Share

Bab 5

Penulis: Evie Yuzuma
last update Terakhir Diperbarui: 2021-11-09 10:10:38

"Iya La.” Aku menoleh dan mengehentikan langkahku. Menunggunya yang sedang mengejarku.

“Mbak, mau kemana?” tanyanya ketika sudah berada tepat di sampingku.

“Mau membeli tomat sama penyedap rasa,” jawabku sambil tersenyum memberi kesan ramah untuknya.

“Oh, pasti buat Mas Indra, ya?” tebaknya sambil menyeringai.

“Ya iya lah, masa buat Mas Ardi. Mas Ardi, kan suamimu?” jawabku di sertai senyuman yang di paksakan. 

“Mas Indra itu kan suka banget Mbak sama sambel tomat, dulu kalau pas main ke rumah, pasti sambel tomat buatanku habis Mba, malah nagih dia,” ucapnya sambil tertawa. Entah apa yang lucu, bagiku terdengar tidak lucu sama sekali. 

“Terus, Mbak, Mas Indra tuh –.“ 

“Maaf, ya La, aku buru-buru Dinda takut keburu bangun.” Aku memotong ucapannya dan mempercepat jalanku. Beruntung Lela tidak mengejarku, dia berbelok ke rumah Hana entah mau ada keperluan apa dia.

Risih sekali mendengar wanita lain, apalagi adik sepupu sendiri selalu memuji-muji suamiku. Karena itulah aku sangat tidak suka ketika Lela selalu mengirim pesan pada Mas Indra, dengan dalih apapun. Dan satu hal lagi yang akhir-akhir ini kutahu tentang Lela, dia termasuk dalam grup ibu-ibu bermuka dua. Dia bisa masuk kemana saja dan mendukung yang sedang di dekatinya.

Aku membeli tiga buah tomat dan sisanya untuk membeli penyedap rasa. Segera kulangkahkan kaki untuk pulang, mengingat sebentar lagi Mas Indra datang. Namun hari ini memang benar-benar sial. Dari jauh terlihat mobil Bu Susi sudah terparkir di depan rumah Bu Minah. Bu Susi pun lebih senior usianya dariku dan Hana, mungkin beda sekitar enam atau tujuh tahun. 

“Hey, Mbak Resti!” Bu Susi memanggilku sebelum aku berhasil sampai di depan pintu gerbang. 

“Eh, Bu Susi, maen Bu?” Aku berbasa-basi sambil meladeninya cipika cipiki. 

“Iya, Mbak Indah ngajakin kami kumpul di sini. Biasa bos textile abis gajian, mau traktir pizza katanya,” ucap Bu Susi sambil tersenyum. 

“Hai Jeng Susi, ayo masuk!” Bu Minah muncul membukakan pintu gerbang rumahnya. 

“Mba Resti, ayo gabung aja, ajakin Dinda ... pasti jarang kan makan-makanan seperti ini.” Bu Susi menawariku, namun kenapa nadanya terasa merendahkan ya? 

“Makasih, Bu Susi, aku emang gak suka junk food, waktu kecil keseringan jadi udah bosen,” jawabku seadanya. Karena sejak kecil aku penyuka junkfood ternyata ada kadar batas kebosanan sehingga jangankan beli, gratis saja aku sudah tidak berminat saat ini.

“Elah ... bilang aja gak kebeli, gak usah bilang bosen juga Mba, saya sih ngerti secara gaji staff gak sebesar gaji suami-suami kami yang levelnya tinggi,” cibir Bu Minah kembali menyulut emosiku. 

“Bu Minah, meski lidah emang gak ada tulangnya, tolong dijaga, jangankan se-dus pizza, kalau saya mau, satu outlet saya beli, saya masih mampu.” Aku kembali terpancing emosi. Bu Minah tersenyum sinis sambil meraih lengan Bu Susi masuk.

“Tuh kan Jeng, saya bilang apa, semakin kesini semakin gak tahu diri dan besar kepala tetanggaku yang satu ini,” ucapnya sambil menutup pintu gerbang. 

Ingin rasanya kulemparkan tomat ini ke wajahnya. Namun otakku masih sedikit waras. Tetapi aku tidak menjamin jika terjadi perdebatan berikutnya aku masih bisa menahan diri. Selama ini memang aku adalah orang yang ekspresif dan tidak bisa memendam masalah. Ketika aku marah aku akan mengomel, ketika tidak suka, aku akan mengatakan tidak suka, begitupun ketika ingin menangis aku akan menangis sepuasnya. 

Segera kubuka gerbang rumah. Terdengar suara televisi sudah menyala. Ah, rupanya Dinda sudah bangun. 

“Mah darimana?” tanyanya dengan wajah masih muka bantal dan rambut berantakan. 

