ログインChapter 7
Tidak Peduli Marcello memegangi sapu tangan yang telah dibasahi dan menyapukannya dengan lembut ke kulit punggung sebelah kanan Aneesa yang terbuka. Ekspresinya datar, tidak satu pun kalimat terlontar dari bibirnya, tetapi di dalam benaknya sedang mengagumi kulit Aneesa dan hasrat ingin kembali menjamahnya menggebu-gebu. Nyaris mengalahkan sikap tenang yang ia tampilkan. “Natal akan segera tiba,” kata Aneesa, tatapannya tertuju pada cermin di depannya yang memantulkan bayangannya dan Marcello. “Apa kau akan merayakannya di Barcelona?” Marcello mengangguk tanpa mengangkat kepalanya. “Aku selalu merayakan Natal di Barcelona. Bagaimana denganmu?” Ibunya tidak pernah menikah dengan ayah kandungnya, justru menikahi pria Yunani dan tinggal di Athena sementara ayah kandung Aneesa tinggal di Barcelona bersama istri dan keluarganya membuat Aneesa terbiasa merayakan segala sesuatu di dua tempat. Tetapi, setelah menapaki dunia tarik suara dan menetap di California, Aneesa berisnisitif merayakan Natal bergantian di Athena dan Barcelona karena jadwalnya yang padat. “Tahun lalu aku merayakan Natal di Athena, tahun ini tentu saja di Barcelona,” jawab Aneesa. Marcello mengangkat kepalanya, bergeser lalu membuka kran dan membasahi kembali sapu tangannya lalu meremasnya. “Kalau begitu, mungkin kita akan bertemu di perjamuan keluarga tahun ini.” Aneesa mengerutkan keningnya menatap pantulan Marcello di cermin. “Tahun-tahun sebelumnya kenapa kita tidak pernah bertemu di perjamuan keluarga?” Marcello menekan sapu tangan basah di tangannya ke punggung sebelah kiri Aneesa yang dilapisi kain chiffon yang nyaris transparan. “Kebetulan tahun-tahun sebelumnya acaranya bersamaan dengan acara timku,” ujarnya berbohong. Tahun-tahun sebelumnya Marcello sengaja selalu muncul dalam acara keluarga yang tidak dihadiri Aneesa dan untuk menghindarinya, Marcello tidak jarang harus berdebat dengan orang tuanya. Tetapi, tahun ini sepertinya Marcello tidak perlu lagi mencari alasan untuk menghindari perjamuan Natal keluarga besarnya. “Sebenarnya aku sangat terkejut saat mendengar kau tiba-tiba menjadi pembalap F3, lebih terkejut lagi kau tiba-tiba sudah masuk F1,” ujar Aneesa dan tatapannya masih tertuju pada bayangan Marcello di cermin. Dunia balap adalah jalan pintas yang tak pernah Marcello pikirkan sebelumnya, tetapi semakin tinggi menapaki dunia balap Marcello menyadari bukan hanya mendapatkan kepuasan akan kemenangan, ia juga mendapatkan ketenaran yang membuatnya dengan cepat mengumpulkan pundi-pundi kekayaan yang semakin menggunung. “Aku menyukai tantangan,” jawab Marcello dengan tenang. Aneesa menatap Marcello. "Apa kau tidak pernah berpikir betapa khawatirnya orang tuamu setiap kali kau sedang balapan?" Bibir Marcello menyunggingkan senyum tipis. "Bukankah setiap pekerjaan memiliki risiko?" Aneesa menghela napasnya. "Namun, kau...." “Sepertinya noda wine ini tidak bisa hilang. Kecuali dicuci,” potong Marcello. “Kalau begitu, tidak perlu dibersihkan lagi,” ujar Aneesa dan Marcello menghentikan gerakannya lalu menjauhkan tangannya. Aneesa membalikkan tubuhnya, Marcello berdehem dan memundurkan kakinya, menjaga jarak dengan Aneesa seraya menurunkan tangannya dengan canggung. “Terima kasih,” ucap Aneesa. “Bukan hal besar, tidak perlu berterima kasih,” kata Marcello seraya memindahkan sapu tangan di tangan kirinya ke tangan kanan lalu meletakannya di tepi meja wastafel. “Omong-omong... berapa lama rencananya kau berada di sini?” tanya Aneesa seraya menyandarkan bokongnya di wastafel. “Aku memiliki beberapa jadwal pemotretan dan wawancara dengan televisi,” jawab Marcello seraya menyugar rambutnya ke belakang. Aneesa mengangguk-angguk pelan. “Di mana kau tinggal?” Namun, suara ponsel Aneesa berdering membuat Marcello tidak menjawab pertanyaan Aneesa. “Halo,” kata Aneesa menjawab panggilan telepon. “Aku di toilet... tidak, aku tidak bersamanya... ya... aku akan segera ke sana,” lanjutnya lalu mematikan panggilan dan memasukkan ponsel ke dalam tas tangannya. “Barron?” tanya Marcello sembari kedua alisnya terangkat. “Ya. Dia juga mencarimu,” kata Aneesa seraya menatap Marcello dengan tatapan menyelidik. “Kenapa kau bersikap seolah tidak mengenalku di depan Barron?” Bibir Marcello melengkung membentuk senyum tipis, sekilas ia melayangkan pandangannya ke sapu tangan di tangan di atas meja wastafel. “Siapa yang akan percaya kalau kita berteman? Bahkan kita bisa dibilang keluarga.” Aneesa memutar bola matanya dan tersenyum malas. “Oh ya? Jadi, kau berpikir hubungan kita tidak penting di mata orang lain?” Marcello belum membuka mulutnya untuk menyuarakan alasannya dan terdengar suara ketukan di pintu disusul suara Barron memanggil Aneesa membuat Aneesa dan Marcello bertatapan beberapa saat. “Keluarlah, aku akan menyusul kalian,” bisik Marcello dan Aneesa mengangguk. Ketika Aneesa hendak beringsut meninggalkannya, Marcello menarik sikunya membuat jarak mereka sangat dekat. “Apa nomor ponselmu masih sama?” Aneesa menatap Marcello, banyak hal yang ingin disuarakan. Tetapi, waktunya tidak memungkinkan membuatnya hanya bisa mengangguk. “Aku akan meneleponmu malam ini,” bisik Marcello lalu dengan lembut melepaskan siku Aneesa dan beringsut ke belakang pintu toilet. Aneesa mengangguk lalu membuka pintu toilet dengan hati-hati, tepat di depan pintu Barron berdiri. Aneesa melemparkan senyum manis dan berkata, “Toiletnya rusak.” Barron mengerutkan alisnya. “Tempat sebagus ini, bagaimana mungkin toiletnya rusak?" Aneesa mengedikkan bahunya seraya menutup pintu. "Apa ada toilet yang lain?" Barron mengangguk. "Tentu saja, kau bisa menggunakan toilet di dalam mansion.” Aneesa mengangguk dan melangkah. “Apa kau sudah menemukan Marcello?” “Sepertinya dia bersama Narnia,” ujar Barron. *** Marcello keluar dari toilet lalu dengan gayanya yang santai melangkah menuju tempat perjamuan, acara sepertinya akan segera dimulai. Orang-orang sudah duduk di kursinya masing-masing sesuai dengan nama yang tertera di meja perjamuan. Marcello segera menuju tempat duduknya lalu duduk di samping Elio bersama ketua tim, Roy Moseis yang wajahnya berseri-seri dan mengenakan jas berwarna merah maroon. Roy adalah ketua tim yang di mata Marcello sedikit nyentrik dalam berpenampilan, terutama pemilihan warna. Mantan pembalap nomor satu tiga puluh lima tahun yang lalu itu sering memilih pakaian berwarna mencolok dalam banyak kesempatan, terutama jika suasana hatinya sedang sangat baik—semakin baik suasana hatinya maka akan semakin mencolok warna pakaiannya dan semua orang di Haas sudah pasti tahu kebiasaan Roy. Marcello menyandarkan punggungnya setelah memberikan beberapa patah kata sambutan, siku kirinya berada di atas meja dan kepalan tangannya berada di depan pipinya. Sikap santai yang terkesan acuh pada semua orang sudah melekat padanya, hingga manajernya jengah dan memilih tidak mau lagi menasehatinya agar menjaga sikap di depan umum—terutama di depan CEO Haas dan beberapa orang penting di dunia F1. Beberapa kali Marcello melirik ke arah Aneesa yang terlihat mengobrol dengan santai bersama Narnia dan Barron. Menjengkelkan sekali, pikirnya masam karena Aneesa duduk di antara Narnia dan Barron, posisi seperti itu dinilai Marcello terlalu menguntungkan Barron. Marcello memutar otaknya, memikirkan cara menjauhkan Aneesa dari Barron, tetapi tetap tidak menemukan alasan yang masuk akal untuk membawa Aneesa meninggalkan perjamuan. Sialan, batin Marcello dan hanya bisa menelan ludah yang terasa pahit ketika Marley Hyatt—sang raja pop yang juga hadir di sana bergabung dengan Barron dan Aneesa. Sudah pasti itu akal-akalan Barron menghadirkan Marley Hyatt dan mengenalkan pada Aneesa karena di dunia musik, siapa yang tidak mengenal Marley? Bahkan Aneesa saja beberapa kali diketahui menonton konser Marley.Chapter 85Tekad AneesaAneesa baru saja meninggalkan mobilnya dan memasuki rumahnya melalui pintu penghubung garasi dan ruang belakang, ia mendapati Lyndi berdiri di ambang pintu ruang keluarga membuat Aneesa tidak mampu menahan rasa bahagia dan ia pun berlari ke arah Lyndi.“Aku tidak sedang bermimpi, kan?” tanya Aneesa seraya menatap Lyndi seolah tidak percaya dengan penglihatannya. Lyndi tersenyum. “Kebetulan aku menghubungi Jessie dan dia bilang kau sudah kembali ke sini. Kenapa tidak memberitahuku?” Faktanya Marcello-lah yang memberitahunya—sekaligus memintanya menyusul Aneesa ke Los Angeles. Tetapi, bukan Marcello namanya jika tidak membuat sandiwara dengan sangat halus.“Aku tidak ingin mengganggu waktu liburmu,” ucap Aneesa. Sebenarnya Lyndi masih ingin berada di Madrid bersama keponakan-keponakannya yang menggemaskan dan menikmati hari-hari yang santai bersama orang tuanya di rumah mereka, tetapi imbalan dari Marcello jumlahnya terlalu besar untuk diabaikan. “Aku khawati
Chapter 84Hubungan Tiga BulanAneesa duduk di sofa ruang keluarga di rumah Dayana dengan ekspresi masam, Marcello mengabaikannya. Beberapa pesan singkat yang Aneesa kirim tidak dibalas, hanya dibaca sementara panggilannya tidak dijawab. Ketakutan melanda benaknya, diabaikan oleh Marcello untuk kedua kali sementara dirinya kini jatuh cinta pada Marcello. Benar-benar mengerikan!“Kau datang ke rumahku hanya untuk menunjukkan wajah murungmu itu?” tanya Dayana seraya meletakkan stoples kaca berisi camilan ke atas meja dan dua botol minuman kaleng. Aneesa menatap Dayana dengan linglung. “Dayana, menurutmu jika aku putus dengan Barron....” “Putus?” tanya Dayana memotong ucapan Aneesa, alis wanita itu berkerut tidak bisa menyembunyikan keheranannya.Aneesa mengangguk. “Ya. Putus.” Dayana mengambil bantal sofa lalu duduk di sebelah sofa yang diduduki Aneesa, ia menaikkan kakinya dan bersila sembari memeluk bantal yang dipegangnya. Dayana adalah orang yang mengetahui perasaan Marcello pad
Chapter 83Disukai Banyak Wanita Di dalam hanggar bandara Aerodromo, bandara di pinggiran Barcelona yang biasa digunakan oleh kalangan kelas atas untuk mendaratkan dan memarkirkan pesawat jet pribadi atau pesawat kecil mereka, Marcello berdiri menunggu. Ia mengenakan kaus berwarna hitam yang lumayan ketat menonjolkan lengannya yang berotot dan kacamata hitam bertengger di wajahnya. Cuaca cerah tetapi dingin menusuk, suhu sekitar delapan derajad Celcius. Namun, Marcello seolah tidak memedulikan hawa dingin itu, ia berdiri di luar mobil yang mesinnya menyala dan kaca jendela terbuka, membiarkan udara hangatnya menguap keluar.Pintu kokpit pesawat kecil terbuka, Max muncul dari sana dan melemparkan senyum pada Marcello sembari mengangkat tangannya menyapa Marcello lalu menuruni tangga kemudian segera menghampiri Marcello. “Benar-benar seorang Pangeran,” ucap Marcello sembari membuka kacamata ketika Max berada tepat di depannya, senyum lembut tergambar di bibirnya. “Ini pertama kali a
