Norin menatap punggung empat orang penting yang sedang berjalan menjauh, menuju ke luar gedung office. Tepatnya ke arena pelabuhan.Keempat orang itu ialah Bernard, Lisya, Matthew serta Aiden.Hari ini memang para petinggi perusahaan itu ada schedule untuk membawa Matthew serta Aiden berkeliling melihat kondisi lapangan, sesuai permintaan Matthew.Kesempatan ini dimanfaatkan Norin untuk melaksanakan misinya. Sebelumnya, gadis pirang bermata biru terang itu menyempatkan diri untuk bertukar pesan dengan pria bernama William.Norin: Siang ini aku bisa leluasa mencari file-file yang kita perlukan di ruang kerja Bernard.William: Kau yakin? Biasanya ruang gerakmu terbatas oleh Bernard.Norin: Dia ada jadwal mendampingi kolega bisnisnya melihat kondisi lapangan. William: Kalau begitu kau harus bergerak cepat.Norin: Shit! Aku tau apa yang harus aku lakukan.William: Oke. Aku tidak sabar menunggu kabar baik darimu.Norin: Aku tidak sabar melepaskan diri dari status umpan seperti ini!Willia
Matthew membawa harapan besar dalam dirinya ketika memutuskan untuk kembali mendatangi kota Queenstown.Bukan hal mudah baginya untuk menyusuri setiap jengkal dari jalanan kota ini.Tempat ini memiliki berjuta kenangan di setiap sudutnya. Entah kenangan menyenangkan maupun menyakitkan.Dengan secarik kertas yang telah diberikan kepada driver, Matthew berharap bisa mendatangi lagi rumah di mana ia dulu tinggal, tepatnya ketika ia masih kanak-kanak. Sebelum peristiwa naas yang merenggut nyawa kedua orang tuanya itu terjadi.Tapi apa yang dilihatnya kini?Bibirnya menganga seakan tak percaya tatkala mendapati lokasi di hadapannya itu tidak lagi memperlihatkan bangunan rumah megah yang dimiliki keluarganya dulu.“Tapi … tapi … ini …,”Matthew tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Pemandangan yang tersaji di hadapannya kini membuat CEO dari Marine Lighthouse itu kehilangan perbendaharaan kata dalam dirinya.“Tuan? Yang mana rumah masa kecil Anda? Kenapa seperti ini?” Aiden tidak bisa menyembu
Ternyata Bernard tidak serta merta meloloskan Norin dari pertanyaan setelah ia membebaskannya tadi siang.Sore ini, tepatnya sebelum jam kerja usai, Bernard sengaja memanggil Norin ke ruangannya.Tujuannya tentu saja cuma satu, yaitu mencari jawaban atas kecurigaannya terhadap Norin.Dengan desakan yang cukup kuat, Bernard berhasil membuat Norin mau mengatakan alasan sesungguhnya yang membuat gadis itu diam-diam memasuki ruang kerjanya tanpa izin dan mengobrak-abrik beberapa file.“Apa alasanmu?” tanya Bernard di sela napasnya yang kian menderu.“Tapi janji tidak marah?” Gadis itu merasa harus terus merajuk demi keberlangsungan nasibnya.Bahkan Norin sengaja membiarkan tubuhnya menggelayut manja dalam dekapan pria itu, sementara tangan kirinya bergerak menyusuri dada bidang Bernard dengan lembut.“Ck! Cepat katakan, Norin!” Bernard semakin tidak sabar.“Janji?” rajuk Norin tidak mau kalah.Menatap wajah manis Norin yang tampak seperti anak kucing, pada akhirnya pria itu mengalah, “Ok
Jantung Norin serasa hampir merosot dari tempatnya, saat tiba-tiba merasakan tubuhnya terdorong kuat dari luar pintu.Baru saja ia hendak masuk ke apartemennya, Matthew seketika hadir dan memaksa masuk dengan menyudutkan gadis itu hingga menempel dinding ruangan.“Kamu?”Perasaan takut seketika menyeruak dalam diri Norin ketika merasakan kuncian tangan Matthew pada kedua lengannya.“Kamu …? Gimana bisa kamu …,” napas Norin kian memburu. Ia tidak bisa memastikan apa motivasi Matthew mendatanginya dengan cara yang terbilang brutal seperti ini.“Hai, Baby!”Sapa Matthew lengkap dengan senyum smirk yang kerap kali ia tampilkan.“Mau apa kamu?”Mendengar suara Norin yang sedikit bergetar, Matthew bisa menangkap ketakutan dalam diri gadis itu.Sejujurnya ia tidak tega melihatnya. Bukan itu tujuannya mendatangi Norin.Tapi hal ini justru dipandang baik bagi Matthew, karena ia bisa memanfaatkan ketakutan itu untuk memberikan sedikit ancaman agar misinya ini berjalan lancar.“Hahah! Kenapa, Bab
