MasukChapter 8
Berita Sensasional “Selamat, hari ini kau masuk portal berita paling viral.” Ucapan Sebastian sama sekali tidak ramah, kekesalan terlihat jelas sorot matanya dan senyum di bibirnya terlalu sinis. Namun, Marcello yang sedang tiduran di atas sofa justru memindahkan lengannya ke belakang kepalanya, menjadikannya bantal paling nyaman sembari menggoyang-goyangkan kakinya. “Sudah berapa kali kubilang, jaga jarakmu dengan Narnia!” ucap Sebastian lagi disertai dengusan kesal. “Aku terlalu banyak minum semalam,” ucap Marcello berbohong. Semalam saat melewati gerombolan pemburu berita, Marcello tidak sengaja mendengar orang-orang yang mencari nafkah dengan cara menyajikan informasi terkini selebriti maupun tokoh publik lain sedang membicarakan Aneesa dan Barron yang muncul bersama di perjamuan. Bukan masalah jika Barron menjadi spotlight di perjamuan semalam, tetapi jika bersama Aneesa tentu saja Marcello tidak bisa tinggal diam sehingga Marcello berinisiatif mencuri spotlight mereka. Marcello diam-diam meminta bodyguard-nya yang selalu menjadi bayang-bayangnya dan tidak banyak orang mengetahui keberadaan bodyguard itu untuk memancing wartawan lalu membawa mereka ke sebuah sudut di mana dirinya dan Narnia sedang bercumbu. Posisi Narnia duduk di atas pangkuannya—mengangkanginya dan paginya seperti yang Marcello duga, matahari bahkan baru menyapa gedung-gedung tinggi di Los Angeles, Sebastian sudah mengetuk pintu kamarnya disusul dengan rentetan khotbah yang keluar dari mulutnya. Sebastian menghela napas jengkel, keberadaannya di sisi Marcello bukan semata-mata untuk menjadi manajer putra bos utamanya. Tugasnya bukan hanya mengurus semua keperluan Marcello dan menjaga Marcello, tetapi juga menjadi penasihat putra pertama dan putra satu-satunya Nicholas Knight. Jika dirinya tidak melakukan tugasnya dengan baik maka kinerjanya bisa dibilang gagal dan kegagalan tidak ada dalam daftar hidup Sebastian. “Kemarin kau sudah membuat publik bertanya-tanya dari mana kau mendapatkan memar di wajah dan tanganmu, hari ini kau membuat heboh lagi dengan putri si Mendez itu!” ucap Sebastian bersungut-sungut. Marcello mengangkat tangannya, mengepalkan tinjunya dan menatap memar yang semakin gelap di sana. “Baiklah, kalau kau sangat ingin tahu. Kemarin aku memukuli Justin Daytona.” Sebastian memejamkan matanya beberapa saat seraya menghela napasnya dalam-dalam lalu menatap Marcello. “Pembalap urakan,” katanya dengan nada putus asa dan berkacak pinggang. “Sebentar lagi kita akan berurusan dengan hukum dan kariermu mungkin akan tamat. Aku bersumpah, Marcello... jika kau tamat, aku juga pasti tamat!” Marcello duduk lalu berkata, “Dia berusaha melecehkan Aneesa.” Ucapan Marcello sangat mengejutkan Sebastian hingga membuat alis pria itu berkerut. “Jangan membuat alasan yang tidak mungkin.” “Apa aku akan mengambil risiko sebesar ini jika bukan karena dia?” tanya Marcello. Kerutan di alis Sebastian memudar, pria itu juga menurunkan tangannya dan duduk di seberang Marcello. “Apa kau memiliki bukti untuk membela diri jika Justin menyeretmu ke ranah hukum?” “Dia tidak akan berani,” jawab Marcello dengan tegas. Sebastian menghela napas, tetapi sama sekali tidak lega. “Baiklah, kita lupakan dulu masalahmu dengan Justin. Selama Justin tidak menuntutmu atas kekerasan yang kau lakukan, anggap saja kau aman. Tetapi, masalah skandalmu dengan putri si Mendez itu....” Marcello mengambil ponselnya di atas meja dan menekan tombol kunci sehingga layarnya menyala menampakkan beberapa panggilan tak terjawab. “Oliver sudah meneleponku.” Sebastian