Kuliah berjalan lancar, ketika Dosen meninggalkan ruangan kelas, Hera memasukkan buku dan peralatan tulis yang baru dibelinya tadi pagi dengan hati-hati, semua yang ia kenakan hari ini baru dan berbau kekayaan. Dollar itu seperti durian runtuh baginya. "Begini rasanya memiliki uang untuk dihamburkan" Ucapnya pelan pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tidak terdengar.
"Habis ini kemana Her?" Tanya Davi, ia adalah seorang KOSMA (sebutan untuk ketua kelas dikampus)
"Belum tau nih, mau ketemu Rina dulu Dav!" Jawab Hera, bangkit dari kursinya.
"Habis itu kita kekantin ya?" Bujuk Davi.
Hera mengganguk pelan, sudah 2 tahun ini Davi berusaha mendekati Hera. Hera bukannya cewek dingin yang tidak memiliki perasaan, ia hanya merasa kasihan pada Davi, Hera hanya merasa dirinya akan menjadi penjahat jika mempermainkan perasaan tulus Davi, sementara Hera tahu Rina sahabatnya memiliki perasaan suka terhadap Davi. Hera sedang berusaha mendekatkan keduanya dengan menciptakan banyak momen bersama.
Hera berjalan beriringan dengan Davi, mereka berdua bercerita tentang banyak hal mulai dari mata kuliah hingga pekerjaan, Hera mendapatkan pekerjaannya sebagai Editor di majalah cetak itu berkat Davi, sudah 4 tahun Davi berkecimpung di dunia Jurnalis, sementara Hera, ia lebih cocok disebut Ghost Witer dari pada Jurnalis
"Heraaaa........" Rina melambaikan tangannya ke arah Hera
"Heeiiiii!!!!!" Sahut Hera ikut melambai
Rina berlari kearah mereka berdua, senyumnya mengembang, cantik sekali, poni rambutnya terlihat berantakan. Hera merasa harus memperbaiki poni Rina, ia sangat menyayangi sahabatnya itu.
Persahabatan mereka sudah 13 tahun, segala pertengkaran dan kesalah pahaman yang banyak itu tidak mampu membuat keduanya saling memusuhi, mereka saling menyayangi meski selera dan hobby mereka tabrak lari. Rina suka traveling, Hera suka dirumah saja.
Rina sangat periang dan ceria, Hera adalah kebalikannya.
Rina menyukai kucing, Hera benci bulu kucing.
Rina tidak suka dandan, Hera sangat amat Fashionable
Rina punya banyak teman, Satu-satunya teman Hera hanyalah Rina. Tentu Hera berteman dengan siapa saja, tapi semua hanya dipermukaan, Hera tidak akan menunjukkan dirinya yang asli pada mereka, beda hal dengan Rina, ia tahu Hera luar dan dalam. Entah ikatan macam apa yang mereka miliki sehingga keduanya sangat tidak terpisahkan.
"Kita makan yuk, aku yang traktir deh" Tawar Hera
"Yukk... aku mau" jawab Rina bersemangat
"Eh, aku aja!" Davi keberatan, dan sedikit memaksa.
"Oke..oke ayuk deh...." Hera mengalah, ia tidak ingin menjatuhkan pride Davi sebagai pria.
Dari lantai atas seseorang menatap punggung ketiganya, ia berdiri menyendiri dan diam mengamati, ditangannya sebuah telpon genggam sedang menyala, namun ia enggan untuk melihatnya.
###
Malam itu Hera sedang berkerja didepan layar komputer di dalam kamarnya, adiknya Doni sedang terlelap didalam kamarnya, sejak sore ia merengek minta kakaknya mendongengkan buku cerita kesukaannya. Hera baru menidurkannya sejam yang lalu, poto ayah mereka menggantung di dinding atas, berhadapan dengan meja kerja Hera. Ayah mereka adalah seorang buruh pabrik, beliau meninggal saat bertugas, karena kecelakaan kerja. ayah yang tampan dan pergi tiba-tiba, saat itu Hera masih berusia 17 Tahun, adiknya Dino sedang diperut Ibunya, bahkan selama mengandung Ibu Hera tidak lagi bersuami. Beruntung mereka masih mendapatkan uang pesangon dan ganti rugi, asuransi dari kecelakaan kerja. Ibunya susah payah berjuang untuk menghemat tiap sen uang mereka, ia menjual gorengan di depan rumah mereka.
Sejak saat itu hidup mereka tidak lagi sama, semua terasa berat ditambah saudara-saudara ayahnya yang hilang akal meminta bagian warisan dan uang ganti rugi yang jumlahnya tidak banyak. Setiap hari mereka mendatangi ibu Hera, sekedar memaki lalu pergi atau membuang kotoran di tempat ibunya berjualan, atau bahkan yang paling memilukan adalah, ibu Hera dijambak dan dipermalukan didepan banyak orang.
Hera yang saat itu belum bisa apa-apa hanya bisa menonton dan terdiam. Tapi diam bukan berarti tidak menyimpan dendam kan? ia hanya belum bertindak, ia menunggu momen yang tepat untuk semua saudara ayahnya yang bahkan tidak layak disebut saudara.
