Share

Ancaman

Sebagai CEO dari Artha Ladju Enterprise, aku tak punya cukup banyak waktu untuk hal-hal selain pekerjaan. Bahkan saat ini sedang berpikir untuk mengundurkan diri dari tugasku sebagai pengacara aktif.

Jika aku hadir di sebuah acara pesta, itu lebih karena menjaga kekerabatan dan pertemanan. Seperti malam ini, aku harus menghadiri pesta pernikahan salah satu relasi kantor.

Satu hal yang membuatku berpikir keras adalah ketika membaca undangan yang bertuliskan untuk Arta Intan Sari and partner. Siapa yang harus kuanggap sebagai partner? Haruskah kembali mengajak Bima? Laki-laki kepercayaanku itu sudah terlalu sering menjadi teman kondangan.

Setelah berpikir ulang beberapa kali, kukirimkan pesan padanya. Seperti biasa, ia langsung menyanggupi.

"Sampai kapan lu bakal jadiin gue partner kondangan?"

Kupukul lengannya.

"Cobalah buka hati, Ta."

Aku diam. Bagaimana harus membuka hati jika saat akan memulainya, luka itu kembali tersayat semakin dalam? Pertanyaan itu terus bergema di kepalaku hingga menjejakkan kaki di ballroom sebuah hotel bintang lima yang terletak di bilangan Jakarta Pusat.

Aku turun dari mobil tanpa menunggu Bima membukakan pintunya. Laki-laki itu bergegas turun dan berjalan memutar hingga sejajar denganku. Ia memberikan lengannya untuk kupegang.

Acara tampaknya sudah dimulai. Kami tersenyum kepada penerima tamu dan berjalan masuk melintasi karpet merah yang terhubung dengan permadani di bagian dalam ballroom. Menyapa beberapa rekan bisnis dan pejabat yang berpapasan. Seorang panitia yang mengenali aku dan Bima langsung membimbing kami untuk menuju deret kursi VIP. Baru saja duduk, seorang lelaki berusia hampir enam puluh tahun mendekat dan menyapa.

"Wah, terima kasih, Bu Arta. Sebuah kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri bagi kami, karena CEO Artha Ladju Enterprise berkenan hadir di acara hajat kecil ini."

Aku segera berdiri. Menerima uluran jabat tangannya.

"Pak Bagaskara ini terlalu merendah. Justru sebuah kehormatan buat saya menerima undangan istimewa ini."

Setelahnya aku terlibat pembicaraan basa-basi dengan pengusaha real estat itu. Hampir sepuluh menit berlalu ketika Bagaskara kemudian berpamitan untuk menyapa tamu lainnya. Aku kembali duduk bersama Bima.

Tiba-tiba ponselku berdering. Ada nama Mama tertera di layarnya. Wanita yang telah sangat berjasa dalam kehidupanku. Yang membuat segalanya berubah seratus delapan puluh derajat.

"Kamu di mana, Ta?"

"Aku lagi ke acara resepsi putrinya Pak Bagaskara, Ma."

"Berangkat sama siapa? Bima?"

"Iya, Ma."

Bima memang sudah sangat dekat dengan keluarga kami. Ia bahkan jauh lebih dulu akrab dengan keluarga Mama sebelum aku mengenalnya. Mama pula yang menjadikannya orang kepercayaanku.

"Mama tadi jemput ke rumah. Kamu lupa, ya? Mama 'kan udah bilang mau ngajak kamu bareng ke acaranya Pak Bagaskara."

Aku menepuk dahi. Bagaimana bisa lupa sama sekali dengan permintaan perempuan itu? Seminggu yang lalu Mama memang menelepon. Orang tua angkatku itu ingin kami pergi bersama-sama ke acara ini.

"Sekarang Mama di mana?"

"Sepuluh langkah di belakangmu."

Refleks aku menoleh. Mama sedang berdiri hanya beberapa meter dari meja kami. Kini ia berjalan mendekat. Segera kumasukkan handphone ke dalam tas dan berdiri menyambutnya.

"Maaf, Ma. Arta lupa banget," ucapku saat wanita lima puluh enam tahun itu mendekat. Aku langsung memeluknya.

"Iya, nggak apa. Mama tahu kamu sibuk," jawab Mama sambil menepuk punggungku.

"Mama sama siapa?" tanyaku setelah kami saling melepaskan pelukan.

Wanita pendiri Artha Ladju Enterprise itu sedikit bergeser ke kiri, hingga tampaklah seorang laki-laki muda yang kini tersenyum menatapku. Keberadaannya baru kusadari. Ia tinggi, mengenakan stelan jas biru navy, kemeja putih, dan dasi hitam. Rambutnya hitam dengan semburat kecoklatan di beberapa sisi. Matanya gelap dengan sorot yang tajam.

"Arta, kenalkan, ini Evan Taqi Hermawan. Pemilik Lintas Griya Amerta."

Aku berdiri dan menjabat tangannya. Ketika jari kami bersentuhan, terasa ada getaran aneh yang menjalar. Lekas kulepaskan jabatan kami setelah saling menyebutkan nama.

"Saya nggak nyangka, ternyata pimpinan Artha Ladju Enterprise masih sangat muda dan cantik," Evan berkata sambil melemparkan senyum yang kuyakini mampu membuat hati siapapun meleleh.