menghela napas. “Dia pasti sangat tidak senang.” Marcello tersenyum miring, dari dulu dirinya dan Oliver memang sering tidak cocok terutama masalah performa mesin sehingga mereka sering berdebat. Oliver menganggap Marcello sok tahu, sementara Marcello menganggap Oliver tidak mengerti kebutuhannya sebagai pembalap. Namun, Oliver kemudian terpaksa mengalah kepada Marcello karena setelah mempersembahkan juara satu di Grand Prix pertamanya untuk Haas, bos Haas bersedia memberikan apa saja untuk Marcello sehingga Oliver mendapatkan tekanan besar yang membuatnya harus menuruti apa pun keinginan Marcello. “Kau harus segera mengonfirmasi berita ini, katakan saja kalian hanya... berteman,” kata Sebastian ragu-ragu. Marcello tersenyum sinis, pertemanan seperti apa yang si wanitanya duduk mengangkangi si pria dengan lengan melingkar di lehernya sembari mencumbui bibir si pria? “Untuk apa mengonfirmasi, lagi pula ini bukan pertama kali aku terlibat hubungan dengan wanita,” kata Marcello dengan sangat santai sembari meletakkan kembali ponselnya ke atas meja. “Publik tidak peduli dengan gadis-gadis yang kau tiduri sebelumnya, tetapi Narnia adalah putri Oliver dan dia sepupu Barron,” ujar Sebastian dan kerutan kembali menghiasi alisnya. Marcello tersenyum malas. “Aku tidak peduli siapa dia.” Bahkan jika Barron terlihat lagi bersama Aneesa oleh media, Marcello berencana akan mengeluarkan gebrakan yang lebih sensasional dengan gadis mana saja yang bisa dimanfaatkan untuk menutupinya lagi. “Aku tahu kau melakukan ini untuk menutupi berita munculnya Aneesa bersama Barron, dan... kuakui kau cukup genius, berita mereka menjadi tidak diminati. Tetapi, bisakah kau menutupinya dengan berita yang lebih rasional?” *** Dayana memasuki studio lukis Aneesa, wanita itu meletakkan tasnya di atas meja lalu berjalan mendekati Aneesa. “Untunglah ada Marcello dan Narnia Mendez, jika tidak... aku yakin kau tidak akan bisa keluar melewati pagar itu,” ucap Dayana sembari mengeluarkan ponsel dari dalam saku blazernya. Aneesa yang sedang mengaduk cat lukisnya menggunakan pisau palet menghentikan gerakannya dan menatap Dayana. “Berita apa?” Dayana tersenyum. "Kau sebaiknya lebih sering membuka media sosial.” Aneesa bukan tipe orang yang menghabiskan waktunya dengan menggeser layar menonton media sosial, ia hanya membuka media sosial sesekali dalam sehari dan Dayana sangat memahami Aneesa, ia pun menggeser layar ponselnya dengan cepat lalu menunjukkan layarnya pada Aneesa. “Dasar berandalan,” gumam Aneesa pelan. Pantas saja Marcello belum meneleponnya sampai sekarang padahal katanya akan meneleponnya semalam, pasti setelah acara semalam berakhir Marcello dan Narnia menghabiskan waktu bersama hingga pagi, pikir Aneesa masam. “Kita harus berterima kasih pada mereka, kalau tidak aku pasti harus meminum anti depresan menghadapi pemburu berita,” kata Dayana sembari duduk. “Apa yang kau lukis?” Aneesa meletakkan pisau paletnya. Sialan, batinnya geram. Marcello mengabaikannya—bahkan menganggap hubungan mereka tidak ada artinya dan sekarang mengabaikannya demi bersama Narnia sampai pagi. Marcello harus memberi penjelasan padanya, pikir Aneesa. “Aku ingin melukis gadis yang kesepian di tengah hujan,” jawab Aneesa, tetapi sekarang telah kehilangan minat melukisnya. “Apa kau datang ke sini hanya untuk memberitahuku tentang gosip berandalan itu?” “Justin memberitahu jika lagunya tidak jadi diberikan padamu,” kata Dayana seraya menatap Aneesa dan dengan sangat hati-hati mengamati ekspresi Aneesa. Saat bertemu Justin untuk membicarakan lagu itu, Justin terlihat sangat