Chapter 82Bukan yang Terpilih Hidangan di atas meja disajikan oleh juru masak pribadi keluarga Barron, seorang koki yang pernah bekerja di restoran fine dining berbintang Michelin dan biasa menyajikan menu degustation kelas atas. Namun, kemewahan itu tidak memberikan kesan spesial bagi Aneesa. Ia lebih menyukai makan malam keluarga kerajaan; suasananya hangat dan benar-benar terasa seperti berada di tengah-tengah keluarga, jauh lebih nyaman dibandingkan makan malam keluarga yang serba fine dining. Apalagi ia baru saja melalui penerbangan sebelas jam, lelah dan kelaparan karena menu makanan di pesawat pribadi kurang membuatnya berselera. Ia butuh makanan yang benar-benar bisa mengenyangkan perutnya dan masakan Marcello terlintas di pikirannya, tetapi kemudian Aneesa segera kembali ke realitas di depannya. Di ruangan megah itu ayah Barron hanya berbicara beberapa patah kata sejak Aneesa duduk di sana, sekedar percakapan perkenalan yang sangat sopan dan formal. Ibu Barron yang terlih
Chapter 81Bukan Tamu Spesial Begitu mobil berhenti di depan rumah orang tua Barron, Aneesa langsung merasakan banyak keraguan di benaknya. Ketika berjalan di samping Barron yang menggandengnya dengan percaya diri, langkahnya terasa sangat berat dan kepercayaan diri Aneesa sepertinya berkurang lebih dari separuh karena gaun yang dikenakannya—gaun pilihan Barron yang menurutnya bukan seperti akan menghadiri pesta sosialita ketimbang makan malam keluarga. Bahkan wanita-wanita bangsawan keluarga kerajaan saja tidak mengenakan gaun seperti yang sedang dikenakannya sekarang jika hanya menghadiri acara makan malam keluarga. Ditambah lagi di perjalanan menuju tempat tinggal orang tuanya, Barron memberikan daftar hal-hal yang tidak boleh Aneesa lakukan. “Jangan menyilangkan kaki di bawah meja.” “Jangan sentuh gelas dulu sebelum ayah melakukannya.” “Pegang garpu yang kanan, bukan yang kiri.” “Jangan tertawa terlalu keras, Mama sangat sensitif.” Semua membuat Aneesa pening, bukan karena
Chapter 80 Aturan Khusus Keluarga Barron Aneesa menghela napas seraya memandangi wajahnya di pantulan cermin, ia terlihat lelah dengan cekungan mata cukup dalam. Semalam ia tidak bisa tidur karena merasakan dilema, bahkan untuk pertama kalinya ia merasakan tidak ingin kembali ke Los Angeles. Noel berulang tahun, ia juga telah berjanji pada adiknya untuk merayakan tahun baru di Barcelona bersama keluarganya. Nyatanya sekarang ia berada di Los Angeles, sendirian karena orang tua Barron mengundangnya untuk makan malam. Aneesa telah dengan halus berusaha menolak undangan Barron, mengatakan jika hari ini di rumahnya juga ada acara makan malam untuk merayakan ulang tahun Noel.“Aku sudah menyiapkan pesawat pribadi untukmu besok, jadwalnya pukul satu dari Madrid,” kata Barron di telepon. Penolakan secara halusnya tidak digubris Barron dan ia terlalu enggan mengeluarkan energi untuk membantah Barron karena saat itu pikirannya sangat kacau. Ia tidak ingin mengecewakan Noel dan ingin berada