Ini adalah masa dimana teknologi semakin marak tidak terkendali, beberapa ilmuwan mulai berpikir untuk menciptakan planet baru selain bumi sebagai tempat untuk kehidupan manusia. Sana sini berita mulai heboh menjalar tentang ‘planet’ dan ‘alat canggih’, dua hal itu seakan berlomba-lomba ingin menunjukkan keesistensiannya dan kehebatannya sebagai suatu yang paling menakjubkan di abad ini.
"Ada dimana kita sekarang prof?" tanyaku yang masih terperana melihat sekitar.
"Ini adalah tahun dimana tempat aku tinggali sekarang, selamat datang dimasa depan Akira. Kau harus biasakan dirimu dengan dunia ini." ucap profesor Javier.
"Hey! prof apakah kau pernah ke jaman dinosaurus hidup?" tanyaku bergurau.
"Tentu pernah! tapi hanya sekali, jika kau kesana, aku pastikan kau tidak akan pernah ingin lagi ke tempat seperti itu!" katanya membuatku penasaran dengan apa yang ia maksud.
"Memangnya kenapa prof? kau tidak suka dengan tempat itu!?" tanyaku.
"I
Setelah beberapa saat kami sampai disebuah bangunan besar yang kokoh dengan benda-benda unik mengelilingi halaman sekitar. Itu adalah robot-robot ciptaan profesor Javier, untuk membantu pekerjaannya profesor menciptakan robot yang super canggih. Aku menengadahkan kepalaku menatap ujung pintu yang tinggi. Bagaikan akan menyibak awan menembus langit tak terbatas. Pintu gerbang berbahan logam nampak jelas terlihat di hapadapanku. “Waw”. Itulah satu-satunya kata yang keluar dari mulutku ketika aku terkesima memandangi pintu logam nan gagah yang ada di hadapanku sekarang ini. Aku berada sekitar jarak 3 meter dari gerbang yang rapat tertutup. Ketika kaki ini mulai melangkah satu dengan kaki kananku, terdengar sebuah gerakan yang membuatku terkejut. Suara yang berasal dari gerbang besi berwarna gelap itu. Suara berdecit saat pintu itu otomatis terbuka sendiri. “Grek…..grek……..grek………..”. Belahan dari pintu gerbang mulai terbuka. Aku mengerutkan kedua dahiku. B
Tidak mau melewatkan momen langka sekaligus aneh ini,hingga aku beranikan diri berjalan menuruni tangga dan menuju ruang tengah lalu bertemu dengan seseorang pria, gemuk, gelap yang sedang merunduk ia seperti dirundung pilu dengan kesedihannya. Tidak ada suara-suara selain suara malam yang menyahut pertanyaan konyol yang keluar dari dalam mulut ini. "Si.. siapa dia, orang atau apa!?" Malam makin dingin dan angin tidak lagi memberikan kompromi. Sementara itu, bintang-bintang dan cahaya rembulan sudah tertutup awan. Entah sejak kapan. Hanya sebuah atau sesosok gelap yang sedang duduk diatas sofa itu. Aku berusaha mendekatinya. Jantungku kembali berdegup. Degupan dahsyat yang memompa adrenalin. Kuriositasnya bekerja. Aku tidak ingin membuang waktu berada di tempat ini dengan semua hal aneh ini. Sepasang mata dan seutas senyum di bibir tergambar pada sebuah wajah melalui pantulan cahaya kilat yang menyambar baru saja. Sebuah ekspresi yang sulit tergambarkan d
Aku menatap minuman tersebut dengan penuh kehati-hatian. Sebenarnya aku tidak ingin mudah percaya begitu saja, siapa yang tahu kalau minuman itu sudah berisi racun di dalamnya. Mungkin saja pria ini masih menaruh kecurigaannya padaku, siapa yang mudah percaya pada orang yang baru saja ingin membunuhmu. "Apa ini kau buat sendiri? kau hanya tinggal sendiri di rumah ini!?" tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan. "Sebenarnya.. sebelum ini aku tinggal bersama anak permpuanku, tapi...??" tiba-tiba saja dia ragu untuk mengutarakan apa yang ingin ia katakan. "Tapi kenapa tuan?" tanyaku dengan penasaran. "Ahh.. sudalah, sebaiknya kau minum dulu sekarang!" sekarang dia memaksaku untuk mencoba teh buatannya, tapi aku masih ragu untuk meminumnya. Aku memegang cangkir itu dengan penuh rasa ragu, memang benar aku baru saja mendapatkan kemampuan yang tidak terduga. Tapi apabila racun yang ada di dalam minuman ini masuk kedalam tubuhku tetap saja pasti aku akan mati
