WELLINGTON, NEW ZEALAND“Siapa kalian!?”Seorang pria memekik terkejut karena tempat tinggalnya tiba-tiba didatangi oleh tamu tak diundang.Aiden menatap wajah pria itu lebih cermat, lalu mengangkat selembar potret wajah di tangannya hingga keduanya tampak sejajar.“Benar dia orangnya, Tuan,” ujar Aiden setelah memastikan bahwa mereka tidak salah orang.“Brengsek! Siapa kalian!? Kenapa sembarangan masuk ke rumah orang!?” Komplain sang pemilik kamar.“Seandainya kedatangan kami disambut dengan baik, kami tidak mungkin bersikap arogan semacam ini,” tutur Matthew tanpa sesal sedikit pun!CEO itu memberi kode kepada Bryan agar menutup serta mengunci pintu utama.Setelah mengangguk paham, Bryan melakukan perintah seperti yang diinginkan Matthew.“Jadi … ini tempat tinggal Anda sekarang, Tuan Orland Xef?” Tatapan Matthew tampak begitu tajam saat menuturkan pertanyaannya.“Ap-apa maksudmu!? Siapa kalian ini? Kenapa kemari!?” Orland Xef sampai terbata saat berucap. Ia memperhatikan Matthew
Mendengar fakta buruk tentang kebusukan perilaku Vincent Gregorius di masa lalu, telah sukses memupuk kebencian yang telah tertanam di dalam benak Matthew selama puluhan tahun.Ia mengepal geram membayangkan kelakuan biadab Vincent kala itu.Namun, satu notifikasi tanda pesan masuk telah mampu membuat pria yang tengah menginterogasi Orland Xef itu kehilangan konsentrasi.“Kita pulang sekarang!” titah Matthew kepada Aiden dan Bryan.“Siap, Tuan! Saya siapkan armada sekarang,” sahut Aiden yang lantas segera menghubungi pilot pribadi Matthew.Kedua anak buah Matthew berjalan mengikuti atasannya keluar.“Apa yang bisa aku lakukan untukmu?” pekik Orland Xef yang sontak membuat langkah Matthew terhenti.Putra tunggal keluarga Anderson itu menoleh. “Kembali ke Queenstown dan bekerja untukku. Aku butuh bantuanmu untuk memberi Vincent terapi moral.”“Tapi … aku sedang melarikan diri darinya. Aku yakin cepat atau lambat, dia pasti tahu kalau akulah orang di balik kekacauan yang terjadi tempo ha
Di kediaman mewah keluarga Gregorius, Draco, orang kepercayaan Vincent Gregorius, tanpa ragu mengetuk pintu ruang pribadi atasannya.“Masuk!” teriak Vincent dari dalam ruangan.“Permisi, Tuan! Ada kabar terkini dari para anak buah yang saya tugaskan untuk mengusut kasus kemarin,” ujar Draco tanpa ragu.“Sudah puluhan tahun kau bekerja denganku, Draco. Kau paham kan informasi seperti apa yang bisa aku terima?” balas Vincent memperingati.“Informasi ini sudah valid, Tuan. Mereka sudah menemukan siapa pelaku penembakan tempo hari.”Ucapan Draco berhasil memantik keingintahuan Vincent. “Siapa mereka? Siapa yang telah berani berurusan denganku?”“Masuklah, kalian!” seru Draco kepada anak buahnya yang masih menunggu di luar ruangan.BRAKKK!!!Seorang pria babak belur dengan kedua tangannya yang terborgol tiba-tiba jatuh tersungkur memasuki ruangan di mana ada Vincent serta Draco di dalamnya.“Bangun, Bodoh!” bentak salah satu anak buah Draco sambil menarik paksa tubuh pria itu agar berjalan
“Apa!?”Matthew dan yang lainnya tersentak mendengar informasi yang baru saja diucapkan Norin.“Astaga kita harus bagaimana!?” tanya Norin panik.“Cepat sembunyi!” celetuk William ikut panik.“Sissy, Nancy, cepat singkirkan semua gelas ini ke pantry. Jangan sampai Bernard melihatnya!” ucap Norin sedikit gemetar melihat belasan gelas dan botol wine yang tersaji di ruang tengah.Mendengar itu, Sissy dan Nancy bergerak cepat membereskan perkakas itu.“Semuanya masuk ke ruangan lain. Kosongkan kamar Norin!” ujar Matthew memimpin yang lain.“Hanya ada dua kamar di sini, sekarang ditempati Sissy dan Nancy selama mereka tinggal di sini,” tutur Norin menjelaskan.“Tidak apa-apa, sembunyi saja di sana, ayo!” Matthew bergerak menuju ke kamar Sissy dan Nancy, diikuti yang lain.“Norin, kau ke depan sekarang dan temui Bernard. Usahakan keberadaannya di sini tidak lama,” ujar Matthew kepada Norin.Ting! Tong! Ting! Tong! Ting! Tong!Di luar, Bernard semakin tidak sabar menunggu pintu dibukakan un