"Biiipppp......Biiiiiiiiipppppp" Suara ponsel Hera bergetar
Nomor tanpa nama terpampang disana, ia melewatkan satu kali panggilan, bisa saja itu panggilan iseng, dia tidak ingin terlibat hal semacam itu, setelah panggilan kedua baru ia menganggatnya, namun enggan bersuara, ia menunggu.
"Kau mengabaikanku?" Suara diseberang membuat bulu kuduk Hera meremang
"Siapa kau?" tanya Hera
"Kau membuang nomor yang aku berikan, itu menarik"
Hera tersentak dan sadar, "Ku rasa kau belum tahu tuan Ruben, aku punya peraturan" jawab Hera tenang
"Peraturan tamu tidak bisa book untuk yang kedua kali?"
"Nahhh,, itu dia. Syukurlah kau mengerti" Hera merasa menang
"hahahahahhahhhhaha" Suara tawa pecah, sunyi sesaat lalu "itu hanya berlaku untuk orang lain nona, kau tidak berniat makan uang ku dengan cuma-cuma kan?"
Deg
Itu seperti tamparan keras bagi Hera. "Baiklah katakan dimana aku harus menemui mu!"
"Heraaa....Heraaaaa.... aku sudah didepan rumahmu, keluar sekarang juga" Perintah Ruben.
Hera terkesiap dan keluar secepat mungkin. Ia menyambar dompetnya dan berlari keluar rumah.
Ruben berdiri dibawah lampu jalan, siluetnya begitu tinggi dan tegap, ia mengenakan topi Nike hitam, Hera menghampirinya secepat mungkin "Apa yang kau inginkan?" Tanya Hera, nafasnya sedikit terengah-engah
"Tarik nafas Hera, tenangkan dirimu. Aku menawarkan pekerjaan santai padamu. Dan bayarannya jauh lebih besar dari gajimu diakumulasikan selama setahun"
"Pekerjaan macam apa itu?" Hera penasaran
"Ini" Ruben menyodorkan Handphone baru ketangan Hera, "Pastikan kau mengangkat telpon ini dan ikuti istruksi yang ada" jawab Ruben
"Apakah ini pekerjaan ilegal??? aku tidak mau terlibat" Hera menampil tangan Ruben, ia curiga ini semacam tipuan yang bisa merugikan
"Ku pikir kau cukup cerdas untuk tidak tertipu nona! atau kau memang terlalu bodoh untuk pekerjaan ini?!"
"Bicaralah sesukamu! aku tidak perduli, jika kau menginginkan tubuhku, katakan saja dimana aku harus menemui mu! aku tidak ingin terlibat perkejaan gila yang kau tawarkan"
Ruben menutup bibir Hera dengan telunjuknya
"Pelankan suara mu Nona, apa kau ingin kita menjadi tontonan banyak orang?" Ruben mengeluarkan senyum itu, Senyum yang menciptakan banyak kupu kupu terbang di dalam perut Hera.
"Maaf, tapi aku tidak tertarik dengan tawaran pekerjaan itu" Jawab Hera pelan, pada akhirnya ia hanya bisa mengikuti arahan dari pria misterius ini.
"Kau tidak bisa keluar dengan mudah nona, Dollar yang kau gunakan pagi ini, jika itu terlacak oleh sistem, tanpa aku mengotori tanganku. Kau akan membusuk dipenjara, Kau tidak berniat meninggalkan adik dan ibumu luntang lantung di jalan kan? apa kau lupa bagaimana saudara ayahmu sangat menginginkan ibu mu?"
Mata Hera terbelalak, ia merasakan sesak di dadanya "Apa saja yang sudah diketahui pria ini?"
Tatapan mereka beradu, kedua mata Ruben berkilat tajam, ia tersenyum namun kini senyuman itu terasa sangat menakutkan bagi Hera.
