Share

8. Rahasia ibu kandung Selina

Selina kecil terus menangis saat itu seolah memberikan sinyal yang buruk tentang ibunya.

“Ummi, kenapa anak ini menangis terus sih?” tanya Ustaz Bashor.

“Ya kepengen nyusu Abah,” jawab Ummi Sarah sembari menimang-nimang bayi itu dalam pangkuannya. Dia sebetulnya kesal dengan sikap Ustaz Bashor yang tiba-tiba menerima tamu tengah malam tapi mau tidak mau rasa iba mengabaikannya. Dia kasihan melihat bayi itu.

“Kok lama amat sih Dewi. Apa dia nyasar?” gumam Ustaz Bashor.

“Abah, susul coba ini bayi malah terus menangis, kasihan. Mana Hawa dan Adam lagi tidur pulas lagi nanti mereka ikut bangun, Ummi yang kewalahan,” cerocos Ummi Sarah.

“Iya, Ummi, maafin Abah. Abah mau nyusul dulu Dewi,” ucapnya sambil beranjak dari tempat duduknya. Ustaz Bashor langsung keluar mencari Dewi ke arah masjid, ke toiletnya.

“Dewi!” panggilnya di luar toilet masjid.

Ustaz Bashor pun berjalan menyisiri seluruh bagian toilet karena pintu-pintu toilet semua terbuka berati tidak ada orang di dalam. Kobong-kobong para santri pun terlihat gelap pertanda mereka telah istirahat. Tak menyerah Ustaz Bashor pun memutari seluruh bagian pondok mencari Dewi.

“Dewi kamu kemana?” ucap Ustaz Bashor dengan menyerah. “Apa jangan-jangan dia pergi ke apotek untuk membeli obat buat bayinya? Emang ada apotek buka dua puluh empat jam di sekitar sini?”

Ustaz Bashor pun kembali menuju rumahnya yang sederhana yang berada di tengah pondok diapit masjid dan kobong para santri.

“Mana ibunya? Ini anak gak bisa diam. Ummi jadi pusing,” keluh Ummi Sarah.

“Gak ketemu Ummi,”

“Gak ketemu gimana Abah?”

“Dewi ibu anak itu gak ada di toilet masjid. Dia juga gak ada di sekitar pondok.  Sepertinya dia pergi …”

“Pergi? Abah kalau ngomong yang jelas … pergi kemana?”

“Dia bilang mau beli obat buat penurun panas buat bayi ini, ojeg yang dia tumpangi mogok pas di dekat lapang jadi dia kebetulan lewat pesantren nitip bayi ini pas lihat aku datang. Dia bilang nitip sebentar. Ya Abah bilang dulu ke Ummi minta izin biar dia ngomong langsung ke Ummi terus dia bilang mau ke toilet dulu dan paksa Abah buat gendong bayi ini …”

“Abah, apa jangan-jangan dia sengaja ninggalin bayi ini? Bayi ini gak demam Abah. Coba Abah pegang!”

Ustaz Bashor menyentuh kening dan kaki bayi itu. Memang benar bayi ini tidak sedang demam. Dewi berdusta hanya demi meninggalkan anaknya.

“Astagfirullah, iya Ummi, sepertinya dia sengaja meninggalkan bayi tanpa dosa ini …”

“Ummi, sepertinya Dewi sedang punya masalah sehingga di kalut dan dengan mudah menitipkan bayi ini pada kita. Soalnya tindakannya mencurigakan. Ummi, apakah Ummi bisa menyusuinya? Ummi masih punya ASI, kasihan dia nangis terus …”

“Bisa saja si Bah, tapi nanti bayi ini dan Adam akan jadi saudara sepersusuan, gak apa-apa?”

“Ya gimana lagi. Apa Ummi punya solusi lain?”

“Sufor?”

“Sufor?”

