Share

Bab 5

TIDAK ADA NAMAKU

(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)

Tidak perlu menunggu esok hari untuk memberi pelajaran pada Rini yang sudah sangat keterlaluan pada Zizah, meski tadi simbok berusaha melarangku.

"Rini … Rin, keluar!" teriakku. Kali ini tidak peduli mau dinilai seperti apa oleh warga RT 01. Lelah, sudah terlalu lama aku diam.

Berkali-kali aku menggedor pintu sangat keras.

"Astaga, janda g*t*l. Ngapain kamu teriak-teriak di rumahku?" ucap Rini setelah membuka pintu.

Aku langsung menjambak rambutnya yang penuh dengan roll.

"Sitiii … apa-apaan kamu. Sudah g*l*, ya," teriaknya berusaha melepaskan tanganku.

Satu per satu tetangga dekat pun mulai keluar.

"Kamu boleh menghinaku, Rin. Tapi sekali saja menyakiti anakku, bahkan berani menyentuhnya. Tidak akan aku biarkan begitu saja. Selama ini aku berusaha sabar. Tapi tidak untuk kali ini dan seterusnya, Rini Iswati …." Aku semakin kencang menarik rambutnya sampai roll'nya lepas.

"Semua, tolongin saya. Jangan cuma lihatin. Mas Agus … kamu ke mana, mantan istrimu kesurupan," teriak Rini berkali-kali.

Emosiku benar-benar sudah memuncak. Mungkin karena selama ini hanya bisa memendam setiap dihina.

Ada beberapa tetangga yang terlihat maju, sepertinya mereka ingin membantu Rini.

"Satu langkah saja kalian berani maju lagi, akan saya pastikan bernasib seperti perempuan tidak punya hati ini."

Mereka kembali mundur. Hanya berani berbisik dan saling menyenggol.

"Ada apa rame-rame?" Mas Agus muncul dari belakang orang-orang.

"Siti, kamu apain istriku?" Kini Mas Agus mendekat dan menarik tanganku. Tenaganya yang pasti lebih kuat mampu melepas tanganku. Rambut Rini sudah awut-awutan. Mungkin kalau tidak ada Mas Agus, sudah rontok semua.

"Mas, aku peringatkan sama kamu sebagai bapak kandungnya Zizah. Jangan pernah membiarkan istri kamu menyakiti anak kita. Sebagai suami harus berani tegas kalau istrinya salah. Dan kamu Rin, sekali lagi menyakiti Zizah, tidak ada ampun."

Aku pergi melewati kerumunan orang yang menatapku sampai melongo.

Hah … aku menghembuskan napas. Entah dari mana mendapat keberanian seperti ini.

***

Tidak seperti kemarin, pagi ini ibu-ibu yang sedang belanja satupun tidak ada yang menatap ke arahku. Mereka justru sibuk memilih sayuran.

Tumben, batinku.

"Mari, Bu," sapaku seperti biasa.

"Iya, Sit …. Berangkat kerja, ya?" jawab mereka hampir bersamaan. "Zizah, cantik banget kamu," sambung lainnya.

Aku juga tidak melihat Rini. Biang kerok yang biasanya bikin onar.

"Siti," panggil Mbak Win.

"Iya, Mbak. Ada apa?"

Tiba-tiba dia mengacungkan dua ibu jari ke arahku. "Hebat kamu, Sit. Akhirnya, ada juga yang berani."

"Berani?"

"Iya, kejadian tadi malam viral sampai RT 05. Pasti sekarang si Rini sedang ngumpet di rumah karena malu. Biar jadi pelajaran buat warga RT 01 yang lainnya. Sebenarnya aku juga sering sakit hati, Sit, sama warga RT 01. Tapi aku tidak berani."

"Saya hanya tidak suka ada orang yang menyakiti anak atau keluarga saya, Mbak. Ya sudah, saya permisi. Mau kerja dulu."

"Hati-hati, ya." Mbak Win melambaikan tangan.

