Arkasa berjuang keras semalaman. Kepalanya sekarang berdenyut pusing karena memaksakan diri untuk tidur di sofa ruang kerjanya. Semuanya semata- mata dia lakukan untuk menghindari Alana. Bagaimana dia bisa tahan tidur tanpa memeluk Alana jika wanita itu berada disampingnya? Ia melirik jam di meja kerja, hampir semalaman tak bisa tidur. Ia tertawa miris, baru satu hari tidur terpisah dan dera sakit di kepalanya sudah separah ini? Sihir macam apa yang Alana gunakan untuk menjeratnya selama ini? Kalau bukan karena jiwa kompetitifnya yang bergemuruh, Arkasa tak akan mau mengiyakan tantangan menyebalkan dari istrinya ini. Tentu dia tak mau menyakiti dirinya sendiri. Langkahnya belum begitu stabil, namun Arkasa tentu tak mau terlihat lemah. Sebisa mungkin ia tepuk- tepuk wajah dan berusaha mendapatkan kesadaran penuhnya. Saat ia membuka pintu ruang kerja, hal pertama yang dilihatnya adalah istrinya telah siap dan rapi duduk di meja makan sembari melirik fokus tabletnya. "Sudah mau ber
"Kamu gak ada kelas hari ini, Kay?" Arkasa mengusap sudut bibirnya setelah menyeruput tetes terakhir kopi buatannya. Mata elang dibalik kaca mata itu menatap was-was namun tegas seolah meminta konfirmasi.Kayla yang baru saja menyelesaikan sesi pertama wawancara bersama Alana mengangguk kecil. Dibelakangnya terlihat Alana menyusul berjalan masuk dengan cuek seakan tak tertarik akan perbincangan keduanya. Wanita itu dengan sigap merapikan barang- barang dan bersiap untuk berangkat.Arkasa yang tengah merapikan beberapa file dan memasukkannya kedalam tas kerja tak luput ikut menatap mengekori istrinya. Menyadari hal itu, Mikayla mengulas satu senyum misterius."Kenapa? Takut kangen aku kalau gak ketemu di kampus?""Tck!" Arkasa berdecak kasar memandang tak suka kearah Kayla yang memandangnya penuh kemenangan. Alana yang masih sibuk sendiri berlalu menjauhi keduanya. Tak lupa memasang senyum kecil, "aku berangkat duluan!" ucapnya tanpa basa-basi.Ada sesuatu yang terasa hampa. Tak ada
"Kamu pulang lebih awal?!" Arkasa tidak bisa tidak memekik ketika menemukan istrinya telah tiduran santai di kamar di hari yang hendak menjelang petang. Sangat jarang menemukan Alana bersantai di waktu- waktu seperti ini. Ia hampir saja berhambur membelai dan memeluk tubuh Alana kalau saja dia tidak ingat bahwa keduanya sama- sama sedang berada dalam misi. Melihat pakaian santai dan wajah tanpa makeup Alana, jelas wanita itu telah selesai mandi. Arkasa mulai meletakkan tas dan melepaskan kancing teratas kemejanya. Setelah itu duduk di tepi ranjang, menyisakan sedikit jarak diantara keduanya. Mata cantik itu menyipit menatapnya, ada sedikit raut berbeda yang Arkasa tangkap. Kulit mulus tanpa cela namun bibirnya terlihat sedikit pucat. "Sudah makan malam?" tanyanya. Alana menggeleng lemah, cukup untuk menjawab pertanyaan suaminya yang sebenarnya sudah mulai khawatir. "Kamu menginginkan sesuatu?" tanya Arkasa lagi. Dia sungguh menahan diri untuk tidak membelai surai panjang Al
Dering telpon tengah malam mau tak mau membuat Alana membuka matanya secara paksa. Kepalanya masih terasa berat, namun suara ponsel yang mengganggu sama sekali tak bisa dia acuhkan.Dia mengusap layar ponsel, penglihatannya masih cukup buram untuk membaca nomor siapa yang memanggilnya malam-malam begini. Dengan suara sedikit serak Alana menjawab panggilan. "Halo?" Tak ada jawaban. Alana mengernyit heran lalu menilik kembali nomor yang memanggilnya. Jelas nomor itu bukan nomor yang dia kenal. "Halo, ini siapa?" tanyanya lagi. Masih belum ada jawaban yang membuat Alana berdecak malas. Siapa sih orang usil yang mengganggunya malam-malam begini? Tak ada jawaban, namun panggilan langsung dimatikan sepihak. Alana mendengus kesal, apa-apaan maksudnya? Wanita itu hendak kembali tidur saat satu pesan misterius masuk membuatnya kembali mengeryit heran. 'Hati-hati dengan sesuatu yang dekat. Semakin dekat, semakin dalam dia mampu menusukmu. Kata kuncinya adalah kepercayaan. Dua sisi mengi
