Sudah ada tiga puluh menit Arlo berdiri di teras panggung rumahnya. Kini, ia sedang menatap Cashel yang sedang berjalan menuju tempatnya.
“Kenapa dia ada di sini?” tanyanya begitu Cashel sampai di dekatnya.“Kamu melihat rupanya.” Balas Cashel.“Aku sudah di sini sejak gadis bodoh itu membuat ikan-ikan koi piaraanku, pusing dengan ulahnya,” balas Arlo.“Wah, kamu sepertinya akan membahayakannya.”“Kamu khawatir?”“Sebaiknya jaga dia baik-baik, aku akan membunuhmu jika sampai kelinci liarku itu kamu lukai.”“Kelinci liar?”“Hahahaha, dia tidak mau mengatakan namanya kepadaku. Jadi aku menamainya itu.” Arlo memutar badannya, melihat tumpukan kertas di atas meja. Cashel yang melihat itu langsung bergerak cepat dan duduk di kursi. Arlo langsung memukul tangannya manakala pria itu hampir menyentuh dokumen yang ada di meja tersebut.“Wah, kamu tertarik juga untuk melihat,” goda Cashel“Sama sekali tidak. Tetapi kamu tidak boleh sembarangan menyentuh milikku.”“Gadis itu milikmu juga?” Cashel penasaran.“Kamu boleh memilikinya kalau mau.” Datar Arlo menjawab.“Serius, Arlo. Kalau kamu benar-benar tidak bisa menjaga dia, maka aku akan mengambilnya darimu.”Arlo tidak menjawab ocehan Cashel. Sebagai gantinya, pria itu mengambil semua file yang ada di meja, lalu membawanya masuk ke ruangan kerjanya. Cashel menggeleng pelan melihat tingkah kakaknya. Senyuman samar tidak lepas dari bibirnya, ketika dia menuruni tangga menuju kediamannya sendiri.***Di ruangan kerjanya, Arlo langsung menaruh semua dokumen di atas meja. Pria itu duduk di kursi andalannya. Lalu membuka dokumen di depannya. Empat bundle file ia lewati begitu saja, saat wajah di photo itu tidak dia kenali. Kemudian dia berhenti pada satu poto yang sengaja ia cari. Wajah yang tidak menampakkan senyum sama sekali namun mengandung chemistry. Perlahan pria itu membaca nama yang tertera.“Ayara Hayu,” gumam Arlo. “puisi cantik, sederhana sekali, apa maksudnya dengan nama itu?”Arlo meraih telepon yang ada di depannya. Memijit nomor yang yang sudah dia hafal di luar kepala.“Datangkan perempuan bernama Ayara Hayu kemari,” kata Arlo begitu panggilannya tersambung."Baik, Tuan Muda," balas suara dari seberang.***Ayara sedang membaca buku ketika pintu kamar diketuk seseorang dari luar. Salah satu dari mereka membukakan pintu. Seorang wanita setengah baya, berpakaian rapi, berdiri di ambang pintu.“Yang memiliki nama Ayara Hayu, keluarlah!” perintahnya. Ayara langsung menaruh buku yang sedang ia baca. Di kamar itu memang disediakan perpustakaan kecil, Nawang sengaja menaruh perpustakaan di setiap ruangan, karena dia ingin semua pekerjanya memiliki wawasan. Ayara berjalan keluar kamar.“Ikutlah denganku,” kata wanita itu lagi. Ayara mengangguk patuh.Wanita itu membawa Ayara melintasi taman yang sudah ia ketahui, karena tadi pagi dia sudah berjalan-jalan ke tempat tersebut. Sebenarnya dia penasaran akan dibawa ke mana, tetapi dia sedang tidak ingin berbicara, malas jika wanita di depannya itu akan memberinya banyak pertanyaan jika dia memulai.“Dari mana asalmu?” Usaha Ayara untuk menghindari pertanyaan tidak berhasil. Wanita itu mengajukan pertanyaan.“Dari Sendang Ayu, Bu.” Ayara menyebutkan daerah kelahirannya dulu.“Berapa saudaramu?”“Tidak ada.” Wanita itu berhenti. Mentapa wajah Ayara lekat-lekat.“Bagaimana bisa, anak tunggal diijinkan melamar menjadi seorang pelayan?”“Tidak akan ada yang peduli saya mau bagaimana.” sahut Ayara datar. Kening wanita itu mengernyit.“Kenapa?”“Saya sudah yatim piatu sejak kecil.”“Oh.” Wanita itu menatapnya iba, "kasihan sekali kamu, Nak."Ayara tidak menanggapi.“Lalu bagaimana dengan hidupmu selama ini?”“Saya hidup di jalanan.” sahut Ayara asal.“Sebab itu kamu memilih menjadi pelayan di sini?”