“Bu Minah, Ibu diajari sopan santun tidak? Walau usia saya lebih muda, tapi tolong jaga tata krama, Bu Minah jangan selalu merasa di atas angin karena suaminya manager, terus menganggap semua orang bisa direndahkan begitu saja! Bagaimana kalau pemilik perusahaan memecat suami ibu? Apakah ada yang masih bisa Bu Minah banggakan?!” teriakanku berhasil menghentikan langkahnya.
Wanita itu berbalik dengan wajah terkejut. Selama enam bulan menjadi penghuni komplek kecil ini, mungkin akulah orang pertama yang berani lantang berteriak padanya. Selebihnya sama-sama bermuka dua, karena ibu-ibu yang lain tahu jika Bu Minah sangat suka disanjung dan dipuja. Bu Minah adalah pohon uang mereka.
Dia berjalan mendekatiku dengan wajah merah padam.
“Mbak Resti, kenapa berteriak-teriak?! Kamu pikir, saya tuli, hah?!”
Matanya menyalak menatapku. Namun tak ada rasa gentar sedikitpun di hatiku.
“Orang itu ibarat cermin, jika ingin diperlakukan baik, maka berbuatlah baik. Bu Minah, katanya istri manager, tapi etika saja level nol.”
“Eh, Mbak Resti, jangan mentang-mentang kamu orang lama ya, di komplek ini, berani menentang saya, sampai mengancam mau memecat suami saya, emang situ siapa?!” Matanya membulat. Aku semakin kesal atas tingkahnya yang semakin hari semakin keterlaluan.
“Kalau Bu Minah tahu siapa saya, saya hanya akan mengubah keputusan jika Bu Minah berlutut dan meminta maaf atas perlakuan tidak sopan Bu Minah pada saya hari ini. Tapi nanti saja, saya rasa Bu Minah akan langsung masuk UGD kalau saya beritahu sekarang.” Aku tersenyum sinis menatap wajahnya yang semakin merah padam.
“Masih muda, mulut nggak pake etika. Jangan mimpi saya akan berlutut meminta maaf! Uang tiga ratus ribu aja jadi bahan ungkitan, huh! Iya sih, pasti butuh banget ‘kan, ya? Secara suaminya Mbak Resti Cuma kerja sebagai staff rendahan, cih.” Dia berlalu setelah menginjak uang tiga lembar seratus ribuan yang tadi dia lempar ke wajahku. Hatiku panas ingin sekali berlari dan menjambak rambutnya sebelum masuk ke gerbang rumah yang tepat berada di seberang jalan rumahku.
“Astagfirulloh Ya Allah ....” Aku menarik napas panjang dan mengucap istighfar berkali-kali.
Teng Teng Teng
“Ba’so, Neng!” Mas Abidin, penjual baso keliling berhenti tepat di gerbang pagar rumahku sambil melirik ke arahku yang masih tertegun.
“Sini, Mas!” Aku memanggilnya. Kuambil uang tiga lembar seratus ribuan yang tadi diinjak Bu Minah. Aku sudah mengabaikan alokasi dana bulanan, toh uang ini sudah kuanggap hilang. Meski diinjak, toh angkanya tidak berubah juga. Aku menyodorkannya pada Mas Abidin.
“Hah? Banyak banget, Neng. Mau borong semua?” Matanya membulat sempurna sambil menerima uang tiga lembar seratus ribuan itu.
“Enggak Mas, ambil saja buat penglaris.” Aku memaksakan tersenyum, khawatir Mas Abidin melihat rona marah masih berkelebatan di wajahku.
“Wah, Neng Resti baik banget, semoga Allah membalas semua kebaikan Neng Resti, ya. Amin.” Mas Abidin menengadahkan kedua tangan. Dari matanya terlihat rona bahagia.
“Makasih ya, Neng, mari!” Mas Abidin undur diri sambil mendorong gerobak basonya. Aku menutup pintu gerbang dan hendak masuk ke rumah. Namun masih kudengar suara Bu Minah memanggil Mas Abidin.
“Mas, basonya!”
“Iya, Bu Minah, makin cantik aja!” Kudengar samar Mas Abidin memuji wanita yang memang haus pujian itu.
“Ini, Mas, uang saya seratus ribuan, beli basonya satu aja, kembaliannya buat Mas Abidin. Saya ‘kan dermawan ya, Mas, ya?” Itulah kalima terakhir yang kudengar dari percakapan mereka.
Beruntung aku sudah berhasil bersembunyi di balik pintu. Malas ketika mendengar setiap ucapannya yang selalu meninggikan diri. Masih untung jika tidak merendahkan orang lain, namun bukan Bu Minah namanya jika tidak melakukan itu.