"Kamu yakin mau tetap berangkat kerja hari ini?" Arkasa tidak bisa tidak khawatir ketika melihat Alana yang sudah siap dengan pakaian kerjanya duduk di meja makan. Pagi tadi dia dengan jelas menangkap seberapa pucatnya wajah sang istri meskipun kini sudah ditutupi sempurna oleh makeup. Namun tetap saja, sorot layu di matanya masih cukup kentara. Alana memaksakan seutas tarikan di bibir, melirik suaminya yang kini membawa gelas kearahnya. "Aku sudah membaik," balasnya singkat. Arkasa menyodorkan segelas air hangat, mendorong Alana untuk meminumnya hingga tuntas. Baru setelah itu dia menyodorkan bubur yang masih mengepul. "Terimakasih," senyuman Alana mengembang meskipun masih samar. Dia menghargai bentuk perhatian, terutama bagaimana suaminya itu berusaha bangun pagi membuatkannya sarapan dan sekarang dengan cekatan memotong beberapa macam buah untuknya. Lengan kemejanya digulung sebatas siku, menampakkan urat di lengan kekarnya yang lincah mengupas dan memotong buah. Di
Alana mengulas senyum puas ketika Rosaline untuk kesekian kalinya berhasil menyelesaikan misinya. Laporan Rosaline pagi ini memang sesuai dengan dugaannya. Wanita serbabisa itu telah berhasil menemukan pemilik nomor asing yang kemarin malam 'iseng' mengganggunya.Ini hanyalah masalah kecil. Dalam sekejap Rosaline berhasil menemukan pemilik nomornya. Siapa mereka yang berusaha main- main dengannya?"Itu dikirim dari ponsel yang sama dengan milik nona Mikayla. Aku rasa dia benar- benar teledor soal ini," ujar Rosaline.Alana mengangguk paham. Gadis muda itu pasti punya tujuan terselubung dengan berusaha main- main dengannya. Tapi mengapa dia begitu tidak hati- hati? Apa menurutnya, Alana sebodoh itu?Dia merubah rautnya menjadi lebih dingin, temperamennya yang mulia menguar secara alami. Alana bangkit dari kursi kebesarannya lalu menjentikkan jarinya untuk mengirim pesan pada Mikayla. Wanita dua puluh delapan tahun ini tak suka basa- basi, jadi dia akan langsung saja menuju pada intinya
"Aku punya penawarnya disini. Terlambat lima menit dan kamu akan pergi dari dunia ini," Alana berjalan santai. Pandangannya bengis terpaku pada wanita muda yang fitur wajahnya manis namun meringis dengan mata merah itu."Apa yang berusaha kamu lakukan? Arkasa dan keluarganya pasti membencimu jika tahu tindakanmu ini!" Mikayla merongrong. Nampaknya dia benar- benar tak bisa lagi menahan kekesalannya terhadap kejutan dari Alana.Alana nampak tak terpengaruh, sebaliknya dia justru berjongkok dengan jarak aman, "aku tidak peduli dengan hal itu," ucapnya acuh. Jemari rampingnya memainkan plastik yang berisi satu kapsul itu dengan seringaian menyeramkan terpampang di wajahnya. Mikayla merasakan dadanya sesak dan menggeliat panik, kini dia memohon dibawah kaki Alana. "Aku akan lakukan apapun asal mbak bersedia memberi penawar itu padaku," mohonnya. Biar bagaimanapun, sekarang ini nyawanya adalah yang terpenting. Mikayla tidak bisa mati seperti ini.Alana berdecih meskipun dia sebenarnya se
Alana telah mengacuhkan belasan panggilan Arkasa. Dia sengaja mengaktifkan mode senyap dan bersiul mengerjakan hal- hal yang memang seharusnya dia prioritaskan. Alana sangat tahu apa yang sedang terjadi dan menikmati setiap detiknya. Rosaline masuk kedalam ruangan membawa selembar kertas bertuliskan alamat rumah sakit ternama. Begitu dia menyerahkannya pada Alana, wanita dengan temperamen dingin nan memukau itu tersenyum miring. "Sebenarnya aku tak mengharapkan ini, namun ternyata terkaanku benar, ya?" Alana merapikan tas kecilnya, sudah saatnya dia kembali dan masuk lagi melengkapi drama yang Mikayla telah ciptakan sendiri. "Bu Alana perlu saya antarkan saja?" tanya Rosaline. Alana menggeleng, "tidak perlu. Aku sudah cukup sehat sekarang. Apalagi aku tengah bersemangat," ujarnya. Rosaline mengangguk hormat lalu mengantarkan Alana keluar dari ruangannya. Alana mantap melajukan mobilnya menuju rumahnya sendiri. Semua skenario yang dia rancang hari ini terasa sempurna dan sebe