Leo sangat berat hati, jika harus bertemu lagi dengan Nenek Mira. Memang masalah dengannya telah berakhir bahagia, namun kalau dia mengingat pernah diminta operasi plastik olehnya, juga pernah dipaksa masuk ke klinik kecantikan untuk menghilangkan tompel dengan cara seperti penculikan, membuat tubuhnya begidik setiap mengingat Nenek Mira.
“Ya Tuhan, apa ini satu-satunya cara agar Mira terbebas dari Rentenir?” batin Leo merasa tersiksa.Leo tidak mau menunggu terlalu lama untuk menyiapkan mental yang matang sebelum bertemu Nenek Mira. Dia berpikir, mentalnya harus dipaksa kuat. Segera dia mencari nomer kontak Nenek Mira, walaupun saat menyalakan kontak itu, dia masih memejamkan matanya, mencoba untuk kuat. Setelah nada dering yang ke sekian kali, akhirnya teleponnya diangkat juga. “Hallow,” sapa Nenek Mira sedikit manja.“Nenek, ini aku, Leo.”“Oh, ada apa Leo? Tumben sekali kamu menelepon Nenek, apaLeo selalu saja digoda setiap akan pulang padahal hari semakin malam. Mereka kemudian menunggu satu persatu teman Nenek pulang agar bisa segera kembali ke rumah. Akhirnya sampai juga di rumah Nenek Mira, Leo merasa lega sekali, seperti baru keluar dari kandang singa betina. Leo kemudian tertidur, setelah membersihkan riasan di wajahnya. Di dalam kamarnya, Nenek menceritakan pengalamannya arisan bersama Leo tadi, hingga membuat Kakek tertawa mendengarnya. Keduanya kemudian membicarakan Leo. Mereka tersentuh dengan segala perilakunya selama ini. Mereka sebenarnya sadar, kalau Leo bukanlah orang sembarangan, dia berasal dari keluarga terkaya di desanya. Bukan hal yang mudah bagi seorang penguasa muda seperti Leo, mau menuruti keinginan mereka berdua. Mereka menganggap itu dilakukannya karena besarnya cinta Leo terhadap Mira, jadi dia rela berkorban apa saja. Hati keduanya mulai luluh. Keesokan paginya, saat sarapan bersama, Kakek berbicara kepada Leo
Rentenir menyadari kalau pertemuannya dengan Nenek Mira akan membuat dirinya menjadi bukan Rentenir biasanya. Daripada dia malu di hadapan istri-istri dan anak-anaknya, dia kemudian meminta mereka masuk ke dalam kamar masing-masing dan tidak diizinkan keluar, sampai Rentenir membolehkannya. Istri-istri dan anak-anaknya segera masuk ke kamar sesuai komando Rentenir, tanpa bertanya apapun. Sekarang, yang berada di ruang tamu, hanya tersisa Leo, Nenek Mira, dan Rentenir yang dikelilingi kelima anak buahnya. Setelah merasa aman, Rentenir melanjutkan bicaranya kembali. “Mi-Mira itu benar-benar cucumu, Maya?” ucapnya dengan penuh kelembutan kepada Nenek Mira, dia sedikit gugup. “Iya, Mira adalah cucuku. Bapak Mira adalah anakku, yang katanya telah berhutang padamu. Benarkah Mas Cokro?” tanya Nenek berusaha berkata seluwes mungkin untuk mulai merayu Rentenir. Tubuh Rentenir tiba-tiba merasa tidak bertulang, kakinya ber
Leo mengendarai mobilnya dengan berpikir tentang hal yang akan dibicarakan oleh Mira. Kalau mengenai hutang sejumlah sepuluh juta itu, Leo tidak akan mempermasalahkannya, karena nominalnya sangat kecil sehingga tidak dianggap beban sama sekali. Yang terpenting buat dia adalah Mira bisa bebas dari jeratan rentenir dan dapat memulai hari-harinya seperti biasa.Leo kemudian berpikir lagi, mungkin dia akan membahas tentang hubungan kita. Sebenarnya, lelaki tompel ini berharap bisa bersatu kembali. Kalau itu yang akan diminta Mira, Leo sangat bahagia. Tiba-tiba perasaannya seperti merasakan sensasi setelah minum soda, rasa yang menggelegar kecil dan menyegarkan.Akhirnya sampai juga mereka di rumah Mira. Leo kemudian keluar dari mobil, dan berdiri di dekat pintu mobil sambil melihat para anggota keluarga Mira masuk ke rumah mereka satu persatu, namun pikirannya sedang berkelana memikirkan apa yang akan dibicarakan Mira. Saat itu, nenek dan kedua ora
Lusi kemudian berpikir akan mencari tahu mengenai Mira melalui tantenya. Dia mendekatinya, sembari mengambil apel yang terpampang menggiurkan di meja makan. “Mira itu ... orangnya seperti apa, Tan? Apa dia cantik? Lulusan dari negara mana?” tanya Lusi sambil menggigit apel yang telah di ambilnya tadi, kemudian mengunyahnya. “Hmm ... anaknya baik, sangat manis, dia lulusan S1 kota sini saja koq. Kamu kepo ya?” tanya Mama Leo menggoda. “Ih Tante ... boleh khan nanya-nanya,” jawab Lusi acuh tak acuh. Setelah pembicaraan singkat itu, Lusi tidak tinggal diam. Dia sangat penasaran dengan Mira. Penjelasan dari tantenya, dirasa masih kurang lengkap. Dia kemudian meninggalkan tantenya, dan menuju ke ruang tamu untuk berpikir. Tiba-tiba Bibi Jum lewat di depannya. “Bi, Bi, Bi?” panggil Lusi menghentikan langkah Bibi Jum. “Ada apa, Non?” tanya Bibi Jum.Lusi melihat ke kiri dan ke kanan dahulu sebelum bertanya, setelah merasa aman tidak ada om
