Share

7. Tak ada beban tanpa pundak

Akhirnya Selina keluar dari kamarnya setelah mendengar panggilan Hawa. Dia langsung menghambur memeluk Hawa dan Hawa pun langsung membalas pelukannya. Baik Adam dan Hawa, keduanya menyayangi Selina seperti menyayangi adik kandung sendiri meskipun mereka tahu jika Selina anak adopsi.

‘Menangislah adikku! Menangislah jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik. Lepaskanlah beban itu! Kamu harus yakin bahwa tak ada beban tanpa pundak!”

Hawa mengajak Selina berbincang di kamarnya. Dia meminta Selina untuk menceritakan perasaannya saat ini.

Mereka berdua duduk di tepi ranjang dan saling menatap penuh sendu.

“Maaf, Teh, aku benar-benar syok mendengar semua ini. Rasanya ada sebuah batu meteor yang menghantam kepalaku. Rasanya sakit, sakit sekali …”

Selina mengadu, mencoba mengungkapkan apa yang dirasakannya sembari terisak.

“Iya, Selin, Teteh ngerti apa yang kamu rasakan …” kata Hawa penuh penekanan tapi keibuan.

“Jadi … Teteh sudah tahu? Aa Adam juga sudah tahu? Cuma aku yang tidak tahu?”

Selina meremas kerudung yang dipakainya.

Hiks, hiks, hiks,

Hawa memeluk Selina dan mengusap-usap punggungnya berusaha menguatkannya.

“Abah dan Ummi tak bermaksud menyembunyikan ini semua darimu. Mereka sangat menyayangimu sehingga mereka tak mau kehilanganmu. Abah, Ummi, Aa Adam dan Teh Hawa sayang padamu …” papar Hawa dengan lembut. Dia menyeka air mata Selina dengan kedua ibu jarinya. Hawa hanya diam menatap Selina dengan bibir yang gemetar. Yang membuatnya sakit ialah kebenaran tentang jati diri ibunya.

“Dengar adikku! Kami tak peduli siapa ibu atau ayahmu, kami hanya tahu jika kamu adikku, Hafla Selina Almaqvhira anaknya Abah Bashor dan Ummi Sarah. 

Teteh tahu perasaanmu saat ini, kamu pasti kecewa, marah dan sedih. Semua adalah hal yang wajar. Berat memang … tapi ini adalah bagian dari takdir. Tak hanya kamu, Teteh juga merasa sedih dengan apa yang kamu alami. Tapi, maafkanlah dan berdamailah dengan diri … mau sampai kapan kamu menghindarinya?” nasehat Hawa.

Selina memejamkan matanya dan berusaha mengikuti nasehat kakaknya untuk menerima apa yang menjadi takdirnya.

“Iya Teh … aku tak marah pada kalian … aku hanya marah pada kondisi. Mengapa Allah menakdirkan aku harus seperti ini. Sakit Teh, apalagi tahu jika ibu kandungku seorang pelacur …”

Hawa terdiam mendengar perkataan Selina.

‘pelacur?’

“Apakah Teteh tahu juga kalau ibu kandungku seorang pelacur? Lalu ayahku? Ayahku tak jelas … mungkin ayahku pria hidung belang,”

Hawa mendelik pada Ummi Sarah yang sedari tadi mematung di ambang pintu. Tenggorokan Ummi Sarah seakan tercekat marshmallow, dia bingung mau berkata apa. Dia menghela nafas panjang.

“Biar Abah yang jelaskan …”

Ummi Sarah mendekati Hawa dan Selina. Perlahan dia menyentuh bahu Selina yang naik turun tapi kali ini Selina tidak menolak hanya air matanya yang terus merembes yang terlihat. Seketika Selina pun memeluk Ummi Sarah dengan erat. Tangis pecah di kamar Selina. Adam pun yang menyaksikannya berdiri di luar kamar ikut terisak pelan. Adam sedih dan terharu melihat pemandangan di hadapannya.

Tap, tap, tap,

Terdengar suara langkah Ustaz Bashor yang memakai sandal jepit. Dia melihat Adam lalu melihat ke dalam kamar Selina.

“Teh Hawa sedang membujuk Selina …” ucap Adam pelan pada Ustaz Bashor.

Ustaz Bashor pun berjalan menghampiri mereka. Selina langsung berdiri dan memeluk Abahnya.

