Share

BAB 5 : Keyakinan Itu, Sekuat Baja dan Serapuh kapas

Malam itu sekitar pukul sebelas, Beomyu kembali ke kediaman ayahnya. Mungkin karena sudah malam, semua orang tak menyambutnya yang pergi sejak siang.

 

Ketika Beomyu mengatakan ia tidak kabur hanya untuk menemui Haejin, dia memang berkata yang sebenarnya. Karena itu, rasanya lega sekali setelah kembali dan mengetahui Haejin baik-baik saja.

 

Beomyu pergi menuju dapur, mungkin yang ia butuhkan saat ini adalah segelas air putih untuk menetralkan tubuhnya yang sedikit lelah. Tanpa berbasa-basi, ia segera membasahi tenggorokannya dengan air dan berniat untuk kembali ke kamar untuk istirahat.

 

Tapi ketika melewati ruang makan, Beomyu berhenti saat sebuah suara memanggilnya dalam kegelapan.

 

“Sudah pulang, Tuan Muda Beomyu?”

 

Beomyu sempat terperanjat, dia tak menyangka jika ada seseorang yang duduk di sisi tergelap ruang makan itu, kursi yang berada di sisi paling ujung meja makan dan berseberangan dengannya berdiri saat ini. Beomyu memicingkan matanya, berusaha menangkap barang sedikit saja siluet sosok di depannya, namun tak berhasil.

 

Satu-satunya cara untuk melihat siapa sosok bersuara asing itu, adalah dengan menyalakan lampu. Tapi belum ia berjalan menuju sakelar lampu, sosok yang semula terduduk itu lebih dulu mendekati Beomyu.

 

Dia adalah seorang lelaki, bertubuh kurus dan berkulit pucat. Iris matanya berwarna merah, dan seakan menyala dalam gelap. Memakai tuxedo serba hitam dengan mawar merah diletakkan di saku jas-nya.

 

“Siapa kau?” tanya Beomyu, sembari memasang kuda-kuda jika saja lelaki itu bukan orang yang berniat baik dan menyerangnya secara tiba-tiba.

 

Lelaki itu tersenyum, masih sembari menatap Beomyu dengan lekat dari jarak 10 langkah. “Luar biasa ..., keturunan Obriant memang sangat luar biasa.”

 

“Apa yang kau katakan? Dan ..., ada perlu apa kau di rumahku selarut ini?”

 

“Tunggu sebentar, Tuan Muda. Biarkan aku mengagumi tubuh sempurnamu sedikit lebih lama.” Beomyu mengerutkan kening, tercengang dengan ucapan lelaki asing yang kini membuatnya memikirkan hal yang bermacam-macam.

 

Mengetahui Beomyu tengah menumpuk rasa curiga padanya, lelaki itu memilih untuk segera mengakhiri kegiatannya dan memperkenalkan diri. “Namaku adalah Morgen, dan aku tamu dari ayahmu.”

 

“Tamu ayahku? Tapi untuk apa kau bertamu malam-malam begini? Ayahku pasti sudah tidur.” Morgen kembali ke bagian meja yang ia duduki beberapa menit lalu, dia mengambil gelas kaca berisi anggur miliknya.

 

“Aku memang tamu ayahmu, tapi aku datang untuk menemuimu.”

 

Beomyu semakin mengerutkan keningnya. “Menemuiku?”

 

“Ahaha, tenang saja ..., ayahmu sudah tahu jika aku akan datang, jadi dia membiarkanku.” Meski sudah dijelaskan dengan raut wajah yang riang, Beomyu masih belum sepenuhnya mempercayai apa yang Morgen katakan. Dan sepertinya Morgen juga tahu hal itu. “Aku bertamu untuk menemuimu, tapi kau pergi saat aku datang kemari. Jadi, aku menunggumu sampai larut begini.”

 

Morgen berjalan menuju sisi lain ruangan yang luas itu, melihat-lihat berbagai macam benda yang menjadi hiasan di meja maupun di dinding. Melihat banyak benda mahal menghiasi ruangan yang bahkan hanya digunakan untuk makan saja, membuat Morgen menyadari satu hal yang belum ia pastikan dengan benar; bahwa betapa sejahteranya hidup keturunan Obriant yang sejak dulu terikat dengan kaumnya.

 

Morgen menyentuh salah satu benda, benda yang berkilau dan sangat indah luarnya. Vas bunga yang ia sentuh itu pasti sangat mahal, belum lagi bunga yang ada di dalamnya adalah bunga asli. “Hei, Tuan Muda Beomyu ..., bagaimana keadaannya?” Morgen bertanya, memulai percakapan baru yang akan menjadi awal dari adegan utama malam ini.