“Habis dari warung beli tomat, Sayang.” Aku menyempatkan mengecup pucuk kepalanya sebelum berlalu ke dapur. 

“Dinda mau nonton TV aja, tga mau bantu masak.” Aku tertawa mendengar ucapannya. Biasanya dia kuminta membantu hal-hal kecil agar terbiasa. Namun tidak juga kuwajibkan karena usianya memang masih lima tahun. 

“Iya, Sayang, mamah masak dulu, ya!” Aku berlalu setelah mengusap pucuk kepalanya. 

Hanya butuh waktu sekitar satu jam untuk menyelesaikan semuanya. Pukul setengah lima sore, sayur sop jamur campur baso, tempe goreng krsipi, lalap labu siam muda, dan sambal goreng tomat sudah tersedia di meja makan. Kulihat nasi di magic com sudah matang juga. 

Aku segera memandikan Dinda. Mengganti pakaiannya dengan yang bersih dan wangi. Meski umur sudah lima tahun, aku masih memakaikannya minyak telon bayi. Wangi khas bayi selalu mengingatkanku pada Dinda lima tahun lalu. Mungil, cantik dan lucu. 

Aku pun membersihkan diri. Menyisir rambut, merias sekedarnya dan mematut penampilan. Senyum di bibirku mengembang ketika melihat bayangan wajahku tidak banyak berubah seperti lima tahun lalu. Masih terlihat manis dan tidak bosan di pandang. Memuji diri sendiri ternyata bisa membuat hati senang dan menambah awet muda sepertinya. 

Pukul lima lewat tiga puluh menit, kudengar motor Mas Indra tiba. Aku hanya menunggunya di dalam, biasanya dia memang membuka gerbang sendiri. Namun sudah lima belas menit belum juga muncul batang hidungnya. Aku beranjak dari duduk, membiarkan Dinda yang tengah asyik tiduran di sofa dan memainkan piano kecilnya. 

Aku membuka pintu, tapi gerbang masih tertutup. Kemana dia, pikirku. Kuberjalan melewati halaman kecilku yang hanya cukup untuk parkir satu mobil, jika sudah punya nanti. Terdengar orang yang sedang mengobrol di depan gerbang. Aku segera membuka kuncinya, suara gerbang membuat obrolan terhenti. 

“Udah, dulu ya, Mas.” Kulihat Lela berjalan tergesa menuju rumahnya yang berdampingan dengan rumah Bu Minah. Mas Indra menoleh ke arahku.

Aku menghampirinya dan mencium tangannya seperti biasa. Namun di tangan kirinya dia menenteng sesuatu.

“Beli apa itu, Mas?” 

“Ini, sambel tomat dari Lela.”

DEG 

Entah kenapa mendengar Lela memberikan sambel pada suamiku membuat darahku mendidih. Kurebut plastik itu tanpa permisi dan kulemparkan pada tempat sampah besar yang ada di tepi gerbang.

“Kok dibuang, Res?” Mas Indra melongo menatapku yang melengos pergi meninggalkannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TETANGGA SOK KAYA   Bab 76_30 End

    “Reni!” teriakku.Langkahnya terhenti. Dia menoleh kearahku. Tanpa basa-basi dan berkata apa-apa lagi. Aku melemparkan keresek hitam berisi buah-buahan busuk itu. Hampir saja mengenai wajahnya.“Apaan sih, Mbak?” pekiknya sambil menghindar.“Sepertinya makanan itu cocok buat kamu! Soalnya sama ….” Ucapku sambil melengos pergi meninggalkannya yang sedang menghentak-hentakan kaki kesal.“Sama-sama busuk seperti hati pemiliknya,” sambungku dalam batin.***Semenjak kejadian itu. Aku semakin dia sisihkan. Satu minggu lagi katanya hari pernikahannya. Kulihat setiap hari dia begitu sibuk wara-wiri dengan mobil mewah calon suaminya. Dengar-dengar, Tante Haminah ingin merayakan

  • TETANGGA SOK KAYA   Bab 75_29

    Reni dan Tante Haminah sudah menempati rumah itu sejak dua minggu yang lalu. Tepatnya keesokan harinya setelah acara selamatan malam itu.Sejak saat itu pula, Hilma menjadi lebih sering bermain ke rumahku. Terlebih dia mulai merasa tidak nyaman atas sindiran-sindiran sarkas dari mantan madunya itu. Namun sialnya, Reni sepertinya menyangka jika aku memihak pada adik ipar baruku ini. Dia selalu terlihat sinis bahkan sama sekali tidka pernah menyapaku lagi.Dengan uang yang dimilikinya, Reni sudah mulai mengambil hati orang-orang disekitarnya. Salah satunya Bu Onah---pemilik warung langgananku. Dan beberapa tetangga komplek yang sering mendapatkan asupan gizi gratis dari kantongnya.Memang bagi orang-orang yang suka mengambil kesempatan, maka Reni adalah sebaik-baik orang yang bisa dimanfaatkan. Cukup disanjung sedikit, melambung dan menghamburkan begitu saja hitungan rupiah yang tidak susah payah dia dapa