“Maafin aku Abah …” ucap Selina.

“Iya Nak … maafkan Abah ya …” sahut Ustaz Bashor dengan penuh haru.

Lalu mereka semua pun duduk di ruang keluarga karena Ustaz Bashor akan menceritakan sebuah rahasia yang selama ini dia simpan rapat.

“Abah, Ummi, aku tak marah pada kalian. Aku hanya syok mendengar hal ini apalagi mendengar siapa ibu kandungku. Um, aku benci ibuku … aku sangat membencinya Abah, Ummi. Aku takkan sanggup jika suatu hari melihatnya ataupun memaafkannya atas perbuatannya padaku,” tukas Selina dengan amarah yang membara.

“Nak, kamu tidak pantas berkata demikian. Ibumu belum tentu seperti itu. Abah sudah kehilangan kontak dengannya. Bisa jadi, dia sudah bertobat dan kembali pada jalan yang lurus,” kata Ustaz Bashor.

“Apakah itu benar Abah?” sela Adam. Baik Adam dan Hawa baru tahu jika Selina terlahir dari rahim seorang wanita tuna susila. Selama ini mereka hanya tahu jika  Selina anak adopsi yang ditinggalkan seseorang di lingkungan pesantren.

“Betul, Adam,” jawab Ustaz Bashor.

Adam langsung menggelengkan kepalanya mendengar hal itu. “Jadi sebetulnya keluarga Aqsa sudah tahu hal ini sehingga membatalkan taaruf?” 

Ummi Sarah langsung menyentuh tangan Adam, mengisyaratkan agar Adam untuk tidak membahas soal taaruf terlebih dahulu.

“Siapapun ibumu, Selina, kamu harus memaafkan kesalahannya. Doakan yang terbaik untuknya, karena doa anak yang shalehah akan dikabulkan oleh Allah …” kata Ustaz Bashor.

“Tidak Abah … aku tidak sudi. Bahkan aku tak sudi jika bertemu dengannya jika dia masih ada, masih hidup sekalipun atau mungkin kalau dia sudah mati, aku tak sudi melihat kuburannya,” ucap Selina.

“Astagfirullah,” ucap Ummi Sarah mendengar hal itu. 

“Selin, hati-hati kalau bicara,” kata Hawa dengan tajam.

Selina mengusap wajahnya yang masih basah dengan air mata.

“Iya Teh … astagfirullah …” lirih Selina. “Maaf Abah, aku sangat kecewa saja dengan takdirku …”

“Dengarlah, Selina, takdir Allah itu ada dua. Yang pertama takdir muallaq dan yang kedua takdir mubram. 

Takdir Muallaq adalah takdir yang ada campur tangan manusia di dalamnya, ikhtiar. Jika kamu mau menghasilkan uang maka kamu harus bekerja. Jika kamu mau pintar maka kamu harus belajar.

Adapun takdir mubram adalah takdir yang tak bisa diubah seperti halnya kelahiran dan kematian. Kita tak pernah tahu kapan akan terlahir ataupun terlahir dari rahim siapa. Begitupula kematian. Kita bahkan tidak tahu kapan kita mati. Jika kita tahu kapan kita mati maka sudah dipastikan kita akan beribadah sebanyak-banyaknya sebelum ajal itu kian mendekat.

Masih ingatkah kamu soal kisah bapaknya Nabi Ibrahim a.s.? Bapaknya seorang pembuat berhala, tapi Nabi Ibrahim dengan sabar mengingatkannya meskipun Azar bapak beliau tetap durhaka pada Allah.

Seperti halnya kamu tak pernah minta dilahirkan oleh Dewi Rahma. Ya, Dewi Rahma adalah nama ibu kandungmu, sahabat Abah sewaktu kecil,” papar Ustaz Bashor yang langsung membuat Selina tersentak mendengarnya.

Hawa terus menggenggam tangan adiknya untuk menguatkannya. Ustaz Bashor mulai berkisah: dia memejamkan matanya, berusaha mengingat samar-samar kejadian silam.

Flash back on

Malam itu tak seperti malam biasa, begitu gelap dan panjang apalagi hujan turun deras disertai guntur yang saling bersahutan. Ustaz Bashor baru saja pulang dari tausiyah tengah malam dengan menggunakan sepeda motor. Dia kaget tiba-tiba di depan pondok yang masih sepi kala itu karena para santri masih sedikit yang mondok, ada sosok wanita yang berteduh di bawah pohon beringin dekat pagar pondok sembari menggendong seorang bayi merah yang tengah tertidur pulas.