“What the hell!!”Bernard merasakan keanehan-keanehan saat berada di apartemen Norin.Bermula dari suara pecahan benda dari kamar sebelah, disusul dengan suara gaduh dari pantry.“Ada apa sebenarnya ini!?” racau pria itu saat berbalik arah dari kamar ke pantry.“Ya Tuhan, bebaskan aku dari situasi mencekam ini, please!” desis Norin kesal.“Astaga, kenapa tempat sampah di pantry bisa jatuh berantakan?” pekik Bernard sambil menuju ke tempat sampat yang tergeletak di lantai.Norin, Sissy, dan semua orang yang bersembunyi di apartemen itu merasa tenggorokannya tercekat saat Bernard melangkah menuju pantry.“Tuan, biar saya yang periksa!” Sissy buru-buru menghentikan langkah Bernard. “Lebih baik Anda temani Nona Norin. Biar saya yang bereskan sampahnya.”Brak!!Pintu kamar terbuka, lalu tertutup dalam sekejap.“Astaga, maaf aku telah menjatuhkan lampu tidur!” pekik Nancy seraya keluar kamar.Dengan begitu, perhatian Bernard serta yang lain teralihkan ke arah Nancy.“Nancy? Are you okay?” t
Dhuaarrr!!! Bummm!!!Suara ledakan dan dentuman yang begitu keras berhasil memekakkan telinga seluruh penumpang kapal pesiar "The Eye of Ocean".Kapal yang sedang melakukan pelayaran wisata dari Queenstown menuju ke New York ini rupanya mengalami kebakaran hebat.Semua penumpang dari masing-masing deck kian berhamburan tak tentu arah."Daddy …! Dad …! Mommy! Daddy! Mommy!" Matthew yang masih berusia tujuh tahun berteriak-teriak dengan sekuat tenaga yang ia miliki. Berharap dengan begitu kedua orang tuanya bisa mendengar suaranya."Mommy! Daddy! Tolong Matthew! Matthew takut, Mommy! Daddy!" tak henti-hentinya Matthew berteriak meskipun suara polosnya teredam oleh hiruk-pikuk ribuan orang yang berlalu-lalang demi bisa menyelamatkan nyawanya sendiri.Asap tebal dan api yang menyambar-nyambar sudah menguasai sebagian besar kapal."Cepat minta sekoci! Kita harus bisa dapatkan sekoci supaya bisa selamat!" Matthew mendengar seruan orang-orang di sekelilingnya yang sudah dikuasai kepanikan.
"Mommy …! Daddy …! Mommy …!"Matthew melihat ayahnya sedang berusaha tetap berada di permukaan laut seraya memeluk tubuh istrinya.Tetapi mirisnya ayah Matthew sama sekali tidak melihat ke arahnya, melainkan ke arah ibu Matthew yang sedang terpejam dan tubuhnya tampak memucat."Mirabeth! Mirabeth, jangan pergi! Please, jangan tinggalkan aku dan Matthew!" seru Althan, ayah Matthew, seraya mengguncang tubuh istrinya.Mendengar seruan sang ayah, membuat Matthew menduga bahwa sang ibu sudah tidak lagi bernapas."Mommy …!" seru Mathew dengan air mata yang kembali berlinang."Mommy …!" seru Matthew lagi. Tapi kali ini ia merasakan sunyi di sekitarnya.Hening. Sepi.Matthew kini mendapati dirinya sedang terduduk di meja kerja yang sengaja ia buat di mansion pribadinya.Napasnya terengah dan sepasang netranya perlahan menyisir seisi ruangan menggunakan tatapannya."Sial! Sudah dua puluh tahun tapi mimpi itu masih datang lagi!" umpat Matthew kesal. Ternyata lagi-lagi ia memimpikan peristiwa dua
"Hahaha! Can't wait to see you, Baby!" gumam Lisya begitu sambungan telepon dengan pihak Matthew berakhir.Terlalu dini memang, tetapi bibir tipis Lisya sudah menyunggingkan senyum kemenangan, seolah ia sudah bisa memastikan bahwa hati Matthew akan berada dalam genggaman tangannya."Bagaimana? Apa dia setuju untuk menunda pertemuan sampai nanti malam?" tanya Bernard berwajah serius."Hahaha! Astaga, Bernard … tenanglah sedikit! Kenapa tegang begitu? Kita tidak sedang menghadapi penyihir kejam ataupun binatang buas yang bisa mencelakai kita …," tutur Lisya terjeda. Ia bangkit meninggalkan meja kerjanya untuk berjalan ke arah Bernard, kakak kandungnya."Kita hanya sedang menghadapi Matthew Xaverius Lutof, CEO tunggal dari sebuah perusahaan shipping line Marine Lighthouse. Dia tidak jauh beda dengan kita!" ujar Lisya seraya bersedekap di hadapan Bernard."Tapi Marine Lighthouse adalah perusahaan shipping line terbesar di seluruh Swiss, Lisya! Aku ingatkan kalau kau lupa!" entah mengapa Be