Aku kembali mengambil paketan yang tergeletak di atas meja. Aku membukanya memeriksa setiap jahitan dan bahannya, ukuran dan jumlahnya. Ketika dirasa semua sudah sesuai, segera aku membuka aplikasi belanja online dan membuat laporan selesai dan ulasan. Aku tahu, mereka baru akan menerima uang pembayaran dari rekening bersama jika barang sudah sesuai dan sampai pada pemesan.
Sekecil perbuatan yang bisa kulakukan untuk orang lain, akan kulakukan. Terkadang aku suka mengelus dada ketika mendengar obrolan ibu-ibu kalau pagi membeli sayuran. Mereka ada juga yang menyambi jualan online, ada saja orang yang tega membuat laporan pemesanan lama sehingga uang yang harus segera diputarkan belum juga mereka terima.
“Mah....” Adinda tanpa kusadari sudah berdiri di sampingku. Kedua tangannya masih kotor dengan mainan pasir.
“Apa Nak?” Aku mengelus pucuk kepalanya. Menyibak poninya yang berantakan dan lengket dengan keringat.
“Mah, tadi Reni ambil pasir aku,” ucapnya sambil mengerucutkan bibirnya.
“Kalau main barengan, yang akur, Reni sama Dinda ‘kan bentar lagi sekolah bareng.” Kuusap pipinya yang penuh dengan pasir warna. Dia masih memanyunkan bibirnya.
“Reninya mana?” Aku menoleh ke halaman, pintu samping yang terbuka. Tadi sewaktu aku mengambil paket, Reni memang sedang bermain dengan Dinda di sana.
“Udah pulang, Mah ... pasir warnanya di bawa cemua.” Anakku menduduk menyembunyikan genangan air matanya. Aku menghapusnya kemudian berdiri menuju pintu samping yang terbuka. Benar saja hanya tinggal wadah-wadah mainan yang berantakan dan tersisa sedikit pasir warna yang menempel pada wadahnya.
Dinda ternyata mengikutiku dari belakang. Aku meraih tubuh mungil putri kesayanganku dan menggendongnya.
“Udah, nanti mamah bilang sama ayah, ya. Nanti beli lagi yang baru.” Aku terus membawanya ke kamar mandi dan menceritakan lelucon agar dia tidak teringat terus pada pasir warnanya yang sudah raib diambil Reni—putri kedua Bu Minah.
Setelah Dinda bersih kumandikan segera kuganti pakaiannya dan memberinya mainan rumah dan boneka yang bisa dimainkan di dalam kamar. Aku segera membuka laptop dan kembali tertuju pada deretan email yang masuk. Sesekali mataku melirik ke arah Dinda yang terlihat asyik main boneka.
Tiba-tiba dering ponsel menyala. Kulihat nomor Mas Indra. Aku segera mengambil dan mengusap layar untuk menjawab panggilan whatsappnya.
“Hallo Mas, asslamu’alaikum ....” Kudengar Mas Indra masih berbincang dengan orang lain di seberang sana. Kutunggu beberapa detik kemudian barulah terdengar suaranya.
“Wa’alaikumsalam Res, kamu bertengkar lagi sama Bu Minah?” Ah, rupanya si pengadu itu kembali mencari perhatian suamiku. Apalagi yang dia bilang hingga Mas Indra langsung menelponku meski sibuk dijam kerja. Aku menarik napas panjang sebelum menjawab pertanyaannya yang pastinya berbuntut panjang.