 

Seperti dugaannya, Beomyu tidak akan langsung mengerti. Maka dari itu, Morgen menyambung kalimatnya. “Haejin Yoon, gadis yang membuatmu menghabiskan hari dengan mencarinya dan berakhir mengabaikanku.”

 

Beomyu sedikit terkejut, dia tidak tahu mengapa orang asing seperti Morgen yang bahkan tak pernah ia temui sebelumnya, bisa mengenal Haejin. “Kau mengenal Haejin?” tanya Beomyu.

 

Morgen memandang wajahnya, terasa menyenangkan melihat orang lain memasang wajah kebingungan seperti itu. “Tentu saja, Tuan Muda. Aku mengenalnya ..., juga ibunya.” Tanpa meminta izin, Morgen mengambil satu tangkai mawar dari vas bunga yang ada di meja, lalu berjalan mendekati Beomyu sembari menciumi bau mawar itu. “Bukankah ibu gadis itu baru saja meninggal? Dia pasti sangat sedih dan membutuhkan kehadiran sahabat dekatnya sejak kecil .... Karena itu lah kau pergi menemuinya, kan?”

 

Rasa curiga Beomyu terhadap sosok di hadapannya semakin mencuat, ditambah sosok itu sepertinya serba tahu bahkan tentang pertemanannya dengan Haejin yang terjalin sejak mereka masih anak-anak. Hal itu membuat Beomyu tanpa ragu bertanya, “Apa kau tahu sesuatu tentang kematian ibu Haejin?”

 

Seperti tahu jika Beomyu akan menanyakan bertanya demikian, Morgen tersenyum lebar. Tak lama kemudian, suara tawa mengiringi senyumnya. “Bagaimana, ya, Tuan Muda .... Aku tidak berniat melakukannya, tetapi ada sesuatu yang tak bisa kukenda—”

 

Tanpa menunggu Morgen menyelesaikan ucapannya, Beomyu lebih dulu memukul wajah lelaki itu sampai terjatuh cukup keras. Di kedua mata Beomyu, tampak jelas percikan amarah. “Ternyata kau yang melakukannya, ya ....” Kedua tangan Beomyu mengepal kuat, namun emosinya hanya terlihat seperti sebuah lelucon di mata Morgen, sehingga lekaki itu lagi-lagi tertawa.

 

“Kau seharusnya mendegar ucapanku sampai habis, Tuan Muda.”

 

“Siapa kau sampai pantas untuk kudengar!?”

 

“Yah ..., aku memang bukan seseorang yang pantas untuk kau dengar. Tapi cerita yang akan kukatakan, adalah hal yang pantas untuk kau ketahui.” Morgen berdiri tegap, menatap Beomyu. “Kau tahu, Tuan Muda? Aku dan kaumku bisa ada di sini karena sebuah ikatan dengan makhluk yang sejatinya hidup di dunia ini. Kami yang diundang untuk datang harus bersikap sopan kepada tuan rumah yang mengundang, lalu melakukan apa saja keinginan sang tuan rumah.”

 

Beomyu dan Morgen terpaut jarak beberapa langkah, dan Morgen merasa senang jika Beomyu mau mendengarkan ucapannya dengan tenang. Seperti anak anjing yang patuh.

 

“Ikatan seperti tuan dan bawahan membuat kaum kami sebisa mungkin bersikap setia, seperti apapun keadaannya. Termasuk dalam menghadapi musuh tuan kami, rasanya seperti tubuh kami mengenali musuh dengan sendirinya, dan bergerak untuk membunuh demi melindungi tuan kami. Maafkan aku, Tuan Muda .... Kala itu, tubuhku bergerak sesuai instingnya sebagai bawahan.”

 

Beomyu mendengarkan, namun bukan dusta jika dia merasa terkejut. Morgen melihat rautnya, dan merasa senang. “Kau mulai memahaminya, Tuan Muda ...? Siapa yang kumaksud sebagai tuan?” Kali ini pun sama, Beomyu tiba-tiba saja mendorong tubuh Morgen sampai terjatuh dan meski tubuhnya sudah menghempas lantai, Beomyu seakan tak memberi celah untuk Morgen kabur dengan mencengkram kerah kemejanya.

 

“Katakan padaku, apa hubunganmu dengan keluarga Haejin!? Apa hubungan ayahku dengan ibu Haejin!?” tanya Beomyu, dengan nada menuntut. “Kenapa kau membunuh ibu Haejin!?”

 

“Bukan aku yang membunuhnya, Tuan Muda. Aku hanya bergerak atas keinginan tuanku.”

 

“Tidak ....” Suara Beomyu terdengar gemetar, merasa ketakutan dengan apa yang ia ketahui. “Ayahku tidak mungkin membunuh ....”

