"Periksa setiap transaksi keluar masuk di rekening Leo. Apa pun yang mencurigakan, aku ingin laporan langsung.”
"Semua data lengkap transaksi keluar dan masuk rekening Leo sudah kami serahkan kepada pengacara. Saat ini kepolisian sudah menindaklanjuti bukti-bukti yang diberikan.”
"Bagus, Kerjakan cepat dan profesional, tidak salah aku memilih kalian untuk menjadi pasukan khusus membantuku. Sebelum polisi bergerak, aku ingin sudah tahu siapa saja yang bermain di belakang Leo.”
Darren mengakhiri panggilannya dan memandang keluar jendela kaca. Langit mendung seakan mencerminkan suasana hatinya penuh waspada dan dingin.
Keesokan harinya, suasana kantor pusat perusahaan Anugerah Langit Corporation terasa lebih hening daripada biasanya. Karyawan duduk di kubikel masing-masing, menunduk sambil mengetik, seakan takut suara keyboard mereka terdengar terlalu keras. Kabar tentang kematian Leo masih menghantui banyak orang, dan tanpa disadari, rasa curiga mulai menjalar di antara mereka. Beberapa pegawai saling melempar pandang penuh tanya apa ada yang lebih dari sekadar kecelakaan?
Di tengah-tengah kekakuan ini, di lantai tertinggi gedung, Darren bersandar pada kursi sambil mengawasi keluar masuknya orang melalui jendela tembus pandangnya. Sesekali tatapan matanya tajam, memperhatikan monitor di depannya. Ia baru saja menerima laporan dari tim rahasianya tentang penyelidikan rekening Leo.
“Transaksi mencurigakan ditemukan di rekening Leo,” suara seseorang terdengar di telepon Darren. Itu salah satu agen kepercayaannya orang yang bekerja di balik bayangan, menjalankan perintah Darren dengan senyap tanpa jejak.
“Bongkar semua yang kalian bisa, dan bawa ke meja hijau. Aliran uang, aset yang dibeli, dan siapa saja yang terlibat. Jangan ada yang terlewat.” Balas Darren melalui pesan singkat yang masuk di layar selulernya.
“Sudah kami temukan sesuatu. Ada beberapa rekening perusahaan atas nama lima Manajer Utama. Uang itu mengalir deras ke luar, sebagian besar dipakai membeli emas batangan. Setiap transaksi bermuara ke Leo.”
Darren mendengarkan tanpa suara, hanya jemarinya yang mengetuk-ngetuk meja kayu mahoni. Wajahnya tenang, tapi di dalam pikirannya strategi sudah tersusun rapi.
Siang harinya, saat suasana kantor mulai terlihat kembali normal, kehebohan besar tiba-tiba mengguncang kantor pusat. Suara sirine polisi meraung di luar gedung, diikuti langkah-langkah cepat petugas yang masuk ke lobi. Para karyawan terperangah, saling bertanya-tanya, sementara manajer-manajer senior berusaha tetap tenang.
“Polisi! Polisi datang!” seru seorang resepsionis sambil menutup teleponnya.
Sejumlah petugas berbaju dinas berlarian menuju ruang rapat utama di lantai delapan. Beberapa karyawan berdiri terpaku, tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Dalam hitungan menit, lima manajer utama, SDM, Pemasaran, Promosi, Administrasi, dan Keuangan diborgol di hadapan seluruh karyawan.
“Ini pasti salah paham! Kami hanya menjalankan perintah atasan!” ucap Manajer SDM.
“Saya tidak tahu apa-apa soal penggelapan... Saya... Saya cuma mengurus laporan.” Timpal Manajer Keuangan yang juga tidak mau disalahkan.
Polisi tak memberi waktu banyak untuk mereka membela diri. Satu per satu Manajer itu digiring keluar gedung di bawah tatapan karyawan yang ketakutan. Nadine, yang baru beberapa minggu menjabat sebagai Kepala Manajer, hanya bisa mengamati dengan tenang dari sudut ruangan. Ia tahu posisinya aman, ia merupakan pejabat baru yang berumur beberapa hari. Tentu tidak bisa disalahkan dalam masalah ini.
