Share

173. Musuh lama

Author: Donat Mblondo
last update Huling Na-update: 2025-07-30 17:02:40

Malam turun tenang di Istana Shewu. Langit di luar kelabu, tapi di ruang tengah istana, cahaya lampu minyak memantul hangat di dinding-dinding batu yang dihias lukisan bunga Xiang dan sulur-sulur dedaunan. Di ruang makan yang dikelilingi pilar giok itu, duduk empat orang: Rai, Sua, Su Ying, dan Zihan.

Mereka makan dalam keheningan yang tidak canggung, tapi dipenuhi rasa saling mengamati. Sendok kayu dan sumpit perak beradu pelan dengan mangkuk, suara pelan sup herbal mendidih di wadah tanah liat, dan aroma teh chamomile memenuhi udara.

Zihan duduk di sisi Sua, sesekali mencuri pandang ke kakaknya. Sua tampak tenang, tapi Su Ying, yang duduk di seberangnya, bisa membaca garis lelah halus di sudut matanya. Sementara itu, Rai, duduk menghadap jendela terbuka, tetap diam. Satu tangannya memegang cawan anggur, tapi tak kunjung diminum.

Tiba-tiba—

Suara tajam melesat membelah udara.

“UGH!”

Erangan prajurit terdengar dari arah luar. Rai sontak berdiri. Kursinya terjungkal ke belakang, mengha
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   174. Siluet hitam

    Shan Kerei merasakan kehadiran Rai bahkan sebelum namanya disebut. Instingnya yang diasah selama bertahun-tahun dalam kegelapan dan darah berdenyut tajam. Dan saat suara Rai menyebut namanya, ia menoleh. Perlahan, tanpa terkejut, tanpa cemas.Dua pasang mata bertemu dalam bayang-bayang lorong sempit.Rai berdiri tegak, pedang tergenggam di tangan kanan. Sorot matanya dingin, bukan karena takut, tapi karena terlalu sering melihat kematian datang mendekat. Di hadapannya, Shan Kerei berbalut jubah hitam legam, wajah setengah tertutup kain gelap hanya menyeringai tipis.“Lama tak bertemu, Rai Yuan,” ucap Shan Kerei. Suaranya serak, seperti suara batu diasah di atas logam."Atas dasar apa kau menginjakkan kakimu di Shewu, Shan Kerei!" Suara Rai menggelegar rendah, seperti gemuruh dari dalam bumi.Shan Kerei mengangkat bahu, santai, seolah mereka hanya dua orang lama yang kebetulan bertemu di pasar. Tapi sorot matanya tajam, penuh kepastian.“Atas dasar perintah,” jawabnya. “Aku mendapat ta

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   173. Musuh lama

    Malam turun tenang di Istana Shewu. Langit di luar kelabu, tapi di ruang tengah istana, cahaya lampu minyak memantul hangat di dinding-dinding batu yang dihias lukisan bunga Xiang dan sulur-sulur dedaunan. Di ruang makan yang dikelilingi pilar giok itu, duduk empat orang: Rai, Sua, Su Ying, dan Zihan.Mereka makan dalam keheningan yang tidak canggung, tapi dipenuhi rasa saling mengamati. Sendok kayu dan sumpit perak beradu pelan dengan mangkuk, suara pelan sup herbal mendidih di wadah tanah liat, dan aroma teh chamomile memenuhi udara.Zihan duduk di sisi Sua, sesekali mencuri pandang ke kakaknya. Sua tampak tenang, tapi Su Ying, yang duduk di seberangnya, bisa membaca garis lelah halus di sudut matanya. Sementara itu, Rai, duduk menghadap jendela terbuka, tetap diam. Satu tangannya memegang cawan anggur, tapi tak kunjung diminum.Tiba-tiba—Suara tajam melesat membelah udara.“UGH!”Erangan prajurit terdengar dari arah luar. Rai sontak berdiri. Kursinya terjungkal ke belakang, mengha