“Susu formula …”

“Iya bisa coba sufor,”

“Enggak ada, Adam full ASI, enggak pernah minum sufor. ASI Ummi melimpah ngapain beli sufor yang mahal,” cerocos Ummi Sarah.

Mau tidak mau Ummi Sarah pun terpaksa menyusui Selina kecil. Setelah kejadian malam itu, Dewi tak pernah datang lagi ke pondok untuk mengambil bayinya. Beberapa hari kemudian sepucuk surat datang melalui santri, surat dari Dewi Rahma yang dengan tegas menitipkan bayinya di bawah asuhan Ustaz Bashor dan istrinya. Dia mempersilakan Ustaz Bashor untuk mengadopsinya secara sah sehingga dalam kartu keluarga pun Selina menjadi anak Ustaz Bashor dan istrinya.

Flashback off

Ustaz Bashor menghela nafas panjang. Dia menceritakan secara singkat soal peristiwa itu tentu dia tidak menceritakan bahwa sebelumnya Dewi Rahma adalah gadis yang disukainya. Dia hanya mengisahkan saat Dewi menitipkan bayinya saja. Mendengar hal itu Selina menangis.

“Kalau memang wanita yang diduga ibuku itu punya masalah kenapa sampai hati membuangku. Bukankah kehadiran sang anak bisa memotivasi hidupnya? Penyemangat baginya? Bukan berlari dari masalah,” sela Selina.

“Ibumu punya masalah besar Nak. Dia sudah diusir oleh keluarganya paman dan bibinya karena pulang kerja dalam kondisi hamil tak bersuami. Kami tentu mencari keberadaan keluarganya dulu, tapi paman dan bibinya sudah keburu pergi dari kampung karena merasa malu,” papar Ustaz Bashor.

“Oh, begitu? Pantas saja diusir soalnya kelakuannya memalukan, hamil di luar nikah, astagfirullah,”

Selina tak henti mengusap wajahnya dan beristigfar.

“Abah tidak sependapat, Selina. Kamu hanya tahu cerita sebagian bukan keseluruhan. Abah kenal ibumu, sangat mengenalnya …”

“Bukan alasan yang tepat jika dia membuangku seenaknya meskipun dia punya seribu masalah sekalipun. Itu tidak dibenarkan Abah,” sela Selina dengan nafas yang memburu.

“Kamu masih mau mendengarkan?” tanya Ustaz Bashor merasa kesal karena Selina sedikit-sedikit menentangnya.

“Dengarkanlah Abah, Selin,” lirih Hawa yang berada dekat dengannya.

“Ibumu, dia sudah yatim piatu sejak kecil. Dia diurus oleh bibi yang sangat menyayanginya. Tapi tidak pamannya, tanpa sepengetahuan bibinya, pamannya telah melakukam pelecehan padanya. Bibinya sibuk kerja di tetangga sedangkan pamannya pengangguran. Dewi mengalami nasib malang sedari kecil. Bibinya tak percaya. Lantas mereka mengirim Dewi untuk bekerja di kota katanya pamannya punya kenalan di sana. Dewi bekerja menjadi pelayan di sebuah bar menurut cerita yang beranak pinak. Kamu tahu kehidupan malam seperti apa? Abah kira Dewi terjebak di sana …”

Ustaz Bashor membuang nafas kasar.

“Lalu siapa yang menghamilinya?” tanya Selina.

“Abah tidak tahu …”

“Di mana dia sekarang?”

“Ibumu? Sudah Abah bilang, Abah sudah kehilangan kontak dengannya. Mungkin dia kembali ke dunia itu karena tak ada pilihan …”

“Aku ingin bertemu dengannya …”

Perkataan Selina membuat kaget seluruh anggota keluarga.

"Ap-pa?" 

 

Tidak ada satu pun dari mereka yang menyembunyikan keterkejutan di wajah mereka. Ummi Sarah bahkan sampai menggelengkan kepalanya. Tidak setuju dengan pernyataan anaknya itu. 

 

 

bersambung,

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status