“Gila, lima Manajer ditangkap sekaligus... Ini pasti masalah besar.” ucap Iwan, karyawan bagian marketing.
“Jangan-jangan benar, ya, mereka yang selama ini main curang di belakang?” timpal Dony, staf administrasi.
“Gak nyangka, sih. Mereka kelihatan kayak orang baik.” sahut karyawan lain sambil menggelengkan kepala.
Kantor pusat kembali hening setelah para Manajer itu dibawa ke kantor polisi. Nadine dengan nada khasnya yang menguasai membubarkan kerumunan karyawan dan memerintahkan mereka kembali bekerja.
Di ruang interogasi kepolisian, kelima manajer duduk dengan wajah kusut. Keringat mengucur dari pelipis mereka. Ruangan sempit itu terasa semakin pengap dengan tatapan dingin para penyelidik.
“Kalian sudah tahu kenapa kalian di sini. Jelaskan, apa peran kalian dalam aliran dana ini.” ucap penyidik memulai introgasinya dengan suara datar.
Manajer Keuangan menelan ludah, seakan ingin mencari kata-kata yang tepat. “Kami... Kami memang menerima transfer uang dari Pak Leo. Tapi, itu untuk dibelikan emas batangan. Pak Leo mengatakan semua sebagai aset bergerak perusahaan.
“Hmmmm… Apa benar seperti itu? Sekarang emas-emas itu ada di mana?”
“Emas-emas itu sudah kami serahkan semua kepada Pak Leo langsung.”
“Berapa banyak emas yang kalian serahkan?” tanya penyidik lagi
Manajer Promosi menatap tajam meja di depannya. “Ratusan kilogram,” gumamnya.
Ruang interogasi terasa sunyi sejenak. Para penyidik saling bertukar pandang, mengisyaratkan bahwa ini baru sebagian kecil dari skema besar yang sedang mereka hadapi.
“Leo memang sudah mati. Tapi jangan kalian kira semua berakhir. Kalau kalian bisa kami ajak kerjasama, hukuman kalian akan ringan, bahkan mungkin bebas bila memang dinyatakan tidak bersalah. Tapi bila kalian menyembunyikan sesuatu dan itu akhirnya terbongkar, kalian akan dijerat pasal berlapis!”
Manajer SDM Bergetar tubuhnya, “Kami tidak tahu apa-apa lagi, sumpah! Kami cuma menjalankan tugas...”
Para penyidik mencatat setiap pernyataan mereka, tapi mereka tahu bahwa para Manajer ini hanya bidak kecil. Di luar ruangan interogasi, seorang petugas senior bergumam pada rekannya.
Di luar ruang penyelidikan petugas yang lebih senior didampingi pakar psikologi terus memantau kegiatan anak buahnya. Setiap keadaan dan emosi para tersangka menjadi petunjuk untuk penyelesaian kasus yang mereka tangani.
“Mereka ketakutan, tapi jelas ada aktor yang lebih besar di belakang ini. Mungkin Leo hanya kedok.” ucap pakar psikologi memberikan tanggapannya.
Di malam hari, di apartemennya, Darren memandang jauh ke luar jendela, menyesap segelas anggur. Senyuman tipis muncul di wajahnya. Semua berjalan sesuai rencana. Kelima Manajer itu sudah membuka mulut walaupun hanya sebagian dari cerita. Setidaknya langkah awal, sudah terbuka lebar. Kematian Leo, meski sempat memutus rantai penyelidikan, namun itu hanya di salah satu jalan. Ada banyak jalan lain untuknya menuju aktor yang bermain di belakangnya.
Darren mengambil telepon genggamnya. Ia memilih salah satu kontak, ‘Vina’ lalu menekannya. Beberapa saat kemudian telepon pun tersambung.