Hera berdiri di depan sebuah ruko tiga lantai yang cat luarnya sudah pudar. Jalan kecil di depannya cukup ramai, dilewati mahasiswa, pekerja, dan pedagang kaki lima. Dari luar, bangunan itu tampak biasa saja. Plang toko lama masih menggantung, bertuliskan “Fotokopi & ATK”. Hera mengusap peluh di dahinya, tangan sebelah kiri masih menggenggam handphone yang diletakkan di telinganya. “Tidak terlalu mencolok, mudah diakses, dan parkiran cukup luas” Hera setengah berbisik. Mata Hera mengawasi tukang cat yang mengecat dinding putih, menukar kaca buram dengan jendela baru, dan pemasangan papan nama besar “LUMINA MAGAZINE” Nama itu dipilihnya dengan hati-hati. Terlihat modern, netral, dan memberi kesan intelektual. Tidak akan ada yang menduga di balik nama itu tersimpan arus uang gelap. “Sudah, meja, komputer dan perangkat lainnya sudah dipesan……iya, baiklah” Hera menatap layar ponselnya, panggilan Ruben sudah diakhiri. Semua renovasi ini, seandainya ini adalah kantor Majalah
Sorak-sorai membuncah, memantul di dinding-dinding gudang tua yang berlumut. Cahaya lampu neon menggantung rendah, menyinari ring darurat yang dikelilingi pagar kawat, Hera tersadar, kepalanya berada dalam pangkuan Ruben, degup jantungnya Hera berdentum seirama dengan teriakan orang-orang dalam gudang itu. Hera berusaha menenangkan gemuruh di dadanya. Ia hendak duduk tapi tubuhnya sangat lemah, nafasnya tersengal sengal. Bau keringat, asap rokok, dan darah bercampur, menusuk hidung hingga membuat perutnya mual. Hera teringat adegan yang membuatnya tak sadarkan diri. Dua pria di dalam ring bertarung tanpa aturan. Tinju mendarat tanpa pelindung. Dan salah satu di antara mereka sudah mati. “Buka matamu, Hera. Jangan lemah,” kata Ruben tenang, seakan pertunjukan brutal itu adalah hal yang biasa. Setelah itu Ruben tampak memberi isyarat kepada seseorang. “Ruben” suara Hera tercekat. “Dia tewas?” Tanya Hera panik Ruben mengangkat alis, lalu menyalakan rokok. Asap putih mengepul
Pagi ini Leli menyalakan mobil Matic miliknya, ia tidak bisa tidur semalaman memikirkan Hera yang memakai jaket hoodie dan gaun warna merah menyala dibaliknya. Mungkin bajunya tidak terlihat tapi rok pendek itu menjawab pakaian yang ia kenakan. Leli mengikutinya dari Lobi hotel, naik Taxi dan singgah kedalam toko besar Fashion lalu membeli alat tulis di pinggir jalan.Dari mana ia mendapatkan uang sebanyak itu, Outfit yang ia kenakan, semuanya baru dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Terlalu mencurigakan! Apakah dia sudah menjadi Lonte?!" Leli bergumamSejak itu hidupnya tidak lagi tenang, Hera adalah sepupu dari paman Adnan, Adik kandung ayahnya, paman Adnan sangat mencintai Hera, tapi sebelum Hera lahir, Leli adalah cintanya yang pertama. Hera dan ibunya adalah perusak, perebut milik orang lain sekaligus pembawa sial.Paman Adnan tentu tidak akan meninggal jika tidak menikah dengan ibu jalang Hera!Kami semua sangat membenci mereka, karena mereka paman menjadi sial dan terbunuh da
Kuliah berjalan lancar, ketika Dosen meninggalkan ruangan kelas, Hera memasukkan buku dan peralatan tulis yang baru dibelinya tadi pagi dengan hati-hati, semua yang ia kenakan hari ini baru dan berbau kekayaan. Dollar itu seperti durian runtuh baginya. "Begini rasanya memiliki uang untuk dihamburkan" Ucapnya pelan pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tidak terdengar."Habis ini kemana Her?" Tanya Davi, ia adalah seorang KOSMA (sebutan untuk ketua kelas dikampus)"Belum tau nih, mau ketemu Rina dulu Dav!" Jawab Hera, bangkit dari kursinya."Habis itu kita kekantin ya?" Bujuk Davi.Hera mengganguk pelan, sudah 2 tahun ini Davi berusaha mendekati Hera. Hera bukannya cewek dingin yang tidak memiliki perasaan, ia hanya merasa kasihan pada Davi, Hera hanya merasa dirinya akan menjadi penjahat jika mempermainkan perasaan tulus Davi, sementara Hera tahu Rina sahabatnya memiliki perasaan suka terhadap Davi. Hera sedang berusaha mendekatkan keduanya dengan menciptakan banyak momen bersama.Her
Langkah kaki Hera terdengar pelan di lorong hotel. Sepatu hak "mahal" ini sudah terlalu sempit, tapi ia belum punya sepatu pengganti. Bagi orang lain, gaun merahnya mungkin tampak mewah. Tapi bagi Hera, itu adalah seragam kerjaTangannya menggenggam erat tas Hermes kecil. Di dalamnya hanya ada dompet tipis, lipstik murahan, dan kartu mahasiswa yang hampir jatuh tempo.Mahasiswa. Ya, itulah Hera di siang hari. Mahasiswi sastra inggris tahun akhir. Tapi di malam hari… ia menjual dirinya.Tentu saja dahulu ia tidak pernah menyangka akan sejauh ini. Semua karena satu dan lain hal, situasi tidak terelakkan. Hingga pada akhirnya ia bertemu tamu ke-1, ke-2, ke-3, ke-4, ke-5, ke-6, ke-7, ke-8 dan pada malam ini, ini adalah tamu ke-9 miliknya.“Jangan macam-macam. Dia bukan orang biasa.” Ucap manajer berulang-ulang padanya, seperti mengingatkan Hera, bahwa satu kesalahan saja, Hera bisa tiada dari dunia ini. Pintu kamar 1705 terbuka otomatis.Sosok pria duduk di kursi dekat jendela, punggung