Norin merasa sedang bergelantungan pada gigir yang sewaktu-waktu bisa menjatuhkannya ke dalam jurang. Bagaimana tidak? Matthew tiba-tiba muncul di dalam hidupnya dan berpotensi merusak semua rencana yang sudah ia susun selama ini bersama William.“Sudah ku bilang … jangan sajikan kebohongan, karena kau belum tahu sedang berhadapan dengan siapa. Jadi …,” Matthew sengaja menggantung kalimatnya beberapa saat. “ … demi kebaikanmu dan kelancaran rencanamu bersama William, lebih baik katakan, kenapa kalian ingin menghancurkan Bernard?”Perkataan Matthew ini menjadi bukti bahwa Norin tidak bisa sembarangan meremehkannya.Gadis yang terbaring tak berdaya dalam kungkungan Matthew itu sudah hampir putus asa. Ia tidak tahu harus mereka-rekakan kebohongan seperti apa lagi untuk terus menyembunyikan rencana besarnya bersama William.“Hey! Apa yang kau lakukan!?”Di tengah keputusasaan Norin, tiba-tiba suara lantang seorang pria terdengar menggema di apartemen Norin.Bugh!“Hah!?” Norin menganga
“Katakan sekali lagi!”Dor!“Aaa …!”“Matthew!”Suara desingan peluru yang ditembakkan, terdengar bersamaan dengan teriakan Norin dan William seusai Matthew meneriakkan pertanyaannya kembali.Tidak pernah terbayangkan oleh Norin selama ini kalau ia akan mendengar suara pistol ditembakkan dalam apartemennya.Suasana tegang sudah semakin memanas. Matthew sudah tidak sanggup lagi menahan telunjuknya untuk tidak menarik pelatuk. Amarah di dalam dirinya sudah terlanjur meledak.Maka, agar tidak melukai siapapun di ruangan ini, Matthew mengarahkan pistolnya pada dinding di sisi kanannya sebagai object pelampiasan.Seketika Norin memejamkan matanya rapat-rapat seraya memanfaatkan kedua tangannya untuk menutup telinga saat suara tembakan itu berbunyi nyaring.Demikian juga dengan William. Ia juga tidak menyangka kalau Matthew benar-benar akan menembakkan pistol itu di ruangan ini.Sama seperti Norin, dada William pun berdebar begitu kencang karena menyaksikan kemarahan Matthew yang sangat meng
Matthew meminta Aiden untuk mencari beberapa kandidat hunian untuk tempat tinggal mereka.Aiden cukup tercengang mendengarnya.“Tapi, Tuan …,” Aiden masih berusaha menelaah tujuan Matthew.“Bukankah Anda sama sekali tidak berniat untuk menetap di sini, kecuali mendapatkan rumah masa kecil Anda kembali?”Aiden melontarkan pertanyaan itu tanpa ragu, karena memang sejak awal bukan seperti ini rencana mereka.“Benar, Aiden. Tapi kadang banyak hal terjadi di luar rencana,” ujar Matthew seraya mendengus pelan. Kepalanya menggeleng kecil memikirkan fakta yang baru saja ia ketahui.“Apa alasannya, Tuan?” bukan bermaksud mencecar Matthew dengan pertanyaan, tetapi Aiden ingin mendapat penjelasan lebih detail.“Norin dan William … mereka juga bernasib sama denganku. Mereka mempunyai dendam kepada keluarga Gregorius.”Matthew memberikan penjelasan dengan menahan perasaan miris dalam batinnya.“Benarkah?” Aiden seakan tidak menyangka akan mendengar kabar ini. “Apa yang sebenarnya dilakukan keluarg
Pagi-pagi benar Matthew sudah melangkahkan kaki di koridor Queenstown Hospital Center. Ia berhenti tepat di depan pintu ruang rawat inap bernomor 201, atas nama Tuan William Harry.Ceklek!“Hah!?” Norin terperanjat kaget saat tiba-tiba pintu ruangan dibuka tanpa ada suara ketukan lebih dulu.Gadis itu mengerucutkan bibirnya begitu melihat Matthew berdiri di ambang pintu yang telah terbuka itu.“Kau? Untuk apa kemari!?” nada bicara Norin terdengar ketus, seolah Matthew ini adalah orang yang paling ingin ia hindari sepanjang hidupnya.“Aku …,” Matthew yang selalu tegas setiap kali berhadapan dengan siapapun, entah mengapa kali ini merasa mentalnya menciut saat berhadapan dengan Norin yang masih diliputi kemarahan.“Iya, kamu! Siapa lagi!?” nada bicara Norin kian meninggi.“Aku … tentu saja aku datang untuk melihat kondisinya!” ujar Matthew disertai dengan tangan menunjuk ke arah William yang masih terbaring tanpa daya di atas brankar.Ia lega bisa menemukan jawaban yang menurutnya pali