Ustaz Bashor yang begitu penasaran langsung melangkah mendekatinya. Seketika dia membelalakan matanya saat melihat siapa wanita yang berada di hadapannya. Seorang wanita cantik yang pernah mengisi hatinya. Dia kaget sekaligus bahagia melihatnya.

“Dewi …” ucap Bashor dengan sedikit terkejut.

Wanita itu mengangguk.

“Kang Bashor, aku mau nitip anakku …”

“Apa? Anakmu? Kamu sudah punya anak?” desis Ustaz Bashor tanpa sadar.

“Udah baru satu. Kalau kamu punya anak berapa?”

Dewi Rahma tersenyum manis seperti biasa.

“Um, Akang udah punya dua Wi … sejodoh,” jawab Ustaz Bashor muda.

“Alhamdulillah, kamu udah bahagia …” ucap Dewi Rahma mengatakan bahagia tapi hatinya bersedih.

“Iya … kamu juga bahagia Wi …” tukas Ustaz Bashor.

“Iya,” sahut Dewi masih tersenyum. Dia tipe wanita yang pandai menyembunyikan perasaannya.

“Mau kemana malam-malam sendirian? Suamimu mana?” telisik Ustaz Bashor. Dia berbicara kadang sembari menunduk, kadang melempar pandangannya pada bayi yang digendong Dewi. Dia berusaha sekuat tenaga menahan gejolaknya untuk menatap Dewi Rahma. Tak bisa dipungkiri wajah Dewi sempurna, berkulit putih, bermata bulat hitam dengan bulu mata yang tebal dan lentik serta tubuhnya proporsional.

“Suamiku kerja jadi gak ikut pulang kampung. Aku mau pergi dulu ada perlu. Di rumah pamanku tak ada siapa-siapa. Tapi sekarang hujan jadi aku takut bayiku malah sakit, jadi titip ya sama Teh Sarah … boleh? Sebentar kok, kamu tahu aku gak punya siapa-siapa lagi selain paman dan bibiku. Juga kamu ...”

Dalam kondisi perasaan yang kalut Dewi Rahma membuat seribu alasan.

“Aduh, gimana ya …”

“Kamu keberatan?” tanya Dewi.

“Enggak, tapi …”

“Sebentar saja, aku mau beli vitamin dan obat penurun demam. Bayiku tadi demam naik turun. Tadi aku turun di sekitar lapangan karena ojek yang aku tumpangi mogok,”

Dewi beralasan.

“Tapi …”

“Saya mohon ya Kang Bashor,”

“Ya udah masuk dulu, biar aku bilang dulu, minta ijin sama Teh Sarah,”

“Iya, eh, tolong gendong dulu sebentar,”

Dewi menyerahkan bayinya yang tengah tidur pada Ustaz Bashor.

Ustaz Bashor pun menggendong bayinya sebentar. Lalu dia beranjak masuk diikuti Dewi di belakangnya.

“Wah, cantik sekali … mirip kamu Wi …” batinnya.

“Kang, aku mau ke toilet masjid dulu ya titip,”

“Ya udah … di sana!”

Ustaz Bashor menunjukan arah menuju toilet.

“Ummi! Ummi!” pekik Ustaz Bashor membangunkan Ummi Sarah yang sudah tertidur pulas.

“Bayi siapa itu Abah?”

Ummi Sarah kaget.

“Ini Dewi nitip bayinya sebentar,”

“Siapa Dewi?”

“Temen Abah di kampung sebelah, tolong gendong dulu, dia tadi mau ke toilet masjid takut nyasar,”

“Ih Abah, seenaknya aja dititipin bayi. Mana malam-malam begini,” gerutu Ummi Sarah. Meskipun kesadarannya masih belum terkumpul, dia langsung meraih bayi itu dalam gendongannya.

“Coba jelasin Abah, masa iya temen Abah yang mana nitip bayi malam-malam?”

“Bentar, nanti ibunya juga datang, lagi ke toilet dulu,” jawab Ustaz Bashor. Namun rupanya yang ditunggu tak kunjung datang.

Bersambung,

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status