"Anda terlalu memuji Pak Evan. Sayap bisnis anda yang luar biasa pun sudah tak asing bagi saya. Ternyata kali ini saya diberi kesempatan bertemu langsung dengan sosok yang paling disegani dalam dunia properti Indonesia."

"Wah, apakah saya terlalu tua hingga harus dipanggil Pak? Bagaimana kalau Evan saja?"

Aku, Mama, dan Bima tertawa.

"Oke. Evan. Saya dengar anda sedang merambah bisnis kelapa sawit juga?"

"Masih uji coba."

Untuk beberapa saat lamanya kami terlibat pembicaraan basa-basi sambil menikmati hidangan yang disajikan, lalu bangkit untuk memberikan ucapan selamat kepada mempelai. Mama tiba-tiba menarik Bima untuk berjalan di sebelahnya. Laki-laki itu menurut tanpa bicara. Maka kini aku melangkah bersisian dengan Evan, dan getar aneh itu kembali terasa.

Turun dari panggung tempat mempelai menerima ucapan selamat, kami menuju pintu keluar ballroom. Tiba-tiba Mama berhenti.

"Nak Evan, bisa tolong antar Arta? Saya ada keperluan penting yang butuh keahlian Bima."

"Kenapa nggak besok aja, Ma? Udah malam, lho," protesku. Rasanya tidak nyaman harus diantar laki-laki yang baru saja dikenal.

"Nggak bisa. Udah, kamu pulang sama Evan aja. Jangan ngebut, ya?"

"Baik, Tante."

Evan tersenyum pada Mama, lalu beralih ke arahku.

"Kita pulang sekarang?"

Aku belum menjawab pertanyaan Evan ketika tiba-tiba sosok yang paling kuhindari muncul di dekat kami berdiri.

"Wah, sekarang kamu udah naik kelas, ya? Jabatanmu apa sekarang, Arta? Bagaimana bisa seorang pengusaha terkenal seperti Bagaskara mengundangmu di acara sepenting ini?"

"Saya bukan siapa-siapa, Bu. Hanya seseorang yang pernah belajar bisnis pada Pak Bagaskara."

"Oh, baguslah. Jadi Dika memang sudah sepantasnya melepasmu."

"Maaf, Bu. Mungkin anda lupa. Sayalah yang melepas Dika saat itu."

Kuberikan senyum terbaik pada mantan calon mertua itu. Ia mendengkus kesal. Bergegas aku meraih tangan Evan.

"Antar aku ke toilet, ya, Mas?" Aku mengedipkan sebelah mata. Evan tampaknya mengerti. Ia segera merengkuh pinggangku dengan posesif.

"Kami permisi, Bu."

Wanita yang melahirkan Dika itu menatap aku dan Evan dengan pandangan menyipit. Bagaimana ia bisa ada di acara ini juga? Apakah perusahaan tempat Dika bekerja memiliki hubungan kerja dengan Bagaskara? Ah, biarlah nanti Bima kuminta menyelidikinya.

Saat ini aku harus berakting meyakinkan sampai menghilang dari tatapan wanita tua bermulut pedas itu. Biarlah ia menduga aku dan Evan ada hubungan khusus. Apalagi laki-laki di sampingku ini mempunyai penampilan yang jauh di atas Dika. Paling tidak, itu bisa membungkam kesombongan wanita yang selalu menghinaku.

Sebenarnya saat ini aku tak ada hajat penting ke toilet. Hanya karena wanita itu, kini aku terjebak drama dengan Evan yang membuat degup jantung menjadi tak beraturan. Berdekatan dengannya membuat getar aneh itu kembali muncul. Setelah ini tampaknya aku memang perlu ke toilet untuk sekadar menenangkan diri sejenak.

"Bisa tunggu di sini?" tanyaku pada Evan saat kami sampai di depan toilet.

"Tentu saja. Mas akan menunggu," ujarnya menggodaku.

Kupukul lengannya perlahan lalu memasuki toilet. Masih kudengar Evan terkekeh. Dalam ruangan yang cukup besar itu, aku berhenti di depan wastafel. Menatap pantulan wajah di cermin. Ada rona di pipi yang entah sejak kapan muncul. Apakah aku jatuh cinta pada pandangan pertama? Layakkah perempuan usia dua puluh delapan tahun sepertiku merasakan debar rasa laksana anak muda?

Pintu toilet terbuka. Seorang perempuan muda dengan rambut pirang masuk. Ia berdiri di sampingku. Mengambil lipstik dan memoleskan di bibirnya yang tebal. Ia melirik.

"Kamu Arta, kan?"

"Iya. Apakah ... kita pernah bertemu sebelumnya?"

Ia menggeleng. "Baru kali ini aku melihatmu. Ternyata Arta Intan Sari memang cantik. Sayangnya terlalu tua untuk lelaki muda seperti Dika."

Aku mengernyitkan dahi. Menunggunya bicara lagi. Wanita itu menghembuskan napasnya perlahan. Mengambil sebatang rokok dari dalam tas, lalu memainkannya di jemari kanan yang tampak terawat.

"Aku ke sini hanya ingin memberi peringatan padamu. Jangan pernah dekati Dika lagi."

What?

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status