"Kok dibuang, Res?” Mas Indra melongo menatapku yang melengos pergi meninggalkannya.
Aku tidak peduli jika Lela melihat dari gerbang rumahnya, toh sudah biasa dia memata-mataiku dan melapor pada Mas Indra. Biar saja dia tahu, kalau sambal buatannya sudah tidak layak untuk suamiku.
Mas Indra menyusulku ke dalam. Dia menyimpan tas kerjanya kemudian menghujani Dinda dengan ciuman. Aku sudah berlalu ke kamar menyiapkan pakaiannya.
“Res, kamu bete gitu, gara-gara Bu Minah atau gara-gara sambel?” Mas Indra menanyaiku sambil melepas kemejanya dan mengambil handuk untuk mandi.
“Dua-duanya,” jawabku singkat sambil meninggalkannya kembali ke ruang tengah.
Mas Indra mengikutiku sambil terkekeh. Entah apa yang menurutnya lucu. Dia berlalu menuju kamar mandi setelah mencubit pipiku.
“Menyebalkan,” umpatku.
Magrib menjelang. Aku segera menyiapkan Dinda untuk pergi ke pengajian di rumah Bu Masitoh yang tadi siang Hana bicarakan. Di sanalah setiap sore Dinda belajar mengaji. Aku mengantarnya, nanti akan kujemput lagi setelah Isya. Aku kembali pulang dan menemani Mas Indra makan malam.
“Mas, sebentar lagi Dinda masuk TK A, di perumahan kita ‘kan nggak ada angkot ....” Aku menyendokan nasi ke piringnya, ditambah tempe goreng krispi kesukaannya.
“Lalu?” tanyanya.
“Aku mau ambil sepeda motor, ya! Kalau naik ojeg, kuhitung sebulan hanya beda sedikit dari cicilan sepeda motor, Mas.” Satu mangkuk sayur kusodorkan lebih dekat padanya.
“Oh, ya udah!”
“Kalau beli cash ‘kan lebih hemat, Mas, boleh nggak aku pake uang tabungan dulu, nanti kucicil tiap bulan dari alokasi gaji kamu, Mas.”
“Iya, Sayang ... atur aja, kamu bendahara keuangan di sini, semua gajiku sudah kuberikan, aturlah yang bijak, aku yakin kamu bisa menatanya dengan baik.”
“Kamu tadi siang kenapa lagi sama Bu Minah?” Pertanyaan itu akhirnya keluar juga.
“Hmmm ... panjang Mas ceritanya, nanti aja sepulang jemput Dinda, lagian aku lagi males bahas dia, merusak mood.”
Mas Indra terkekeh kemudian beranjak dari meja makan dan mencuci tangan. Aku membereskan meja dan mengangkut piring kotor ke wastafel. Setelah selesai segera kusiapkan kopi hitam kesukaannya untuk menemani sorenya yang biasa dia habiskan sambil duduk di teras. Kebiasaan yang tak pernah berubah sejak kami menikah.
“Mas, aku jemput Dinda, dulu.” Kucium tangannya. Bau rokok menyengat. Kebiasaan buruk yang tidak pernah bisa dia hilangkan dari dulu--merokok.
“Iya, hati-hati, kapan mau beli motornya? Aku anter jangan?”
“Nggak usah, Mas! Aku ambil di daeler depan perumahan aja, kebetulan aku kenal pegawainya.”
“Oh, ya udah.”
Itulah Mas Indra. Simpel dan tidak banyak tanya. Hatinya lembut namun cepat terpengaruh. Tapi apapun itu, aku mencintai semua kelebihan dan kekurangannya.
Aku berjalan tergesa. Tidak berapa lama akhirnya tiba di depan rumah Bu Masitoh.
“Assalamu’alaikum!” Aku menghampiri Bu Nani yang sedang mengobrol dengan Hana di bawah temaram sinar bulan.
“W*’alaikumsalam,” jawabnya serempak.
“Aku kira tadi udah bubar,” ucapku sambil duduk di samping Bu Nani.
