“Mbak, minta tolong bayarin dulu, ya. Kunci brankas saya kebawa suami. Padahal dia punya brankas sendiri, masih saja suka salah bawa kunci.”
Untuk ke sekian kalinya akhirnya aku yang membayar pektan COD miliknya. Bu Haminah atau yang lebih sering kupanggil Bu Minah. Dia adalah tetangga baru yang setiap hari selalu ada saja barang-barang yang dibelinya melalui online.
“Bu Min, nanti sekalian, nih, bayarnya sama paketan yang saya bayarin dua hari yang lalu?” selidikku, karena sudah faham wataknya yang lelet untuk membayar hutang.
Akhir-akhir ini aku lebih berani bertanya agar dia tidak lupa atas utang dan tanggung jawabnya.
“Ya, ampuuun Mbak, tenang aja sih cuma duit segitu sih, kecil. Pasti saya bayar, kok.” Dia berlalu sambil mengambil paketannya yang masih berada di tanganku setelah serah terima dengan kurir COD.
Si tukang kurir segera melajukan sepeda motornya, mungkin dia pun sudah merasa risih karena hampir setiap kali mengirim paketan akan menonton perdebatan ini terjadi.
Awal kepindahan dia, aku memang sering menalangi paketannya karena memang mengira dia sedang tidak memiliki uang dan itu adalah paket yang penting. Namun pada akhirnya aku menyaksikan sendiri barang-barang yang dibelinya hanya untuk kesenangan semata. Kadang tas, sepatu, pakaian dan hampir setiap hari COD tanpa henti.
Aku hanya menggeleng kepala. Sudah enam bulan terakhir ini emosiku sedang diuji. Memiliki tetangga baru yang selalu mengaku banyak uang dan kaya. Namun hobi meminjam, berhutang dan paling parah membayarnya lama.
Aku mengambil paketan milikku, seragam sekolah untuk Adinda—putriku--yang baru mau masuk TK bulan ini. Karena aku selalu sibuk mengurus bisnis proprti keluarga, aku menjadi lebih suka berbelanja online.
Aku menutup pintu pagar rumah segera, khawatir Bu Minah datang dan membuat pusing lagi. Betul saja, baru aku memunggungi gerbang rumahku suara cempreng itu sudah memanggil kembali.
“Mbak, Mbak Resti!”
Aku menoleh, tetap menyunggingkan senyum untuk menghormatinya sebagai orang yang lebih tua.
“Mbak, hari ini saya sudah janji mau membelikan Reni tas sekolah, tapi ya itu tadi, kunci brankasnya kebawa suami saya, pinjam dulu Mbak, lima ratus ribu saja, sore saya ganti.”
Aku menatapnya, sedang menimbang-nimbang. Karena utang dua bulan lalu yang seratus ribu bekas membeli bedak, kemudian yang seminggu lalu juga dua ratus ribu bekas membeli pakaian juga belum di ganti.
“Bukannya, kemarin sore Bu Minah dapet arisan 'kan? Saya masih inget Mbak Isma bilang di grup ibu-ibu komplek kita kalau yang dapet arisan sampean, Bu.”
Aku mencoba menghindarinya, bukan karena tidak memiliki uang, tetapi aku sudah memiliki alokasi sendiri untuk setiap jatah uang bulanan yang diberikan suamiku. Sementara itu, dia dengan seenanknya meminjam dan bukan karena alasan emergency. Dia meminjam hanya untuk membeli kebutuhan-kebutuhan sekunder yang sebetulnya masih bisa di kesampingkan.
“Kalau gak mau ngasih, gak usah judes gitu juga dong, Mbak. Saya bukan orang miskin ya, yang gak sanggup bayar. Duit segitu doang, gak seujung kuku gaji suami saya,” ucapnya sambil mencebik. Aku menarik nafas agar tidak terpancing emosi.
“Ya, alhamdulilah Bu, suaminya gajinya besar, harusnya bisa dimanaje dengan baik sehingga bisa memilah mana yang penting mana yang gak penting, segala sesuatu itu memiliki skala prioritas Bu Min, begitupun dengan alokasi keuangan bulanan saya,” ucapku panjang lebar.
