TIDAK ADA NAMAKU
(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)POV AgusRini melotot, dia menghempaskan tanganku. Marah."Kamu itu ke mana saja, Mas? Ngelayap terus. Sampai-sampai aku jadi tontonan warga karena diamuk mantan istrimu," omelnya."Y-ya aku ngga tahu kalau akan ada kejadian seperti ini. Tadi aku cuma ngopi di warung Mak Nah.""Ngga tahu, ngga tahu. Kamu itu memang ngga pernah tahu apa-apa, Mas. Yang kamu tahu cuma enak-enakan doang. Ngerokok, ngopi, molor. Itu terus kerjaannya." Rini nerocos tanpa henti. Aku yang kena sasaran."Itu 'kan salah kamu, Sayang. Karena kemarin ….""Apa kamu bilang? Salah aku. Salahnya di mana, coba bilang? Aku cuma memperingatkan bocah itu biar ngga selalu panggil bapak setiap lihat kamu. Sebel dengernya." Rini memotong ucapanku.Zizah 'kan memang anakku. Wajar saja dia memanggilku dengan sebutan Bapak, ucapku dalam hati. Aku memang tidak pernah berani protes ataupun membantah Rini. Bisa-bisa ditendang dari rumahnya.Memilih Rini dan meninggalkan Siti sudah dengan pemikiran matang. Rini cantik, s*ksi, yang pasti banyak duit. Dia juga salah satu warga RT 01 yang disegani karena memiliki banyak materi. Siapapun pasti pengen hidup enak. Pun denganku.Siti memang manis dan lebih muda. Dia juga rajin bekerja. Tapi penghasilannya cuma cukup buat makan sehari-hari. Itupun dengan lauk seadanya. Setiap minta duit untuk beli rokok, pasti diceramahin. Apalagi sama simboknya itu. Lama-lama aku 'kan bosan dan tidak tahan hidup seperti itu.Bukannya tidak bertanggung jawab sebagai suami. Tapi memang belum ada pekerjaan yang cocok denganku. Makanya sampai sekarang masih nganggur."Mas, pokoknya kita mesti balas Siti. Enak saja, berani-beraninya dia mempermalukan aku seperti tadi."—--------------"Apa? Jangan g*l* kamu, Sayang. Aku ngga mau ah. Terlalu beresiko," tolakku ketika Rini menyuruhku mencelak*i Siti. Rini bilang sebagai balasan atas apa yang sudah Siti lakukan padanya."Ya sudah, siap-siap saja semua bajumu aku buang keluar, Mas."Aku hanya bisa menelan ludah mendengar ancamannya tersebut."Jangan begitu, Sayang. Aku punya masukan, bagaimana kalau kamu balas jambak dia saja." Berusaha membujuk Rini agar lupa dengan niat ekstrimnya tersebut."Berarti kamu menolak, ya, Mas. Oke." Rini berjalan ke kamar. Dia mengeluarkan semua pakaianku dari dalam lemari."Iya, iya. Aku akan melakukan apa yang kamu suruh. Tapi kalau sampai ketahuan, kamu harus berani bertanggung jawab, ya.""B*d*h. Ya, jangan sampai ketahuan lah. Cepetan sana, kamu ikutin Siti. Dia 'kan jualan cilok keliling. Cari situasi aman di tempat yang sepi. Langsung, deh, beraksi."Gampang banget Rini nyuruh aku melakukan hal kr*m*nal. Dia sendiri tidak mau nanggung resiko. Tapi mau tidak mau harus aku lakukan. Daripada diusir."Terus aku mesti ngikutin dia dari pagi begini? Dia 'kan kerja di perumahan dulu, baru jualan cilok.""Mmm … hafal banget, ya. Mentang-mentang mantan istrinya."Ngomong sama Rini memang selalu salah.Tidak ingin berdebat terus. Aku pun memilih langsung pergi. Sebenarnya mataku ngantuk berat, butuh kopi, perut juga masih kosong.-Untung saja ada warteg dekat perumahan tempat Siti bekerja, jadi aku bisa menunggu dia di sini.Setengah hari berlalu, akhirnya Siti pun terlihat keluar mendorong gerobak dari tugu perumahan.Siti bersama Zizah, terus bagaimana mencelak*i dia? Tidak mungkin Zizah ikut aku celak*i. Mana masih bingung mau aku apain si Siti. Hah … ada-ada saja idenya Rini. Bikin susah.Kalau ditubr*k dari belakang, kira-kira berbahaya ngga, ya? Atau mending aku seremp*t saja.Dari jarak aman aku terus mengikuti Siti. Sesekali berhenti agar tidak terlalu dekat sambil melihat situasi.Jalanan mulai sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang melintas. Tapi … saat aku ingin melakukan aksi, tiba-tiba rasanya takut.Bagaimana kalau dijalanan ini terpasang CCTV. Belum lagi kalau nanti Siti terluka parah. Aku tidak mau berurusan sama pihak berwajib hanya karena melakukan hal konyol. Akhirnya aku pun mengurungkan niat tersebut.Masih tetap mengikuti Siti, sambil memikirkan cara lain untuk membalas perbuatannya pada Rini.Konyol … bisa-bisanya dari pagi nungguin Siti dan sekarang harus ngikutin dia bak detektif. Tapi kuat juga Siti sama Zizah, jalan panas-panasan sejauh ini.Saat fokus mengamati mereka, tiba-tiba ada sebuah mobil yang menghalangi pandangan. Mobil tersebut membunyikan klakson.Mau ngapain mobil itu? Masa' iya mau beli cilok. Siti terlihat berhenti dan menepikan gerobaknya.Aku minggir dan mengamati dari balik pohon besar. Seorang bapak turun dari mobil dan menghampiri Siti. Mereka seperti berbincang, tapi entah apa. Karena aku tidak dengar.Jangan-jangan. Siti jualan cilok cuma sebagai kedok. Aslinya dia perempuan p*nggilan. Wah harus diabadikan momen ini. Bisa buat bukti.Aku segera mengambil ponsel dari saku jaket dan memfoto mereka. Setelah mendapat beberapa foto aku pun langsung pergi.-Rini sudah berdiri di depan ketika aku pulang."Bagaimana, Mas? Kamu berhasil mencelak*i Siti 'kan? Pasti kamu sudah t*br*k kakinya biar luka dan tidak bisa jalan. Setelah itu dia tidak bisa kerja dan tidak punya uang. Hidup dia dan keluarganya menderita. Aku tinggal tertawa deh."Bayangan Rini terlalu jauh. Dia tidak punya rasa takut sama sekali ingin membuat Siti terluka."Di dalam saja ngomongnya. Nanti ada yang dengar bisa-bisa dilaporkan. Kamu mau? Lagian aku mau istirahat sebentar. Capek banget.""Istirahatnya nanti. Aku mau tahu dulu apa yang sudah kamu lakukan pada janda g*t*l itu."Mengambil ponsel dan memperlihatkan foto yang kudapat tadi pada Rini.Rini melihat dengan wajah datar. " Kamu itu ngapain malah ngasih lihat foto ngga penting seperti ini. Terus, Siti kok kelihatan masih baik-baik saja?"Menghembuskan napas kasar. "Dia memang masih baik-baik saja. Aku tidak melakukan seperti yang kamu inginkan. Terlalu beresiko," jelasku sembari menyandarkan kepala di sofa.Rini melempar ponsel ke arahku."Ternyata kamu pengen hidup gemb*l, ya, Mas. Oke … aku turuti." Rini melempar sebuah tas besar. "Cepetan pergi dari rumah ini." Dia menarik tanganku. Sangat marah."Sayang, kamu apa-apaan, sih. Dengar dulu, aku mau jelaskan.""Mau jelasin apa lagi? Disuruh mencelak*i Siti saja tidak kamu lakukan. Apa kamu masih mencintai dia, makanya tidak mau melakukan hal tersebut.""Kita bisa membalas Siti tanpa harus melakukan hal kr*m*nal, Sayang. Kamu lihat 'kan foto tadi. Siti sedang bersama seorang bapak.""Terus penting, gitu, buat aku.""Penting banget. Karena bapak itu pasti pelanggan Siti. Tidak mungkin seorang bapak turun dari mobil bagus hanya untuk beli cilok. Kan tidak masuk akal.""Pelanggan? Maksudnya pelang-gan pl*s-pl*s?"Aku menjawab dengan menaik turunkan alis."Si-Siti ju*l diri?""Foto tadi bisa untuk mempermalukan Siti di desa ini, Sayang. Terutama di RT 01."Rini teriak histeris. Dia memelukku sangat erat. Begitu senang.BersambungTIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)"Mbok, ada apa? Kenapa Simbok menangis?" tanyaku khawatir ketika melihat simbok duduk di tepi tempat tidur dengan air mata bercucuran. Entah apa yang terjadi karena aku dan Zizah baru saja pulang. "Apa ada yang sakit, Mbok? Siti antar ke dokter, ya," tanyaku lagi.Simbok menggelengkan kepala. "Sit, tadi Rini …." Beliau menghentikan ucapan.Rini? Bikin ulah apa lagi dia? Kenapa Simbok sampai menangis?"Rini kenapa, Mbok?""Tadi dia ke sini bersama beberapa warga RT 01. Dia menunjukkan foto pada Simbok.""Foto? Foto apa, Mbok?""F-foto kamu bersama seorang bapak. Rini bilang sama Simbok, kalau kamu sudah mencoreng warga RT 01. Si-Simbok percaya sama kamu, Sit. Tidak mungkin kamu melakukan perbuatan seperti yang dikatakan Rini.""Memangnya Siti melakukan perbuatan apa?" "Katanya kamu menj*al d*ri." Tangis simbok semakin tergugu. "Rini bilang seperti itu, Mbok? Simbok percaya 'kan sama Siti? Siti tidak mungkin melakukan hal ters
TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)Pak Baskoro, beliau yang bisa membantuku untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi … aku tidak tahu rumah beliau di mana. Hanya bisa berharap, semoga besok bertemu lagi saat jualan.—-----------Sudah tiga hari keliling jualan cilok, tapi tidak bertemu dengan Pak Baskoro. Padahal beliau adalah kunci untuk membuktikan bahwa semua tuduhan Rini salah besar. "Mak, ciloknya sudah habis. Kok kita ngga pulang-pulang?" tanya Zizah. Biasanya setelah dagangan habis, aku langsung mengajak Zizah pulang. Kasihan. "Sepuluh menit lagi, ya, Zah." Sebenarnya aku menunggu Pak Baskoro, siapa tahu hari ini bertemu. Menatap jam yang melingkar di tangan. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih sepuluh menit. Menoleh ke arah Zizah, dia beberapa kali menutup mulut karena menguap. Semalam Zizah memang tidur agak larut."Kita pulang sekarang, yuk, Zah. Kamu sudah ngantuk 'kan? Zizah hanya mengangguk. Sepanjang perjalanan pikiranku tak lepas dari m
TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)"Mbok, Antok tidak setuju Siti pergi sama dia. Simbok tahu 'kan berita Siti di luar seperti apa." Mas Antok yang sedari tadi diam, sekarang bersuara. "Aduh, Mas. Mana mungkin Simbok melarang. Simbok juga senang lah kalau Siti dikasih uang banyak. Makanya Simbok mendukung perbuatan Siti yang kotor itu." Mbak Tiwi sebelas duabelas sama Rini."Sit, berangkatlah! Zizah biar sama Simbok.""Iya, Mbok." Aku segera berpamitan pada Simbok dan Mas Antok serta Mbak Tiwi. Meski mereka tidak menggubris sama sekali. "Assalamu'alaikum," ucap Aarav sebelum akhirnya keluar.Rini dan ibu-ibu yang sedari tadi menguping. Mereka langsung menyebar ketika kami sudah sampai di ambang pintu. Aku menghentikan langkah menatap Rini dan ibu-ibu semua. "Astaga, sekarang sudah berani terang-terangan dia. Bahkan simboknya mendukung," ucap Rini pelan, tapi jelas di telingaku.Silahkan kalian mau bicara apa saja tentangku. Karena sebentar lagi, kebenaran ak
TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)Berdiri di depan jendela kamar yang sengaja kubuka. Menatap gelap malam, merasakan dinginnya hembusan angin. "Sit, boleh Simbok masuk?" Aku mengalihkan pandangan ke arah pintu. "Masuk saja, Mbok." "Ada apa, Sit? Dari pulang kerja, kamu langsung masuk kamar. Apa karena Rini dan ibu-ibu tadi?" "Siti sudah tidak kaget dengan mereka, Mbok.""Lantas, apa yang membuatmu sedih?"Menghembuskan napas panjang. Tidak tahu harus mulai dari mana cerita sama simbok. "Tadi bagaimana? Kamu sudah bicara sama Pak Baskoro? Dia mau membantu meluruskan permasalahan yang sedang kamu hadapi 'kan?"Aku hanya menggelengkan kepala. "Maksudnya, Pak Baskoro tidak mau membantu? Kenapa?""Bukan tidak mau membantu, Mbok. Tapi Siti belum cerita sama beliau.""Kamu tidak cerita?""Mbok, kalau besok Siti harus angkat kaki dari RT 01, Simbok jangan sedih, ya. Simbok harus tetap bertahan di sini. Biar ditemani Zizah.""Kok kamu bicara seperti itu, Sit? Mema
TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)"Saya tidak akan mengajukan pertanyaan mau atau tidak atas keinginan saya tersebut pada kamu, Siti. Tapi saya mohon, beri kesempatan untuk Aarav mengenal kamu lebih.""Maaf, Pak. Saya belum ada keinginan membuka hati untuk pria manapun. Saat ini mau fokus kerja, membahagiakan anak dan juga orang tua.""Baiklah. Saya tidak mungkin memaksa. Kalau kamu memang tidak bisa." Meski tersenyum, tapi sangat jelas guratan kesedihan di raut wajah Pak Baskoro. Terdengar ribut-ribut di depan rumah yang membuat kami diam sejenak. Aku dan simbok beranjak dari tempat duduk untuk melihat ke depan."Orangnya di dalam Pak RT, Bu RT."Asataga … mereka lagi. Rasanya habis sudah kesabaranku menghadapi mereka. "Ada apa? Benar-benar tidak punya kerjaan, ya, kalian ini. Saya juga punya batas kesabaran.""Kenapa? Kamu mau marah? Kami 'kan hanya ingin RT 01 bersih dari perbuatan kotor seperti yang kamu lakukan. Nanti bisa bawa sial." Rini mulai menjadi
TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)POV Rini"Mas … Mas Agus," teriakku ketika sudah sampai di rumah.Amarahku semakin memuncak ketika melihat Mas Agus enak-enakan masih mendengkur. Orang ini. Lama-lama bikin mu*k saja. Kerjaannya cuma makan dan tidur. Aku menuju kamar mandi mengambil air satu gayung. "Banguuuun." Menyiram kepala Mas Agus."Riniiii. Apa-apaan kamu. Kur*ng aj*r sama suami." Mas Agus bangun sembari mengusap wajahnya yang basah."Kamu itu yang kur*ng aj*r. Gara-gara foto tidak jelas itu. Aku kena masalah besar."Masalah besar apa?" tanya'nya santai."Aku dipermalukan di depan Pak RT, Bu RT dan juga ibu-ibu lain oleh mantan kamu itu.""Masa' kamu kalah lagi sama dia. Balas, dong. Gantian h*j*r. Begini," Mas Agus berlagak bak pendekar memberi contoh gerakan mirip orang kesurupan."Balas-balas. Kamu tahu, siapa pria yang ada di foto itu.""Ya mana aku tahu. Yang pasti pelanggannya Ning.""Dia pemilik perusahaan Wijaya Angkasa."Mas Agus langsung melo
TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)Bukan mau suudzon, tapi kenapa aku merasa kedatangan Rini dan Mas Agus ada sesuatu yang tidak baik. Mengamati kantong plastik berisi baso yang diberikan Rini."Kenapa, Sit?""Siti merasa aneh dengan kedatangan mereka yang tiba-tiba nengokin Zizah, Mbok. Padahal setelah bercerai, Mas Agus tidak pernah peduli pada anaknya 'kan.""Mungkin karena masalah kemarin, Rini jadi sadar, Sit. Terus dia mau membuka lembaran baru pada keluarga kita.""Semoga saja memang begitu, Mbok."Aku langsung membuka baso tersebut ketika sudah berada di dalam. Kalau dingin nanti kurang enak."Bapak beliin kita baso, ya, Mak?""Iya, Zah. Ayo dimakan!" Menyodorkan mangkok berisi baso dengan mie campur. "Ini punya Simbok. Zizah makan dulu sama Mbah. Emak mau ganti baju." Pulang jualan cilok, aku lebih sering mandi di rumah Bu Anggit. Sekalian mengembalikan gerobak. Sampai rumah tinggal ganti baju.Selesai ganti baju, aku keluar kamar untuk makan bersama s
TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)POV Aarav"Apa, Yah? Ayah mau melamar Siti untuk Aarav? Tidak mungkin.""Kenapa tidak mungkin, Rav? Ayah hanya ingin kamu mendapat pendamping yang tepat.""Bukannya Ayah yang suka sama Siti, karena wajahnya mirip Mama."Kalau tahu Ayah mau membicarakan hal konyol seperti ini. Mendingan tadi tidak usah pulang. Ada-ada saja. Tidak ada angin, tidak ada hujan, bilang mau melamar perempuan untukku yang bertemu saja baru sekali. Itupun sekedar tahu nama. Sudah."Ayah memang suka sama Siti, tapi bukan suka seperti yang kamu pikir. Ayah sudah tahu siapa dia. Makanya Ayah yakin, Siti adalah pendamping yang tepat untuk kamu."Aku hanya bisa tertawa menanggapi ucapan ayah tersebut. "Memangnya jaman Siti Nurbaya." Aku beranjak pergi."Aarav. Mau ke mana kamu?""Cari hiburan, Yah," jawabku tanpa menoleh.Sampai kapanpun, perempuan yang ada di hatiku hanya Mama seorang. Tidak akan pernah terbagi untuk perempuan lain.—-------------"Mas Aara