Share

Jalan Tak Ada Ujung

Author: TINTA MERAH
last update Last Updated: 2025-09-28 20:35:33

Pagi ini Leli menyalakan mobil Matic miliknya, ia tidak bisa tidur semalaman memikirkan Hera yang memakai jaket hoodie dan gaun warna merah menyala dibaliknya. Mungkin bajunya tidak terlihat tapi rok pendek itu menjawab pakaian yang ia kenakan. Leli mengikutinya dari Lobi hotel, naik Taxi dan singgah kedalam toko besar Fashion lalu membeli alat tulis di pinggir jalan.

Dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu, Outfit yang ia kenakan, semuanya baru dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Terlalu mencurigakan! Apakah dia sudah menjadi Lonte?!" Leli bergumam

Sejak itu hidupnya tidak lagi tenang, Hera adalah sepupu dari paman Adnan, Adik kandung ayahnya, paman Adnan sangat mencintai Leli, tapi sebelum Hera lahir, Leli adalah cintanya yang pertama.

Hera dan ibunya adalah perusak, perebut milik orang lain sekaligus pembawa sial.

Paman Adnan tentu tidak akan meninggal jika tidak menikah dengan ibu jalang Hera!

Kami semua sangat membenci mereka, karena mereka paman menjadi sial dan terbunuh dalam kecelakaan kerja di pabrik.

Leli mengeluarkan mobilnya dari garasi rumahnya, melaju dijalanan dengan kecepatan maksimal, hatinya sangat panas melihat kebahagiaan adik sepupunya yang menjijikkan itu.

"Aku harus menghancurkan mereka sampai ke tulang tulang mereka, dasar pembawa sial!" Leli berteriak sendiri didalam mobilnya, wajahnya memerah sampai kepanya terasa berdenyut.

###

Hari ini adalah hari sabtu, Hera baru saja mengantarkan adiknya naik sepeda motor ke sekolahnya, ibunya seperti biasa sedang terbaring sakit datas ranjangnya. Hera sudah membersihkan ibunya tadi pagi, kini ditangannya sudah ada segelas air minum dan obat untuk ibunya.

"Ibu obatnya diminum ya?" sapa Hera lembut

Ibunya tersenyum lemah dan mengangguk, Hera menyuapi ibunya dan membaringkan tubuh lemah itu lagi. Hera tidak tahan dengan keadaan ibunya, ia keluar kamar dan menelpon suster yang merawat ibunya.

"Saya ada janji nanti siang mbak, tolong mbak cepat datang ya"

Biasanya weekend Hera menyuruh mbak suster datang agak siang, biar dia yang merawat ibunya pagi, tapi hari ini ia ada janji dengan Ruben. Ia butuh seseorang menjaga ibunya, adiknya nanti bisa dipesankan Uber.

Siang ini cukup terik, kemeja putih yang Hera gunakan telah basah oleh keringat, rambut hitam panjangnya terasa lengket didahi, ia mengipasi dirinya sambil melirik arloji, "akhh ini sudah jam 12 kenapa Ruben belum muncul"

Tadi malam Ruben menyuruhnya datang ke gerbang stasiun kereta api pukul 12, katanya ia ingin mengajak Hera ke suatu tempat.

Tapi nyatanya, aku malah berdiri di sini sendirian,ini sungguh keterlaluan.

Tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti di depan Hera, Jendela kaca turun perlahan. Ruben ada di balik setir, senyum tipisnya masih sama seperti kemarin.

“Naiklah,” katanya singkat.

Hera mengerutkan kening. “Kau terlambat.”

Ruben mengangguk. Tapi tidak meminta maaf.

“Hey! Itu menuju jalan tol. Kau mau mengajakku kemana?”

“Tenang,” potongnya. “Aku hanya ingin menunjukkan sesuatu. Kau bisa berkomentar setelah melihat.”

Hera menatapnya tajam. Jalanan semakin lengang, melewati gudang-gudang tua di pinggir kota. Nafas Hera berat, ia mulai panik.

“Apa sebenarnya maumu?”

