Share

Bab 5

last update Last Updated: 2023-08-25 20:48:07

TIDAK ADA NAMAKU

(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)

Tidak perlu menunggu esok hari untuk memberi pelajaran pada Rini yang sudah sangat keterlaluan pada Zizah, meski tadi simbok berusaha melarangku.

"Rini … Rin, keluar!" teriakku. Kali ini tidak peduli mau dinilai seperti apa oleh warga RT 01. Lelah, sudah terlalu lama aku diam.

Berkali-kali aku menggedor pintu sangat keras.

"Astaga, janda g*t*l. Ngapain kamu teriak-teriak di rumahku?" ucap Rini setelah membuka pintu.

Aku langsung menjambak rambutnya yang penuh dengan roll.

"Sitiii … apa-apaan kamu. Sudah g*l*, ya," teriaknya berusaha melepaskan tanganku.

Satu per satu tetangga dekat pun mulai keluar.

"Kamu boleh menghinaku, Rin. Tapi sekali saja menyakiti anakku, bahkan berani menyentuhnya. Tidak akan aku biarkan begitu saja. Selama ini aku berusaha sabar. Tapi tidak untuk kali ini dan seterusnya, Rini Iswati …." Aku semakin kencang menarik rambutnya sampai roll'nya lepas.

"Semua, tolongin saya. Jangan cuma lihatin. Mas Agus … kamu ke mana, mantan istrimu kesurupan," teriak Rini berkali-kali.

Emosiku benar-benar sudah memuncak. Mungkin karena selama ini hanya bisa memendam setiap dihina.

Ada beberapa tetangga yang terlihat maju, sepertinya mereka ingin membantu Rini.

"Satu langkah saja kalian berani maju lagi, akan saya pastikan bernasib seperti perempuan tidak punya hati ini."

Mereka kembali mundur. Hanya berani berbisik dan saling menyenggol.

"Ada apa rame-rame?" Mas Agus muncul dari belakang orang-orang.

"Siti, kamu apain istriku?" Kini Mas Agus mendekat dan menarik tanganku. Tenaganya yang pasti lebih kuat mampu melepas tanganku. Rambut Rini sudah awut-awutan. Mungkin kalau tidak ada Mas Agus, sudah rontok semua.

"Mas, aku peringatkan sama kamu sebagai bapak kandungnya Zizah. Jangan pernah membiarkan istri kamu menyakiti anak kita. Sebagai suami harus berani tegas kalau istrinya salah. Dan kamu Rin, sekali lagi menyakiti Zizah, tidak ada ampun."

Aku pergi melewati kerumunan orang yang menatapku sampai melongo.

Hah … aku menghembuskan napas. Entah dari mana mendapat keberanian seperti ini.

***

Tidak seperti kemarin, pagi ini ibu-ibu yang sedang belanja satupun tidak ada yang menatap ke arahku. Mereka justru sibuk memilih sayuran.

Tumben, batinku.

"Mari, Bu," sapaku seperti biasa.

"Iya, Sit …. Berangkat kerja, ya?" jawab mereka hampir bersamaan. "Zizah, cantik banget kamu," sambung lainnya.

Aku juga tidak melihat Rini. Biang kerok yang biasanya bikin onar.

"Siti," panggil Mbak Win.

"Iya, Mbak. Ada apa?"

Tiba-tiba dia mengacungkan dua ibu jari ke arahku. "Hebat kamu, Sit. Akhirnya, ada juga yang berani."

"Berani?"

"Iya, kejadian tadi malam viral sampai RT 05. Pasti sekarang si Rini sedang ngumpet di rumah karena malu. Biar jadi pelajaran buat warga RT 01 yang lainnya. Sebenarnya aku juga sering sakit hati, Sit, sama warga RT 01. Tapi aku tidak berani."

"Saya hanya tidak suka ada orang yang menyakiti anak atau keluarga saya, Mbak. Ya sudah, saya permisi. Mau kerja dulu."

