Share

BAB 4 : Syair Perpisahan

Seperti memang tak ada waktu untuknya terus berduka, gadis itu memilih untuk terus berjalan.

 

Satu hari setelah pemakaman selesai, Haejin masuk sekolah seperti biasa. Dia bertemu temannya dan belajar seperti biasa, dia juga langsung pergi bekerja setelah sepulang sekolah. Seperti biasa ....

 

Mungkin, hanya senyumnya saja yang akan menghilang setelah kepergian ibunya, dan itu pasti tidak akan berlangsung lama. Sama seperti ketika ia kehilangan ayahnya, dia pasti bisa kembali tersenyum setelah melihat orang-orang yang ia cintai.

 

Ah, sayangnya, yang pergi darinya itu adalah sosok yang amat ia cintai. Dia sendirian, tidak akan dikuatkan oleh kata-kata ajaib ibunya lagi. Bahkan pelukan hangat yang sangat ia butuhkan, tak kunjung datang untuk meringankan sesaknya.

 

“Jangan ..., jangan menangis Haejin ....” Haejin Yoon mengusap air mata yang hampir melintasi pipinya, lalu mendongak, menatap langit sore Kota Taekbaek. Selaras kemudian, senyum tipis terbentuk. Bukan senyum yang menggambarkan kebahagiaan, namun senyum yang dipaksakan agar ia tak lupa bagaimana cara melakukannya lagi setelah semua ini.

 

“Butuh sapu tangan?”

 

Renungan panjang Haejin di pinggir sungai itu terhenti seketika, ada seseorang yang berbicara padanya.

 

Gadis itu mengalihkan pandangan pada seorang lelaki yang berdiri di dekat pagar pembatas antara jalan dan sungai di depan mereka. Lelaki dengan tubuh tinggi, memakai kemeja putih dilapisi rompi abu-abu lalu dibalut mantel hitam yang senada dengan warna rambutnya, dia berbicara pada Haejin. Tentu tidak salah lagi, hanya ada Haejin dan orang itu di sana.

 

“Aku tidak tahu mengapa akhir-akhir ini ada saja orang asing yang mengajakku berbicara,” ketus Haejin, tanpa berniat menanggapi tawaran si lelaki berkacamata hitam. “melihat dari penampilanmu, sepertinya kau bukan orang baik.”

 

Ucapan Haejin membuat lelaki itu tersenyum. “Iya ..., kau benar. Aku memang bukan orang baik,” tuturnya lalu menghadap ke arah sungai yang membentang. “Hei ..., apa kematian adalah bagian paling menyedihkan dalam hidup manusia?” Lelaki itu kembali membuka suara, memecah hening antara dua insan yang berdiri di tempat yang sama.

 

Haejin melirik si lelaki, dengan sorot mata yang lebih tajam. Karena hanya orang asing, mungkin Haejin akan memaafkannya yang dengan gamblang mengungkit soal kematian di depan orang yang baru saja ditinggal mati. Haejin tak mau menanggapi, jadi dia memilih beranjak dari sana dan pergi.

 

“Kau mau pergi?” Bahkan tak terbesit sedikit pun di benaknya untuk menanggapi ucapan si lelaki. Sampai suatu ketika ..., “kau pasti masih sangat berduka, ya?” pertanyaan itu langsung menghentikan langkahnya.

 

“Aku berpikir kau masih ingin menangis di hari kedua, karenanya aku datang sambil membawa sapu tangan. Tapi sepertinya, kau sudah tidak ingin menangis lagi ....” Lelaki itu mengubah posisinya, menjadi menghadap Haejin yang juga sedang menghadapnya. Dia tersenyum, lalu berkata, “itu mungkin karena, kau sudah tumbuh menjadi anak yang kuat ..., Haejin Yoon.”

 

Ucapannya membuat emosi Haejin muncul kembali, entah mengapa. Terlebih, lelaki itu tahu jika Haejin baru saja kehilangan seseorang dan dia yang saat ini menyendiri di pinggir sungai karena masih merasa berduka.

 

“Siapa ..., kau?” tanya Haejin, penuh penekanan dan desakan agar segera dijawab sang lawan bicara.

 

“Aku Ilucca Lucretia Reev, yang mengirim bunga padamu kemarin. Maaf tidak bisa menghadiri pe—” Ucapan Ilucca belum selesai, tapi Haejin lebih dulu berlari mendekatinya dan mencengkram kerah bajunya dengan agresif. Tatapannya nyalang, seakan yang di depannya saat ini adalah pembunuh dari ibunya.

 

“Aku tahu kau mengetahui sesuatu tentang kematian ibuku. Katakan, katakan!” Haejin mendesak, namun tampak lelaki bernama Ilucca itu tidak mau mengatakannya, sekuat apapun ia mendesak.