“Eh Mbak Resti, jangan dikira saya gak bisa manaje, ya. Kalau gak bisa manaje mana mungkin panti asuhan yang saya kelola bisa berjalan lancar hingga sekarang, kalau ngomong hati-hati, lidah lebih tajam daripada pedang.”
Dia melengos pergi meninggalkan gerbang rumahku. Aku hanya mengelus dada. Dalam pikiran sebetulnya sedikit kesal pada ayah yang memilih suaminya Bu Minah sebagai pengelola panti asuhan yang dulu didirikan olehku.
Namun seburuk apapun tabiat Bu Minah, memang berbanding terbalik dengan karakter Pak Dermawan suaminya. Lelaki yang sudah mendapatkan kepercayaan dari ayah dalam waktu cukup lama untuk mengurus kantor cabang properti di kota ini.
Ayah memberinya fasilitas dan gaji di atas rata-rata karena kinerja bagusnya. Aku pun setuju, meski aku belum pernah bertatap langsung dengan lelaki itu. Namun dari setiap laporan keuangan yang di berikan terlihat jelas grafik peningkatan cukup signifikan. Dan selalu disiplin dalam menyampaikan laporan.
Aku, putri tunggal pewaris perusahaan properti yang bergerak di bidang real estate dan perhotelan. Merantau ke kota ini untuk menemukan kehidupan sendiri di luar bayang-bayang kesuksesan orang tua. Di kota rantau ini akhirnya aku bertemu Mas Indra, seorang lelaki yang hanya karyawan biasa. Staff HRD dari sebuah perusahaan asing yang sedang berkembang.
Penghasilan yang dia dapat memang jauh lebih kecil daripada uang gaji yang ayah berikan untuk Pak Dermawan. Karenanya aku heran ketika Bu Minah selalu meminjam ke sana dan ke sini dengan alasan yang tidak masuk akal. Hari gini, memang masih ada yang menyimpan uang dalam brankas di rumahnya? Kalaupun ada, itu bukan alasan, apakah dia tidak mengalokasikan dana di luar yang dia simpan?
Aku menikah dengan Mas Indra dengan akad dan resepsi sederhana. Karenanya warga di sini pun tidak mengetahui dengan jelas siapa aku sebenarnya. Sebelum menikah dengan Mas Indra, aku hanya memperkenalkan jika pekerjaan ayahku hanyalah berwiraswasta.
Setiap hari ketika Mas Indra berangkat kerja, aku pun akan disibukkan dengan loading pekerjaan yang dilimpahkan ayah padaku. Setiap hari deretan email dan laporan dari beberapa hotel dan homestay harus aku check. Beberapa perjanjian sewa apartement, dan pekerjaan lainnya aku kerjakan di dalam kamar sambil mengawasi Adinda bermain.
Aku baru saja meletakkan bungkusan paket ke atas meja ruang tengah ketika terdengar gedoran keras di pintu pagar. Aku bergegas keluar.
“Nih, ya, cuma duit receh segitu, kamu pikir saya gak bisa bayar!” Bu Minah melemparkan uang tiga lembar seratus ribuan ke wajahku.
“Mba Resti, jadi orang jangan sombong, ya... baru kaya dikit aja udah belagu, mobil aja belum punya, rumah aja masih cicilan, huh,” ucapnya sambil mencebik kemudian berjingkat meninggalkanku.
“Bu Minah, Ibu di ajari sopan santun tidak? Walau usia saya lebih muda, tapi tolong jaga tata krama, Bu Minah jangan selalu merasa di atas angin karena suaminya manager terus menganggap semua orang bisa direndahkan begitu saja! Bagaimana kalau pemilik perusahaan memecat suami Ibu? Apakah ada yang masih bisa Bu Minah banggakan?!” teriakanku berhasil menghentikan langkahnya.
