"Iya La.” Aku menoleh dan mengehentikan langkahku. Menunggunya yang sedang mengejarku.
“Mbak, mau kemana?” tanyanya ketika sudah berada tepat di sampingku.
“Mau membeli tomat sama penyedap rasa,” jawabku sambil tersenyum memberi kesan ramah untuknya.
“Oh, pasti buat Mas Indra, ya?” tebaknya sambil menyeringai.
“Ya iya lah, masa buat Mas Ardi. Mas Ardi, kan suamimu?” jawabku di sertai senyuman yang di paksakan.
“Mas Indra itu kan suka banget Mbak sama sambel tomat, dulu kalau pas main ke rumah, pasti sambel tomat buatanku habis Mba, malah nagih dia,” ucapnya sambil tertawa. Entah apa yang lucu, bagiku terdengar tidak lucu sama sekali.
“Terus, Mbak, Mas Indra tuh –.“
“Maaf, ya La, aku buru-buru Dinda takut keburu bangun.” Aku memotong ucapannya dan mempercepat jalanku. Beruntung Lela tidak mengejarku, dia berbelok ke rumah Hana entah mau ada keperluan apa dia.
Risih sekali mendengar wanita lain, apalagi adik sepupu sendiri selalu memuji-muji suamiku. Karena itulah aku sangat tidak suka ketika Lela selalu mengirim pesan pada Mas Indra, dengan dalih apapun. Dan satu hal lagi yang akhir-akhir ini kutahu tentang Lela, dia termasuk dalam grup ibu-ibu bermuka dua. Dia bisa masuk kemana saja dan mendukung yang sedang di dekatinya.
Aku membeli tiga buah tomat dan sisanya untuk membeli penyedap rasa. Segera kulangkahkan kaki untuk pulang, mengingat sebentar lagi Mas Indra datang. Namun hari ini memang benar-benar sial. Dari jauh terlihat mobil Bu Susi sudah terparkir di depan rumah Bu Minah. Bu Susi pun lebih senior usianya dariku dan Hana, mungkin beda sekitar enam atau tujuh tahun.
“Hey, Mbak Resti!” Bu Susi memanggilku sebelum aku berhasil sampai di depan pintu gerbang.
“Eh, Bu Susi, maen Bu?” Aku berbasa-basi sambil meladeninya cipika cipiki.
“Iya, Mbak Indah ngajakin kami kumpul di sini. Biasa bos textile abis gajian, mau traktir pizza katanya,” ucap Bu Susi sambil tersenyum.
“Hai Jeng Susi, ayo masuk!” Bu Minah muncul membukakan pintu gerbang rumahnya.
“Mba Resti, ayo gabung aja, ajakin Dinda ... pasti jarang kan makan-makanan seperti ini.” Bu Susi menawariku, namun kenapa nadanya terasa merendahkan ya?
“Makasih, Bu Susi, aku emang gak suka junk food, waktu kecil keseringan jadi udah bosen,” jawabku seadanya. Karena sejak kecil aku penyuka junkfood ternyata ada kadar batas kebosanan sehingga jangankan beli, gratis saja aku sudah tidak berminat saat ini.
“Elah ... bilang aja gak kebeli, gak usah bilang bosen juga Mba, saya sih ngerti secara gaji staff gak sebesar gaji suami-suami kami yang levelnya tinggi,” cibir Bu Minah kembali menyulut emosiku.
“Bu Minah, meski lidah emang gak ada tulangnya, tolong dijaga, jangankan se-dus pizza, kalau saya mau, satu outlet saya beli, saya masih mampu.” Aku kembali terpancing emosi. Bu Minah tersenyum sinis sambil meraih lengan Bu Susi masuk.
“Tuh kan Jeng, saya bilang apa, semakin kesini semakin gak tahu diri dan besar kepala tetanggaku yang satu ini,” ucapnya sambil menutup pintu gerbang.
Ingin rasanya kulemparkan tomat ini ke wajahnya. Namun otakku masih sedikit waras. Tetapi aku tidak menjamin jika terjadi perdebatan berikutnya aku masih bisa menahan diri. Selama ini memang aku adalah orang yang ekspresif dan tidak bisa memendam masalah. Ketika aku marah aku akan mengomel, ketika tidak suka, aku akan mengatakan tidak suka, begitupun ketika ingin menangis aku akan menangis sepuasnya.
Segera kubuka gerbang rumah. Terdengar suara televisi sudah menyala. Ah, rupanya Dinda sudah bangun.
“Mah darimana?” tanyanya dengan wajah masih muka bantal dan rambut berantakan.
“Habis dari warung beli tomat, Sayang.” Aku menyempatkan mengecup pucuk kepalanya sebelum berlalu ke dapur.
“Dinda mau nonton TV aja, tga mau bantu masak.” Aku tertawa mendengar ucapannya. Biasanya dia kuminta membantu hal-hal kecil agar terbiasa. Namun tidak juga kuwajibkan karena usianya memang masih lima tahun.
“Iya, Sayang, mamah masak dulu, ya!” Aku berlalu setelah mengusap pucuk kepalanya.
Hanya butuh waktu sekitar satu jam untuk menyelesaikan semuanya. Pukul setengah lima sore, sayur sop jamur campur baso, tempe goreng krsipi, lalap labu siam muda, dan sambal goreng tomat sudah tersedia di meja makan. Kulihat nasi di magic com sudah matang juga.
Aku segera memandikan Dinda. Mengganti pakaiannya dengan yang bersih dan wangi. Meski umur sudah lima tahun, aku masih memakaikannya minyak telon bayi. Wangi khas bayi selalu mengingatkanku pada Dinda lima tahun lalu. Mungil, cantik dan lucu.
Aku pun membersihkan diri. Menyisir rambut, merias sekedarnya dan mematut penampilan. Senyum di bibirku mengembang ketika melihat bayangan wajahku tidak banyak berubah seperti lima tahun lalu. Masih terlihat manis dan tidak bosan di pandang. Memuji diri sendiri ternyata bisa membuat hati senang dan menambah awet muda sepertinya.
Pukul lima lewat tiga puluh menit, kudengar motor Mas Indra tiba. Aku hanya menunggunya di dalam, biasanya dia memang membuka gerbang sendiri. Namun sudah lima belas menit belum juga muncul batang hidungnya. Aku beranjak dari duduk, membiarkan Dinda yang tengah asyik tiduran di sofa dan memainkan piano kecilnya.
Aku membuka pintu, tapi gerbang masih tertutup. Kemana dia, pikirku. Kuberjalan melewati halaman kecilku yang hanya cukup untuk parkir satu mobil, jika sudah punya nanti. Terdengar orang yang sedang mengobrol di depan gerbang. Aku segera membuka kuncinya, suara gerbang membuat obrolan terhenti.
“Udah, dulu ya, Mas.” Kulihat Lela berjalan tergesa menuju rumahnya yang berdampingan dengan rumah Bu Minah. Mas Indra menoleh ke arahku.
Aku menghampirinya dan mencium tangannya seperti biasa. Namun di tangan kirinya dia menenteng sesuatu.
“Beli apa itu, Mas?”
“Ini, sambel tomat dari Lela.”
DEG
Entah kenapa mendengar Lela memberikan sambel pada suamiku membuat darahku mendidih. Kurebut plastik itu tanpa permisi dan kulemparkan pada tempat sampah besar yang ada di tepi gerbang.
“Kok dibuang, Res?” Mas Indra melongo menatapku yang melengos pergi meninggalkannya.