antusias dan berulang kali jika lagu itu cocok dinyanyikan olehnya. Namun, kenapa cepat sekali berubah pikiran? Apa sesuatu terjadi saat ia pingsan dan menyinggung Justin? Namun, ia tidak menemukan apa pun di ingatannya. Hanya merasa pusing lalu sangat mengantuk dan ketika terbangun ia menemukan beberapa goresan halus yangs angat samar tetapi terasa agak perih jika terkena air juga sebuah titik kecil di nadinya, seperti luka suntikan. Lyndi dan Dayana mengatakan bekas suntikan itu disebabkan dokter mengambil sampel darah saat pingsan, tetapi apa penyebab pingsannya belum diketahui. "Apa alasannya?" tanya Aneesa dengan kerutan dalam di alisnya. Dayana hanya mengedikkan bahunya. "Kurasa tiba-tiba dia memiliki pandangan yang lain, menemukan orang yang lebih cocok. Mungkin." “Jika terlalu lama menghilang, tidak menampilkan karya apa pun... penggemar mungkin akan melupakanku,” kata Aneesa dengan pelan dan muram. “Jangan khawatir,” ucap Dayana seraya tersenyum lebar, “aku ke sini juga karena manajer Marcello menawarkan kerja sama yang menurutku lumayan untuk membuatmu bisa tetap eksis setidaknya di berbagai media sosial.” Aneesa menatap Dayana dan melongo. "Yang benar saja."Chapter 85Tekad AneesaAneesa baru saja meninggalkan mobilnya dan memasuki rumahnya melalui pintu penghubung garasi dan ruang belakang, ia mendapati Lyndi berdiri di ambang pintu ruang keluarga membuat Aneesa tidak mampu menahan rasa bahagia dan ia pun berlari ke arah Lyndi.“Aku tidak sedang bermimpi, kan?” tanya Aneesa seraya menatap Lyndi seolah tidak percaya dengan penglihatannya. Lyndi tersenyum. “Kebetulan aku menghubungi Jessie dan dia bilang kau sudah kembali ke sini. Kenapa tidak memberitahuku?” Faktanya Marcello-lah yang memberitahunya—sekaligus memintanya menyusul Aneesa ke Los Angeles. Tetapi, bukan Marcello namanya jika tidak membuat sandiwara dengan sangat halus.“Aku tidak ingin mengganggu waktu liburmu,” ucap Aneesa. Sebenarnya Lyndi masih ingin berada di Madrid bersama keponakan-keponakannya yang menggemaskan dan menikmati hari-hari yang santai bersama orang tuanya di rumah mereka, tetapi imbalan dari Marcello jumlahnya terlalu besar untuk diabaikan. “Aku khawati
Chapter 84Hubungan Tiga BulanAneesa duduk di sofa ruang keluarga di rumah Dayana dengan ekspresi masam, Marcello mengabaikannya. Beberapa pesan singkat yang Aneesa kirim tidak dibalas, hanya dibaca sementara panggilannya tidak dijawab. Ketakutan melanda benaknya, diabaikan oleh Marcello untuk kedua kali sementara dirinya kini jatuh cinta pada Marcello. Benar-benar mengerikan!“Kau datang ke rumahku hanya untuk menunjukkan wajah murungmu itu?” tanya Dayana seraya meletakkan stoples kaca berisi camilan ke atas meja dan dua botol minuman kaleng. Aneesa menatap Dayana dengan linglung. “Dayana, menurutmu jika aku putus dengan Barron....” “Putus?” tanya Dayana memotong ucapan Aneesa, alis wanita itu berkerut tidak bisa menyembunyikan keheranannya.Aneesa mengangguk. “Ya. Putus.” Dayana mengambil bantal sofa lalu duduk di sebelah sofa yang diduduki Aneesa, ia menaikkan kakinya dan bersila sembari memeluk bantal yang dipegangnya. Dayana adalah orang yang mengetahui perasaan Marcello pad