 

“Aku tidak bisa memberitahumu, Nona.”

 

“Kenapa!? Apa karena kau memanglah pembunuhnya!?”

 

“Tidak .... Meski aku beri tahu pun, kau tidak akan percaya padaku. Karena aku hanya orang asing yang mencurigakan bagimu ....”

 

Perlahan, Haejin melepaskan cengkramannya. Sama seperti dengan lelaki kemarin, pada akhirnya Haejin hanya bisa melepasnya pergi tanpa mendapat sedikit pun informasi.

 

Haejin menunduk, lagi-lagi ingin menangis. Tapi karena ia berpikir dirinya tidaklah lemah, maka kembali ia gigit bibir bawahnya agar air mata itu tertahan dan tak jatuh mengalir.

 

“Aku suka caramu menghentikan air mata itu, Nona Haejin.” Ilucca merogoh saku mantelnya, memberi Haejin sebuah pisau belati kecil dengan ukiran indah pada gagangnya. “Kau mungkin akan segera bertemu dengan pembunuh ibumu tak lama lagi, jadi bawalah benda ini untuk berjaga-jaga.”

 

Setelah memberikan benda itu, Ilucca perlahan berjalan pergi. Tapi tak lama dari sana, Haejin mengejarnya dan dengan cepat membuatnya terjatuh cukup keras dengan posisi telentang. Kacamatanya terjatuh, dan matanya terpejam. Di saat seperti itu, Ilucca dapat merasakan dinginnya belati menembus dagingnya.

 

Haejin menusuk lehernya.

 

“Kau benar. Aku mungkin tidak percaya dan tidak akan bisa mempercayaimu!” Gadis itu tertawa, menatap luka menganga yang dibuatnya dari atas tubuh Ilucca. Rasanya seakan ia baru saja membalas rasa sakit ibunya dengan menusuk orang asing yang ia temui sore itu. Tapi tawanya tak bertahan lama.

 

Saat Ilucca membuka matanya, Haejin terdiam dengan perasaan merinding dan terkejut luar biasa. Tempat ia menatap saat ini, kedua netra yang sempurna menatapnya, namun tak ada apa-apa di sana.

 

Lelaki yang baru saja ditusuk Haejin dengan tangannya, tersenyum teduh. Lukanya perlahan berhenti mengalirkan darah, lalu tertutup sempurna seperti tak ada apapun yang menggoresnya beberapa detik lalu.

 

“Maafkan aku, Nona Haejin. Aku lengah dan tidak melihat gerakan lincahmu. Aku membuatmu melihat sosok monster dengan mata cantikmu, tapi sang monster tak bisa melihat sosokmu yang cantik dengan mata hampanya.”

 

***

 

Haejin berjalan pulang seorang diri, dengan langkah lemah seakan tak lagi memiliki semangat untuk hidup.

 

Setelah pertemuannya dengan Ilucca, Haejin kembali menangis untuk waktu yang lama di pinggiran sungai. Entah kenapa, setelah mengetahui kebenaran tentang hal-hal yang tak ingin dipercayainya, perasaannya seperti balok-balok yang kembali runtuh setelah susah payah ditata.

 

Mungkin saja lelaki bernama Ilucca itu tahu siapa yang membunuh ibunya, atau mungkin saja lelaki itulah yang membunuh ibunya. Haejin dibuat bimbang. Perasaan galau itu membuatnya susah mengambil keputusan, karena itulah dia membiarkan Ilucca pergi, dan meninggalkan belati pemberiannya agar dibawa oleh Haejin.

 

“Cih! Jika dia memang benar pelakunya, akan terdengar lucu jika diceritakan ke orang-orang,” ujarnya seraya menendangi kerikil kecil yang kebetulan bertemu dengannya di jalan. “pembunuh itu menemuiku, memberiku senjata untuk membunuhnya tapi setelah itu, dia berkata seakan-akan dia tidak melakukannya.”

 

Kurva menurun yang dibentuk bibirnya makin tajam melengkung. Saat ini, Haejin bahkan tak tahu apa yang bisa ia lakukan untuk membuat perasaan tak mengenakkan itu lenyap.

 

Langkah kecil Haejin terhenti, seraya matanya menangkap sempurna sosok yang berdiri satu meter dari tempatnya berada. “B-Beomyu ...,” katanya, terbata.

 

Baik dia dan Beomyu, tampak seperti sudah saling menemukan satu sama lain. Beomyu mengikis jarak, mendekati Haejin yang sepertinya sebentar lagi akan menangis hanya karena melihat sosoknya saja. Pemuda itu lantas menarik Haejin ke dalam pelukannya. “Maafkan aku, Haejin ...,” ucapnya dengan penuh rasa sesal.

