set, tiga
Juna berjalan menuju pintu, menarik napas dalam-dalam, berusaha keras menenangkan detak jantungnya dan meredakan juniornya yang masih berdenyut kesal. Ghea, dengan tubuh yang masih gemetar karena syok dan gairah, segera duduk di pinggir kasur, meraih sembarang buku untuk pura-pura dibaca. Juna membuka pintu. Di depannya berdiri Mami Ghea, mengenakan daster rumahan dan membawa ponsel. Mami Ghea menatap Juna. Matanya menyipit, mengamati penampilan Juna yang tampak sedikit berantakan. Rambutnya sedikit acak-acakan dan kemeja yang ia pakai terlihat sedikit kusut, seolah baru saja dipakai kembali dengan tergesa-gesa. “Lho, Nak Juna? Kok keringetan begitu? Kamu ngapain? Bukannya tadi kalian di depan TV ya?” tanya Mami Ghea, nada suaranya lembut namun penuh selidik. Matanya bergantian menatap Juna dan Ghea yang memegang buku di atas kasur. Juna segera berusaha menutupi kepanikannya dengan senyum terbaik. “Oh, Tante. Enggak, tadi Juna habis push up sebentar di kamar mand
Juna menghisap puting Ghea dengan rakus, suaranya tercekat dan dalam. Ghea mendesah, memanggil nama Juna, meremas rambut pria itu. Setelah puas dengan satu sisi, Juna beralih ke sisi lainnya, menghisap dan menjilat dengan penuh gairah. Sambil menikmati dua gundukan kenyal Ghea, Juna bergerak untuk melepaskan dress tidur tipis yang dikenakan Ghea. Namun, saat Juna hendak menarik gaun itu dari bahu, Ghea menahan tangannya. Juna berhenti. Ia menatap mata Ghea yang dipenuhi campuran gairah dan ketakutan. Juna melepaskan tangan gadis itu dengan lembut. “Percayakan semuanya sama Mas, Sayang,” ujar Juna, suaranya tegas dan menenangkan. “Mas janji, setelah ini Mas akan tanggung jawab apapun risikonya.” Ghea menelan ludah, menatap mata Juna, dan menemukan ketulusan di sana. Perlahan, Ghea mengangguk. Juna tersenyum, senyum yang menjanjikan segalanya. “Terima kasih, Sayang,” bisik Ju
Saat hasrat memuncak, Juna mulai merayapi tubuh Ghea perlahan dengan tangan kirinya, tetapi ia tidak melepaskan pangkuannya sama sekali. Dengan mata Juna yang gelap karena gairah menatapnya lekat-lekat, tangan Juna mulai bergerak merayap turun, menyusuri paha Ghea. Ghea tersentak. Tangan Juna kini berhenti, meraba kain segitiga tipis yang sudah basah dan becek di dalamnya. Sensasi itu membuat Ghea mengerang, separuh kenikmatan, separuh ketakutan. Saat Juna hendak menarik kain itu, Ghea tiba-tiba mencengkeram pergelangan tangannya kuat-kuat. “Mas, stop!” Suara Ghea serak dan bergetar, memotong ketegangan hasrat mereka dengan suara yang penuh kepanikan. Juna membeku. Ia menarik tangannya dan menatap Ghea, matanya yang tadi panas kini dipenuhi kebingungan. “Kenapa? Kamu ma






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments