Darren menarik nafas, lalu memencet nomor telepon ibunya. "Bu, kenapa Nadine diangkat menjadi Kepala Manajer tanpa sepengetahuanku? Bukankah seharusnya keputusan seperti ini didiskusikan terlebih dahulu denganku?"
Suara ibunya di seberang terdengar tenang, tapi penuh penyesalan. “Darren, maafkan Ibu. Baron membujuk Ayahmu, dan kondisi Ayahmu sedang sangat lemah saat itu. Mereka membicarakan ini beberapa kali sebelum kamu pulang dari Jerman. Ibu tidak punya pilihan lain selain menyetujui.”
“Ibu, bukankah perusahaan ini telah dialihkan kepemimpinannya kepadaku! Seharusnya segala keputusan perusahaan adalah tanggung jawab dan wewenangku?” Nada suara Darren sedikit meninggi, ia menunjukkan kekecewaannya.
“Darren, Maafkan Ibu. Tapi percayalah, Ayahmu juga pasti menginginkan keputusan ini. Ini akan menjaga hubungan baik dengan Baron, dan juga akan memberikan kesempatan kepadamu untuk saling mengenal dengan Nadine,” jelas ibunya dengan nada sedih.
Darren menghela nafas panjang. “Tapi ini bukan soal hubungan baik, Bu. Ini soal profesionalisme dan masa depan perusahaan kita. Kalau segala sesuatu diputuskan karena pertimbangan keluarga, perusahaan kita akan kehilangan orang-orang terbaik dan hanya akan diisi orang-orang dekat keluarga yang belum tentu memiliki kemampuan.”
Ibunya terdiam beberapa saat. “Ibu yakin Nadine merupakan orang berkualitas terbaik. Kau tidak usah khawatir.”
Darren menutup teleponnya. Dengan rasa kecewa ia mulai berbenah. Hari itu Darren berencana datang ke kantor lebih pagi
***
Hari pertama Nadine, putri Baron, di Anugerah Langit Corporation dimulai dengan sikapnya yang sok berkuasa. Begitu ia memasuki ruangan, ia sudah memberikan teguran ke beberapa karyawan yang dianggapnya salah.
Setiap tatapan mata karyawan tertuju padanya, ada yang dengan rasa ingin tahu, ada pula yang dengan kecemasan. Tak ada yang tahu bagaimana kepribadian sesungguhnya gadis itu,
Nadine berdiri di tengah aula perusahaan, memerintahkan semua karyawan untuk berkumpul. Ia memperkenalkan dirinya dengan suara yang lantang, hampir menentang siapapun untuk menentangnya. "Mulai hari ini, aku adalah Kepala Manajer di sini," ucapnya dengan nada tegas. "Siapapun yang tidak mengikuti aturan ku dan tidak loyal kepada perusahaan, bersiaplah untuk dirumahkan."
Beberapa karyawan menunduk, tak berani menatap matanya. Nadine memperhatikan dengan cermat wajah-wajah di depannya, seolah menilai apakah mereka cukup patuh. Ia berhenti sejenak, kemudian, dengan nada yang lebih tajam, melontarkan pertanyaan. "Apakah di antara kalian ada yang pernah bertemu dengan Darren Harison, pemilik perusahaan ini?" Suaranya bergema di ruangan yang tiba-tiba menjadi sunyi.
Tak satupun karyawan berani mengaku. Semua orang saling berpandangan, bingung dan takut. Mereka tahu siapa Darren, namun sosoknya masih menjadi misteri, tak ada satupun gambar atau foto yang terpajang atas nama pemilik perusahaan itu.
Nadine tampak kesal. “Kalian bercanda, kan?” bentaknya tiba-tiba, suaranya meninggi. “Tidak ada satu pun dari kalian yang tahu? Itu artinya tidak peduli pada siapa yang memiliki perusahaan tempat kalian bekerja ini? Tidak ada yang tahu Darren Harison? Ini penghinaan!”
Sebuah ketegangan mulai menyelimuti ruangan. Beberapa karyawan mulai bergeser tidak nyaman, takut akan kemarahan Nadine yang tampaknya belum reda. “Kalian sungguh-sungguh tidak tahu? Atau kalian memilih untuk pura-pura bodoh?” Nadine menyapu pandangannya ke seluruh ruangan dengan tajam, mencari jawaban yang memuaskan.