“Reni!” teriakku.Langkahnya terhenti. Dia menoleh kearahku. Tanpa basa-basi dan berkata apa-apa lagi. Aku melemparkan keresek hitam berisi buah-buahan busuk itu. Hampir saja mengenai wajahnya.“Apaan sih, Mbak?” pekiknya sambil menghindar.“Sepertinya makanan itu cocok buat kamu! Soalnya sama ….” Ucapku sambil melengos pergi meninggalkannya yang sedang menghentak-hentakan kaki kesal.“Sama-sama busuk seperti hati pemiliknya,” sambungku dalam batin.***Semenjak kejadian itu. Aku semakin dia sisihkan. Satu minggu lagi katanya hari pernikahannya. Kulihat setiap hari dia begitu sibuk wara-wiri dengan mobil mewah calon suaminya. Dengar-dengar, Tante Haminah ingin merayakan
Reni dan Tante Haminah sudah menempati rumah itu sejak dua minggu yang lalu. Tepatnya keesokan harinya setelah acara selamatan malam itu.Sejak saat itu pula, Hilma menjadi lebih sering bermain ke rumahku. Terlebih dia mulai merasa tidak nyaman atas sindiran-sindiran sarkas dari mantan madunya itu. Namun sialnya, Reni sepertinya menyangka jika aku memihak pada adik ipar baruku ini. Dia selalu terlihat sinis bahkan sama sekali tidka pernah menyapaku lagi.Dengan uang yang dimilikinya, Reni sudah mulai mengambil hati orang-orang disekitarnya. Salah satunya Bu Onah---pemilik warung langgananku. Dan beberapa tetangga komplek yang sering mendapatkan asupan gizi gratis dari kantongnya.Memang bagi orang-orang yang suka mengambil kesempatan, maka Reni adalah sebaik-baik orang yang bisa dimanfaatkan. Cukup disanjung sedikit, melambung dan menghamburkan begitu saja hitungan rupiah yang tidak susah payah dia dapa
Penemuan mobil mewah di depan rumah baru itu akhirnya menjadi topik utama pembicaraanku dengan Ambar siang ini. Namun kami hanya seperti membicarakan pepesan kosong. Tidak ada makna dan tidak ada hasil apapun dari hasil pembicaraan kali ini.Baiklah, hanya tinggal menunggu waktu sekitar dua bulan lagi. Pasti akan muncul sendirinya siapa sang empunya rumah yang kini tengah dibangun itu.***Ali kulihat sedang duduk murung. Sejak pagi dia sudah nongkrong di teras rumahku. Istrinya katanya sedang ada keperluan jadi tadi gak masak dulu juga sebelum berangkat. Namun bukan itu yang menjadi sorotanku saat ini. Ali terlihat murung tidak seperti biasanya.Aku yang baru saja mencantolkan gagang kain pel berlalu ke dalam untuk mengambil bayam yang akan kusayur. Aku duduk serta bersama mereka sambil menyiangi bayam untukku sayur bening.“Mbak, kalau aku bercerai d
"Dicari! Buronan polisi … bandar narkoba! Berdasarkan data intel, orang tersebut melarikan diri ke daerah sekitar pinggiran Jakarta!”Ah memang zaman sekarang pekerjaan orang sudah bermacam ragam. Terlebih mereka yang memiliki gaya hidup tinggi tapi penghasilan pas-pasan. Bahkan mungkin dibawah standardDengan tipisnya iman ya akhirnya salah satu jalan pintas yang menggiurkanlah yang mereka ambil. Menjadi bandar narkoba salah satunya.Aku menghabiskan waktu sampai setengah sampai keripik kentangku habis. Diluar sudah sepi sepertinya. Reni mungkin sudah pulang.Aku mengambil kerudung simple, rencana hari ini mau berbelanja alat kebersihan ke toko klontong. Sapu ijukku rambutnya sudah rontok, kain pel juga warna putihnya sudah berubah menjadi cokelat.Baru aku sampai ke luar gerbang. Kulihat Hilma sedang tertegun sambil memegang dua kantong plastik. Dia tersenyum melihat
Hanya satu harapanku saat ini. Rumah ini tidak sesuai kriteria dan memiliki mitos-mitos yang mereka percaya, sehingga aku tidak akan bertetangga sedekat ini dengan mereka.“Bu Tejo kenapa rumahnya dijual?” tanyaku sambil melirik pada tetangga yang hampir tidak pernah bertegur sapa itu. Kehidupan Bu Tejo dan keluarganya selama ini sangat tertutup.“Suami saya sakit, sudah tidak kuat bertahan … Dia minta dibawa pulang ke rumah keluarga di kampung,” jawabnya. Wajahnya terlihat tidak nyaman, mungkin dia tipe orang yang tidak suka bercerita. Baiklah aku kini kembali focus pada Hilma.Kulihat Hilma, Ibu dan pamannya baru saja keluar dari dalam rumah. Wajah mereka tampak puas. Sepertinya harapanku akan sia-sia.Benar saja, Hilma berhambur ke arahku dengan
Aku terdiam sejenak. Kalau aku jawab itu tespeck Hilma kira-kira apa dia akan berteriak histeris? Atau jawab saja tespeck punyaku dan masalah akan selesai? Eh, nanti kalau dia woro-woro ke seisi komplek malah jadi runyam, ya?Namun belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Hilma muncul lagi sambil berlari. Dia menerobos kami begitu saja.“Wah, untung ketinggalannya di sini! Kirain jatuh!” gumamnya. Dia melirik ke arahku dan tersenyum. Namun dia sama sekali tidak menyapa Tante Haminah.“Misi, Mbak!” ucapnya lagi sambil tergopoh-gopoh pergi.Kulihat perubahan raut muka Tante Haminah. Dia menatap punggung Hilma dengan tatapan penuh kebencian.“Permisi!”Tante Haminah melengos pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Kuhanya menatap punggungnya yang kemudian menghilang terhalang rumah-rumah samping