Ternyata dampak dari keberanian'ku semalam bagus juga. Jadi ngga pada ember tuh ibu-ibu yang biasanya suka banget gibah.

-

"Zizah, kamu ngga capek?" Pertanyaan yang selalu aku lontarkan ketika dia ikut jualan cilok.

"Ngga, Mak. Zizah 'kan sudah biasa ikut Emak jualan," jawabnya begitu semangat sembari mengayunkan kantong plastik berisi jajanan pemberian Bu Anggit–orang yang memberiku pekerjaan buruh cuci serta berjualan cilok produksi keluarga mereka.

Zizah memang anak pengertian. Meski harus ikut jalan jauh, tapi dia tidak pernah mengeluh. Tawa riang selalu dia tunjukkan. Di sepanjang perjalanan, Zizah selalu bernyanyi atau menghafal doa-doa yang diajarkan simbok padanya.

Saat berjualan bersama Zizah, aku lebih sering berhenti. Sekedar minum atau meluruskan kaki sebentar sembari menunggu kalau ada pembeli.

Tin tin tin ….

Terdengar suara klakson di belakang kami. Aku segera menepikan gerobak dan menoleh.

Mobil itu? Seperti mobil milik bapak kemarin. Tapi yang punya mobil seperti itu 'kan banyak.

"Emak capek?" tanya Zizah.

Aku menggelengkan kepala.

"Ayo, Mak, jalan lagi. Nanti berhenti di sana saja." Zizah menunjuk ke arah taman. Dia memang senang kalau aku jualan di sana. Karena dia bisa bermain.

"Ayo."

Saat hendak mendorong kembali gerobaknya, tiba-tiba ada yang memanggil.

"Mbak. Saya mau beli ciloknya." Orang tersebut mendekat.

"Bapak yang kemarin?" ucapku.

"Panggil saja Pak Baskoro," terang beliau. "Bisa kebetulan ketemu di sini, ya, Mbak?" sambungnya lagi.

Aku hanya tersenyum sambil membuka tutup dandang.

"Mungkin jodoh." Ucapan yang membuatku tersentak kaget.

"Jo-doh?" Aku menegaskan kata tersebut.

"Maksudnya?" Bingung kenapa beliau tiba-tiba bilang begitu.

"Saya mau yang isi abon sama telur." Bapak tersebut mengalihkan pembicaraan.

Aku mengangguk ragu karena masih memikirkan ucapan pria paruh baya yang memperkenalkan diri dengan nama–Pak Baskoro.

"Dia …." Pak Baskoro menunjuk Zizah.

"Zizah, namanya Zizah. Dia putri saya."

"Oh …. Ikut jualan keliling?"

"Iya, Pak. Sudah dari dulu ikut saya jualan."

"Anak pintar. Hebat," puji beliau.

"Ini mau pakai bumbu atau saus?"

"Tidak usah pakai saus atau bumbu apapun, original saja,"

"Ini." Pak Baskoro memberiku uang lima lembar seratus ribuan.

"Harganya lima ribu saja, Pak." Aku memberikan kembali uang tersebut.

"Iya, saya tahu. Kan ada tulisannya di gerobak."

"Terus, kenapa Bapak membayar dengan uang sebanyak itu?"

"Ambil saja, buat jajan Zi-zah." Pak Baskoro meletakkan uang tersebut di gerobak. "Semoga kita bisa bertemu lagi. Dah Zizah …." Beliau melambaikan tangan.

Sejenak aku berpikir keras sambil menatap ke arah beliau.

"Apa dia yang disebut tua-tua keladi? Astaghfirullah, ngomong apa aku ini." Menutup bibir dengan tangan.

Tin ….

Terdengar lagi suara klakson saat Pak Baskoro melajukan mobilnya.

Aku mengangguk dengan bibir yang masih tertutup tangan.

"Mak, uangnya Zizah masukin. Nanti hilang." Zizah memasukkan uang yang diberikan Pak Baskoro ke dalam laci gerobak.

Bersambung

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status