Di depan pintu kamar, Ayara melihat wanita yang tadi mengantarnya ke tempat Arlo, sedang berdiri di sana. Wanita itu menatap Ayara dengan rasa iba. Ayara membungkuk seraya menganggukkan kepala sebagai tanda hormat."Kamu kembali,” sapa wanita itu. Sekali lagi Ayara mengangguk."Kamu pasti mengalami kesulitan." lanjut wanita itu seraya mengulurkan tangan untuk menyentuh sudut bibir Ayara yang mengalirkan darah. Ayara terdiam.Pintu kamar terbuka dari dalam, seorang wanita keluar. Pakaiannya sangat rapi dengan riasan yang sempurna. Hidung mancung, alis yang tertata rapi, serta kedua matanya bercelak. Meninggalkan kesan bening dan tajam. Dengan bulu lentik yang indah, serta bibir yang merah merona. Dari tubuhnya menguar bau wangi yang sensual. Diam-diam Ayara mengagumi totalitas teman sekamarnya itu. Arlo pasti akan nyaman dengan pelayan secantik dia, pikir Ayara.Di tempat Arlo nanti, wanita itu tinggal mengganti pakaiannya dengan baju seksi pilihan Arlo, maka pria itu tidak akan bisa b
“Kemarilah,” panggil Arlo.“Kenapa? Anda juga akan menghabisi saya?” sinis Ayara balas bertanya.“Kamu sungguh menyukai tantangan. Pantas malam-malam menjadi buronan, kayak maling!” Ayara geram mendengar ucapan Arlo itu.Kapan aku menjadi buronan? Seketika Ayara ingat, ketika kali pertama bertemu dengan Arlo, di belakang gedung kosong di pinggir jalan. Dia benar, Ayara memang sempat diburu oleh dua orang suruhan Birdella.“Ayo,” ajak Arlo lagi, menyadarkan Ayara dari lamunannya. Ragu Ayara melangkah mengikuti pria itu.“Anda akan membawa saya ke mana?” tanya Ayara mulai merasa tidak nyaman, karena mereka berjalan menuju kediaman Arlo lagi.“Ke tempat latihan,” balas Arlo,“Anda benar-benar akan membunuh saya?” Ayara ragu. Arlo tersenyum samar mendengar pertanyaan itu. Ia berhenti. Kemudian memutar tubuhnya kembali menatap Ayara.“Kamu takut mati?” tanyanya.“Tidak,” tegas Ayara.“Kalau begitu, jangan cerewet.” Arlo melanjutkan langkahnya. Ayara mengikuti.Sesampainya di tujuan, suasan
Part 12, PersainganBirdella sedang membuka aplikasi biru tempatnya berkarya demi sebuah nama. Dia ingin menjadi wanita terkenal. Di sana ia peroleh banyak penggemar. Sehingga namanya disebut-sebut sebagai Othor Pemes oleh kalangan pembacanya. Tetapi malam itu dia sungguh marah, bagaimana bisa nama saingannya Hyuna Sada ada di halaman paling depan? Sedangkan namanya hanya ada di barisan nomor tiga. Bahkan beberapa menit kemudian, buku dan nama Birdella Xavera tenggelam karena beberapa buku Hyuna Sada muncul di beberapa kategori. Buku Birdella tergeser.Semakin marah, ketika Birdella mengetahui banyak penggemarnya yang juga menyukai dan memuji tulisan Hyuna Sada. Hal itu membuat Birdella tidak terima. Gadis dua puluh tahun itu langsung meraih ponselnya, dan menelepon seseorang.“Apa-apaan ini, Charlie Moreno?” tanya Birdella dengan nada penuh emosi.“Ada apa, Birdella Sayang?” balas suara dari seberang balik bertanya.“Ada apa katamu? Kamu tidak mengecek aplikasi Angkasa Biru?” suara B
Hyuna terperanjat mendengar suara bising di kamarnya. Napasnya terengah. Alarm? untuk sesaat dia berusaha mengumpulkan ingatannya kembali, mengapa ia bisa berada di sebuah ruangan putih yang tampak mewah baginya. Sementara kamarnya adalah warna pink. Juga bunyi alarm itu. Dia merasa tidak menghidupkan alarm ketika akan berangkat tidur semalam. Ingatannya berangsur membaik, ya, ini kamar yang semalam diberikan seseorang kepadanya. Tetapi jam berapa ini? Hyuna mengedarkan pandangannya. Sebuah jam dinding besar menempel di tembok, tepat di depannya. Baru jam tiga pagi, mengapa aku harus bangun? Jam berapa semalam aku tidur? Rasanya masih mengantuk sekali. Ah, mata Hyuna membentur laptop di meja. Dia langsung ingat, saat dia membuka laptop semalam, jam sudah menunjukkan angka 01:11 menit. Itu artinya dia baru tidur tidak lebih dari dua jam. Hyuna bangkit dari ranjangnya, mencari sumber suara yang berasal dari laci meja belajarnya. Ia membuka laci. Kedua matanya terbelalak mendapati apa y