  • TETANGGA SOK KAYA   Bab 74_28

    Penemuan mobil mewah di depan rumah baru itu akhirnya menjadi topik utama pembicaraanku dengan Ambar siang ini. Namun kami hanya seperti membicarakan pepesan kosong. Tidak ada makna dan tidak ada hasil apapun dari hasil pembicaraan kali ini.Baiklah, hanya tinggal menunggu waktu sekitar dua bulan lagi. Pasti akan muncul sendirinya siapa sang empunya rumah yang kini tengah dibangun itu.***Ali kulihat sedang duduk murung. Sejak pagi dia sudah nongkrong di teras rumahku. Istrinya katanya sedang ada keperluan jadi tadi gak masak dulu juga sebelum berangkat. Namun bukan itu yang menjadi sorotanku saat ini. Ali terlihat murung tidak seperti biasanya.Aku yang baru saja mencantolkan gagang kain pel berlalu ke dalam untuk mengambil bayam yang akan kusayur. Aku duduk serta bersama mereka sambil menyiangi bayam untukku sayur bening.“Mbak, kalau aku bercerai d

  • TETANGGA SOK KAYA   Bab 73_27

    "Dicari! Buronan polisi … bandar narkoba! Berdasarkan data intel, orang tersebut melarikan diri ke daerah sekitar pinggiran Jakarta!”Ah memang zaman sekarang pekerjaan orang sudah bermacam ragam. Terlebih mereka yang memiliki gaya hidup tinggi tapi penghasilan pas-pasan. Bahkan mungkin dibawah standardDengan tipisnya iman ya akhirnya salah satu jalan pintas yang menggiurkanlah yang mereka ambil. Menjadi bandar narkoba salah satunya.Aku menghabiskan waktu sampai setengah sampai keripik kentangku habis. Diluar sudah sepi sepertinya. Reni mungkin sudah pulang.Aku mengambil kerudung simple, rencana hari ini mau berbelanja alat kebersihan ke toko klontong. Sapu ijukku rambutnya sudah rontok, kain pel juga warna putihnya sudah berubah menjadi cokelat.Baru aku sampai ke luar gerbang. Kulihat Hilma sedang tertegun sambil memegang dua kantong plastik. Dia tersenyum melihat

  • TETANGGA SOK KAYA   Bab 72_26

    Hanya satu harapanku saat ini. Rumah ini tidak sesuai kriteria dan memiliki mitos-mitos yang mereka percaya, sehingga aku tidak akan bertetangga sedekat ini dengan mereka.“Bu Tejo kenapa rumahnya dijual?” tanyaku sambil melirik pada tetangga yang hampir tidak pernah bertegur sapa itu. Kehidupan Bu Tejo dan keluarganya selama ini sangat tertutup.“Suami saya sakit, sudah tidak kuat bertahan … Dia minta dibawa pulang ke rumah keluarga di kampung,” jawabnya. Wajahnya terlihat tidak nyaman, mungkin dia tipe orang yang tidak suka bercerita. Baiklah aku kini kembali focus pada Hilma.Kulihat Hilma, Ibu dan pamannya baru saja keluar dari dalam rumah. Wajah mereka tampak puas. Sepertinya harapanku akan sia-sia.Benar saja, Hilma berhambur ke arahku dengan

  • TETANGGA SOK KAYA   Bab 71_25

    Aku terdiam sejenak. Kalau aku jawab itu tespeck Hilma kira-kira apa dia akan berteriak histeris? Atau jawab saja tespeck punyaku dan masalah akan selesai? Eh, nanti kalau dia woro-woro ke seisi komplek malah jadi runyam, ya?Namun belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Hilma muncul lagi sambil berlari. Dia menerobos kami begitu saja.“Wah, untung ketinggalannya di sini! Kirain jatuh!” gumamnya. Dia melirik ke arahku dan tersenyum. Namun dia sama sekali tidak menyapa Tante Haminah.“Misi, Mbak!” ucapnya lagi sambil tergopoh-gopoh pergi.Kulihat perubahan raut muka Tante Haminah. Dia menatap punggung Hilma dengan tatapan penuh kebencian.“Permisi!”Tante Haminah melengos pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Kuhanya menatap punggungnya yang kemudian menghilang terhalang rumah-rumah samping

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status