Angin sejuk menyapu udara sore, dedaunan kering jatuh dan bertebaran di halaman rumah bapak.
Hari Minggu aku tak memilih untuk ke toko, rasanya badan ini lesu untuk keluar dari rumah, sehingga ku hanya menghabiskan waktu untuk duduk di pelataran ruma bapa sembari menyaksikan kedua anakku yang bermain ceria. "Assalamualaikum," sapa seseorang menyentak lamunanku. "Oh, Mas Rafiq, silakan Masuk," jawabku. "Ada Bapak dan Ibumu," tanyanya sambil m ngambil posisi di sebelahku. "Ada Mas," jawabku pelan. "Boleh aku bertemu?" Binar matanya terlihat ceria dan bersemangat. "Iya, tapi ...." "Kenapa?" Dia menangkap keraguanku. "Sepertinya akan sulit menyakinkan Bapak, Mas, semalam aku sudah bicara, tapi beliau ...." Aku tak melanjutkan namun memberi isyarat berupa gelengan padanya. "Kenapa?" Tanpa kami sadari bapak ternyata telah berdiri di belakang kami. " Ehem, kamu ada di sini?" "I-iya, Pak, saya di sini," jawab Mas Rafiq. "Silakan masuk, kebetulan saya ingin bicara padamu," ujar Bapak. "Oh, baik, Pak." Mas Rafiq mengikuti langkah Bapak ke dalam sambil melirikku dan mengulas senyum tipis. "Duduk dulu ya, Mas, aku bikinin teh," ujarku memecah kekakuan antara Bapak dan mantan suamiku itu. Aku kembali membawakan teh ketika Bapak membuka pembicaraan dengan mantan suamiku itu. "Bapak sudah dengar rencana rujuk kalian, bapak ingin mendengar dari kamu," ujar Bapak. "Ya Benar, saya ingin kembali kepada Jannah, membangun kembali ..." "Membangun apa?! Kamu tidak tahu betapa hancurnya anak saya ketika pertama kali tahu kamu poligami, kamu tidak tahu betapa anak saya menderita dalam diam, meski dia tak memberi tahu saya, saya tahu dia amat sengsara. Sepanjang hari dia terus bersedih meski di depan saya dia memaksakan senyumnya, kamu tahu itu?" "Maafkan saya, Pak, justru sekarang saya ingin memperbaiki semuanya." "Apa yang ingin kamu perbaiki? Ketika anak saya terluka, kamu pikir kami orang tua tidak merasakan sakit?" Bapak menatap tajam padanya, " selama ini aku diam saja, aku membiarkanmu bertemu anakmu dan bergaul dengan Jannah, tapi untuk menikah, TIDAK!" "Saya mohon Pak, saya akan lakukan apa saja demi mendapatkan kembali keluarga kecil saya," pinta Mas Rafiq memelas sambil menjatuhkan diri di kaki Bapak. "Saya pun akan melakukan apa saja demi melindungi kenyamanan dan kebahagiaan anak cucu saya." Kali ini ucapan Bapak seolah olah menggetarkan dinding rumah. "Minumlah tehmu, saya masuk dulu," kata Bapak sambil bangkit yang kupahami maksudnya adalah mengusir Mas Rafiq pergi. "Bapak saya akan menebus kesalahan saya." Mas Rafiq masih memelas. "Kau tahu kenapa saya membuka hati untuk Wira?" Mas Rafiq menggeleng dengan raut ingin tahu. "Itu karena saya ingin anak saya melanjutkan hidupnya dan tidak teringat kamu lagi, saya akan menerima laki-laki baik mana saja, kecuali, kamu!" "Kenapa Bapak baru mengatakannya sekarang ...." "Karena saya sudah tak tahan lagi, mengerti!" "Beri saya kesempatan untuk menjadi lebih baik, Pak." Bapak hanya menatap tajam pada Ayah Rayan untuk beberapa detik lalu masuk ke ruang tengah. "Mas ..." Kuhampiri Mas Rafiq yang tertunduk lesu di depan kursi Bapak tadi. Ia mendongak padaku dengan ekspresi sedih. "Kupikir sikap bapak yag baik selama ini tidak menyimpan sakit hati," gumamnya sedih. "Maafkan Bapak, Mas, Mas maklumi jika Bapak sudah sangat mencemaskan kami," balasku. "Ya, aku mengerti." "Jannah ...." Panggilan Bapak mengudara. "Iya, Pak." "Masuk, Nduk, itu anakmu kayaknya popoknya kotor, ganti dulu," suruhnya. "Iya, Pak, sebentar." "Sekarang! Rayan nangis!" tekannya dengan maksud agar aku segera masuk dan