“Ya.”Keduanya sampai di depan rumah berwarna putih dengan kombinasi warna kayu. Seorang pria penjaga pintu menyambut mereka. Wanita dan pria itu berbicara sebentar, kemudian si wanita menyerahkan Ayara kepada pria tersebut.“Bersabarlah dengan apa yang akan kamu alami di sini.” bisik wanita itu sebelum meninggalkan Ayara.Sejenak Ayara terkesima. Apa yang kualami? Apa yang akan terjadi?“Ikut denganku, Nona.” Pria penjaga pintu mengajak. Ayara mengangguk patuh, berjalan mengikuti pria yang belum dikenalinya. Mereka melintasi lorong remang-remang, Ayara waspada.Keluar dari lorong, keduanya sampai di depan pintu dengan ukiran unik, dan bertuliskan, “DILARANG MASUK” dengan huruf kapital. Pria itu mengetuk pintu.“Tuan, gadis itu ada di sini.”“Suruh masuk!” Balas suara dari dalam, memberi perintah. Pria itu membuka pintu.“Silakan, Nona.” Ayara melangkah dengan hati-hati. Nyalinya sedikit menciut mana kala pintu di belakangnya langsung tertutup kembali. Apa yang akan kuhadapi di sini? Bayangan wanita yang membawanya kemari kembali melintas. Bersabarlah dengan apa yang akan kamu alami di sini.Walaupun sudah mempersiapkan diri sejak pertama masuk ke rumah keluarga itu, Ayara tetap merasa takut.“Tempat apa ini?” bisiknya. Ia mengedarkan pandangannya. Di sebelah kiri dari pintu masuk, terdapat sebuah meja keramik segi empat dengan lampu besar bulat di atasnya. Di sebelahnya lagi sofa panjang yang terlihat mewah. Di sampingnya lagi, adalah dinding, terlihat sliding pintu yang sedikit terbuka di sana, sehingga menampakkan sedikit barang yang ada di dalamnya. Seperti benda elektronik mirip komputer.Lalu di tengah ruangan, terdapat meja keramik segi empat yang kokoh berkaki stainless mengkilap, dengan tempat duduk busa empuk di kanan kirinya, yang sama lebar dan tingginya dengan meja itu sendiri. Di atas meja, ada nampan kayu segi empat berisi gelas aroma therapy.Ayara menggulirkan pandangannya ke dinding jarak sepuluh meter di depannya. Kali ini ia melihat sebuah lukisan alam, di bawah lukisan lagi-lagi meja kecil memanjang berwarna putih tulang dengan tiga tanaman hias di atasnya. Di samping meja terdapat vas jumbo yang entah apa isinya, karena terlihat kosong.Ayara maju beberapa langkah. Dilihatnya satu lagi ruangan berbentuk bulat, dengan pintu rumbai yang terbuka, di pojok kiri ruangan utama. Ruangan tersebut berisi meja bulat dengan empat kursi yang tertata rapi mengelilingi. Di sebelah kiri ruangan itu, masih ada satu lagi ruangan yang tertutup korden tebal dan mewah berwarna coklat susu, dengan ketinggian empat meter ke atas hingga bawah. Ayara menyentuh kain korden tersebut. Berat. Bersamaan dengan itu, seseorang menyembul dari dalam.Keduanya bertabrakan. Ayara hampir terjatuh saat tangan kokoh itu menangkap tubuhnya. Sejenak kedua pasang mata mereka beradu. Ayara mendorong tubuh pria itu, dan kembali berdiri tegak.“Siapa yang mengijinkanmu berjalan-jalan di ruanganku?” tanya pria itu dingin. Ayara terdiam. Jantungnya berdebar lebih keras, meskipun ia telah mempersiapkan sebelumnya. Pria itu benar-benar Arlo Raynar. Pria yang menghukumnya dengan tidak manusiawi di depan teman-temannya, di tempat pelatihan kemarin."Kamu pelayan di sini, jadi dilarang menyentuh apa pun tanpa seijinku." Arlo berjalan menuju sofa di dekat dinding. Ayara terpaku. Wajah tampan pria ini sungguh tidak menarik, jika dibarengi dengan akhlak bajingan seperti dia, batin Ayara.----Bersambung“Kemarilah,” panggil Arlo. Pria itu sudah duduk di sofa dengan menyelonjorkan kedua kaki di atasnya. Bersandar dengan nyaman, kedua mata terpejam. Pelan Ayara mendekatinya.“Kamu bisa memijat?”Deg!Jantung Ayara terasa mau lompat dari rongga dadanya.“Saya belum pernah melakukannya, Tuan,” jawabnya.