Keesokan pagi.
Ester berlari tergopoh-gopoh menaiki anak tangga menuju lantai dua. Dia berlari dengan mengangkat rok, agar geraknya lebih cepat. Saat sampai di depan kamar Jill Anne. Dia terlihat ragu saat hendak mengetuk pintu.
"Ada apa kamu di sana Ester?"
Tiba-tiba, Beatrix Floy sudah berdiri di ujung tangga. Dia melihat ke arah Ester penuh tanya.
"Apa yang akan kamu lakukan?"
Wanita berkulit hitam itu, terlihat resah dan cemas. Dahinya berkerut keras. Serta kedua jemari tangannya saling bertaut dan tak berhenti bergerak.
"Ada masalah apa Ester? Kamu sampai ketakutan seperti ini?" tanya Beatrix Floy seraya bergerak menuruni anak tangga dan menghampiri dirinya. Rambutnya tergerai sebatas punggung. Masih memakai pakaian tidur berwarna putih gading.
"Ehhh ... Nyonya Floy. Esmo akan di bawa ke kota atas tuduhan mencuri di kastil ini. Aku sangat yakin dia tak akan melakukannya."
"Esmo? Mencuri apa?"
Ester hanya menggeleng.
Satu malam berlalu ....Terlihat Jill Anne sedang duduk di depan meja rias. Dia mematut wajah dfan rambutnya. Tiba-tiba terdengar suara bariton yang menyuruh Ester untuk keluar."Ester keluarlah kamu!""Ba-baik Tuan." Ester langsung meletakkan gaun pesta yang dibawa olehnya di atas kasur. Langkahnya terburu-buru pergi.Bersamaan dengan itu, Jill Anne menoleh ke arah pintu kamar. Lalu melanjutkan kembali merias wajah dan rambutnya. Derap langkah William terdengar mendekatinya. Dia berdiri tepat di belakang sang istri."Kau terlihat cantik.""Tak usah kau merayuku William."Sosok lelaki tinggi jangkung itu sedikit membungkuk. Mendekatkan wajahnya pada telinga Jill Anne. "Bau kau wangi sekali, Sayang.""Berhenti kau berbicara dari dekat seperti itu padaku!"Namun William mengabaikannya. Dia mengusap lembut leher sang istri dan mengecupnya. Sontak membuat Jill Anne berbalik. Lalu mendorong William."Apa-apaan kau ini
Mendengar kalimat yang menyakitkan dari Jill Anne. Membuat dia semakin keras menghentakkan kepuasannya atas tubuh sang istri. Yang tak memberikan respon atas kehangatan yang dia berikan."Hentikan William!" teriak Jill Anne dengan terisak.Namun teriakan Jill Anne tak dihiraukannya. Setelah puas menikmati tubuh istrinya. William berlalu begitu saja. Hingga dia menghentikan langkahnya di ambang pintu."Apa kau akan pergi ke pesta Jenderal Benjamin Elmar?"Tak ada jawaban yang terlontar dari bibir Jill Anne."Kalau kau tak menjawab. Aku anggap kau tak mau pergi. Jadi, aku akan mengajak Beatrix."Jill Anne masih meringkuk di atas kasur. Menyelimuti dirinya sendiri dan mengabaikan semua perkataan William.Tanpa hati William pun pergi meninggalkan kamar Jill Anne. Dia menaiki beberapa anak tangga menuju lantai tiga.Tok tok tok!"Beatrix!"Tak lama dia menunggu terdengar suara pintu berderit. Seraut wajah cantik muncul
William!" teriak seorang wanita seumuran Jill, kurang lebih 37 tahun.Mereka berdua berhenti. William dan Beatrix menoleh ke arahnya. Seorang wanita yang cukup cantik dan sangat berkelas. Dia berjalan mendekati mereka dengan tatapan tertuju pada Beatrix Floy."Di mana Jill?""Dia tidak ikut. Kau bisa lihat sendiri 'kan Elena.""Lalu, wanita ini?"Segera Beatrix Floy mengulurkan tangan. "Beatrix Floy, anda cukup memanggil saya Floy!"Elena pun menyambut uluran tangan Beatrix. Namun dari gurat di wajahnya, sangat terlihat jelas banyak pertanyaan yang tertuju pada wanita cantik di hadapnnya."Si-siapa dia William?"William hanya tersenyum dingin. Dia menarik lengan Beatrix untuk mengikutinya."Kenapa kau tak jawab pertanyaan wanita tadi?""Dia teman dekat Jill Anne. Paling besok dia sudah tahu tentang kita.""Ohhh!" Bibir Beatrix membulat sensual.Lalu William berbisik, "Kau bisa tinggalkan
"Panggil aku Nyonya Floy saja, Lady Laurice.""Apakah Nyonya istri Tuan William?"Sesaat keduanya terdiam. Beatrix tak menjawab, begitu juga dengan William."Kalian kok malah diam?"William langsung mengajak Laurice untuk mengambil beberapa makanan. Sampai Elena menghampiri mereka."Lady Laurice?""Nyonya Elena. Senangnya bisa bertemu di sini."Mereka berdua berpelukan hangat. Mengabaikan Beatrix yang berdiri di sebelah William. Dia pun berbisik, "Aku ingin pulang!""Acara belum selesai, Beatrix.""Tapi di sini kamu abaikan aku. Bahkan tak mau mengakui aku sebagai 'istri' kamu!""Aku tak ingin kamu dicemooh. Makanya aku tak memperkenalkan dirimu sebagai istri.""Hemmm ...!"Beatrix dengan kesal sedikit menjauh. Namun tatap matanya terus mengarah pada William yang begitu intens mengajak bicara Laurice. Wanita berambut merah. Sepanas senyumannya yang begitu menggoda William.