meninggalkan mantan suamiku. Aku masuk ke dalam dengan isyarat mohon maaf pada Mas Rafiq entah saat itu dia masih menunggu atau langsung pergi, aku tak tahu karena kesibukanku yang harus mengurusi kedua anak yang minta dimandikan. * "Jangan terlalu keras tho, Pak, kasihan Nak Rafiq, Jannah juga," ujar Ibu ketika menghidangkan kopi di meja, sedang aku mendengar percakapan mereka. "Bapak melakukan ini demi kebaikan Jannah," jawab Bapak sambil menerawang. "Kalo Jannah masih bahagia dan mencintai Nak Rafiq bagaimana Pak?" "Aku gak setuju, Bu." "Bapak tega melihat Jannah seumur hidup menyendiri seperti itu, anak anak dia tanpa ayahnya?" "Enggak juga, Bu. Bapak yakin suatu hari akan ada kebahagiaan buat anak kita," jawab Bapak. "Kalo dia cintanya mentok sama Dokter itu?" "Mantan Dokter," ujar Bapak meralatnya. "Iya, iya, seperti yang Bapak sebutkan." Ibu mengalah. "Pria itu plin plan, manja, dan selalu menuruti keinginan ibunya, ketika ditinggal Jannah, dia stress dan memilih mabuk mabukan, itu tidak dewasa sekali 'kan Bu? Belum lagi dia dipecat dari rumah sakit, dan pernah berselingkuh. kini dia jadi pengangguran memangnya dia mau kasih makan anak kita pake apa?" "Lho, Nak Rafiq punya banyak bisnis Pak." "Bisnisnya atau bisnis ibunya, sekaya apapun dia kalo belum memiliki prinsip, percuma! "Beri kesempatan Pak," bujuk Ibu. "Tidak, kalo Jannah tak bisa menemukan jodoh sendiri, maka Bapak yang akan carikan untuknya!" Dari balik dinding aku mendengar percakapan kedua orang tuaku dengan napas tertahan. Baru kemarin aku akan membuka hati untuk Mas Rafiq menjadi suamiku, kini aku harus menerima pil pahit penolakan orang tuaku. Membayangkan Bapak akan mencarikan jodoh saya aku sudah bergidik dan berat hati, apalagi harus menikah dan membina rumah tangga dengan orang yang belum kukenal seluk beluknya sedikit pun. "Besok akan kubicarakan hal ini degan Jannah," ujar Bapak yang terakhir terdengar olehku karena setelahnya aku masuk ke kamar dan merebahkan diri peraduan, melabuhkan penat tubuh dan lelah pikiran. ** "Kamu ingat Haji Sahabudin sepupu Bapak yang dulu sering kita kunjungi di kampung dulu?" "Iya, Pak." "Nah dia punya anak seorang PNS pegawai kantor desa, namanya Bima." Bagikan Bapak membuka percakapan di pagi hari ini denganku. "Terus kenapa Pak?" tanyaku dengan dada berdebar, meski aku tahu sendiri apa yang akan bapak katakan. Kucoba menebak, apakah beliau akan mengatakan bahwa akan mengunjungi ke kampung dan membicarakan tentangku, atau rencana menjodohkan. Entahlah .... "Mereka akan datang melamar, tinggal menunggu tanggal dan kesiapan kamu saja." "Apa?" Mataku membulat sempurna tak sanggup menutupi keterkejutan. "Bapak sudah bicarakan ini dari dulu, dan akhirnya Nak Bima menyetujui untuk mencoba ta'aruf atau mencoba saling mengenal dulu denganmu." "Tapi Bapak tak pernah membahasnya denganku," protesku. "Aku belum sempat, sudah lama bapak berdiskusi dengan Haji Sahab, dan akhirnya dia memberikan restunya, aku yakin kamu akan bahagia karena pemuda itu pria baik dan Sholeh." "Ada garansi buat Jannah akan bahagia Pak,". Tanyaku. "Semua itu terserah kamu membawa dan menyikapinya seperti apa." Bapak mengesap kopi dengan perlahan. "Bapak akan memutuskan dalam waktu dekat jadi pertimbangkanlah." "Dalam Islam, bukankah janda berhak menentukan pilihan?" Aku mencoba menunjukkan keberatan. "Kalo ternyata pria itu baik, dan kamu menyia-nyiakannya demi pria yang gak baik? Yang menyesal siapa?" Aku tercekat mendengarnya. "Bagaimana kalo orang yang kamu kejar ternyata tidak lebih baik daripada orang yang menunggumu, sebaiknya