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   172. Perang emosional

    Sejak itu, Rai berubah. Bukan berubah secara mencolok, bukan pula berubah menjadi sosok yang berbeda. Ia tetap pria gagah, penakluk medan perang, penguasa rimba malam. Tapi ada yang bergeser dalam tatapannya… dalam caranya diam.Ia tak pernah lagi beranjak terlalu jauh dari istana. Segala urusan ia atur dari dalam dinding istana. Bahkan saat diundang dalam perjamuan teh resmi bersama para bangsawan, Rai hadir… hanya jasadnya. Pandangannya? Tak pernah benar-benar berada di ruangan itu.Sua duduk di ujung barisan wanita, mengenakan gaun hijau tua bersulam benang emas, rambut disanggul anggun dengan hiasan giok tembus cahaya. Senyumnya sopan, tutur katanya santun. Tapi, tiap kali ia menggerakkan tangan, menyentuh cangkir teh, atau sedikit mengangguk kepada tamu lain — mata Rai tergerak lebih dulu.Seperti bayangan yang mengikutinya tanpa suara. Tatapan yang tak mau lepas.Tak seorang pun tak menyadarinya — terutama Su Ying, ibu Sua.Perempuan paruh baya itu telah hidup cukup lama untuk t

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   171. Yang Rai takutkan

    “Linjin?” Rai langsung bangkit setengah duduk, tangannya sigap menopang kepala perempuan itu.Sua tak menjawab. Bibirnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Napasnya terputus-putus, tak beraturan, seperti tubuhnya sedang berebut udara dengan sesuatu yang tak terlihat.Lalu... ia merasakannya.Napas lain. Bukan napas Rai. Bukan napasnya. Sesuatu yang asing. Lembut tapi kuat. Menyusup ke dalam dirinya, lalu pergi.Dan bersamaan dengan itu, sesuatu muncul dalam benaknya, sekelebat bayangan ruangan lain. Terlalu cepat dan kabur, tapi cukup nyata untuk membuatnya kaku.Lampu putih menyilaukan. Bau antiseptik menusuk. Suara mesin detak jantung berdetik pelan…Tiit... tiit... tiit...Sua memejamkan mata erat-erat. Tangannya mencengkeram seprai. Suaranya pecah, parau dan gugup, “Ada… sesuatu… yang menarik jiwaku…”Wajah Rai mengeras. “Apa maksudmu? Di mana?”Sua menggeleng cepat, seperti menolak kenyataan. Tapi bayangan itu — bau alkohol medis, kain kasa, detak monitor — masih membekas

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   170. Tarikan jiwa

    Jari-jari Rai menguat di pinggang Sua, menariknya lebih dekat, membuat batas di antara mereka lenyap. Tubuh mereka saling menyatu, saling menyandarkan rindu yang sempat tertunda. Sua merasakan getar halus dari dada Rai — entah detak jantungnya sendiri, atau milik pria itu, tapi keduanya berpadu dalam irama yang sama.Ciuman itu bukan sekadar pelepas rindu, melainkan pengakuan tanpa suara. Gerakan mereka pelan tapi pasti, seperti dua jiwa yang memilih diam untuk saling menyelami lebih dalam. Saat bibir mereka akhirnya berpisah, hanya untuk menarik napas, dahi Sua bersandar pada dahi Rai — mata setengah tertutup, senyum tipis menyusup di antara sisa rasa yang masih menggantung di lidah mereka.Rai mengangkat tubuhnya dan membaringkannya perlahan di atas ranjang. Mereka saling meluruhkan batas, membiarkan kulit berbicara tanpa tabir. Tangan pria itu pun menyentuhnya.Setiap inci tubuh menjadi ladang rasa yang mereka cicipi tanpa tergesa. Setiap sentuhan membuatnya mendesah seperti tubuh

  • Tabib Cantik Milik Pangeran   169. Pagi yang panas

    Pagi itu belum benar-benar meninggi ketika pertemuan resmi usai. Para pelayan dengan cepat mengangkat baki-baki kosong. Sua dan Rai berdiri lebih dulu, memberi isyarat bahwa sesi negosiasi selesai. Tapi suasana belum sepenuhnya pulih dari ketegangan intim yang tadi menggantung di udara.Su Ying tidak langsung beranjak. Ia hanya memutar cangkirnya pelan, seolah sedang menghitung napas sendiri.Thai Cung tetap duduk, hanya menyentuh sarung tangannya yang tergeletak di atas meja — belum dipakai kembali. Ia melirik ke arah Su Ying, lalu berkata dengan nada yang lebih rendah, nyaris seperti gumaman pribadi.“Aku tak pernah menyangka bisa bicara seperti ini… di tempat seperti ini.”Su Ying tak menoleh. Ia masih menatap ke arah teh yang kini dingin. “Kebanyakan orang mengira diplomasi hanya soal strategi dan data. Padahal… kebenaran justru sering lahir dari ketidakterdugaan.”Thai Cung menarik napas pelan, lalu berdiri. Tapi alih-alih langsung pergi, ia melangkah mendekat — hanya dua langkah

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status