Rahangku mengeras mendengar ucapannya. "Jangan gila kamu, Mas! Imbalan apa yang kamu maksud? Bukankah selama ini, pemasukan toko baik pusat maupun cabang, selalu masuk ke rekeningmu? Bukankah selama ini, kamu juga menikmati semuanya? Terus apa lagi yang kamu inginkan? Bahkan mobil yang kamu pakai pun, dapat kamu beli dari penghasilan toko! Sekarang kamu mengharap imbalan? Gila kamu!" "Udahlah, Sayang. Kamu ikuti saja aturan dari mas. Kita hidup bersama di rumah ini! Kita ga perlu adopsi adopsi anak. Ada Arsen, darah dagingku sendiri. Kamu bisa mengurusnya 24jam. Apalagi yang kamu permasalahkan, Sayang?" tanyanya seperti tidak memiliki perasaan.Dadaku bergemuruh. Apa dia pikir, berbagi suami itu hal yang mudah? Apa dia pikir, pernikahan diam-diamnya dengan Yolanda bisa aku terima? Di mana perasaannya?Sungguh, laki-laki yang berada di hadapanku saat ini. Seperti bukanlah Adrian suamiku, yang kukenali selama enam tahun ini.Kuraup wajah dengan kedua tangan. Menyugar Surai depanku ke a
Setelah keluar dari rumah yang menjadi tempat tinggalku selama enam tahun lamanya itu. Kini aku terduduk di sebuah gazebo di halaman belakang rumah Fano.Setengah meter dari bangunan gazebo ini. Terdapat sebuah kolam ikan dengan banyak ikan hias serta airnya yang begitu jernih. Dilengkapi juga dengan air terjun kecil buatan pada kolamnya.Untungnya Fano sudah selesai bekerja. Sehingga saat aku pergi dari rumah itu dan datang ke rumahnya dengan mobil yang sudah kuambil dari bengkel langganan. Aku hanya menunggu beberapa menit, sampai akhirnya Fano kembali dari rumah sakit.Lalu aku dibawa ke rumah barunya untuk pertama kali. Hingga akhirnya, Fano memilih membawaku untuk bersantai di gazebo halaman belakangnya sekarang. Sementara ia mengatakan akan membuatkan minum untukku.Aku menatap kolam yang dipenuhi ikan di kolam sana. Merasakan kecewa yang begitu menyesakkan hati ini. Tidak pernah mengira, bahwa laki-laki yang begitu aku cintai sepenuh hati selama ini. Nyatanya gila harta.Aku me
"Kamu tunggu di sini. Biar aku ke rumah kamu. Biar aku beri pelajaran laki-laki nggak berakhlak kayak dia!" ucapnya seraya menggulung kain lengan kemejanya. Lalu kembali melangkah dan aku dengan cepat menahannya lagi."Ga usah, Fan! Ga usah!" cegahku sambil mencekal lengan Fano.Fano menurunkan pegangan tanganku di lengannya. "Han, biar aku nemuin Adrian. Biar aku beri dia pelajaran karena udah keterlaluan sama kamu. Dia manusia serakah, Han. Kalau dia nggak mau mengembalikan apa yang seharusnya jadi milik kamu. Biar aku yang lawan dia sekarang, Han!" tegasnya dengan rahang mengeras."Nggak usah, Fan. Kamu mau lawan dia dengan cara apa? Kekerasan?""Nggak ada cara lain! Biar aku patahkan lehernya itu, Han!"Aku menggeleng. Lalu memegangi kedua pundak Fano yang tentu saja sedikit lebih tinggi dariku. "Jangan, Fan. Yang ada kamu bisa dilaporkan ke polisi atas tindakan kekerasan.""Gak papa, Han. Aku gak takut. Meski aku harus masuk penjara karena menyiksa Adrian, aku gak papa. Asalkan s
"Lo kalau Dateng ke rumah orang 'tuh yang sopan. Bisa gak sih? Gak punya tata Krama Lo, ya!" hardik Fano seperti sangat kesal pada Mas Adrian."Halahh. Jangan banyak omong Lo. Mana Jihan? Mana istri gue? Pasti elo sembunyiin dia di sini 'kan?!" Mas Adrian kembali menanyakan keberadaanku."Eitsss! Gue bilang yang sopan kalau bertamu! Siapa yang izinin elo masuk! Lagipula, gue nggak sembunyiin Jihan. Kalau pun dia ada di sini, itu lebih baik. Daripada harus di rumah Lo dan tinggal bareng sama istri muda Lo itu!" Mereka terlibat adu mulut. Nada bicaranya saling bentak dan begitu sengit."Jihan? Sayang? Keluar, Sayang! Ini mas ada di sini. Kita pulang, Sayang!" teriak Mas Adrian begitu nyaring."Mana istri gue? Suruh dia keluar karena gue akan bawa dia untuk pulang!" ujar Mas Adrian lagi pada Fano."Ngapain dia harus pulang? Kan udah ada istri muda Lo, ngapain Lo masih peduli sama Jihan, hah?" hardik Fano tak kalah sengit."Mau Lo apa sih? Gue gak ada urusan sama Lo, Dokter Fano! Gue cuma