"Bagaimana tidurmu, Ayara?" "Tuan Muda," Ayara langsung menghentikan gerakan tangannya, begitu menyadari Arlo datang. Sekeranjang sampah daun berhasil ia kumpulkan. "Kamu menikmatinya?" Sejenak Arlo melirik keranjang daun, kemudian kembali menatap Ayara. "Ya," balas Ayara, meskipun dia semalam tidak benar-benar nyenyak. Yah lumayan meskipun cuma tidur selama dua jam-an. "Hari ini kamu mulai bekerja untukku," kata Arlo lagi. "Saya mengerti, Tuan," balas Ayara, "lalu bagaimana dengan permintaan saya?" "Permintaan? Belum ada sejarahnya di sini, seorang pelayan mengajukan permintaan." Mendengar itu kedua mata Ayara terbelalak, apakah Nawang Nehan berdusta? Bukankah dia berjanji akan mengabulkan permintaanku? "Ikut denganku!" ajak Arlo. Ayara bergeming. Hatinya terasa hancur berkeping. Akan kah ia menjadi budak Arlo Raynar seumur hidupnya, dan melupakan cita-citanya? Ataukah akan mengajukan banding kepada Nawang Nehan? Atau bakal kabur dari rumah tersebut, dan menjadikan paman dan bi
Sudah terlambat. Ayara tidak semangat lagi untuk melanjutkan langkahnya. Dari rumah Nawang menuju jalan raya saja membutuhkan waktu tidak kurang dari lima belas menit untuk sampai, karena dia hanya berjalan kaki atau berlari. Belum lagi menunggu bis yang dapat membawanya ke depan kampus datang. Setidaknya butuh lima belas menit lagi, bahkan bisa lebih dari itu. Sedangkan waktunya tinggal satu jam kurang. Kalau sedang beruntung sih bisa sepuluh menit sudah ada bis lewat, kalau lagi apes, bisa satu jam baru bisa naik.“Kelinci Liar,” panggil Cashel, merasa kasihan melihat Ayara menekuk wajah sambil berjalan. Matanya sempat bersitatap dengan Arlo yang tampak biasa saja.“Dasar manusia salju tak punya hati! Tunggu aku di sini, akan kubuat perhitungan denganmu!” teriak Cashel, mengancam Arlo. Kemudian dia menarik tangan Ayara untuk lari bersamanya. Arlo hanya menatap keduanya tanpa ekspresi.“Aku sudah mau kehabisan tenaga,” kata Ayara. “juga percuma, karena pasti akan terlambat,”“Kamu ti
Gistara merasa heran dengan Ayara, mengapa dia terlihat begitu buru-buru mengemas barang-barangnya begitu kuliah selesai. Padahal sebelumnya Ayara selalu santai, bahkan sering mengajaknya mengobrol dulu di kantin, atau sekadar duduk-duduk di bawah pohon akasia, yang ada di halaman kampus.“Ponselmu ke mana? Kamu bahkan tidak pernah membaca pesan whatsappku.” Kata Gistara. Ayara menatap wajah sahabatnya lekat-lekat.“Maafkan aku, Tara, bahkan mungkin, aku tidak akan pernah bisa lagi menemanimu jalan-jalan dan sebagainya, seperti dulu,” kata Ayara, seraya mengamankan tasnya di punggung. Keduanya melangkah beriring keluar ruangan.“Kenapa?” protes Gistara, tidak terima.“Aku mendapat pekerjaan,”“Hah? Kerjaan? Kerjaan apa? Buat apa lagi? Sedangkan kamu sudah peroleh uang yang lumayan banyak dari …”“Sssst…” Ayara langsung membekap mulut Gistara sebelum gadis itu menyeselesaikan kalimatnya. Lalu memberinya kode, bahwa ada sesorang yang sedang berjalan ke arah mereka.“Apa kabar, Ayara,” o
Sudah tiga jam! Ayara tersentak ketika membuka kedua matanya, tubuhnya langsung berjingkat duduk. Seorang pria sedang duduk di kursi belajarnya. Laptopnya juga menyala di depan pria tersebut. Ayara diberi waktu satu jam untuk istirahat, dan berbenah diri sejak pulang dari kampus. Tetapi dia justru tertidur dan baru bangun tiga jam kemudian. Mengapa Arlo Raynar tidak membangunkannya?“Kenapa Tuan Muda ada di sini?” tanya Ayara. Dalam hati merutuki, sungguh tidak beradab tuannya itu, masuk kamar gadis tanpa mengetuk pintu. Namun Ayara masih bisa bersukur karena pakaiannya tidak ada yang tersingkap, meskipun setengah tubuhnya, tepatnya bagian pantat ke kaki, masih bergelantungan di luar kasur dengan tubuh telentang.“Tempat ini milikku, jadi aku bebas keluar masuk kapan pun aku mau,” jawab Arlo tanpa menoleh.“Tetapi Tuan menyuruh saya menempatinya.”"Bukan berarti tempat ini resmi menjadi milikmu.""Saya tahu."“Lalu?”“Ada saya di sini, tidak seharusnya Tuan sembarangan masuk seperti i