Ruben tidak menjawab. Hanya menyalakan rokok, asapnya melingkar di udara. Sorot matanya di kaca spion membuat Hera merinding.

Tatapannya selalu mendebarkan

Mobil berhenti di depan sebuah bangunan kosong. Cat dindingnya mengelupas, pintu besi berkarat. Dari luar terdengar suara gaduh, teriakan, pukulan, dentuman benda berat.

Ruben turun, membukakan pintu. “Ikutlah.”

“Aku tidak mau,”

“Terlambat,” bisiknya. “Kau sudah ada di dalam permainanku.”

Hera menggigil. Tapi entah kenapa, kakinya tetap melangkah mengikuti Ruben.

Di dalam gudang, suasana kacau. Beberapa pria bertubuh kekar mengelilingi sebuah ring kecil. Dua orang bertarung brutal, darah berceceran di lantai. Teriakan taruhan memenuhi ruangan. Bau keringat, alkohol, dan darah bercampur jadi satu.

Hera membeku di pintu. “Apa ini…?”

Ruben berdiri di sampingnya, menatap arena dengan dingin.

“Ini adalah dunia ku. Tempat di mana hukum hanyalah kata-kata kosong. Tempat di mana manusia menunjukkan wajah aslinya.”

Hera menelan ludah. Tubuhnya bergetar. “Kenapa kau membawaku ke sini?”

Ruben menoleh, matanya menyala dalam cahaya redup. “Karena kau juga hidup di dua dunia, sama sepertiku. Bedanya, kau masih berpura-pura setengah mati. Aku ingin tahu… berapa lama kau bisa bertahan.”

Hera ingin berlari, tapi tatapan mata Ruben menahannya, ada sesuatu yang gelap sekaligus memikat, bahaya yang terasa seperti jurang, tapi juga seperti undangan.

Pertarungan berhenti. Seorang pria jatuh tak bergerak, darah mengalir dari mulutnya. Kerumunan bersorak, sebagian memasang wajah puas, sebagian kecewa.

Hera menutup mulut, menahan muntah.

Ruben mendekat pada Hera, setengah berbisik, “Inilah kenyataan, Hera. Dunia tidak pernah adil. Kau tahu itu. Karena itulah kau menjadi siapa dirimu hari ini, jadi… jangan berpura-pura terkejut.”

Hera mendorongnya, marah. “Aku tidak sama denganmu!”

Ruben terkekeh, tatapannya menusuk. “Belum. Tapi kau akan paham. Dunia ini selalu menyeret orang baik ke kegelapan. Pertanyaannya kau akan melawan… atau kau akan tenggelam?”

Hera terdiam. Kata-katanya itu pernah menghantamnya waktu itu, tepat di hatinya.

Tiba-tiba, salah satu pria besar di dekat ring menatap ke arah mereka. “Hei, Ruben! Siapa cewek itu? Pendatang baru?”

Semua mata menoleh pada mereka berdua. Jantung Hera hampir berhenti.

Ruben tersenyum tipis, melingkarkan lengannya di pundak Hera. “Dia… milikku.”

Kata-katanya bergema, membuat bulu kudukku berdiri. Hera ingin menolak, ingin berteriak, tapi suaranya menghilang.

Kerumunan bersorak, lalu kembali sibuk dengan taruhannya.

Hera hanya bisa menatap Ruben, marah sekaligus takut. “Kenapa kau bilang begitu?”

Ruben mendekat, wajahnya nyaris menempel pada pipi Hera. “Karena kalau tidak, mereka akan memperlakukanmu lebih buruk daripada yang bisa kau bayangkan. Kau harus berterima kasih.”

Hera tercekat. Dan untuk pertama kalinya, Hera menyadari betapa berbahayanya terlibat dengan Ruben.

Tapi entah kenapa… bagian lain dari dirinya ingin tahu lebih jauh.

Apa yang sebenarnya ingin Ruben tunjukkan dan penawaran seperti apa yang dia inginkan dari Hera, tidak cukupkah hanya bermain main kecil dengannya? Mengapa Ruben tidak menyentuhnya malam itu, dan kenapa Ruben menginginkan kegilaan ini darinya. Hera tidak mengerti, semua pertanyaan itu berisik di dalam kepalanya.