Tiba-tiba ...."Laurice!"Sontak dia berbalik."Siapa lelaki tampan tadi?"Tiba-tiba Magdalena sudah berdiri di belakang Laurice."Ohhh, Bibi. Dia Tuan William Edward.""Pemilik kasil Edward Lily?""Bibi tau dia?""Aku mengenal dekat istrinya, Jill Anne. Wanita terhormat dan terpandang dengan kecerdasan dia sebagai pebisnis.""Sehebat itu kah istrinya?"Magdalena mengangguk. Lalu keduanya berjalan masuk rumah."Tapi, kenapa William mempunyai wanita lain?""Benarkah?" Wanita tua itu terperanjat."Iya, Bi. Bahkan ke pesta Tuan Jenderal tadi, William bersama wanita itu.""Pasti gundiknya. Memang tabiat William kurang baik. Dia suka bermain wanita."Laurice langsung terdiam. Dia mengerutkan keningnya. Masih teringat ajakan William padanya untuk makan malam besok."Kenapa kamu diam, Laurice?""Aku hanya memikirkan William dan wanita yang dia ajak tadi, Bi. Dia bila
Seketika wajah Sofia merona. Dia tersipu malu saat William mengatakannya. "Lantas tujuan kamu ke sini tadi apa?" "Nyonya Jill Anne menyuruh Tuan, untuk tidur di kamar Tuan William sendiri." "Keterlaluan dia. Apa Nyonya Beatrix sudah tidur?" "Maafkan saya Tuan. Saya belum ke lantai tiga." Sejenak William mengamati wanita itu darai tempat dia duduk. Dia memperhatikan dari ujung rambut hingga kaki. "Kau cukup menarik, Sofia. Apalagi bentuk tubuhmu sangat indah." Sofia Malvin yang dipuji, menundukkan kepala. Dia tahu siapa sosok William. Esmo menceritakan keburukan lelaki tampan yang ada di hadapannya kini. Dia pun tak memberikan reaksi sama sekali. "Kenapa kau diam Sofia?" "Saya tak tahu harus bilang apa, Tuan. Makanya saya diam." "Hemmm ... pribadi yang menarik." Sofia memberanikan diri untuk memohon ijin. "Apa masih ada yang Tuan perlukan?" "Kau buru-buru mau ke mana?" "Ma-
Pelayan itu menghampirinya."Bukankah Nyonya ingin dekat dengan kekuasaan?""Apa maksud kalimat itu Ester?"Dari arah jendela, Beatrix yang menoleh sekilas padanya. Dia sangat menikmati pemandang di luar kastil yang mengarah pantai. Deburan ombak yang menabrak batu karang. Memberikan magis tersendiri."Boleh saya masuk?""Masuklah!""Di kastil ini, kekuasaan sebenarnya berada pada Nyonya Jill Anne. Dia yang mampu menyelamatkan Tuan dari kebangkrutan saat itu. Bahkan kastil ini sudah hampir terjual.""Lalu?""Nyonya Jill Anne yang menyerahkan semua harta kekayaan yang dimilikinya, untuk menutup semua kerugian dari usaha Tuan William. Nyonya Jill Ane pun berhasil mengelola semua usaha hingga sukses, seperti sekarang. Jadi Nyonya bisa simpulkan sendiri, siapa sebenarnya pemilik penguasa kastil ini?""Dan menurut kamu, kenapa William mengajak aku ke kastil ini?" Kali ini Beatrix memandang wajah pelayannya lamat-lamat.
Kembali Jill Anne menyeringai. Seolah kini tengah mentertawakan Beatrix yang termakan api cemburu."Yang cemburu itu sekarang adalah kamu, Floy! Bukan aku!" Seraya tergelak. "Aku sudah mempan dengan hal seperti ini. Apalagi semenjak kedatangan kamu."Beatrix membenarkan duduknya yang serasa tak nyaman."Sekarang kau bisa menjawabku, Beatrix Floy. Berada di kubu aku atau William?""Kau ingin memusuhi suami kamu sendiri? Kau ingin berbuat licik padanya?"Jill Anne hanya terpaku dengan pandangan yang lurus. Menatap tajam Beatrix Floy. Tak ada sepatah kata yang terucap. Membuat Beatrix merasa rikuh dengan sorot matanya."Apa ... kau tak takut bila aku mengatakan ucapan kamu ini, Jill?""Katakan saja! Aku menunggu hal itu. Tapi, bila suatu saat kau membutuhkan bantuan dari ku. Jangan harap aku akan menoleh padamu.""Kau mengancamku?""Terserah kau mengartikannya seperti apa, Floy!" tegas Jill Anne.Terdengar suar