“Bu Minah, Ibu diajari sopan santun tidak? Walau usia saya lebih muda, tapi tolong jaga tata krama, Bu Minah jangan selalu merasa di atas angin karena suaminya manager, terus menganggap semua orang bisa direndahkan begitu saja! Bagaimana kalau pemilik perusahaan memecat suami ibu? Apakah ada yang masih bisa Bu Minah banggakan?!” teriakanku berhasil menghentikan langkahnya.Wanita itu berbalik dengan wajah terkejut. Selama enam bulan menjadi penghuni komplek kecil ini, mungkin akulah orang pertama yang berani lantang berteriak padanya. Selebihnya sama-sama bermuka dua, karena ibu-ibu yang lain tahu jika Bu Minah sangat suka disanjung dan dipuja. Bu Minah adalah pohon uang mereka.Dia berjalan mendekatiku dengan wajah merah padam.“Mbak Resti, kenapa berteriak-teriak?! Kamu pikir, saya tuli, hah?!”Matanya menyalak menatapku. Namun tak ada rasa gentar sedikitpun di hatiku.“Orang itu ibarat cermin
"Wa’alaikumsalam Res, kamu bertengkar lagi sama Bu Minah?” Ah, rupanya si pengadu itu kembali mencari perhatian suamiku. Apalagi yang dia bilang hingga Mas Indra langsung menelponku meski sibuk dijam kerja. Aku menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaannya yang pastinya berbuntut panjang.“Mas, nelpon cuma buat nanyain ini? Pasti si pengadu itu yang memberitahumu, dasar cewek caper.”“Res, orang ‘kan punya nama, nggak baik manggil orang dengan sebutan kayak gitu. Kamu kenapa sih, selalu ribut sama Bu Minah, Res, malulah sama tetangga yang lain, bisa nggak lebih menahan diri dan nggak usah diladeni.” Mas Indra memang terlalu lembut hatinya, mungkin jika Bu Minah berteriak di depan mukanya pun dia tidak akan melawan.“Udah deh, Mas nggak usah bahas itu lagi. Lagian udah selesai juga berantemnya, kalau mau nelpon, tadi waktu dia melempar uang ke mukaku.” Aku cemberut, selalu saja terkena kultum seti
Notifikasi chat masih beruntun dari ibu-ibu yang lain. Aku menarik nafas panjang, sedang menimbang pesan balasan seperti apa untuk mematikan obrolan mereka. Geng BPJS di komplek ini memang selalu membuat huru-hara. Ya, aku menyebut Bu Haminah dan dua orang temannya itu Geng BPJS yang artinya Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita.“Apakah sudah saatnya aku membuka jati diriku? Toh Mas Indra sudah terbukti mencintaiku, kami sudah bisa melewati tahun keenam pernikahan dengan baik-baik saja, tapi aku berharap bisa mendidik Adinda dalam kesederhanaan, sehingga dia bisa menjadi wanita tangguh dan kuat tempaan,” batinku.“Hmmm lagi pula, aku sudah terbiasa hidup seperti ini, merasa nyaman bisa berbaur dengan semua kalangan di sini. Jika mereka tahu aku orang kaya, apakah Hana, Bu Nani, masih bisa seakrab itu denganku?”“Biar aku mencoba mendidik ibu-ibu biang rese itu dengan caraku dulu, ji
"Iya La.” Aku menoleh dan mengehentikan langkahku. Menunggunya yang sedang mengejarku.“Mbak, mau kemana?” tanyanya ketika sudah berada tepat di sampingku.“Mau membeli tomat sama penyedap rasa,” jawabku sambil tersenyum memberi kesan ramah untuknya.“Oh, pasti buat Mas Indra, ya?” tebaknya sambil menyeringai.“Ya iya lah, masa buat Mas Ardi. Mas Ardi, kan suamimu?” jawabku di sertai senyuman yang di paksakan.“Mas Indra itu kan suka banget Mbak sama sambel tomat, dulu kalau pas main ke rumah, pasti sambel tomat buatanku habis Mba, malah nagih dia,” ucapnya sambil tertawa. Entah apa yang lucu, bagiku terdengar tidak lucu sama sekali.“Terus, Mbak, Mas Indra tuh –.““Maaf, ya La, aku buru-buru Dinda takut keburu bangun.” Aku memotong ucapannya dan mempercepat jalanku. Beruntung Lela tidak mengejarku, dia berbelok ke rumah H