Tubuh Hera gemetar melihat pria yang bersimbah darah tergeletak di dalam ring, tidak ada yang berusaha membantu pria itu. Semuanya tampak sibuk dengan diri mereka sendiri

“Apakah pria itu sudah mati? Bisakah ia hidup kembali setelah menderita luka luka seperti itu? Kenapa orang lain tidak membantunya? Tempat seperti apa ini? Hera memegangi kepalanya yang berdenyut denyut sakit. Tubuhnya masih menahan gemetar sejak tadi. Air mata membanjiri pipinya kemudian perlahan bintik hitam timbul semakin banyak di penglihatannya dan ia terjatuh kehilangan kesadaran.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TOPENG MANIS SANG PEMBUNUH   WAJAH DI BALIK TOPENG

    Hera menatap cermin besar di ruangan persiapan. Wajahnya nyaris tak dikenali, riasan tebal, gaun tipis berkilau, mata yang biasanya berbinar lembut kini menyimpan bara keputusasaan. Seorang wanita berambut pirang dan memakai perhiasan berkilauan mendekat padanya lalu perempuan itu tersenyum palsu.“Relax Beb. After tonight, you won't remember anything. They'll give you something to forget everything.""Maaf aku gak ngerti" sahut Hera, dirinya merasa malas untuk merespons kata-kata itu, karena mendadak ia teringat pada Alexa, yang tertinggal di dalam gedung pesta pertaman kali mereka dipersembahkan pada tamu-tamu sultan dengan naluri binatang."Kau beruntung sudah dibawa ke tempat ini girl. Kau mungkin akan tewas mengenaskan jika masih di istana itu, you know what I mean,mereka memberitahuku kau berasal dari sana." "Siapa?""Hahaha... disini segala gosip beredar dengan cepat beb, come on, be prepared" sahut wanita itu samil berlalu, meninggalkan aroma parfum mahal yang menyeruak.Hera

  • TOPENG MANIS SANG PEMBUNUH   PASIR EMAS DI ABUDABI

    Udara di ruangan itu beraroma mawar dan kemenyan. Hera terlihat berkilau dan indah di bawah cahaya lampu kristal yang memantul dari gelas-gelas kaca dan juga dinding-dinding berlapis emas. Kain sutra berwarna gading menutupi sebagian tubuhnya. Semua para gadis telah di dandani sepanjang hari, setelah mereka sampai ke gedung pencakar langit, seorang perempuan yang Hera perkirakan berusia 40-an dan berkulit zaitun, mengenakan abaya hitam dengan belahan dada rendah, menuntun mereka untuk membersihkan diri, dan pakaian yang tidak bisa disebut pakaian.Hera sendiri mendapatkan pakaian terbuka yang sungguh tidak nyaman, meskipun latar belakangnya adalah seorang kupu-kupu malam, tapi baju seperti ini sama sekali bukanlah baju, melainkan kain penutup dada sampai bokong. Dari kejauhan, suara dentingan gelas berpadu dengan gendang dan alat musik yang mengundang kesenangan.Hera merasakan dinging di telapak tangannya, dan denyut nadi yang berkejaran cepat di pelipisnya. Udara di ruangan itu ber

  • TOPENG MANIS SANG PEMBUNUH   CARGO MENUJU BABYLON

    Kegelapan yang mutlak, dingin, dan berbau besi.Ketika Hera sadar, hal pertama yang ia rasakan adalah sakit yang berdenyut di belakang kepalanya, bekas pukulan yang dilayangkan para penculiknya kemarin. Ia mencoba menyentuh area yang terasa basah dan lengket itu tapi kedua tangannya diikat erat ke belakang dengan kabel zip tie tebal, menusuk pergelangan tangannya.Ia berada di dalam kontainer baja. Udara di dalamnya pengap, bercampur bau keringat, ketakutan, dan aroma laut yang lembap. Telinganya berdengung, tetapi perlahan, ia mulai mendengar suara lain. Isak tangis. Suara-suara lirih wanita lain yang terikat, dikumpulkan dalam kegelapan yang pekat."Kau sudah sadar?" bisik suara serak yang berasal dari dekatnya. "Mereka membius mu setelah memukul kepalamu kemarin malam." Alexa berusaha menjelaskan. Hera menatap Alexa sebentar.Keadaan temannya itu tidak jauh lebih baik dari dirinya, hanya saja tangan Alexa diikat ke depan bukan di belakang.Hera mendengus pelan, menahan rasa sakit.

