Share

Bab 6

Author: Evie Yuzuma
last update Last Updated: 2021-11-22 11:08:47

"Kok dibuang, Res?” Mas Indra melongo menatapku yang melengos pergi meninggalkannya. 

Aku tidak peduli jika Lela melihat dari gerbang rumahnya, toh sudah biasa dia memata-mataiku dan melapor pada Mas Indra. Biar saja dia tahu, kalau sambal buatannya sudah tidak layak untuk suamiku. 

Mas Indra menyusulku ke dalam. Dia menyimpan tas kerjanya kemudian menghujani Dinda dengan ciuman. Aku sudah berlalu ke kamar menyiapkan pakaiannya. 

“Res, kamu bete gitu, gara-gara Bu Minah atau gara-gara sambel?” Mas Indra menanyaiku sambil melepas kemejanya dan mengambil handuk untuk mandi.

“Dua-duanya,” jawabku singkat sambil meninggalkannya kembali ke ruang tengah. 

Mas Indra mengikutiku sambil terkekeh. Entah apa yang menurutnya lucu. Dia berlalu menuju kamar mandi setelah mencubit pipiku. 

“Menyebalkan,” umpatku. 

Magrib menjelang. Aku segera menyiapkan Dinda untuk pergi ke pengajian di rumah Bu Masitoh yang tadi siang Hana bicarakan. Di sanalah setiap sore Dinda belajar mengaji. Aku mengantarnya, nanti akan kujemput lagi setelah Isya. Aku kembali pulang dan menemani Mas Indra makan malam. 

“Mas, sebentar lagi Dinda masuk TK A, di perumahan kita ‘kan nggak ada angkot ....” Aku menyendokan nasi ke piringnya, ditambah tempe goreng krispi kesukaannya. 

“Lalu?” tanyanya.

“Aku mau ambil sepeda motor, ya! Kalau naik ojeg, kuhitung sebulan hanya beda sedikit dari cicilan sepeda motor, Mas.” Satu mangkuk sayur kusodorkan lebih dekat padanya. 

“Oh, ya udah!”

“Kalau beli cash ‘kan lebih hemat, Mas, boleh nggak aku pake uang tabungan dulu, nanti kucicil tiap bulan dari alokasi gaji kamu, Mas.” 

“Iya, Sayang ... atur aja, kamu bendahara keuangan di sini, semua gajiku sudah kuberikan, aturlah yang bijak, aku yakin kamu bisa menatanya dengan baik.”

“Kamu tadi siang kenapa lagi sama Bu Minah?” Pertanyaan itu akhirnya keluar juga.

“Hmmm ... panjang Mas ceritanya, nanti aja sepulang jemput Dinda, lagian aku lagi males bahas dia, merusak mood.” 

Mas Indra terkekeh kemudian beranjak dari meja makan dan mencuci tangan. Aku membereskan meja dan mengangkut piring kotor ke wastafel. Setelah selesai segera kusiapkan kopi hitam kesukaannya untuk menemani sorenya yang biasa dia habiskan sambil duduk di teras. Kebiasaan yang tak pernah berubah sejak kami menikah. 

“Mas, aku jemput Dinda, dulu.” Kucium tangannya. Bau rokok menyengat. Kebiasaan buruk yang tidak pernah bisa dia hilangkan dari dulu--merokok.

“Iya, hati-hati, kapan mau beli motornya? Aku anter jangan?” 

“Nggak usah, Mas! Aku ambil di daeler depan perumahan aja, kebetulan aku kenal pegawainya.” 

“Oh, ya udah.” 

Itulah Mas Indra. Simpel dan tidak banyak tanya. Hatinya lembut namun cepat terpengaruh. Tapi apapun itu, aku mencintai semua kelebihan dan kekurangannya. 

Aku berjalan tergesa. Tidak berapa lama akhirnya tiba di depan rumah Bu Masitoh. 

“Assalamu’alaikum!” Aku menghampiri Bu Nani yang sedang mengobrol dengan Hana di bawah temaram sinar bulan. 

“W*’alaikumsalam,” jawabnya serempak.

“Aku kira tadi udah bubar,” ucapku sambil duduk di samping Bu Nani. 

“Baru saja bubar, itu anak-anak lagi pada beli jajan.” Hana menunjuk ke arah anak-anak yang sedang mengerumuni Tiara—anak Bu Nani yang mengaji sambil membawa dagangan telur gulung yang dibuatkan ibunya. 

“Eh, Dinda ‘kan belum aku kasih uang.” Aku hendak berdiri tetapi Hana menahanku.

“Sudah kubayari tadi, sekalian Devita.” 

“Wah, berapa? Ini kuganti.” Aku mengeluarkan pecahan uang lima ribuan dari dompetku. 

“Nggak usah ... gantianlah, biasanya kamu yang jajanin Devi,” ucapnya sambil tersenyum.