“Baru saja bubar, itu anak-anak lagi pada beli jajan.” Hana menunjuk ke arah anak-anak yang sedang mengerumuni Tiara—anak Bu Nani yang mengaji sambil membawa dagangan telur gulung yang dibuatkan ibunya.
“Eh, Dinda ‘kan belum aku kasih uang.” Aku hendak berdiri tetapi Hana menahanku.
“Sudah kubayari tadi, sekalian Devita.”
“Wah, berapa? Ini kuganti.” Aku mengeluarkan pecahan uang lima ribuan dari dompetku.
“Nggak usah ... gantianlah, biasanya kamu yang jajanin Devi,” ucapnya sambil tersenyum.
“Oh, ya udah ... nanti lain kali aku gantian ya, jajanin Devi lagi.” Aku menepuk pundak Hana.
Aku duduk paling ujung, tidak memperhatikan siapa yang mendekat, ternyata Bu Minah. Aku sengaja tidak menyapanya. Akhir-akhir ini semakin malas melihat mukanya.
“Bu Nani, tadi Reni ngambil dulu lima, ya! Bayar besok, deh,” ucapnya.
“Iya, nggak apa-apa, Bu,” jawab Bu Nani.
“Jadi lima ribu ‘kan, ya?” tanya Bu Minah lagi. Bu Nani mengangguk dengan senyum yang hambar.
“Iya, tadi saya nggak bawa uang, di rumah ‘kan masih banyak pizza sisa tadi siang, eh, tetap aja pengen jajanan kampungan, dasar anak-anak.” Bu Minah tertawa, tapi menurutku lebih pada merendahkan.
Aku menarik napas, ingin sekali aku melabraknya dan membela Bu Nani. Tapi aku tidak mau berbuat rusuh di tempat umum, terlebih ini tempat pengajian anak.
“Bu Nani, emang untungnya berapa Bu, jualan telur gulung gituh?” Aku bertanya setelah Bu Minah pergi menghampiri Reni dan berjalan menjauh.
“Paling lima belas ribu Mbak Resti, itupun kalau habis semua. Kalau sisa ya, itu untungnya bisa makan telor gulung gratis,” ucapnya sambil tersenyum yang bagiku terlihat menyakitkan.
Aku berdiri menghampiri kerumunan anak-anak yang sebagian sudah berurai pulang. Terlihat sisa delapan tusuk. Berarti Bu Nani hanya dapat untung dua ribu rupiah? Karena lima telur gulungnya di hutang oleh manusia yang selalu mengaku sosialita itu. Jika dia yang berhutang, entah kapan akan di bayarnya meski hanya lima ribu rupiah.
“Ya, Allah ... Bu Nani hanya kebagian dua ribu rupiah.” Aku mengelus dada. Segera kukeluarkan uang sepuluh ribuan dan meminta Tiara membungkus semua sisanya.
“Makasih tante Resti.” Gadis itu tersenyum, bagiku tampak memilukan. Sekecil itu harus sudah turut merasakan hidup kekurangan.
“Iya, Ara ... yang rajin ya, belajarnya biar nanti bisa buka restoran telur gulung,” ucapku sambil mengusap kepalanya. Gadis itu tertawa sambil menenteng panci bekas tempat jualannya menghampiri ibunya.
Aku mengajak Dinda pulang dan berpamitan pada Hana yang masih mengobrol dengan Bu Nani.
“Bu Nani, Hana, aku pulang dulu, ya!”
“Iya, wah borong telur gulung ya?” ucap Hana.
“Iya, buat Mas Indra,” kilahku sambil tersenyum dan menuntun tangan Dinda.
“Apakah aku perlu membuat Bu Minah merasakan kekurangan dulu agar dia mengerti penderitaan orang lain? Tapi jahat nggak sih, kalau tiba-tiba memberhentikan Pak Dermawan tanpa kesalahan apapun?”