  • TOPENG MANIS SANG PEMBUNUH   FLASHBACK

    Ruben mengepalkan tangan, darahnya menetes ke lantai baja dermaga. “Dimitri... kau baru saja menyentuh milikku,” Bisiknya.Semua perasaan tidak enak dan terasa salah ini bukanlah sebuah ketakutan, melainkan dendam yang belum selesai ia laksanakan. Setiap kali Dimitri muncul, sesuatu yang buruk pasti akan menimpanya, Dimitri ini terasa seperti kutu yang sangat ingin ia musnahkan, tapi ketakutan lain muncul bersamaan setiap kali ia melihat pria itu, beberapa hal tidak bisa hilang dari ingatannya. Meskipun itu sudah 20 Tahun yang lalu.Saat Ruben kecil dipaksa ibunya untuk tinggal bersama ayahnya, ia tidak pernah tau alasannya, yang pasti dia menyadari satu hal yaitu kenyataan bahwa Ibunya adalah kekasih gelap ayahnya.Keluarga mereka menyebutnya "Bastardo" meskipun saat itu ia masih berusia 7 tahun.Udara di lapangan pelatihan menembak belakang kediaman utama Don Valentino terasa tajam dan dingin, tetapi tidak sedingin tatapan yang selalu ia terima dari sudut matanya. Di usia dua belas

  • TOPENG MANIS SANG PEMBUNUH   Kehilangan atau Kelegaan?

    Ruben memberikan Hera waktu untuk tetap mematung selama beberapa waktu, ia tidak berniat merusak apapun yang Hera rasakan saat ini, di tangan kanannya kotak komputasi masih menggantung aman, Ruben menghela nafas panjang, matanya memandang tangan kirinya yang masih belum dilepaskan Hera dari genggamannya. Ia ingin menggaruk kepalanya yang tidak gatal, entah sudah berapa lama mereka berdua berdiri mematung di sana.Akhirnya Ruben melihat air mata Hera jatuh tanpa suara, ia tetap menunggu dan memandangi gadis itu."Aku tidak salah" Hera bergumam"Hah?" Ruben mencoba memastikan pendengarannya"Bukan aku yang meninggalkan dia kan?" tanya Hera, ia menatap mata Ruben dengan kedua matanya yang berkaca-kacaRuben ingin sekali menghapus air mata gadis itu, tapi ia tidak berdaya"Dia yang mengkhianati aku terlebih dulu kan?" Hera bertanya pelan, lebih tepatnya ia ingin meyakinkan dirinya sendiri.Ruben yang mendengar itu menghela nafas dan berus

  • TOPENG MANIS SANG PEMBUNUH   Leli Mati

    Momen Aktivasi PertamaHera dan Ruben sudah membuka kotak kemarin dengan mulus dan tanpa adanya gangguan berarti, Kedua tangan Ruben sudah memegang benda bersinar itu. Ia mengulurkan benda itu ke arah Hera. “Coba masukkan liontin itu di sini.” Ruben menunjukkan lubang kosong yang sesuai dengan ukuran liontin Hera. “Dan kalau ini jebakan? Kalau benda ini meledak tiba-tiba?” “Maka kita berdua sudah terlalu jauh untuk mundur.” Hera menyentuh permukaan benda itu lalu memasukkan liontin itu. Semuanya terasa pas dan sempurna. Detik berikutnya, cahaya biru memancar lebih kuat — menembus udara, menyalakan ukiran di dinding sekeliling mereka. Seluruh ruangan bergetar pelan, dan gema suara lembut terdengar, samar-samar seperti bisikan. “Cosa Nostra ” Hera mundur selangkah, menatap Ruben dengan mata melebar. kotak log

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status