“Bu Vina, aku ingin kau mengangkatku sebagai Kepala Manajer di kantor pusat. Semua berkasku sebagai Kemal sudah aku persiapkan!”
“Mas Darren, apa ini tidak terlalu cepat dan beresiko? Apa nanti Baron tidak mencurigaiku?”
“Kau tenang bu Vina, tidak usah khawatir. Baron memang akan mencurigaimu, tapi bukan sebagai orang yang berjalan dibelakang bersama Darren untuk menghancurkannya. Kau hanya akan disangka memiliki permainan bersama Kemal. Dan itu memang yang aku kehendaki.”
Darren kemudian menutup teleponnya. Ia merebahkan diri di kasur empuk kamarnya. Darren tersenyum sebelum memejamkan mata, “Besok akan kita mulai permainan baru,” desisnya seraya memejamkan mata.
Seminggu telah berlalu sejak Darren kembali dari Singapura. Namun, suasana di rumah sakit tetap penuh ketegangan. Tuan Harison tetap dirawat dengan perhatian ketat tanpa ada kemajuan yang berarti, sementara Darren terus memantau situasi melalui tim pengintainya. Silvia mulai menunjukkan rasa tidak nyaman dengan rutinitas monoton di rumah sakit.“Darren, aku rasa rawat jalan di rumah akan lebih baik untuk ayahmu. Lingkungan rumah jauh lebih nyaman dibandingkan tempat ini,” ucap Silvia suatu pagi saat Darren mengunjunginya.Namun, Darren menggeleng tegas. “Tidak, Bu. Di rumah sakit, keamanan dan pengawasan jauh lebih terjamin. Aku tidak ingin mengambil risiko, terutama setelah insiden yang terjadi sebelumnya.”Silvia mendesah, menyembunyikan kekecewaannya. “Baiklah, Darren. Tapi jangan lupa, aku ingin kembali ke rumah sesekali jika keadaanku sudah memungkinkan.”Darren hanya mengangguk kecil, tidak ingin memperpanjang perdebatan. Pikirannya sedang terganggu oleh sesuatu yang lebih mend
Darren kembali ke rumah sakit di Jakarta dengan identitasnya yang sebenarnya. Penampilannya tetap rapi, mengenakan setelan jas hitam dengan dasi biru gelap, ciri khas seorang pria elegan pengusaha muda. Wajahnya masih ditutupi masker hitam hingga yang terlihat hanya bagian mata keatas.Ia melangkah masuk ke lobi rumah sakit dengan wajah dingin namun tegas, pengawal pribadinya mengikuti dari belakang. Para staf rumah sakit yang mengenalnya hanya mengangguk sopan, tidak berani menatap terlalu lama.“Bagaimana keadaan di sini sepeninggalku?” tanya Darren kepada salah satu pengawalnya. Suaranya pelan namun penuh tekanan, membuat siapa pun yang mendengarnya langsung merasakan pentingnya laporan yang akan diberikan.“Keadaan terkendali, Tuan Darren,” jawab pengawal itu dengan suara tenang. “Tidak ada insiden berarti selama Anda pergi. Namun, ada satu hal yang perlu Anda ketahui. Ibu Anda sering kali meminta kami untuk meninggalkan penjagaan. Namun, seperti perintah Anda, kami tidak pernah m
Darren duduk di ruang konferensi hotelnya yang mewah, memandang ke arah layar besar di depannya. Ruangan itu dihiasi dengan lampu gantung kristal dan dinding yang dihiasi dengan lukisan abstrak bernilai jutaan dolar. Spy Eye dan timnya telah mengumpulkan data dari insiden-insiden yang baru saja terjadi. Peta digital yang menampilkan Singapura dengan beberapa titik merah kini terlihat di layar."Apa yang kita punya sejauh ini?" Darren bertanya dengan nada tegas, tetapi tenang. Matanya yang tajam menyiratkan betapa seriusnya situasi ini.Spy Eye melangkah maju, membawa map berisi laporan. "Tuan Darren, setelah kami menganalisis kejadian di pesawat dan bandara, serta interogasi awal terhadap pria di taman, ada pola yang jelas. Semua serangan ini berasal dari sumber yang sama. Sepertinya ini bukan perbuatan Baron, tapi kekuatan yang lebih besar. Dan yang diincar adalah Kemal, tokoh di balik pergerakan ekonomi dan politik dunia, bukan Kemal, CEO Anugerah Langit Corporation."Darren mengang