"Kok dibuang, Res?” Mas Indra melongo menatapku yang melengos pergi meninggalkannya.Aku tidak peduli jika Lela melihat dari gerbang rumahnya, toh sudah biasa dia memata-mataiku dan melapor pada Mas Indra. Biar saja dia tahu, kalau sambal buatannya sudah tidak layak untuk suamiku.Mas Indra menyusulku ke dalam. Dia menyimpan tas kerjanya kemudian menghujani Dinda dengan ciuman. Aku sudah berlalu ke kamar menyiapkan pakaiannya.“Res, kamu bete gitu, gara-gara Bu Minah atau gara-gara sambel?” Mas Indra menanyaiku sambil melepas kemejanya dan mengambil handuk untuk mandi.“Dua-duanya,” jawabku singkat sambil meninggalkannya kembali ke ruang tengah.Mas Indra mengikutiku sambil terkekeh. Entah apa yang menurutnya lucu. Dia berlalu menuju kamar mandi setelah mencubit pipiku.“Menyebalkan,” umpatku.Magrib menjelang. Aku segera menyiapkan Dinda untuk pergi ke peng
"Apakah aku perlu membuat Bu Minah merasakan kekurangan dulu agar dia mengerti penderitaan orang lain? Tapi jahat nggak sih, kalau tiba-tiba memberhentikan Pak Dermawan tanpa kesalahan apapun?”Sepanjang jalan menuju rumah, pikiranku menimbang-nimbang. Sudah geram rasanya mendapati kelakuan tetangga yang tidak ada habisnya membuat kekesalan.“Assalamu’alaikum ....”“Wa’alaikumsalam!”“Eh, ini ada pizza dari siapa?”“Tadi Lela ke sini, nganterin pizza buat Dinda,” jawab Mas Indra.Darahku langsung naik ke ubun-ubun melihat potongan pizza. Pastinya Bu Minah memberikan pizza sisa ini pada Lela. Sudah dipastikan juga, Lela hanya mencari alasan untuk mengobrol dengan Mas Indra sewaktu aku tidak ada.“Buang, Mas!”“Lho, kenapa? Mubazzir Res.”“Udah ah, Mas ... sini, panjang kalau harus j
Ah, bisa-bisanya jempolku menulis sekeren itu. Aku jadi ingin pergi ke luar rumah untuk melihat langsung ekspresi wajahnya. Hening, tidak ada jawaban mungkin dia sedang memikirkan balasan yang tepat untuk kalimatku yang merendahkannya.Cukup lama belum ada jawaban lagi. Terdengar suara klakson motor di depan. Aku bergegas ke luar. Kubuka pintu gerbang, terlihat Haira sudah di sana dengan satu staffnya membawa sepeda motor baru sesuai pesananku.Memang takdir selalu mempertemukan kami. Belum sempat Haira masuk, mobil Bu Susi terlihat datang dan terparkir di tepi jalan. Tidak berapa lama Nyonya Manager keluar dengan dandanan yang super norak, menurutku.Bagaimana tidak geli, sepertinya dia memakai semua perhiasan yang dia miliki. Kalung berjumlah tiga dengan tiga ukuran yang berbeda. Gelang entah berapa, kulihat sampai setengah lengannya dia memakai gelang itu, serta tiga buah cincin yang membuatnya terlihat semakin ramai.Dia meliri
[Hai ... Bu @R. Serena Hartawan ... jika berencana mau hunting perhiasan kami siap mengantar.] Foto pertama dengan mereka bertiga bergaya di depan mobil memamerkan perhiasannya.Aku segera membalasnya. Aku masih ingat punya foto berlian pemberian ayahku sewaktu ulang tahun dulu. Beruntung masih tersimpan dalam galeri.[Oh, beruntung kalau ibu suka berburu perhiasan juga, lain kali kita hunting bareng ya, saya kebetulan sedang mencari diamond ring terbaru untuk nambah koleksi saya.] Aku mengirimkan foto berlian milikku membalas chat darinya.Sunyi senyap, tidak ada balasan lagi. Kulihat beranda FB-nya sudah penuh dengan upload photo gelang dan kalung emas yang modelnya sebetulnya gitu-gitu saja. Segera aku mencari foto koleksi berlian mamaku. Dulu aku sempat mengambil gambarnya.[Sudah bosan dengan yang ini. Mau cari yang baru, kapan Bu @Nyonya Manager bisa mengantar saya berburu berlian? Kita belanja sama-sama, ya?]Sengaja ku-tag, karena tad