Chapter 83Disukai Banyak Wanita Di dalam hanggar bandara Aerodromo, bandara di pinggiran Barcelona yang biasa digunakan oleh kalangan kelas atas untuk mendaratkan dan memarkirkan pesawat jet pribadi atau pesawat kecil mereka, Marcello berdiri menunggu. Ia mengenakan kaus berwarna hitam yang lumayan ketat menonjolkan lengannya yang berotot dan kacamata hitam bertengger di wajahnya. Cuaca cerah tetapi dingin menusuk, suhu sekitar delapan derajad Celcius. Namun, Marcello seolah tidak memedulikan hawa dingin itu, ia berdiri di luar mobil yang mesinnya menyala dan kaca jendela terbuka, membiarkan udara hangatnya menguap keluar.Pintu kokpit pesawat kecil terbuka, Max muncul dari sana dan melemparkan senyum pada Marcello sembari mengangkat tangannya menyapa Marcello lalu menuruni tangga kemudian segera menghampiri Marcello. “Benar-benar seorang Pangeran,” ucap Marcello sembari membuka kacamata ketika Max berada tepat di depannya, senyum lembut tergambar di bibirnya. “Ini pertama kali a
Chapter 82Bukan yang Terpilih Hidangan di atas meja disajikan oleh juru masak pribadi keluarga Barron, seorang koki yang pernah bekerja di restoran fine dining berbintang Michelin dan biasa menyajikan menu degustation kelas atas. Namun, kemewahan itu tidak memberikan kesan spesial bagi Aneesa. Ia lebih menyukai makan malam keluarga kerajaan; suasananya hangat dan benar-benar terasa seperti berada di tengah-tengah keluarga, jauh lebih nyaman dibandingkan makan malam keluarga yang serba fine dining. Apalagi ia baru saja melalui penerbangan sebelas jam, lelah dan kelaparan karena menu makanan di pesawat pribadi kurang membuatnya berselera. Ia butuh makanan yang benar-benar bisa mengenyangkan perutnya dan masakan Marcello terlintas di pikirannya, tetapi kemudian Aneesa segera kembali ke realitas di depannya. Di ruangan megah itu ayah Barron hanya berbicara beberapa patah kata sejak Aneesa duduk di sana, sekedar percakapan perkenalan yang sangat sopan dan formal. Ibu Barron yang terlih
Chapter 81Bukan Tamu Spesial Begitu mobil berhenti di depan rumah orang tua Barron, Aneesa langsung merasakan banyak keraguan di benaknya. Ketika berjalan di samping Barron yang menggandengnya dengan percaya diri, langkahnya terasa sangat berat dan kepercayaan diri Aneesa sepertinya berkurang lebih dari separuh karena gaun yang dikenakannya—gaun pilihan Barron yang menurutnya bukan seperti akan menghadiri pesta sosialita ketimbang makan malam keluarga. Bahkan wanita-wanita bangsawan keluarga kerajaan saja tidak mengenakan gaun seperti yang sedang dikenakannya sekarang jika hanya menghadiri acara makan malam keluarga. Ditambah lagi di perjalanan menuju tempat tinggal orang tuanya, Barron memberikan daftar hal-hal yang tidak boleh Aneesa lakukan. “Jangan menyilangkan kaki di bawah meja.” “Jangan sentuh gelas dulu sebelum ayah melakukannya.” “Pegang garpu yang kanan, bukan yang kiri.” “Jangan tertawa terlalu keras, Mama sangat sensitif.” Semua membuat Aneesa pening, bukan karena
Chapter 80 Aturan Khusus Keluarga Barron Aneesa menghela napas seraya memandangi wajahnya di pantulan cermin, ia terlihat lelah dengan cekungan mata cukup dalam. Semalam ia tidak bisa tidur karena merasakan dilema, bahkan untuk pertama kalinya ia merasakan tidak ingin kembali ke Los Angeles. Noel berulang tahun, ia juga telah berjanji pada adiknya untuk merayakan tahun baru di Barcelona bersama keluarganya. Nyatanya sekarang ia berada di Los Angeles, sendirian karena orang tua Barron mengundangnya untuk makan malam. Aneesa telah dengan halus berusaha menolak undangan Barron, mengatakan jika hari ini di rumahnya juga ada acara makan malam untuk merayakan ulang tahun Noel.“Aku sudah menyiapkan pesawat pribadi untukmu besok, jadwalnya pukul satu dari Madrid,” kata Barron di telepon. Penolakan secara halusnya tidak digubris Barron dan ia terlalu enggan mengeluarkan energi untuk membantah Barron karena saat itu pikirannya sangat kacau. Ia tidak ingin mengecewakan Noel dan ingin berada