"Apakah aku perlu membuat Bu Minah merasakan kekurangan dulu agar dia mengerti penderitaan orang lain? Tapi jahat nggak sih, kalau tiba-tiba memberhentikan Pak Dermawan tanpa kesalahan apapun?”Sepanjang jalan menuju rumah, pikiranku menimbang-nimbang. Sudah geram rasanya mendapati kelakuan tetangga yang tidak ada habisnya membuat kekesalan.“Assalamu’alaikum ....”“Wa’alaikumsalam!”“Eh, ini ada pizza dari siapa?”“Tadi Lela ke sini, nganterin pizza buat Dinda,” jawab Mas Indra.Darahku langsung naik ke ubun-ubun melihat potongan pizza. Pastinya Bu Minah memberikan pizza sisa ini pada Lela. Sudah dipastikan juga, Lela hanya mencari alasan untuk mengobrol dengan Mas Indra sewaktu aku tidak ada.“Buang, Mas!”“Lho, kenapa? Mubazzir Res.”“Udah ah, Mas ... sini, panjang kalau harus j
Ah, bisa-bisanya jempolku menulis sekeren itu. Aku jadi ingin pergi ke luar rumah untuk melihat langsung ekspresi wajahnya. Hening, tidak ada jawaban mungkin dia sedang memikirkan balasan yang tepat untuk kalimatku yang merendahkannya.Cukup lama belum ada jawaban lagi. Terdengar suara klakson motor di depan. Aku bergegas ke luar. Kubuka pintu gerbang, terlihat Haira sudah di sana dengan satu staffnya membawa sepeda motor baru sesuai pesananku.Memang takdir selalu mempertemukan kami. Belum sempat Haira masuk, mobil Bu Susi terlihat datang dan terparkir di tepi jalan. Tidak berapa lama Nyonya Manager keluar dengan dandanan yang super norak, menurutku.Bagaimana tidak geli, sepertinya dia memakai semua perhiasan yang dia miliki. Kalung berjumlah tiga dengan tiga ukuran yang berbeda. Gelang entah berapa, kulihat sampai setengah lengannya dia memakai gelang itu, serta tiga buah cincin yang membuatnya terlihat semakin ramai.Dia meliri
[Hai ... Bu @R. Serena Hartawan ... jika berencana mau hunting perhiasan kami siap mengantar.] Foto pertama dengan mereka bertiga bergaya di depan mobil memamerkan perhiasannya.Aku segera membalasnya. Aku masih ingat punya foto berlian pemberian ayahku sewaktu ulang tahun dulu. Beruntung masih tersimpan dalam galeri.[Oh, beruntung kalau ibu suka berburu perhiasan juga, lain kali kita hunting bareng ya, saya kebetulan sedang mencari diamond ring terbaru untuk nambah koleksi saya.] Aku mengirimkan foto berlian milikku membalas chat darinya.Sunyi senyap, tidak ada balasan lagi. Kulihat beranda FB-nya sudah penuh dengan upload photo gelang dan kalung emas yang modelnya sebetulnya gitu-gitu saja. Segera aku mencari foto koleksi berlian mamaku. Dulu aku sempat mengambil gambarnya.[Sudah bosan dengan yang ini. Mau cari yang baru, kapan Bu @Nyonya Manager bisa mengantar saya berburu berlian? Kita belanja sama-sama, ya?]Sengaja ku-tag, karena tad
Aku menoleh pada Bu RT yang nyengir kuda merasa bersalah. Bagaimana dia bisa memberikan namaku untuk di umumkan. Dua mata langsung menuju padaku. Mata penuh kekesalan dari Bu Minah yang sudah senyum-senyum sendiri berharap namanya yang di sebut. Dan tatapan heran dari suamiku yang memang tidak aku kasih tahu berapa nominal yang kusumbangkan.Seketika wajah ceria Bu Minah berubah merah padam. Bagaimanapun dia sudah sejak tadi bersiap menjadi ratu dalam acara ini, tiba-tiba harapannya terpatahkan oleh satu kalimat pendek dari pembawa acara. Sang Nyonya Manager langsung mengayun langkah cepat menuju ke arah Bu RT yang masih menatapku sambil garuk-garuk kepala tak gatal.Aku menunduk, pikiranku langsung merangkai kalimat jika Mas Indra kemudian mencari tahu berapa jumlah nominal yang kusumbangkan.“Coba saya lihat rekapan penyumbang dananya? Saya mau nama saya jadi penyumbang terbesar dalam acara ini, masa yang suaminya manager kalah sama yang suam