 

Haejin sebenarnya sudah lelah menangis. Tapi kehadiran Beomyu membuatnya berpikir jika ia masih memiliki satu tempat untuknya melepas dukanya, sebab ia tahu, Beomyu tidak akan meninggalkannya.

 

“Beomyu ..., aku sangat merindukanmu.” Haejin menyerah, dia kembali menangis.

 

“Maaf ..., maaf karena baru menemuimu sekarang. Sekarang, menangislah. Keluarkan air mata yang kau tahan untukku, kau sudah bisa membaginya denganku sekarang.”

 

Makin kencang tangis Haejin dalam pelukan Beomyu. Sementara pemuda itu hanya bisa memeluknya seraya mengelus punggungnya dengan lembut. Dia erharap dirinya bisa mengurangi kesedihan gadis itu.

 

Lumayan lama Haejin menangis. Hal itu membuatnya kelelahan dan sangat lapar. Karena itu, Beomyu membawa Haejin ke kedai tempat gadis itu bekerja yang kebetulan tak seberapa jauh dari tempat mereka bertemu.

 

“Paman Pilsu, tolong buatkan gadis ini satu mangkuk ramyeon dan dua minuman hangat untukku dan dia, ya?” Beomyu memesan makanan, dan kembali ke tempat dirinya dan Haejin duduk. Karena mereka akan berbicara berdua saja, jadi sengaja untuk duduk di bagian teras kedai agar tak mengganggu maupun terganggu oleh pembeli lain.

 

Ketika makanan yang dipesan sudah jadi, Haejin langsung memakannya. Sementara Beomyu hanya akan duduk diam, memandanginya dengan senyum penuh harapan. Harapan akan terus berlanjutnya hidup gadis itu seperti biasa, harapan akan dukanya segera berakhir dan dia kembali pada cahaya yang selama ini ia genggam.

 

“Kau tidak harus memakannya dalam sekali suap, Haejin. Pelan-pelan saja,” ujar Beomyu, mengingatkan Haejin untuk tak makan tergesa-gesa.

 

Haejin tidak melanjutkan makannya, dia meletakkan kembali sumpitnya dan menatap Beomyu. “Ada apa?” tanya Beomyu, tampak cemas jika saja Haejin berhenti makan karena ucapannya barusan.

 

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya sangat senang bisa melihatmu lagi.” Haejin mengatakannya dengan tulus, meski tanpa senyum mengiringinya.

 

“Aku minta maaf karena menghilang saat kau membutuhkanku. Malam itu, tiba-tiba saja ayah datang dan membawaku beserta nenek untuk keluar dari rumah itu. Kami tinggal di atap yang sama lagi setelah sekian lama.”

 

“Kau pasti sangat senang, kan?”

 

“Iya, pastinya. Tapi aku tidak bisa tidur karena memikirkanmu.”

 

“Terima kasih untuk itu.”

 

“Aku berusaha keras untuk pergi menemuimu, tapi ayah bilang kalau aku tidak bisa keluar dulu untuk beberapa hari.”

 

“Mengingatmu tidak masuk sekolah hari ini, apa saat ini kau sedang kabur?”

 

Beomyu sedikit terkejut saat Haejin bertanya seperti itu. Dia segera menyanggah. “Tidak! Aku sudah meminta izin untuk menemuimu.”

 

Haejin tersenyum tipis, senyum yang rasanya sudah lama sekali tidak Beomyu lihat. “Kenapa responsmu seperti aku sedang menuduhmu membunuh seseorang, Beomyu? Berlebihan sekali,” ucap Haejin, lalu ia kembali memakan ramyeon miliknya sampai habis.

 

Beomyu tersenyum lega.

 

Setelah menghabiskan makanannya, Haejin terdiam. Lama ia tak membuka suara, sampai Beomyu cemas jika saja sekarang hal-hal yang tak diinginkan sedang melintas di kepala gadis itu. Beomyu baru akan membuka mulutnya, dan gadis itu lebih dulu berkata.

 

“Beomyu ..., kenapa ibuku tidak memberiku syair perpisahan dulu sebelum dia pergi?”

 

Beomyu tertegun, tampak tak paham dengan pertanyaan yang seakan keluar begitu saja tanpa alasan. “E-eh? Syair perpisahan?”

 

“Sebelum pergi, biasanya seseorang akan melakukan atau mengatakan hal berharga pada orang yang akan ditinggalkan. Tapi kenapa ibuku tidak? Jika memang akan pergi, setidaknya dia bisa mengelus rambutku dulu sebelum menutup matanya. Tapi dia bahkan pergi dengan tiba-tiba, tanpa memberiku kata-kata, dan tanpa memberiku kesempatan untuk berkata bahwa aku sangat menyayanginya.”