 

“Keyakinan itu sekuat baja dan serapuh kapas, Tuan Muda. Kau melihat ayahmu sebagai sosok paling kuat dan baik hati, dan kau sangat yakin akan hal itu. Tapi ketika fakta dengan kejamnya memperlihatkan kebenaran padamu, keyakinanmu akan hal membanggakan itu akan retak dengan perlahan, dan hancur bagaikan kapas dalam genangan.”

 

Beomyu bergerak mundur, berusaha menjauh namun kakinya sangat berat untuk berjalan. Dia sangat terkejut dengan fakta yang diketahuinya. Dia kesal, kecewa, dan juga takut. “Ayahku tidak mungkin melakukannya ....”

 

“Mau kuberi tahu satu hal lagi, Tuan Muda? Bahwa aku tidak baru saja terikat dengan ayahmu, melainkan sejak ratusan tahun lalu. Kebencian manusia tidak bisa hilang semudah mereka mencintai, dan kebencian yang mengalir dalam darah leluhurmu itu terus ada, sampai kau terlahir sebagai wujud terakhirnya.”

 

Morgen bangkit, lalu mengambil mawar yang sempat terlempar tadi. Dia kembali mendekati Beomyu, yang kini terduduk dengan rasa takut sembari menutupi telinganya. Morgen duduk bersimpuh di depan Beomyu, lalu wajahnya mendekat ke samping kepala pemuda itu, membisikkan sesuatu.

 

“Bukan ayahmu yang membunuhnya, tetapi kebencian yang diwariskan leluhurnya, yang juga mengalir dalam darahmulah yang telah membunuh ibu gadis itu.”

 

Mata Beomyu membulat sempurna. Karena rasa terkejut yang amat, ia sampai lengah dan membiarkan Morgen menusuk lehernya dengan ujung tangkai mawar yang dibawanya. Mawar merah itu tampak bercahaya, kemudian perlahan pudar menjadi partikel debu yang seakan bergerak menyatu dengan tubuh Beomyu. Setelah itu, Morgen berdiri dan pergi dengan senyum puasnya, meninggalkan Beomyu yang kini berteriak histeris sampai membuat seluruh anggota keluarganya terbangun tiba-tiba.

 

“Selamat malam, Tuan Athanasius.”

 

 

***

 

 

Keesokan hari, Haejin berangkat ke sekolah seperti hari kemarin. Memang tidaklah mudah mengingat dirinya masih dalam suasana berduka, tapi setelah bertemu dengan Beomyu kemarin, rasanya semua tidak seburuk yang ia kira.

 

Karena itu, hari ini dia memutuskan untuk kembali bersekolah dan bersikap lebih biasa. Tapi sesuatu mencegat langkahnya di lorong sekolah, telinganya tak sengaja mendengar ucapan siswa lain yang berlari melewatinya.

 

“Kudengar Beomyu tidak masuk lagi hari ini.”

 

Haejin tidak salah dengar, dan tak salah mengenal jika yang berbicara barusan adalah teman satu kelas Beomyu. Gadis itu langsung mengerutkan keningnya, tampak seketika merasa kecewa. Padahal salah satu alasannya kembali bersekolah karena tadi malam Beomyu berjanji akan masuk sekolah dan menemuinya lagi hari ini.

 

Haejin menarik ponselnya dari saku, bergegas menghubungi ponsel Beomyu, namun nihil yang dia dapat. Ponsel Beomyu tidak aktif.

 

Beomyu sudah benar-benar pindah ke rumah orang tuanya, juga membawa neneknya. Rumah yang membesarkan pemuda itu sejak kecil, sudah dijual dan kosong. Sayang sekali, Haejin tak memiliki nomor rumah Beomyu meski hanya ingin menanyakan keadaan pemuda itu. Hari ini, Haejin menelan kembali rasa kecewanya dan melangkah ke kelas.

 

“Haejin ....” Seseorang memanggil Haejin, dan orang itu adalah Rika Inoue, teman sebangku Haejin.

 

Haejin memasang senyum tipisnya. “Selamat pagi, Rika.” Begitu ucapnya, menyapa Rika. Untuk sesaat, gadis bertubuh mungil bernama Rika itu terdiam, agak kaget karena secepat ini waktu yang dibutuhkan Haejin untuk kembali tersenyum kepadanya. Tapi karena itu bukanlah hal yang buruk, maka ia juga akan merasa berbahagia untuk temannya.

 

“Selamat pagi, Haejin,” tuturnya, membalas sapaan Haejin dan menggandeng gadis itu menuju meja mereka.

 

“Apa kabarmu, Rika?” tanya Haejin, sesaat setelah mendaratkan bokongnya ke kursi miliknya. Rika mengangkat kedua alisnya, lalu tak lama dia tertawa.