“Lakukan sekarang,” perintah Arlo. Ayara terdiam. Kakinya terasa sangat berat untuk dibawa melangkah memenuhi perintah itu. Bukan kah seharusnya dia belum resmi menjadi pelayannya? Bukan kah seharusnya dia masih bisa berontak atau mundur? Bahkan dia masih bisa menolak perintah pria di depannya itu?Sekian detik berlalu, Arlo belum juga merasakan sentuhan yang dia pinta. Pria itu membuka matanya.“Tunggu apa? Kamu tahu apa hukuman bagi pelayan yang tidak patuh?” gertak Arlo.“Saya akan lakukan, Tuan.” Buru-buru Ayara mendekati Arlo. “Sekarang!” bentak Arlo, “Aku tidak mau ada yang lamban di rumahku! Paham?” Pria itu membuka kancing atas bajunya, Ayara melotot. Namum kemudian merasa lega,
Part 9. Putra Kedua, Rhys VictorLapangan olah raga itu luasnya lebih besar dari ruangan yang baru saja Ayara tinggalkan. Hanya berupa lokasi terbuka dengan banyak balok berbagai ukuran. Di kanan kiri lokasi ada beberapa pepohonan. Arlo biasa menggunakan tempat tersebut untuk latihan bela diri. Ayara juga melihat ada tempat dan alat latihan memanah. Ia mendekati. Dirabanya peralatan yang tampak jauh lebih bagus dari pada di tempatnya belajar."Kamu sepertinya tidak takut sama sekali, Nona," kata pria yang membawanya ke tempat ini tadi."Apakah Arlo sekejam itu?" Ayara balas bertanya."Kamu akan mengetahuinya nanti," balas pria itu lagi."Dia pernah melakukan ini kepada perempuan lain sebelumnya?"Lelaki itu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Ayara, tetapi tidak mau menjawab. Ia membuka pintu sebuah ruangan, kemudian kembali dengan dua cambuk pesanan Arlo.Tidak bisa menipu diri sendiri. Bulu kuduk Ayara merinding membayangkan benda yang terlihat kokoh itu, akan mencambuk tubuhnya y
Di depan pintu kamar, Ayara melihat wanita yang tadi mengantarnya ke tempat Arlo, sedang berdiri di sana. Wanita itu menatap Ayara dengan rasa iba. Ayara membungkuk seraya menganggukkan kepala sebagai tanda hormat."Kamu kembali,” sapa wanita itu. Sekali lagi Ayara mengangguk."Kamu pasti mengalami kesulitan." lanjut wanita itu seraya mengulurkan tangan untuk menyentuh sudut bibir Ayara yang mengalirkan darah. Ayara terdiam.Pintu kamar terbuka dari dalam, seorang wanita keluar. Pakaiannya sangat rapi dengan riasan yang sempurna. Hidung mancung, alis yang tertata rapi, serta kedua matanya bercelak. Meninggalkan kesan bening dan tajam. Dengan bulu lentik yang indah, serta bibir yang merah merona. Dari tubuhnya menguar bau wangi yang sensual. Diam-diam Ayara mengagumi totalitas teman sekamarnya itu. Arlo pasti akan nyaman dengan pelayan secantik dia, pikir Ayara.Di tempat Arlo nanti, wanita itu tinggal mengganti pakaiannya dengan baju seksi pilihan Arlo, maka pria itu tidak akan bisa b
“Kemarilah,” panggil Arlo.“Kenapa? Anda juga akan menghabisi saya?” sinis Ayara balas bertanya.“Kamu sungguh menyukai tantangan. Pantas malam-malam menjadi buronan, kayak maling!” Ayara geram mendengar ucapan Arlo itu.Kapan aku menjadi buronan? Seketika Ayara ingat, ketika kali pertama bertemu dengan Arlo, di belakang gedung kosong di pinggir jalan. Dia benar, Ayara memang sempat diburu oleh dua orang suruhan Birdella.“Ayo,” ajak Arlo lagi, menyadarkan Ayara dari lamunannya. Ragu Ayara melangkah mengikuti pria itu.“Anda akan membawa saya ke mana?” tanya Ayara mulai merasa tidak nyaman, karena mereka berjalan menuju kediaman Arlo lagi.“Ke tempat latihan,” balas Arlo,“Anda benar-benar akan membunuh saya?” Ayara ragu. Arlo tersenyum samar mendengar pertanyaan itu. Ia berhenti. Kemudian memutar tubuhnya kembali menatap Ayara.“Kamu takut mati?” tanyanya.“Tidak,” tegas Ayara.“Kalau begitu, jangan cerewet.” Arlo melanjutkan langkahnya. Ayara mengikuti.Sesampainya di tujuan, suasan