Mira tidak menghiraukan panggilan Leo, dia terus saja berjalan dengan perasaan kesal dan cemburu. “Mira ... please, jangan marah sayang!” Leo berusaha menenangkan Mira, dia menghadangnya agar tidak segera pulang. Lusi memandang mereka senang, “Itu resikonya kalau berani mengambil Leo-ku. Akan kubuat kamu cemburu, sampek kau meninggalkannya,” batinnya sambil tersenyum sinis. Nafas Mira tersengal-sengal merasakan dadanya yang penuh dengan amarah. “Biarkan aku pulang Leo, aku sudah tidak tahan,” ucapnya sambil memalingkan wajahnya karena kesal. Entah kenapa bukannya marah, perasaan Leo seperti kembang api, meledak-ledak senang karena merasa sangat dicintai. Kebahagiaannya tidak bisa ditutupi, dia berupaya bersikap biasa saja, namun senyuman itu terbentuk begitu saja di wajahnya, tanpa disuruh. “Kamu cemburu ya? Lusi cuma bercanda,” ucapnya tenang. Mira semakin geregetan melihat senyuman Leo. Begitu kesalnya hingga kakiny
“Lusi, a-apa yang telah kau lakukan?” tanya Mira syok. Leo hanya diam memandang sepupunya itu, dia bingung harus berkata apa. “Itu hadiah karena kalian telah menghina saudaraku, lain kali cobalah pikirkan dengan baik setiap ucapan yang keluar dari mulut kalian!” teriak Lusi kepada keempat pemuda itu. Dua di antara mereka tidak terima. Mereka berdiri mendekat ke Lisa dan mengambil posisi menyerang, berniat membalas dendam kepadanya. Sepupu Leo menyiapkan kuda-kuda, siap menerima pukulan. Ketika satu pukulan akan dilayangkan oleh salah satu pemuda itu ke pipinya, Lisa dengan cekatan dapat menangkisnya. Mereka bertiga terlibat adu jotos, dua lelaki melawan satu perempuan cantik, dan ternyata dimenangkan oleh Lisa. Mereka berdua akhirnya kalang kabut, membawa serta temannya yang telah terluka bagian kepalanya dan juga teman wanitanya. Mereka tidak ingin membawa masalah ini ke polisi karena takut dengan Lusi yang ternyata memiliki ilm
Bapak Mira segera mengambil handuk di display dan mendekati lelaki itu, “Ayo Mas, cepat! Saya antar ke dokter,” ucapnya sambil membersihkan kepala dan tubuh lelaki itu dengan handuk yang dibawanya. “Maaf, untuk sementara tokonya saya tutup. Nanti bisa kembali sekitar dua jam lagi,” ucap Bapak Mira kepada pelanggannya. Dia menyerahkan tanggung jawab untuk menutup toko kepada Mira dan meminta tolong kepada seorang pemuda yang telah dikenalnya untuk ikut dengannya membawa lelaki yang dipukul kepalanya oleh Lusi tadi, menuju ke klinik dokter terdekat. Mereka bertiga naik motor Bapak Mira. Yang mengendarai di depan adalah Bapak Mira, di tengah lelaki yang terluka tadi, sedangkan di belakang adalah pemuda yang dimintai tolong oleh Bapak Mira untuk menjaga lelaki yang terluka tadi, agar tidak jatuh dari motor. Mira melihat kepergian Bapaknya masih dalam keadaan panik. Dia kemudian dengan sabar menunggu semua pelanggan keluar dari tokonya, setelah itu baru mengunciny
Setelah lepas dari cengkeraman Leo, Lusi segera mengambil vas bunga yang terletak di meja ruang tamu. Dia menaikkan tangannya hendak melempar vas bunga itu ke arah berdirinya kedua orang tua lelaki itu, namun dengan sigap Leo segera berdiri dari lantai, dan mengambil vas bunga itu dari tangan Lusi, dan meletakkannya kembali ke atas meja. “Sudah Lusi, masalah ini sudah berakhir. Jangan membuka masalah baru!” pinta Leo kepada sepupunya itu agar lebih tenang. Lusi menghela nafas panjang. Dia menghentikan tindakannya, bukan karena kasihan kepada kedua orang tua lelaki itu, tetapi karena nasehat dari orang yang disayanginya. “Ayo, Pa. Kita pulang sekarang!” ajak Lusi sambil melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu. Papa Lusi dan Leo segera berpamitan dengan orang tua lelaki itu, kemudian mengikuti Lusi dari belakang. Mereka bertiga kemudian meninggalkan rumah lelaki itu. Masalah di antara mereka telah selesai. *** Satu minggu set