Di antara kerumunan itu, Keisha, menyimak setiap ucapan Nadine dengan hati yang bingung. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dalam semua ini. Sejak bergabung di perusahaan, ia memang tahu nama pemilik perusahaan itu. Namun satu kali pun tidak pernah melihatnya. Setiap berkas yang perlu tanda tangan sang pemilik perusahaan, selalu saja ada orang suruhan darren yang mengambilnya.
“Baiklah, semua silahkan kembali bekerja. Ingat semua yang kukatakan tadi, kalau kalian tidak patuh, maka perusahaan dengan senang akan merumahkan kalian,”
Sekali lagi Nadine menebarkan ancaman untuk menyudahi pembicaraannya. Para Karyawan nampak tidak nyaman dengan hal itu. Namun mereka tahu siapa Nadine, putri dari salah satu orang terpenting di perusahaan. Dan tersiar kabar, dia merupakan calon istri dari pemilik perusahaan itu.
Semua karyawan pun kembali ke tempatnya masing-masing. Darren sendiri nampak sangat lega, Nadine tak mengenalinya lagi. Meski keduanya pernah menjadi teman semasa kecil, namun mereka terakhir bertemu saat Darren masih duduk di kelas 2 Sekolah Dasar. Ia sendiri sudah lupa bagaimana rupa gadis itu.
Darren melangkahkan kaki kembali menuju pos penjagaan. Telepon genggamnya bergetar tanda sebuah panggilan masuk. Darren memeriksanya, di layar Handphone bertuliskan nama Toni.
“Bos, Leo telah dihabisi di dalam penjara. Ia tidak sempat memberi kesaksian apapun. Polisi sedang menyelidiki siapa pelaku pembunuhannya”
Terdengar suara pembicaraan si pemanggil. Wajah Darren berubah hebat. Ia tak menyangka akan ada kejadian seperti ini.
Darren mengepalkan tangannya marah. “Dia telah bertindak lebih mendahuluiku!”
Seminggu telah berlalu sejak Darren kembali dari Singapura. Namun, suasana di rumah sakit tetap penuh ketegangan. Tuan Harison tetap dirawat dengan perhatian ketat tanpa ada kemajuan yang berarti, sementara Darren terus memantau situasi melalui tim pengintainya. Silvia mulai menunjukkan rasa tidak nyaman dengan rutinitas monoton di rumah sakit.“Darren, aku rasa rawat jalan di rumah akan lebih baik untuk ayahmu. Lingkungan rumah jauh lebih nyaman dibandingkan tempat ini,” ucap Silvia suatu pagi saat Darren mengunjunginya.Namun, Darren menggeleng tegas. “Tidak, Bu. Di rumah sakit, keamanan dan pengawasan jauh lebih terjamin. Aku tidak ingin mengambil risiko, terutama setelah insiden yang terjadi sebelumnya.”Silvia mendesah, menyembunyikan kekecewaannya. “Baiklah, Darren. Tapi jangan lupa, aku ingin kembali ke rumah sesekali jika keadaanku sudah memungkinkan.”Darren hanya mengangguk kecil, tidak ingin memperpanjang perdebatan. Pikirannya sedang terganggu oleh sesuatu yang lebih mend
Darren kembali ke rumah sakit di Jakarta dengan identitasnya yang sebenarnya. Penampilannya tetap rapi, mengenakan setelan jas hitam dengan dasi biru gelap, ciri khas seorang pria elegan pengusaha muda. Wajahnya masih ditutupi masker hitam hingga yang terlihat hanya bagian mata keatas.Ia melangkah masuk ke lobi rumah sakit dengan wajah dingin namun tegas, pengawal pribadinya mengikuti dari belakang. Para staf rumah sakit yang mengenalnya hanya mengangguk sopan, tidak berani menatap terlalu lama.“Bagaimana keadaan di sini sepeninggalku?” tanya Darren kepada salah satu pengawalnya. Suaranya pelan namun penuh tekanan, membuat siapa pun yang mendengarnya langsung merasakan pentingnya laporan yang akan diberikan.“Keadaan terkendali, Tuan Darren,” jawab pengawal itu dengan suara tenang. “Tidak ada insiden berarti selama Anda pergi. Namun, ada satu hal yang perlu Anda ketahui. Ibu Anda sering kali meminta kami untuk meninggalkan penjagaan. Namun, seperti perintah Anda, kami tidak pernah m