Part 12, PersainganBirdella sedang membuka aplikasi biru tempatnya berkarya demi sebuah nama. Dia ingin menjadi wanita terkenal. Di sana ia peroleh banyak penggemar. Sehingga namanya disebut-sebut sebagai Othor Pemes oleh kalangan pembacanya. Tetapi malam itu dia sungguh marah, bagaimana bisa nama saingannya Hyuna Sada ada di halaman paling depan? Sedangkan namanya hanya ada di barisan nomor tiga. Bahkan beberapa menit kemudian, buku dan nama Birdella Xavera tenggelam karena beberapa buku Hyuna Sada muncul di beberapa kategori. Buku Birdella tergeser.Semakin marah, ketika Birdella mengetahui banyak penggemarnya yang juga menyukai dan memuji tulisan Hyuna Sada. Hal itu membuat Birdella tidak terima. Gadis dua puluh tahun itu langsung meraih ponselnya, dan menelepon seseorang.“Apa-apaan ini, Charlie Moreno?” tanya Birdella dengan nada penuh emosi.“Ada apa, Birdella Sayang?” balas suara dari seberang balik bertanya.“Ada apa katamu? Kamu tidak mengecek aplikasi Angkasa Biru?” suara B
Hyuna terperanjat mendengar suara bising di kamarnya. Napasnya terengah. Alarm? untuk sesaat dia berusaha mengumpulkan ingatannya kembali, mengapa ia bisa berada di sebuah ruangan putih yang tampak mewah baginya. Sementara kamarnya adalah warna pink. Juga bunyi alarm itu. Dia merasa tidak menghidupkan alarm ketika akan berangkat tidur semalam. Ingatannya berangsur membaik, ya, ini kamar yang semalam diberikan seseorang kepadanya. Tetapi jam berapa ini? Hyuna mengedarkan pandangannya. Sebuah jam dinding besar menempel di tembok, tepat di depannya. Baru jam tiga pagi, mengapa aku harus bangun? Jam berapa semalam aku tidur? Rasanya masih mengantuk sekali. Ah, mata Hyuna membentur laptop di meja. Dia langsung ingat, saat dia membuka laptop semalam, jam sudah menunjukkan angka 01:11 menit. Itu artinya dia baru tidur tidak lebih dari dua jam. Hyuna bangkit dari ranjangnya, mencari sumber suara yang berasal dari laci meja belajarnya. Ia membuka laci. Kedua matanya terbelalak mendapati apa y
"Bagaimana tidurmu, Ayara?" "Tuan Muda," Ayara langsung menghentikan gerakan tangannya, begitu menyadari Arlo datang. Sekeranjang sampah daun berhasil ia kumpulkan. "Kamu menikmatinya?" Sejenak Arlo melirik keranjang daun, kemudian kembali menatap Ayara. "Ya," balas Ayara, meskipun dia semalam tidak benar-benar nyenyak. Yah lumayan meskipun cuma tidur selama dua jam-an. "Hari ini kamu mulai bekerja untukku," kata Arlo lagi. "Saya mengerti, Tuan," balas Ayara, "lalu bagaimana dengan permintaan saya?" "Permintaan? Belum ada sejarahnya di sini, seorang pelayan mengajukan permintaan." Mendengar itu kedua mata Ayara terbelalak, apakah Nawang Nehan berdusta? Bukankah dia berjanji akan mengabulkan permintaanku? "Ikut denganku!" ajak Arlo. Ayara bergeming. Hatinya terasa hancur berkeping. Akan kah ia menjadi budak Arlo Raynar seumur hidupnya, dan melupakan cita-citanya? Ataukah akan mengajukan banding kepada Nawang Nehan? Atau bakal kabur dari rumah tersebut, dan menjadikan paman dan bi
Sudah terlambat. Ayara tidak semangat lagi untuk melanjutkan langkahnya. Dari rumah Nawang menuju jalan raya saja membutuhkan waktu tidak kurang dari lima belas menit untuk sampai, karena dia hanya berjalan kaki atau berlari. Belum lagi menunggu bis yang dapat membawanya ke depan kampus datang. Setidaknya butuh lima belas menit lagi, bahkan bisa lebih dari itu. Sedangkan waktunya tinggal satu jam kurang. Kalau sedang beruntung sih bisa sepuluh menit sudah ada bis lewat, kalau lagi apes, bisa satu jam baru bisa naik.“Kelinci Liar,” panggil Cashel, merasa kasihan melihat Ayara menekuk wajah sambil berjalan. Matanya sempat bersitatap dengan Arlo yang tampak biasa saja.“Dasar manusia salju tak punya hati! Tunggu aku di sini, akan kubuat perhitungan denganmu!” teriak Cashel, mengancam Arlo. Kemudian dia menarik tangan Ayara untuk lari bersamanya. Arlo hanya menatap keduanya tanpa ekspresi.“Aku sudah mau kehabisan tenaga,” kata Ayara. “juga percuma, karena pasti akan terlambat,”“Kamu ti