"Hati-hati, ya." Mbak Win melambaikan tangan.

Ternyata dampak dari keberanian'ku semalam bagus juga. Jadi ngga pada ember tuh ibu-ibu yang biasanya suka banget gibah.

-

"Zizah, kamu ngga capek?" Pertanyaan yang selalu aku lontarkan ketika dia ikut jualan cilok.

"Ngga, Mak. Zizah 'kan sudah biasa ikut Emak jualan," jawabnya begitu semangat sembari mengayunkan kantong plastik berisi jajanan pemberian Bu Anggit–orang yang memberiku pekerjaan buruh cuci serta berjualan cilok produksi keluarga mereka.

Zizah memang anak pengertian. Meski harus ikut jalan jauh, tapi dia tidak pernah mengeluh. Tawa riang selalu dia tunjukkan. Di sepanjang perjalanan, Zizah selalu bernyanyi atau menghafal doa-doa yang diajarkan simbok padanya.

Saat berjualan bersama Zizah, aku lebih sering berhenti. Sekedar minum atau meluruskan kaki sebentar sembari menunggu kalau ada pembeli.

Tin tin tin ….

Terdengar suara klakson di belakang kami. Aku segera menepikan gerobak dan menoleh.

Mobil itu? Seperti mobil milik bapak kemarin. Tapi yang punya mobil seperti itu 'kan banyak.

"Emak capek?" tanya Zizah.

Aku menggelengkan kepala.

"Ayo, Mak, jalan lagi. Nanti berhenti di sana saja." Zizah menunjuk ke arah taman. Dia memang senang kalau aku jualan di sana. Karena dia bisa bermain.

"Ayo."

Saat hendak mendorong kembali gerobaknya, tiba-tiba ada yang memanggil.

"Mbak. Saya mau beli ciloknya." Orang tersebut mendekat.

"Bapak yang kemarin?" ucapku.

"Panggil saja Pak Baskoro," terang beliau. "Bisa kebetulan ketemu di sini, ya, Mbak?" sambungnya lagi.

Aku hanya tersenyum sambil membuka tutup dandang.

"Mungkin jodoh." Ucapan yang membuatku tersentak kaget.

"Jo-doh?" Aku menegaskan kata tersebut.

"Maksudnya?" Bingung kenapa beliau tiba-tiba bilang begitu.

"Saya mau yang isi abon sama telur." Bapak tersebut mengalihkan pembicaraan.

Aku mengangguk ragu karena masih memikirkan ucapan pria paruh baya yang memperkenalkan diri dengan nama–Pak Baskoro.

"Dia …." Pak Baskoro menunjuk Zizah.

"Zizah, namanya Zizah. Dia putri saya."

"Oh …. Ikut jualan keliling?"

"Iya, Pak. Sudah dari dulu ikut saya jualan."

"Anak pintar. Hebat," puji beliau.

"Ini mau pakai bumbu atau saus?"

"Tidak usah pakai saus atau bumbu apapun, original saja,"

"Ini." Pak Baskoro memberiku uang lima lembar seratus ribuan.

"Harganya lima ribu saja, Pak." Aku memberikan kembali uang tersebut.

"Iya, saya tahu. Kan ada tulisannya di gerobak."

"Terus, kenapa Bapak membayar dengan uang sebanyak itu?"

"Ambil saja, buat jajan Zi-zah." Pak Baskoro meletakkan uang tersebut di gerobak. "Semoga kita bisa bertemu lagi. Dah Zizah …." Beliau melambaikan tangan.

Sejenak aku berpikir keras sambil menatap ke arah beliau.

"Apa dia yang disebut tua-tua keladi? Astaghfirullah, ngomong apa aku ini." Menutup bibir dengan tangan.

Tin ….

Terdengar lagi suara klakson saat Pak Baskoro melajukan mobilnya.

Aku mengangguk dengan bibir yang masih tertutup tangan.