Darren duduk di ruang konferensi hotelnya yang mewah, memandang ke arah layar besar di depannya. Ruangan itu dihiasi dengan lampu gantung kristal dan dinding yang dihiasi dengan lukisan abstrak bernilai jutaan dolar. Spy Eye dan timnya telah mengumpulkan data dari insiden-insiden yang baru saja terjadi. Peta digital yang menampilkan Singapura dengan beberapa titik merah kini terlihat di layar."Apa yang kita punya sejauh ini?" Darren bertanya dengan nada tegas, tetapi tenang. Matanya yang tajam menyiratkan betapa seriusnya situasi ini.Spy Eye melangkah maju, membawa map berisi laporan. "Tuan Darren, setelah kami menganalisis kejadian di pesawat dan bandara, serta interogasi awal terhadap pria di taman, ada pola yang jelas. Semua serangan ini berasal dari sumber yang sama. Sepertinya ini bukan perbuatan Baron, tapi kekuatan yang lebih besar. Dan yang diincar adalah Kemal, tokoh di balik pergerakan ekonomi dan politik dunia, bukan Kemal, CEO Anugerah Langit Corporation."Darren mengang
Pagi Sekali Daren berangkat menuju Singapura. Ia melangkahkan kakinya dengan percaya diri menuju boarding gate di bandara internasional. Tanpa membawa pengawal ia pun melakukan aktivitas dengan sangat hati-hati dan waspada.. Perasaan tidak nyaman sudah menghantui sejak ia melewati pos pemeriksaan keamanan. Sesuatu terasa salah. Naluri tajamnya membisikkan bahwa ia sedang diawasi.Di dalam pesawat, Darren mengambil tempat duduk di kelas bisnis. Ia memilih kursi dekat jendela, memanfaatkan waktu untuk memikirkan semua rencana yang akan ia lakukan selama di Singapura.. Tak ada yang mencolok di antara penumpang lain, Tapi kewaspadaannya tidak sedikitpun diturunkan. Ketika pesawat mulai lepas landas, ia mengatur napas, mencoba untuk rileks. Tapi, bayangan ancaman tetap menghantuinya. Meski begitu dari sadar bahwa inilah resiko yang harus ia jalani karena sudah berani berkonfrontasi melawan Baron.Sekitar satu jam setelah pesawat mengudara, Darren merasakan gerakan aneh dari kursi belakan
Darren menatap ponselnya yang berdering. Itu ponsel khusus yang ia gunakan sebagai Kemal. Nama Jeny, asisten pribadinya, muncul di layar. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan itu.“Jeny, ada perkembangan?” tanya Darren dengan nada rendah namun tegas.“Pak Kemal, data kerugian yang diakibatkan oleh Baron dan anaknya sudah lengkap. Kami juga telah menyelesaikan proses penyitaan dan pengambilalihan perusahaan mereka di Singapura,” lapor Jeny dengan nada formal. “Namun, ada beberapa dokumen penting yang memerlukan tanda tangan Anda langsung. Hal ini mendesak, Tuan. Jika tidak dilakukan segera, ada kemungkinan Baron akan memindahkan sisa kekayaannya ke tempat lain.”Darren mengernyit. “Tidak bisakah hal ini diwakilkan? Saya sedang tidak bisa meninggalkan kota.”“Sayangnya tidak bisa, Tuan. Peraturan di Singapura cukup ketat. Anda harus datang langsung sebagai pemilik sah untuk menyelesaikan ini,” jawab Jeny dengan nada mendesak.Darren menghela nafas panjang. “Baiklah. Siapkan semuanya. Saya