“Oh, ya udah ... nanti lain kali aku gantian ya, jajanin Devi lagi.” Aku menepuk pundak Hana. 

Aku duduk paling ujung, tidak memperhatikan siapa yang mendekat, ternyata Bu Minah. Aku sengaja tidak menyapanya. Akhir-akhir ini semakin malas melihat mukanya. 

“Bu Nani, tadi Reni ngambil dulu lima, ya! Bayar besok, deh,” ucapnya. 

“Iya, nggak apa-apa, Bu,” jawab Bu Nani.

“Jadi lima ribu ‘kan, ya?” tanya Bu Minah lagi. Bu Nani mengangguk dengan senyum yang hambar. 

“Iya, tadi saya nggak bawa uang, di rumah ‘kan masih banyak pizza sisa tadi siang, eh, tetap aja pengen jajanan kampungan, dasar anak-anak.” Bu Minah tertawa, tapi menurutku lebih pada merendahkan. 

Aku menarik napas, ingin sekali aku melabraknya dan membela Bu Nani. Tapi aku tidak mau berbuat rusuh di tempat umum, terlebih ini tempat pengajian anak. 

“Bu Nani, emang untungnya berapa Bu, jualan telur gulung gituh?” Aku bertanya setelah Bu Minah pergi menghampiri Reni dan berjalan menjauh. 

“Paling lima belas ribu Mbak Resti, itupun kalau habis semua. Kalau sisa ya, itu untungnya bisa makan telor gulung gratis,” ucapnya sambil tersenyum yang bagiku terlihat menyakitkan. 

Aku berdiri menghampiri kerumunan anak-anak yang sebagian sudah berurai pulang. Terlihat sisa delapan tusuk. Berarti Bu Nani hanya dapat untung dua ribu rupiah? Karena lima telur gulungnya di hutang oleh manusia yang selalu mengaku sosialita itu. Jika dia yang berhutang, entah kapan akan di bayarnya meski hanya lima ribu rupiah.

“Ya, Allah ... Bu Nani hanya kebagian dua ribu rupiah.” Aku mengelus dada. Segera kukeluarkan uang sepuluh ribuan dan meminta Tiara membungkus semua sisanya. 

“Makasih tante Resti.” Gadis itu tersenyum, bagiku tampak memilukan. Sekecil itu harus sudah turut merasakan hidup kekurangan. 

“Iya, Ara ... yang rajin ya, belajarnya biar nanti bisa buka restoran telur gulung,” ucapku sambil mengusap kepalanya. Gadis itu tertawa sambil menenteng panci bekas tempat jualannya menghampiri ibunya.

Aku mengajak Dinda pulang dan berpamitan pada Hana yang masih mengobrol dengan Bu Nani. 

“Bu Nani, Hana, aku pulang dulu, ya!” 

“Iya, wah borong telur gulung  ya?” ucap Hana. 

“Iya, buat Mas Indra,” kilahku sambil tersenyum dan menuntun tangan Dinda.

“Apakah aku perlu membuat Bu Minah merasakan kekurangan dulu agar dia mengerti penderitaan orang lain? Tapi jahat nggak sih, kalau tiba-tiba memberhentikan Pak Dermawan tanpa kesalahan apapun?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TETANGGA SOK KAYA   Bab 76_30 End

    “Reni!” teriakku.Langkahnya terhenti. Dia menoleh kearahku. Tanpa basa-basi dan berkata apa-apa lagi. Aku melemparkan keresek hitam berisi buah-buahan busuk itu. Hampir saja mengenai wajahnya.“Apaan sih, Mbak?” pekiknya sambil menghindar.“Sepertinya makanan itu cocok buat kamu! Soalnya sama ….” Ucapku sambil melengos pergi meninggalkannya yang sedang menghentak-hentakan kaki kesal.“Sama-sama busuk seperti hati pemiliknya,” sambungku dalam batin.***Semenjak kejadian itu. Aku semakin dia sisihkan. Satu minggu lagi katanya hari pernikahannya. Kulihat setiap hari dia begitu sibuk wara-wiri dengan mobil mewah calon suaminya. Dengar-dengar, Tante Haminah ingin merayakan

  • TETANGGA SOK KAYA   Bab 75_29

    Reni dan Tante Haminah sudah menempati rumah itu sejak dua minggu yang lalu. Tepatnya keesokan harinya setelah acara selamatan malam itu.Sejak saat itu pula, Hilma menjadi lebih sering bermain ke rumahku. Terlebih dia mulai merasa tidak nyaman atas sindiran-sindiran sarkas dari mantan madunya itu. Namun sialnya, Reni sepertinya menyangka jika aku memihak pada adik ipar baruku ini. Dia selalu terlihat sinis bahkan sama sekali tidka pernah menyapaku lagi.Dengan uang yang dimilikinya, Reni sudah mulai mengambil hati orang-orang disekitarnya. Salah satunya Bu Onah---pemilik warung langgananku. Dan beberapa tetangga komplek yang sering mendapatkan asupan gizi gratis dari kantongnya.Memang bagi orang-orang yang suka mengambil kesempatan, maka Reni adalah sebaik-baik orang yang bisa dimanfaatkan. Cukup disanjung sedikit, melambung dan menghamburkan begitu saja hitungan rupiah yang tidak susah payah dia dapa