"Kok dibuang, Res?” Mas Indra melongo menatapku yang melengos pergi meninggalkannya.Aku tidak peduli jika Lela melihat dari gerbang rumahnya, toh sudah biasa dia memata-mataiku dan melapor pada Mas Indra. Biar saja dia tahu, kalau sambal buatannya sudah tidak layak untuk suamiku.Mas Indra menyusulku ke dalam. Dia menyimpan tas kerjanya kemudian menghujani Dinda dengan ciuman. Aku sudah berlalu ke kamar menyiapkan pakaiannya.“Res, kamu bete gitu, gara-gara Bu Minah atau gara-gara sambel?” Mas Indra menanyaiku sambil melepas kemejanya dan mengambil handuk untuk mandi.“Dua-duanya,” jawabku singkat sambil meninggalkannya kembali ke ruang tengah.Mas Indra mengikutiku sambil terkekeh. Entah apa yang menurutnya lucu. Dia berlalu menuju kamar mandi setelah mencubit pipiku.“Menyebalkan,” umpatku.Magrib menjelang. Aku segera menyiapkan Dinda untuk pergi ke peng
"Apakah aku perlu membuat Bu Minah merasakan kekurangan dulu agar dia mengerti penderitaan orang lain? Tapi jahat nggak sih, kalau tiba-tiba memberhentikan Pak Dermawan tanpa kesalahan apapun?”Sepanjang jalan menuju rumah, pikiranku menimbang-nimbang. Sudah geram rasanya mendapati kelakuan tetangga yang tidak ada habisnya membuat kekesalan.“Assalamu’alaikum ....”“Wa’alaikumsalam!”“Eh, ini ada pizza dari siapa?”“Tadi Lela ke sini, nganterin pizza buat Dinda,” jawab Mas Indra.Darahku langsung naik ke ubun-ubun melihat potongan pizza. Pastinya Bu Minah memberikan pizza sisa ini pada Lela. Sudah dipastikan juga, Lela hanya mencari alasan untuk mengobrol dengan Mas Indra sewaktu aku tidak ada.“Buang, Mas!”“Lho, kenapa? Mubazzir Res.”“Udah ah, Mas ... sini, panjang kalau harus j
Ah, bisa-bisanya jempolku menulis sekeren itu. Aku jadi ingin pergi ke luar rumah untuk melihat langsung ekspresi wajahnya. Hening, tidak ada jawaban mungkin dia sedang memikirkan balasan yang tepat untuk kalimatku yang merendahkannya.Cukup lama belum ada jawaban lagi. Terdengar suara klakson motor di depan. Aku bergegas ke luar. Kubuka pintu gerbang, terlihat Haira sudah di sana dengan satu staffnya membawa sepeda motor baru sesuai pesananku.Memang takdir selalu mempertemukan kami. Belum sempat Haira masuk, mobil Bu Susi terlihat datang dan terparkir di tepi jalan. Tidak berapa lama Nyonya Manager keluar dengan dandanan yang super norak, menurutku.Bagaimana tidak geli, sepertinya dia memakai semua perhiasan yang dia miliki. Kalung berjumlah tiga dengan tiga ukuran yang berbeda. Gelang entah berapa, kulihat sampai setengah lengannya dia memakai gelang itu, serta tiga buah cincin yang membuatnya terlihat semakin ramai.Dia meliri
[Hai ... Bu @R. Serena Hartawan ... jika berencana mau hunting perhiasan kami siap mengantar.] Foto pertama dengan mereka bertiga bergaya di depan mobil memamerkan perhiasannya.Aku segera membalasnya. Aku masih ingat punya foto berlian pemberian ayahku sewaktu ulang tahun dulu. Beruntung masih tersimpan dalam galeri.[Oh, beruntung kalau ibu suka berburu perhiasan juga, lain kali kita hunting bareng ya, saya kebetulan sedang mencari diamond ring terbaru untuk nambah koleksi saya.] Aku mengirimkan foto berlian milikku membalas chat darinya.Sunyi senyap, tidak ada balasan lagi. Kulihat beranda FB-nya sudah penuh dengan upload photo gelang dan kalung emas yang modelnya sebetulnya gitu-gitu saja. Segera aku mencari foto koleksi berlian mamaku. Dulu aku sempat mengambil gambarnya.[Sudah bosan dengan yang ini. Mau cari yang baru, kapan Bu @Nyonya Manager bisa mengantar saya berburu berlian? Kita belanja sama-sama, ya?]Sengaja ku-tag, karena tad