Fano menutup pintu rumahnya setelah Mas Adrian benar-benar pergi. "Dasar orang stress!" dumelnya seraya berjalan mendekat ke arahku."Han, kamu baik-baik aja 'kan?" tanyanya cemas.Aku mengangguk pelan. "Fan? Apa yang Mas Adrian bilang tadi itu bener? Kamu mencintaiku, Fan?"Nampak bibir Fano terbuka. Netranya melebar sempurna menatapku saat ini. Lalu beberapa saat, Fano terlihat seperti mengendalikan dirinya."Semua itu nggak bener 'kan, Fan?" tanyaku lagi."Ya—ya—nggaklah, Han. Kamu jangan ge-er!" ujarnya sambil mencubit ujung hidungku. "Jangan dengerin suami eh calon mantan suami kamu. Eh apa sih, yang tepat buat nyebut Adrian itu?" Fano menggaruk kepalanya asal.Aku menatapnya yang seperti salah tingkah. Apa dia sedang menutupi kalau kata-kata yang diucapkan Mas Adrian tentang perasaannya tadi adalah benar?"Fan … bilang jujur sama aku, yang Mas Adrian bilang tadi itu, nggak bener 'kan? Sama sekali nggak bener!" Aku menekannya untuk berkata jujur.Aku dan Fano saling tatap. Tiba-t
POV YOLANDATok Tok Tok!Baru beberapa langkah aku menjauh dari pintu yang sudah kututup selepas kepergian Mba Jihan. Kini terdengar kembali ketukan.Apa Mba Jihan kembali lagi? Kutarik napas panjang. Dasar menambah-nambah kerjaanku saja dia itu.Tok tok tok!Kembali pintu diketuk. Aku melangkah hingga ke ruang televisi. Menurunkan Arsen dari gendonganku ke karpet empuk di ruang ini.Dok Dok Dok! Dok Dok Dok!Ketukan di pintu berubah jadi gedoran. Aku pun bangkit selepas menurunkan Arsen. Lalu beranjak dari ruang televisi ke arah pintu utama rumah ini.Dok Dok Dok!Pintu kembali digedor tak sabaran. "Iyaaa! Sebentar!" teriakku kesal.Ceklek.Kuputar anak kunci lalu membuka pintunya. Astaga, aku terkejut melihat dua orang perempuan, yang masih aku ingat. Mereka adalah Mba Aini dan Mba Sindy, teman arisan Mba Jihan waktu itu."A—da apa ya, Mba?" tanyaku meredakan kegugupan yang langsung menyerang. Aku berusaha bersikap normal di hadapan kedua perempuan ini.."Mba Jihan mana? Kok ada Mba
Terpaksa aku meninggalkan Arsen yang sudah polos untuk ke kamar mandi. Ada yang mendesak ingin dikeluarkan.Cepat aku duduk di kloset dan menuntaskannya. Sampai perutku terasa lega.Setelah selesai, aku kembali untuk mengambil Arsen dan memandikannya. Tapi tiba-tiba perutku mulas kembali. Rasanya ada yang ingin keluar dan sudah diujung tanduk.Baru saja aku membungkuk untuk menggendong Arsen. Terpaksa aku menegakkan tubuhku. Setengah berlari masuk ke kamar mandi lagi dan duduk di kloset.Kuhembus napas lega setelah menuntaskan kedua kalinya. Lalu keluar dari kamar mandi dan menghampiri Arsen lagi.Saat badanku sudah membungkuk untuk meraih Arsen, perutku lagi-lagi melilit. Hingga terpaksa aku balik masuk ke kamar mandi dan bersemedi lagi.Perutku rasanya seperti dikuras. Entah kenapa juga aku merasa seperti terkena diare. Setelah ketiga kalinya bersemedi di kamar mandi. Tubuhku duduk terkulai ke lantai tepat di ujung tempat tidur.Kutepuk-tepuk kaki Arsen karena dia terlihat seperti s
POV YOLANDA********Menjelang malam hari, akhirnya aku dipasangi infus. Aku benar-benar lemas dan hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Mas Adrian memanggilkan seorang dokter untuk datang ke rumah ini. Hingga aku bisa mendapatkan penanganan akibat mulas di perutku yang tak berkesudahan.Ternyata aku mengalami disentri yang akhirnya membuatku dehidrasi dan tubuhku jadi lemas. Sampai aku merasa ingin pingsan saja saking lemasnya.Setelah dipasangi infus seperti sekarang, barulah mulai ada sedikit tenaga. Meski tidak serta merta aku pulih.Mas Adrian mengambil alih menggendong dan mengayun-ayunkan Arsen. Hingga Arsen terlelap dan ditidurkan di sisi yang lain di atas kasur yang sama denganku.Tempat tidur yang dulunya hanya memberikan kehangatan untuk Mba Jihan. Tapi saat dia tidak rumah untuk menghadiri acara reuninya. Itulah saat pertama kali, kehangatan tempat tidur ini telah terbagi denganku. Mba Jihan memang terlalu polos dan bod*h."Aku mau makan dulu! Laper!" cetusnya setelah