Di tempat aku menemukan sang rusa tadi, sekarang di hadapanku ada jalan setapak. Jalan itu berwarna cokelat dan dikelilingi warna-warna gelap. Meski waktu tak kuketahui sekarang sudah siang hari atau apa, warna gelap yang dingin itu begitu nyata. Aku merasakan basah pada bagian bawah celana dan sepatu yang kukenakan. Aku berjalan sepanjang jalan setapak yang membentang pada penglihatanku. Aku mengikuti alurnya. Hingga pada suatu tempat, aku berhenti dan terlihat olehku pantulan cahaya yang sedemikian terang sehingga tubuhku terlompat"Sialan!!! apa itu disana!?" Seperti muncul makhluk-makhluk mengerikan sedang mengerubutiku. Makhluk dengan sepasang mata merah menyala, jari-jari berkuku tajam berlumur darah dan seolah siap menerkamku! Suara-suara mengerikan terdengar, apakah itu binatang-binatang yang menghuni hutan ini. Ada suatu perasaan yang aneh dan degup jantungku mulai gemetar lagi. Semakin mendekati cahaya, semakin aku merasakan suatu perasaa
Aku tidak bisa lagi mengendalikan diriku. Tangan yang besar monster itu terus berayun untuk menghajar diriku. Aku mencoba mengelaknya, untuk menyelamatkan diri. Tetapi cengkeraman itu begitu kuat dan terlalu keras sehingga dengan mudahnya monster itu berhasil memukul diriku hingga terpelanting. "Arggh!" aku shock seketika terkapar lemas setelah tubuhku menyusur ditanah akibat terlempar oleh monster itu. Aku mengernyitkan dahi, memperhatikan sekeliling. Mataku membias, yang terlihat monster itu sekarang sedang menghampiriku. Nafasku dipenuhi rasa hampa. Suara yang terdengar ditelingaku mengiang menyambut kedatangannya. “Sampai kapan pun, kau tidak akan pernah bisa melawanku,” tiupan angin membelai rambutku. “Aku tidak pernah takut untuk melawanmu,” tantangku. “Hahaha… itu adalah sebagian kecil dari kekuatanku. Rasakanlah!” suara yang sama terdengar di tengah-tengah keributan angin. "Sialan!!" Kalau begini aku tidak mungkin bisa melawannya
“Akira.. Akiraa.. Akira..” terdengar suara Belinda dalam mimpiku“bangunlah Akira!” sontak aku terkejut dan terjaga dari tidurku.Mataku mengerjap-ngerjap mencari titik fokusnya. Aku mengernyitkan dahi, memperhatikan sekeliling.lalu tubuhku sontak terasa kembali perihnya dengan perban terpasang hampir disekujur tubuh tetapi aku memaksakan diriku untuk terbangun dari ranjang tempatku berada sekarang."Dimana aku sekarang ini?" aku terbaring lemas. Begitu hening. Begitu ganjil. Seakan-akan kehidupan menjadi sebuah ruang kosong yang telah lama ditinggalkan penghuninya. Aku menghela napas, pelan-pelan ingatanku kembali. Disitu aku baru ingat terakhir kali aku habis bertarung hebat dengan monster dan masuk ke lorong waktu untuk kembali ke masa depan, mungkin sekarang aku sedang berada dikamarnya dokter Javier. Di jantung sebuah dinding, jarum jam terus bergerak, menunjuk angka dua, dini hari. Dingin bertambah dingin. Hening bertambah hening.
Kukira, sampai kapan pun aku tidak akan pernah melupakan pemilik wajah indah yang sengaja membiarkan rambut panjangnya tergerai dihempas angin. Juga senyumnya yang begitu tenang. Setenang permukaan air danau yang menghampar luas dibalik taman kota, dimana senja kerap kali memutuskan untuk bersembunyi. Setelah melewati beberapa blok di kota, kami berhenti saling menatap sambil melepaskan kerinduan. Kami berlari-lari kecil dengan cepat menjauh dari kejaran. Bagaimana derap langkah kami yang lincah melewati kepungan salju, membuat mereka tertinggal jauh dibelakang. Aku tak melihat lagi orang-orang yang mengejar kami berdua dari bar tadi, dibalik pohon cemara yang rimbun dan tertutup oleh salju kami bersembunyi. Ya, tak peduli dengan hal itu di taman kota sekarang aku bisa bersama Belinda berduaan. Lalu berjalan riang mendampingnya. Berusaha menjadi pemandu yang baik bagi wanita yang baru saja melepaskan kegelisahannya selama ini. "Kamu kemana saja, aku sudah lam
Tepat didalam ruangan itu, tidak ada maksud untuk mengundang kebisuan, tapi iadatang dengan tiba-tiba. Memang suasana dingin sekali, bertambah lagi hati. Dalam hitungan, pada masa yang cukup lama mula pembicaraan belum menemukan nada dan intonasi yang kena. Setidaknya bukan ungkapan yang dikeluarkan dengan terpaksa kelihatannya, tetapi benar-benar dari dalam hati. Atau belajar terlebih dahulu bagaimana memunculkan sesuatu dari hati yang tak terlihat terpaksa. Belinda menatap keseliling dia masih belum tahu kenapa aku mengajaknya keruangan itu. "Mau apa kita disini?" Aku berdiri tepat didepan piano tua bekas peninggalan ayahku, kemudian aku menekan salah satu not untuk membuka ruangan tersembunyi yang ada dikamar itu. "Kau akan kagum melihatnya." kataku, kemudian piano itu bergeser dan dinding kamar terbuka memperlihatkan pintu menuju ruang bawah tanah. Belinda tertegun sambil menghampiri pintu itu, "Pintu apa ini? ada apa didalamnya!? tanyanya semakin p