Pagi Sekali Daren berangkat menuju Singapura. Ia melangkahkan kakinya dengan percaya diri menuju boarding gate di bandara internasional. Tanpa membawa pengawal ia pun melakukan aktivitas dengan sangat hati-hati dan waspada.. Perasaan tidak nyaman sudah menghantui sejak ia melewati pos pemeriksaan keamanan. Sesuatu terasa salah. Naluri tajamnya membisikkan bahwa ia sedang diawasi.Di dalam pesawat, Darren mengambil tempat duduk di kelas bisnis. Ia memilih kursi dekat jendela, memanfaatkan waktu untuk memikirkan semua rencana yang akan ia lakukan selama di Singapura.. Tak ada yang mencolok di antara penumpang lain, Tapi kewaspadaannya tidak sedikitpun diturunkan. Ketika pesawat mulai lepas landas, ia mengatur napas, mencoba untuk rileks. Tapi, bayangan ancaman tetap menghantuinya. Meski begitu dari sadar bahwa inilah resiko yang harus ia jalani karena sudah berani berkonfrontasi melawan Baron.Sekitar satu jam setelah pesawat mengudara, Darren merasakan gerakan aneh dari kursi belakan
Darren menatap ponselnya yang berdering. Itu ponsel khusus yang ia gunakan sebagai Kemal. Nama Jeny, asisten pribadinya, muncul di layar. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan itu.“Jeny, ada perkembangan?” tanya Darren dengan nada rendah namun tegas.“Pak Kemal, data kerugian yang diakibatkan oleh Baron dan anaknya sudah lengkap. Kami juga telah menyelesaikan proses penyitaan dan pengambilalihan perusahaan mereka di Singapura,” lapor Jeny dengan nada formal. “Namun, ada beberapa dokumen penting yang memerlukan tanda tangan Anda langsung. Hal ini mendesak, Tuan. Jika tidak dilakukan segera, ada kemungkinan Baron akan memindahkan sisa kekayaannya ke tempat lain.”Darren mengernyit. “Tidak bisakah hal ini diwakilkan? Saya sedang tidak bisa meninggalkan kota.”“Sayangnya tidak bisa, Tuan. Peraturan di Singapura cukup ketat. Anda harus datang langsung sebagai pemilik sah untuk menyelesaikan ini,” jawab Jeny dengan nada mendesak.Darren menghela nafas panjang. “Baiklah. Siapkan semuanya. Saya
Pagi itu, Keisha merasa tubuhnya sedikit lebih baik meski kepala masih berdenyut. Ia duduk di tempat tidur rumah sakit, berusaha memulihkan kekuatannya. Perempuan tegap yang menemani Keisha sebelumnya memasuki kamar dengan senyuman tipis di wajahnya."Selamat pagi, Keisha. Apa Anda merasa cukup kuat untuk berbicara hari ini?" tanya perempuan itu dengan nada lembut namun tegas.Keisha mengangguk pelan. "Saya akan mencoba. Apa yang ingin Anda tanyakan?"Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidur. "Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Anda. Dari awal hingga Anda ditemukan di lokasi kejadian. Ini akan sangat membantu kami."Keisha menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Saya ingat, waktu itu saya bersama Kemal. Kami sedang berjalan di pusat kota, lalu tiba-tiba ada kerumunan besar. Saya kehilangan jejak Kemal dalam kerumunan itu. Saya panik dan mencoba mencarinya."Perempuan itu mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Lalu, apa yang terjadi sete