 

Haejin mengembuskan napas dengan singkat, tampak rautnya kembali mendung setelah mengingat kematian ibunya. “Aku jadi merasa ada yang kurang, tapi aku tidak bisa menutupinya.”

 

“Haejin ...,” Beomyu memanggilnya, membuat Haejin menatap wajahnya. “aku rasa ibumu sudah memberikannya ..., syair perpisahan itu ....”

 

“Benarkah? Apa mungkin aku saja yang tidak mengingatnya?”

 

“Kau tidak melupakannya, kau hanya belum mengingatnya saja.” Beomyu tersenyum, melenyapkan raut mendung Haejin hanya dengan memandang wajah yang indah itu. Lantas, dirinya menatap jalanan sepi di depan mereka.

 

“Syair perpisahan setiap orang, dimulai saat mereka pertama kali bertemu. Mereka yang memiliki hubungan kuat, tentu akan memiliki syair perpisahan yang lebih panjang dari pada mereka yang hanya bertemu karena suatu urusan. Ibumu menulis syair perpisahannya ketika dia melahirkanmu, dan terus menuliskannya sampai saat terakhirnya mengingat dirimu. Judul syair perpisahan itu ..., kenangan.”

 

Beomyu kembali menatap Haejin, dengan tatapan yang serius dan penuh harap akan tersampainya maksud ucapannya pada Haejin.

 

“Kenangan itu syair yang panjang, namun memiliki kesan mendalam. Dia akan mengalun sewaktu-waktu, seperti lagu yang hidup di dalam kepalamu. Kenangan yang kau miliki bersama ibumu pastinya sangat banyak, juga menyenangkan. Karena itulah saat kau kehilangannya, syair perpisahan milik ibumu akan terdengar sangat menyakitkan.”

 

“Apa kau juga memiliki syair perpisahan untukku, Beomyu?”

 

“Tentu saja aku punya. Aku menulisnya saat pertama kali kita bertemu, saat pertama kali aku membangun kenangan bersamamu. Dan syair perpisahanku itu akan selesai saat terakhir kali aku mengingatmu.” Beomyu menjawabnya dengan sangat santai, seakan jika kehilangan dirinya, Haejin akan tetap baik-baik saja.

 

“Kau mau meninggalkanku? Jangan, jangan tinggalkan aku. Aku hanya memilikimu di dunia ini, aku mungkin tidak tahu apa yang akan terjadi padaku nanti kalau aku sampai kehilanganmu juga, Beomyu.”

 

“Bagiku, konsep kehidupan itu hanya; kita didatangi untuk ditinggalkan, dan datang untuk meninggalkan. Terdengar seakan kita memiliki sesuatu hanya untuk kehilangannya, tapi seperti itulah kehidupan.” Haejin membulatkan matanya secara spontan, terkejut akan ucapan Beomyu yang amat menyakitkan.

 

Beomyu melanjutkan ucapannya. “Tapi karena kita akan ditinggalkan, meninggalkan dan kehilangan, setiap waktu dalam hidup akan menjadi sangat berharga. Seseorang akan sangat menghargai waktunya saat sedang melakukan hal yang ia suka, atau menghabiskan waktu dengan orang yang ia cintai. Ibumu sepertinya sangat memahami hal itu, Haejin.”

 

Haejin menunduk, dan kembali datang keinginan untuk menangis. Tapi kala air mata itu hampir terjatuh, Beomyu menyentuh kepalanya, memberi rasa hangat dan nyaman di sana. “Meskipun menyakitkan, syair perpisahan yang ibumu berikan adalah satu-satunya hal berharga yang tersisa dari kehidupannya. Dia menulisnya bersamamu, dan itu pasti akan menjadi maha karya terbesar yang pernah ia buat.”

 

Haejin mengangkat kepalanya, menatap Beomyu yang sedang tersenyum padanya. Beomyu melanjutkan kalimatnya. “Syair perpisahannya adalah lagu terakhir yang bisa ia nyanyikan untukmu, agar kau tidak menyerah dan berhenti menulis syair milikmu di tengah jalan. Karena itu, jangan menyerah, Haejin. Lanjutkan syair milikmu, bersamaku.”

 

Rentetan kalimat itu menyentuh hati kecil Haejin, membuat sensasi hangat di sana namun itu juga menjadi alasannya untuk kembali tersenyum.

 

“Hei, Beomyu .... Apa kalimat panjangmu tadi adalah bait terakhir syair perpisahan yang akan kau berikan padaku?”

 

 


-Bersambung-



Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status