Pagi itu, Keisha merasa tubuhnya sedikit lebih baik meski kepala masih berdenyut. Ia duduk di tempat tidur rumah sakit, berusaha memulihkan kekuatannya. Perempuan tegap yang menemani Keisha sebelumnya memasuki kamar dengan senyuman tipis di wajahnya."Selamat pagi, Keisha. Apa Anda merasa cukup kuat untuk berbicara hari ini?" tanya perempuan itu dengan nada lembut namun tegas.Keisha mengangguk pelan. "Saya akan mencoba. Apa yang ingin Anda tanyakan?"Perempuan itu menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidur. "Kami ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Anda. Dari awal hingga Anda ditemukan di lokasi kejadian. Ini akan sangat membantu kami."Keisha menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan pikirannya. "Saya ingat, waktu itu saya bersama Kemal. Kami sedang berjalan di pusat kota, lalu tiba-tiba ada kerumunan besar. Saya kehilangan jejak Kemal dalam kerumunan itu. Saya panik dan mencoba mencarinya."Perempuan itu mencatat sesuatu di buku kecilnya. "Lalu, apa yang terjadi sete
Silvia menatap layar CCTV yang menunjukkan pertemuan orang yang memiliki wajah sama dengannya sedang berbicara dengan staf hotel yang menjadi tersangka. Ia terlihat tidak banyak bereaksi. Semua bukti itu tampaknya tidak cukup membuatnya terguncang. Akhirnya, ia mengangguk pelan dan mengucapkan kalimat yang sangat mengejutkan."Itu bukan saya," katanya sekali lagi, dengan nada lebih tegas. "Jika Anda melihat dengan benar, Anda akan tahu bahwa di CCTV itu, saya tidak terlihat jelas. Saya bisa membuktikan bahwa saat itu saya berada di kamar bersama Tuan Harrison, bukan di luar, anda bisa melihat cctv di jam yang sama di kamar suami saya. Dan mengenai percakapan itu, nomor handphone yang Anda tunjukkan bukan milik saya. Saya bahkan tidak tahu siapa yang bisa melakukan itu."Penyidik tampak semakin bingung. Mereka mengamati Silvia dengan cermat, mencoba mencari celah dalam ceritanya. Namun, tampaknya ia memang tahu bagaimana menjaga wajahnya tetap tenang, dan apa yang ia katakan terdengar
Di ruang interogasi yang terang, Nyonya Silvia duduk di kursi dengan sikap tenang, meski hatinya bergejolak. Polisi mengelilinginya dengan pertanyaan-pertanyaan tajam, mencoba mengungkap lebih banyak kebenaran. Meskipun ia tampak tenang, ada sesuatu dalam sorot matanya yang tidak bisa disembunyikan."Apakah hubungan Anda dengan Tuan Harrison baik-baik saja?" tanya seorang penyidik dengan suara datar. "Apakah Anda merasa tidak ada masalah di antara kalian berdua, mengingat kondisinya yang lumpuh bertahun-tahun?"Silvia menghela napas panjang, menatap penyidik dengan pandangan tegas. "Tentu saja. Kami selalu berusaha untuk tetap bersama. Saya sangat mencintai suami saya," jawabnya dengan suara yang penuh keyakinan. "Saya bersumpah akan merawatnya sampai akhir hayat saya, tidak peduli apapun yang terjadi."Penyidik mencatat jawaban itu, namun raut wajahnya tidak berubah. Dia mengamati setiap gerakan Silvia, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan."Apakah Anda merasa tidak ada keinginan u
Namun, sebelum Darren bisa melangkah lebih jauh, sebuah suara lembut menyapa dari belakangnya. "Darren?"Darren berbalik dan menemukan Silvia berdiri beberapa meter darinya. Wajah ibunya tampak tenang, tetapi matanya menyiratkan sesuatu yang lain."Ibu? Kenapa kau di sini?" Darren bertanya, mencoba menutupi rasa curiganya.Silvia mendekat dengan langkah perlahan. "Aku merasa tidak nyaman sendirian di kamar. Kau pergi begitu mendadak, jadi aku memutuskan untuk mencarimu."Darren mengerutkan kening. "Aku hanya memastikan keamanan. Kau seharusnya tetap di kamar bersama Ayah."Silvia tersenyum samar. "Tenang saja, Nak. Ayahmu aman. Tapi kau terlihat tegang. Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"Darren memutuskan untuk tidak menunjukkan terlalu banyak. "Tidak ada, Bu. Hanya memastikan semuanya berjalan lancar."Silvia menatap putranya dengan tatapan yang sulit dibaca. "Kalau begitu, mari kita kembali ke kamar. Ayah membutuhkan kita berdua."Darren mengangguk, mengikuti Silvia kemba