"Mak, uangnya Zizah masukin. Nanti hilang." Zizah memasukkan uang yang diberikan Pak Baskoro ke dalam laci gerobak.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TIDAK ADA NAMAKU   Bab 25 TAMAT

    TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan, kami pun sampai di sebuah masjid yang tak jauh dari tempat resepsi akan digelar. Kami disambut hangat oleh keluarga Pak Baskoro yang ada di luar masjid. Memang aku belum mengenal semua keluarga beliau. Hanya beberapa saja yang aku tahu. Karena Aarav pernah mengajakku. Pak Baskoro dan Aarav sendiri sudah menunggu di dalam beserta penghulu dan beberapa saksi. Pak RT, Bu RT, serta rombongan yang datang tidak lama setelah kami langsung menghampiri. Pun dengan Mbak Dira. Sedangkan perias langsung menuju tempat resepsi. Kami semua sama-sama masuk ke dalam masjid karena ijab qobul sebentar lagi dimulai. Doa serta salam tidak lupa kami ucapkan. Serentak semua orang yang ada di dalam masjid pun menjawab salam dari kami. Aku merasa semua tatapan mengarah padaku yang membuat jantung ini berdegup semakin cepat.Kini aku telah duduk di samping Aarav. Sedikitpun tidak berani menatapnya. Pandangan

  • TIDAK ADA NAMAKU   Bab 24

    TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)"Kok bisa, ya. Pria seperti Aarav suka sama kamu, Sit. Mana janda pula. Memangnya dia tidak bisa cari perempuan yang sepadan apa." Sepanjang perjalanan pulang dari butik, Mbak Tiwi bicara tanpa henti. Aku sampai merasa tidak enak hati dengan sopir keluarga Pak Baskoro yang mengantar kami. "Jodoh tidak ada yang tahu. Semua rahasia Allah. Harusnya kamu ikut bahagia karena adik iparmu mendapat calon suami yang baik seperti Nak Aarav," jawab simbok."Tapi Tiwi masih tidak habis pikir. Sampai sekarang rasanya tidak percaya kalau Siti mau menikah sama anak orang kaya.""Memangnya kenapa, Mbak? Ada yang salah?" sahutku yang dari tadi sudah berusaha diam. "Aku yang anak juragan beras malah cuma dapet suami ngga punya apa-apa," celetuk Mbak Tiwi membuat Mas Agus yang duduk di depan langsung menoleh ke arah belakang. "Maksud kamu apa bicara seperti itu, Dek?"Mbak Tiwi melengos memalingkan wajah ke arah jalan. Dia tidak menggubris uc

  • TIDAK ADA NAMAKU   Bab 23

    TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)Berusaha memupus rasa takut, bimbang dan kekhawatiran yang selama ini kurasakan. Dengan mengucap Basmallah, aku pun memberi sebuah jawaban.Setelah memohon petunjuk pada Allah. Akhirnya aku memantapkan hati untuk melanjutkan hubungan bersama Aarav ke jenjang yang serius yaitu pernikahan. "Alhamdulillah." terucap rasa syukur dari simbok, Pak Baskoro dan Aarav. Senyum mengembang membingkai bibir mereka."Soal pernikahan ini, Ibu dan kamu tidak perlu khawatir. Saya akan mengurus semuanya," terang Pak Baskoro pada kami.—------------Aku dan simbok datang ke rumah Mas Antok dan Mbak Tiwi untuk memberi kabar. Karena nantinya Mas Antok juga akan menjadi wali'ku–pengganti bapak."Apa, Mbok. Siti mau menikah?""Sudah kuduga, pasti mau menikah siri dengan Agus 'kan," sahut Mbak Tiwi sebelum simbok menjawab."Astaghfirullah, Wi. Jaga ucapan kamu. Adikmu mau menikah dengan anaknya Pak Baskoro–Aarav.""Pak Baskoro? Baskoro … Aarav …," Mas