Aku menoleh pada Bu RT yang nyengir kuda merasa bersalah. Bagaimana dia bisa memberikan namaku untuk di umumkan. Dua mata langsung menuju padaku. Mata penuh kekesalan dari Bu Minah yang sudah senyum-senyum sendiri berharap namanya yang di sebut. Dan tatapan heran dari suamiku yang memang tidak aku kasih tahu berapa nominal yang kusumbangkan.Seketika wajah ceria Bu Minah berubah merah padam. Bagaimanapun dia sudah sejak tadi bersiap menjadi ratu dalam acara ini, tiba-tiba harapannya terpatahkan oleh satu kalimat pendek dari pembawa acara. Sang Nyonya Manager langsung mengayun langkah cepat menuju ke arah Bu RT yang masih menatapku sambil garuk-garuk kepala tak gatal.Aku menunduk, pikiranku langsung merangkai kalimat jika Mas Indra kemudian mencari tahu berapa jumlah nominal yang kusumbangkan.“Coba saya lihat rekapan penyumbang dananya? Saya mau nama saya jadi penyumbang terbesar dalam acara ini, masa yang suaminya manager kalah sama yang suam
"Dia, nitipin istri sama anaknya ke kita, secara kita adalah tetangga yang rumahnya paling dekat,” ucap Mas Indra sambil menarik satu kursi dan ikut duduk di sampingkua.“Apa?!!!!!!!!!!!!”Mas Indra mengisyaratkanku untuk diam. Dia menggelengkan kepala melihat ekspresiku yang berlebihan.Ah, terkadang kelembutan Mas Indra ini membuatku gregetan. Kenapa juga mau-mau saja di titipkan anak dan istri orang. Ulahku mengirim Pak Dermawan tugas ke luar kota, kini berbalik kepada diri sendiri.Jika Mas Indra bukan orang yang amanah, pasti hanya sekedar mengiyakan saja. Namun aku yakin sepenuhnya jika Mas Indra sudah menyanggupi sesuatu, dia akan menjalankannya.Acara berakhir damai meski berawal dengan sedikit keributan. Satu per satu tamu yang hadir pulang. Anak-anak dari panti asuhan sudah mengantri rapi mengikuti petunjuk Pak Dermawan dan beberapa p
[Hai, Bu … ada berlian terbaru nih, masih cetar-cetarnya, harganya murah saja cuma tiga ratus jutaan, saya mau beli dua , kalau @Nyonya Manager mau, saya beliin seklian, uangnya di transfer saja.] R. Serena Hartawan.Sengaja kukirim di beranda facebook dengan menandainya.Sambil menunggu ayah datang, aku mengecheck beberapa email masuk. Serta menyempatkan menyenggol Bu Minah di jejaring sosial media. Mau tau responnya seperti apa. Aku yakin, akan muncul kembali beribu alasan untuk menolak tawaranku.Tanpa kusadari, Dinda sudah berdiri di samping kursiku.“Mah, Dinda pengen maen ke rumah Reni,” rengeknya.Meskipun kami—para orang tua berselisih, tapi tetap saja tidak bisa mendoktrin anak-anak untuk tidak bermain bersama. Aku menarik nafas panjang, mencoba membujuknya dulu.“Dinda, kan mau nunggu Kakek, kalau mai
Aku kembali menuju ruang tengah menemui ayah. Dia sedang asyik bersandar pada sofa sambil menonton televisi. Kuberjalan mendekatinya dan duduk pada sofa di sampingnya. Masih menimbang bagaimana memberitahukan ayah mengenai kabar dari Hana.“Re, pijitin lengan ayah, pegel abis nyetir,” ucapnya sambil menaruh satu tangannya di pangkuanku. Aku mengambil lengannya kemudian memijitnya perlahan.“Yah … aku sambil teleponin Mas Indra, ya … katanya dia mau ngobrol sama ayah, minta maaf juga ga bisa cuti sedang cut off gaji katanya,” satu tanganku berselancar pada layar ponsel dan mencari nomor suamiku.Tidak lama panggilan terhubung.“Assalamuálaikum Mas, ini ayah sudah datang, mau bicara kan?”“Waálaikumsalam Sayang, iya mana?”Kusegera memberikan ponsel pada ayah. Na