"Dia, nitipin istri sama anaknya ke kita, secara kita adalah tetangga yang rumahnya paling dekat,” ucap Mas Indra sambil menarik satu kursi dan ikut duduk di sampingkua.“Apa?!!!!!!!!!!!!”Mas Indra mengisyaratkanku untuk diam. Dia menggelengkan kepala melihat ekspresiku yang berlebihan.Ah, terkadang kelembutan Mas Indra ini membuatku gregetan. Kenapa juga mau-mau saja di titipkan anak dan istri orang. Ulahku mengirim Pak Dermawan tugas ke luar kota, kini berbalik kepada diri sendiri.Jika Mas Indra bukan orang yang amanah, pasti hanya sekedar mengiyakan saja. Namun aku yakin sepenuhnya jika Mas Indra sudah menyanggupi sesuatu, dia akan menjalankannya.Acara berakhir damai meski berawal dengan sedikit keributan. Satu per satu tamu yang hadir pulang. Anak-anak dari panti asuhan sudah mengantri rapi mengikuti petunjuk Pak Dermawan dan beberapa p
[Hai, Bu … ada berlian terbaru nih, masih cetar-cetarnya, harganya murah saja cuma tiga ratus jutaan, saya mau beli dua , kalau @Nyonya Manager mau, saya beliin seklian, uangnya di transfer saja.] R. Serena Hartawan.Sengaja kukirim di beranda facebook dengan menandainya.Sambil menunggu ayah datang, aku mengecheck beberapa email masuk. Serta menyempatkan menyenggol Bu Minah di jejaring sosial media. Mau tau responnya seperti apa. Aku yakin, akan muncul kembali beribu alasan untuk menolak tawaranku.Tanpa kusadari, Dinda sudah berdiri di samping kursiku.“Mah, Dinda pengen maen ke rumah Reni,” rengeknya.Meskipun kami—para orang tua berselisih, tapi tetap saja tidak bisa mendoktrin anak-anak untuk tidak bermain bersama. Aku menarik nafas panjang, mencoba membujuknya dulu.“Dinda, kan mau nunggu Kakek, kalau mai
Aku kembali menuju ruang tengah menemui ayah. Dia sedang asyik bersandar pada sofa sambil menonton televisi. Kuberjalan mendekatinya dan duduk pada sofa di sampingnya. Masih menimbang bagaimana memberitahukan ayah mengenai kabar dari Hana.“Re, pijitin lengan ayah, pegel abis nyetir,” ucapnya sambil menaruh satu tangannya di pangkuanku. Aku mengambil lengannya kemudian memijitnya perlahan.“Yah … aku sambil teleponin Mas Indra, ya … katanya dia mau ngobrol sama ayah, minta maaf juga ga bisa cuti sedang cut off gaji katanya,” satu tanganku berselancar pada layar ponsel dan mencari nomor suamiku.Tidak lama panggilan terhubung.“Assalamuálaikum Mas, ini ayah sudah datang, mau bicara kan?”“Waálaikumsalam Sayang, iya mana?”Kusegera memberikan ponsel pada ayah. Na
Baru saja hendak duduk , terdengar suara seseorang mengucap salam. Aku bergegas menuju pintu. Terlihat Mas Indra sudah berada di teras dan sedang berjongkok melepas sepatunya.“Mas, kho udah pulang?”“Kamu ga kenapa-kenapa ‘kan, Res?”Mas Indra menatapku cemas. Aku menggeleng sambil mengulas senyum menenangkannya. Kuraih tangannya untuk cium tangan seperti biasa. Mas Indra mengusap pucuk kepalaku.“Ayah gak apa-apa ‘kan, Res?” tanyanya sambil mendahuluiku masuk ke dalam."Engga, Mas."“Lho, kho pulang Ndra?” tanya ayah yang sedang mengobrol dengan Pak RT.“Iya, Yah! Eh, ada Pak RT juga?” Mas Indra menyalami Pak RT. Kemudian dia mengambil tempat duduk pada sofa yang kosong.“Kamu kho pulang, Ndra? Bukannya tadi ada pekerjaan urgent katanya?&r