shalatlah istikharah, agar kau menemukan jawaban. Jangan keraskam hatimu dan memutuska sendiri, anakmu butuh Bapak untuk memgayomi mereka." "Tapi ... Aku janda Pak, pemuda itu apa mau dengan ibu dua orang anak?" "Dia setuju." "Mungkin juga terpaksa Pak," ujarku. "Dia sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan," jawab Bapak. "Kenapa Pak ingin segera Aku menikah, kesannya jadi terburu-buru Pak, lagipula kurasa aku lebih dewasa dari pemuda yang bernama Bima itu." "Kedewasaan tidak tergantung dari umur dan lingkungan tapi datangnya dari diri sendiri da pengetahuan." Bimbang memang, mendengar permintaan Bapak, hatiku masih berat kepada Mas Rafiq dan juga menimbang bahwa anak-anak belum tentu akan bahagia jika pemuda itu yang menjadi suamiku. Ditambah lagi seingatku Raisa hanya menginginkan Mas Rafiq sebagai ayahnya lagi. Ah, kepalaku mendadak berat. "Tak tunggu jawabannya dalam 3 hari ya," ujar Bapak sambil bangkit dari kursinya dan menuju kandang merpati kesayangannya. Yang berat adalah ketika Bapak sudah mengambil keputusan maka istri dan anaknya harus menganggap itu sebagai titah yang harus dilaksanakan. Tidak boleh diganggu gugat apalagi dibantah. Bagaimana ini?Empat Minggu kemudian.Iring iringan pengantin terdengar penuh kesemarakan. Dari jarak seratus meter aku bisa menangkap suara tetabuhan rebana yang mengantar Mas Haris sekeluarga untuk meminang diriku, membawaku ke meja akad untuk disahkan sebagai istri, untuk diikat ke tali pernikahan yang akan kami jaga selamanya. Aku didudukkan di meja akad sambil membawa serta bayiku karena aku ingin semua orang tahu bahwa diri ini bukanlah seorang gadis, melainkan janda dengan satu anak di mana semua orang harus tahu dan menerima diri ini beserta dengan putraku. Sudah ku tanyakan pada mereka sebelumnya Kalau ada yang keberatan maka pernikahan ini tidak akan terjadi tapi alhamdulillah mereka semua merestui sehingga terjadilah akad yang detik ini sedang berlangsung."Bismillah, Haris Aditya Saya nikahkan kamu dengan Raisa Almira binti Muhammad Ikbal almarhum yang diwakilkan kepada saya sebagai wali dengan Mas kawin seperangkat alat salat, uang tunai sepuluh juta dibayar tunai.""Saya terima nik
Suatu pagi Bunda menemuiku di balkon, aku yang baru saja selesai memandikan Nayla lalu menggendongnya dan membiarkan bayiku sedikit terkena matahari agar tubuhnya tidak menguning. Lagi pula sinar matahari hangat dan mengandung vitamin D jadi itu akan baik untuk perkembangan dan pertumbuhannya."Apa kabar sayang?" bunda datang dan mencium bayiku."Baik Bunda," jawabku."Aku senang kalian terlihat sehat dan ceria. Oh ya, belakangan pipimu jadi lebih tirus ya ....""Mungkin karena rutinitas baru menjaga bayi yang membuat berat badan saya menurun," balasku tergelak."Tapi meski sedikit kurus kau tetap cantik. Btw, bagaimana kabar Haris, sudah tiga hari dia tidak datang.""Ada acara Bund, semacam pelatihan dan pertemuan.""Tapi dia baik baik aja kan?""Tentu, Alhamdulillah."Bunda menggumam dan tersenyum penuh arti, dia menatapku dan bayiku bergantian lalu berkata,"Mungkin ini sudah saatnya untuk berbahagia dan lepas dari semua masa lalu yang telah menyakiti dirimu anakku."“Iya, semoga