 

“Kau baru bertemu denganku kemarin, Haejin,” tukasnya, menganggap lucu pertanyaan yang Haejin berikan.

 

“Ah, benar juga. Aku hanya ingin memastikan kalau temanku baik-baik saja, soalnya akhir-akhir ini kita agak sering dibuat cemas.”

 

“Haha, kau sepertinya mulai mempercayai rumor itu, ya, Haejin?”

 

Haejin mengalihkan pandangannya. “Ya ....” Tak mudah untuknya mengaku, namun tak bisa juga ia mengelak, sebab dia sudah membuktikannya dengan mata kepalanya sendiri kemarin.

 

Rika tertawa melihat ekspresi Haejin, lalu dia berangsur murung saat mengingat sesuatu. “Haejin ...,” panggilnya, membuat Haejin kembali menatap wajahnya. “apa kau sudah tahu?” tanya Rika kemudian.

 

“Tahu tentang apa?”

 

“Aku tahu aku tidak pantas mengatakannya, tapi mulai muncul rumor tak sedap tentang kematian bibi Yoon.” Wajah Haejin menjadi lebih serius.

 

“Rumor apa?” Haejin bertanya, dengan kedua alis yang bertaut. Wajahnya menunjukkan raut tak suka.

 

“Mengenai tak ditemukannya bukti pembunuhan maupun bukti bunuh diri pada kasus ibumu, dan juga luka yang ia dapat di leher serta perutnya, banyak murid yang berpikir dan menyebarkan gosip jika ibumu mati karena ulah makhluk supernatural. Seperti ..., vampir.”

 

Haejin terdiam, cukup lama dengan tangan yang mengepal kuat. Perasaan ini ..., amarah. Dia marah karena ada yang menyebarkan gosip tentang orang yang sudah meninggal, terlebih orang itu adalah ibunya.

 

Tapi apa yang bisa ia lakukan? Dia bisa menghentikan rumor yang beredar, tapi tak akan bisa menghapus keberadaannya.

 

“Begitu, ya ....” Karena itulah, Haejin tidak melakukan apa-apa. Dia hanya tersenyum pahit, dan tak mengelak. Juga, dia mempertimbangkan fakta jika vampir itu memang ada dan mungkin makhluk semacam itulah yang sudah membunuh ibunya.

 

“Haejin, kau baik-baik saja?” Melihat respons Haejin, Rika jadi berempati dan merasa cemas.

 

Tapi Haejin memilih untuk tersenyum, menekan rasa sedihnya lebih dalam agar tak muncul ke permukaan. “Aku baik-baik saja, Rika.”

 

Percakapan Rika dan Haejin agaknya harus terhenti, sebab ada seorang siswa yang tiba-tiba masuk dan mencari Haejin.

 

“Ada urusan apa denganku?” Haejin berkata, sembari mengangkat tangan guna menunjukkan keberadaannya yang sedang dicari.

 

Siswi yang mencari Haejin itu mendekat, berbicara padanya lebih pelan. “Seseorang dari kepolisian mencarimu,” tukasnya pada Haejin, membuat wajah gadis itu mengerut heran.

 

“Kepolisian?” tanya Haejin, memastikan. Siswi itu mengangguk.

 

“Dia menunggumu di bawah kursi dekat pohon besar sekolah. Kalau begitu, aku pergi dulu.”

 

“Terima kasih.” Haejin tak kunjung bangkit dan menuju tempat yang diberitahukan. Dia diam sebentar dan berpikir, untuk apa polisi kembali datang dan menemuinya? Sedangkan sejak bertemu dengan lelaki vampir bernama Ilucca kemarin, Haejin menghubungi Kang Bongshin dan membahas tentang rencana penutupan kasus kematian ibunya.

 

Apa Bongshin belum menyerah untuk menyelidiki kasus kematian Sona Yoon?

 

Haejin memutuskan untuk pergi, setelah berkata jika dirinya ada sedikit urusan pada Rika. Dia pergi seorang diri, menuju tempat yang diberitahukan siswi tadi. Di sekolah Haejin, hanya ada satu pohon yang dijuluki 'pohon besar sekolah'. Letaknya di bagian depan sekolah, dan sering menjadi ikon untuk mengenali sekolah Haejin.

 

Benar saja, ada seseorang yang menunggu Haejin di sana. Seorang lelaki dewasa.

 

“Permisi ...,” ucap Haejin. Atensi lelaki itu beralih ke Haejin, yang sudah datang dan menyapanya. Dia segera bangun dari duduknya, dan memberi bungkukan sebagai salam pertemuan.

 

“Selamat pagi, Nona Yoon. Aku Choi Hyeonjun, salah satu dari detektif supernatural yang kebetulan tertarik dengan kasus kematian ibumu.”

 

 

-Bersambung-



Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status