  • TIDAK ADA NAMAKU   Bab 22

    TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)"Cuiihh …." Rini mencibirkan bibir ketika bertemu denganku saat berangkat kerja. Hari ini hari pertama aku kembali kerja di tempat Bu Anggit setelah tiga bulan digantikan Rini. Tadi malam beliau menelepon. "Nyosor terus sama suami orang," ucapnya sambil berjalan"Biarin saja, Sit, penyakit hatinya ngga sembuh-sembuh tuh orang."Alhamdulillah, sekarang warga RT 01 beserta Bu RT bersikap sangat baik padaku. Hanya Rini saja yang tidak berubah. Entah apa maunya.Baru juga menarik napas panjang atas sikap Rini. Mas Agus tiba-tiba nongol dan mengikuti langkahku. "Mana mungkin seorang pengusaha kaya membiarkan calon mantunya jalan kaki dan kerja keras menjadi buruh cuci serta jualan cilok. Ini sudah menunjukkan kalau dia hanya omong kosong. Sudahlah, Sit. Mendingan kita memperbaiki hubungan yang pernah hancur. Kita mulai dari awal, membuka lembaran baru dan hidup bahagia bersama Zizah," ucapnya panjang lebar. Sekalipun aku tidak m

  • TIDAK ADA NAMAKU   Bab 21

    TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)"Tambah apa lagi, Mas? Biar ngga bolak-balik belinya," tanyaku pada Mas Agus yang sehari ini sudah tiga kali datang membeli pecel. Sebenarnya aku merasa kurang nyaman, tapi namanya pembeli harus dilayani sebaik mungkin."Cantik," celetuknya."Apa, Mas?""Kamu sekarang kok semakin cantik, Sit. Berubah drastis. Penampilan kamu juga.""Maaf, ya, Mas. Kalau sudah tidak ada yang dipesan, mending Mas Agus segera pulang.""Kenapa? Sekarang kita 'kan sama-sama single.""Maksud Mas Agus bicara seperti itu apa?""Aku tahu, kamu khawatir 'kan kalau sampai Rini tahu aku di sini.""Bukan khawatir, lebih tepatnya aku malas terseret dalam masalah kalian. Lagipula kamu belum resmi bercerai secara hukum, Mas.""Kalau sudah resmi bercerai secara hukum, apa boleh mendekati kamu lagi?"Semakin ditanggapi, Mas Agus semakin ngelantur bicaranya. "Siti sudah punya calon suami. Jadi jangan ganggu anak Simbok." Lagi-lagi simbok memberitahu hal tersebu

  • TIDAK ADA NAMAKU   Bab 20

    TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)"Apa benar, Sit, kamu penyebab perceraian Rini dengan Agus?" ucap Mbak Tiwi yang datang dan langsung menuduhku."Maksud kamu apa, Wi? Kenapa bilang begitu.""Rini sudah cerita semua sama Tiwi, Mbok. Katanya dia diceraikan Agus gara-gara Siti.""Gara-gara aku kenapa, Mbak? Mereka cerai tidak ada sangkut pautnya dengan Siti, Mbak.""Halah, Rini itu sampai nangis-nangis lho cerita sama aku.""Wi … Wi. Dari dulu sampai sekarang, selalu saja berpikiran tidak baik sama keluarga sendiri." Simbok mengusap dada. "Bilang sama Rini, jangan pernah menuduh Siti seperti itu. Karena Siti sudah memiliki calon suami," terang simbok.Mbak Tiwi tertawa. Entah perkataan simbok mana yang menurutnya lucu. "Mbok, Mbok. Sudah tua jangan suka bohong. Calon suami dari mana."Aku memang belum cerita pada Mas Antok dan Mbak Tiwi soal Pak Baskoro yang melamarku. Menggelengkan kepala ke arah simbok agar tidak meneruskan pembicaraan tersebut. "Biar, Sit.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status