  • TETANGGA SOK KAYA   Bab 74_28

    Penemuan mobil mewah di depan rumah baru itu akhirnya menjadi topik utama pembicaraanku dengan Ambar siang ini. Namun kami hanya seperti membicarakan pepesan kosong. Tidak ada makna dan tidak ada hasil apapun dari hasil pembicaraan kali ini.Baiklah, hanya tinggal menunggu waktu sekitar dua bulan lagi. Pasti akan muncul sendirinya siapa sang empunya rumah yang kini tengah dibangun itu.***Ali kulihat sedang duduk murung. Sejak pagi dia sudah nongkrong di teras rumahku. Istrinya katanya sedang ada keperluan jadi tadi gak masak dulu juga sebelum berangkat. Namun bukan itu yang menjadi sorotanku saat ini. Ali terlihat murung tidak seperti biasanya.Aku yang baru saja mencantolkan gagang kain pel berlalu ke dalam untuk mengambil bayam yang akan kusayur. Aku duduk serta bersama mereka sambil menyiangi bayam untukku sayur bening.“Mbak, kalau aku bercerai d

  • TETANGGA SOK KAYA   Bab 73_27

    "Dicari! Buronan polisi … bandar narkoba! Berdasarkan data intel, orang tersebut melarikan diri ke daerah sekitar pinggiran Jakarta!”Ah memang zaman sekarang pekerjaan orang sudah bermacam ragam. Terlebih mereka yang memiliki gaya hidup tinggi tapi penghasilan pas-pasan. Bahkan mungkin dibawah standardDengan tipisnya iman ya akhirnya salah satu jalan pintas yang menggiurkanlah yang mereka ambil. Menjadi bandar narkoba salah satunya.Aku menghabiskan waktu sampai setengah sampai keripik kentangku habis. Diluar sudah sepi sepertinya. Reni mungkin sudah pulang.Aku mengambil kerudung simple, rencana hari ini mau berbelanja alat kebersihan ke toko klontong. Sapu ijukku rambutnya sudah rontok, kain pel juga warna putihnya sudah berubah menjadi cokelat.Baru aku sampai ke luar gerbang. Kulihat Hilma sedang tertegun sambil memegang dua kantong plastik. Dia tersenyum melihat

  • TETANGGA SOK KAYA   Bab 72_26

    Hanya satu harapanku saat ini. Rumah ini tidak sesuai kriteria dan memiliki mitos-mitos yang mereka percaya, sehingga aku tidak akan bertetangga sedekat ini dengan mereka.“Bu Tejo kenapa rumahnya dijual?” tanyaku sambil melirik pada tetangga yang hampir tidak pernah bertegur sapa itu. Kehidupan Bu Tejo dan keluarganya selama ini sangat tertutup.“Suami saya sakit, sudah tidak kuat bertahan … Dia minta dibawa pulang ke rumah keluarga di kampung,” jawabnya. Wajahnya terlihat tidak nyaman, mungkin dia tipe orang yang tidak suka bercerita. Baiklah aku kini kembali focus pada Hilma.Kulihat Hilma, Ibu dan pamannya baru saja keluar dari dalam rumah. Wajah mereka tampak puas. Sepertinya harapanku akan sia-sia.Benar saja, Hilma berhambur ke arahku dengan

  • TETANGGA SOK KAYA   Bab 71_25

    Aku terdiam sejenak. Kalau aku jawab itu tespeck Hilma kira-kira apa dia akan berteriak histeris? Atau jawab saja tespeck punyaku dan masalah akan selesai? Eh, nanti kalau dia woro-woro ke seisi komplek malah jadi runyam, ya?Namun belum sempat aku menjawab, tiba-tiba Hilma muncul lagi sambil berlari. Dia menerobos kami begitu saja.“Wah, untung ketinggalannya di sini! Kirain jatuh!” gumamnya. Dia melirik ke arahku dan tersenyum. Namun dia sama sekali tidak menyapa Tante Haminah.“Misi, Mbak!” ucapnya lagi sambil tergopoh-gopoh pergi.Kulihat perubahan raut muka Tante Haminah. Dia menatap punggung Hilma dengan tatapan penuh kebencian.“Permisi!”Tante Haminah melengos pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Kuhanya menatap punggungnya yang kemudian menghilang terhalang rumah-rumah samping

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status