"Saya dengar begitu sedih perasaan Raisa memikirkan nasibnya, hati saya terenyuh dan pedih sekali membayangkan semua itu. Karenanya saya semakin yakin untuk menjadikan dia istri karena saya tahu dia adalah wanita yang baik dan penuh dengan kesabaran.""Bagaimana kalau aku menolakmu, panjang sekali kau ingin menjadi ayah anakku!" "Aku tahu kau marah kamu maafkan Aku tapi aku tidak bisa membendung perasaanku, aku prihatin dan ingin....""Cukup! jangan campur adukkan perasaan kasihanmu itu dengan empati, lalu kau berusaha untuk menikahiku. itu sama sekali bukanlah cinta dan kau tidak akan berhasil menjalani rumah tangga tanpa cinta.""Aku belajar darimu tentang kenaifan karena begitu tulusnya mencintai seseorang, aku lebih memilih untuk bersamamu karena sudah tahu latar belakang dan bagaimana perjalanan hidupmu, tolong bantu aku mendapatkan keyakinanmu, Raisa.""Nak ...." Bunda seakan memberi isyarat agar aku memberi kesempatan kepada haris untuk menunjukkan perasaan dia yang sebenarnya
"Cantik sekali putrimu, Raisa," ujar Mbak Aira."Terima kasih Mbak, Alhamdulillah.""Apakah kau mengalami kesulitan selama hamil?" tanyanya."Kalau masalah yang lain tidak satu-satunya kesulitan yang saya hadapi hanya berasal dari kalian berdua," balasku.Mendengar aku menjawab seperti itu mas Tama segera mahalan nafas dan memberi isyarat agar aku tidak terus mencari gara-gara tapi karena kepanasan sudah benci dan sakit hati aku tidak mampu membendung sikap sinis dan kekecewaanku. Mestinya aku bersikap dewasa dalam situasi seperti ini, terlebih mereka datang dengan niat baik, tapi diri ini seakan tidak mampu menyembunyikan gejolak sakit hati yang tiba-tiba meronta.Tadinya aku ingin terus bersikap tenang dan sabar tapi lama-kelamaan sepertinya aku tidak akan punya kesempatan untuk membalas perbuatan mereka kalau tidak hari ini."Ini kan mau main yang baik ya sebaiknya kita tidak usah berdebat dalam keadaan seperti ini, Aku ingin kita fokus untuk menyambut kedatangan bayi dengan rasa s
Sampainya di rumah sakit aku segera mendaftar dan diantar langsung ke ruang bersalin oleh beberapa perawat. Aku diminta untuk berganti pakaian dan langsung memeriksa bukaan di meja pemeriksaan."Bukaan tiga Buk, bisa jalan-jalan dulu, kan waktu sambil menunggu bukaan kami akan memeriksa kelanjutannya nanti.""Terima kasih," jawabku pada Bidan pemeriksa."Eh tapi rencananya lahiran normal kan?""Insya Allah," jawabku."Bagus, karena posisi anaknya juga baik jadi melahirkan secara normal saja.""Terima kasih ibu bidan," jawabku sambil tersenyum ramah, wanita itu mengangguk dan tersenyum lebar lalu meninggalkanku yang masih terguling di ranjang rumah sakit.*"Bagaimana Nak?""Masih bukaan tiga.""Oh masih tujuh jam lagi," balas Bunda."Semoga lancar," desahku."Semoga dengan kelahiran bayi ini membawa berkah dan kebahagiaan dalam hidupmu, tuntas sudah masalah perceraian dan kau bisa melanjutkan segalanya dengan lega.""Alhamdulillah."*"Surprise!"Aku aku terkejut saat beberapa sahaba
Mendengar pengusiran dari ayah tiriku tentu saja Mas Tama langsung diam saja. Dia berdiri membeku tapi tidak melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari rumah ini. Mas Tama menatapku dan orang tuaku secara bergantian.Aku sendiri entah apa reaksiku, meski sudah dibohongi dan diceraikan dengan cara demikian aku sama sekali tidak merasa sedih atau terluka. Mungkin karena perasaan di dalam hatiku sudah mati, jadi apapun yang akan Mas tamalakukan tidak ada bedanya di mataku. Dia mau mempertahankanku atau meninggalkanku semuanya tidak ada bedanya karena tetap saja aku akan merasa kesepian dan sendiri. Dia akan tetap sibuk dengan mbak Aira dan anak-anaknya sementara aku tetap akan jatuh dalam kesendirian."Terima kasih atas kebijaksanaan dan keputusanmu Mas aku sangat terharu sekali dan bahagia karena akhirnya hubungan kita akan selesai dan prahara di antara kita selesai juga.""Aku mengambil keputusan ini dengan perasaan yang amat sedih dan sesungguhnya aku sangat berat melepaskanmu Rais