Share

Mantan yang Dicampakkan

Penulis: NH. Soetardjo
last update Terakhir Diperbarui: 2022-10-12 10:28:36

Setelah berbasa-basi sejenak, aku kembali duduk di depan Pak Adi yang kini menjadi canggung bersikap. Ia tak enak hati diduga sebagai suamiku.

"Nggak apa, Pak. Biasa aja. Anggap aja orang itu nggak pernah ada," ujarku berbisik.

Pak Adi mengangguk. Tiba-tiba ia berdeham dengan agak keras, membuat ibu dan ayah Dika menoleh.

"Non Arta jadi pesan makanan dari sini buat enam asisten di rumah?" Pak Adi bertanya dengan suara yang menurutku terlalu keras. Sepertinya ia sengaja agar orang di meja sebelah ikut mendengar.

"O, iya, Pak. Kok, saya bisa lupa, ya? Mbak Ani dan Mbak Jum paling senang kalau dibawain karaage."

Mereka juru masakku yang sebenarnya juga handal membuat karaage dan menu apapun. Namun, Mbak Ani pernah mengatakan, oleh-oleh dariku selalu terasa lebih istimewa, apapun bentuknya. Sejak itu, setiap bepergian, aku berusaha membawakan mereka buah tangan walau hanya makanan atau benda sederhana.

"Jangan lupa tempura udang buat Bi Ijah dan Bi Eha, Non."

Aku mengangguk. Sekilas kedua orang di samping kami melirik.

"Buat Mang Udin dan Mang Ipul apa, dong?"

"Mereka mah, dikasih apa juga doyan, Non. Samain aja ama yang lain, asal jangan ikan mentah."

Aku tertawa. Teringat bagaimana Mang Udin dan Mang Ipul batal memakan sushi yang kubawa, saat tahu bahan dasarnya adalah ikan mentah. Bahkan mereka tetap menolak ketika lain waktu kubawakan sushi yang dimodifikasi, tidak memakai ikan mentah.

Wajah keduanya sangat menggelikan saat itu.

Aku memberikan kode pada pelayan, tepat bersamaan dengan ibunya Dika melakukan hal yang sama. Ia melirik culas. Kubalas dengan senyuman.

Saat pelayan mendekati kami, aku memesan karaage, tempura, udon, sushi, dan ramen masing-masing sebanyak lima porsi.

"Banyak amat pesannya, Non?" Pak Adi bertanya keheranan.

"Nanti sebagian kita berikan untuk satpam komplek, Pak. Sama itu lho, dua pedagang kaki lima yang ada di ujung jalan masuk ke komplek."

"Oh, itu si Didin dan Dudung. Siap, Non. Nanti saya yang kasih ke mereka."

Aku melanjutkan makan bersama Pak Adi sambil menunggu pesanan take away kami selesai. Tak peduli dengan tatapan sinis dari orang tua Dika.

Sebenarnya, aku tidak dendam ataupun membenci mereka. Namun, jika orang tua Dika bersikap seperti musuh saat kami bertemu, bukankah aku lebih baik menarik diri? Malas juga berkonflik dengan pribadi culas dan dengki seperti itu.

Aku dan Dika dekat sejak kelas satu SMA. Tepatnya saat pandangan pertama. Ketika itu sebenarnya tak ada ikrar berpacaran atau komitmen untuk sebuah hubungan yang serius. Kedekatan yang awalnya sebagai sahabat, lama-lama berubah menjadi spesial. Dika yang semula melindungiku layaknya kakak laki-laki terhadap adik perempuan, berubah menjadi posesif dan lebih sering cemburu. Tak ada teman laki-laki lain yang diijinkan mendekat. Bahkan, Dika pernah terlibat perkelahian fisik dengan seorang kakak kelas karena cemburu buta.

"Nggak harus berantem juga, Dika," ujarku kala itu.

"Oh, kamu senang, ya, ditaksir sama si Alfi? Karena dia ketua OSIS?"

"Bukan gitu, tapi hak Alfi atau siapapun buat naksir perempuan manapun."

"Kecuali kamu," jawab Dika dengan berang.

"Apa urusanmu? Aku pribadi yang bebas. Kamu sahabatku. bukan kekasih yang berhak melarang orang lain mendekat."

"Oke! Kalau gitu, sejak hari ini kita pacaran. Kamu pacar aku dan nggak boleh dekat dengan lelaki lain."

Aku tersenyum mengingat hari itu. Dika bahkan memberi tahu semua teman yang ditemuinya, bahwa hubungan kami sudah bukan teman biasa.

"Non? Kenapa senyum-senyum sendiri?" Pak Adi menggerakkan kedua tangannya di depan wajahku. Membuyarkan kenangan bertahun silam yang harusnya kulupakan. Bukankah tak ada gunanya?

"Eh, itu, Pak. Saya inget teman yang orangnya lucu."

Pak Adi mengangguk seakan paham.

"Barusan pelayan resto sudah bawa semua pesanan Non Arta ke mobil. Totalnya juga sudah saya bayar pakai kartu debit Non Arta yang ada di saya. Kita udah selesai?"

"Iya, Pak. Sudah."

Aku memang memberikan kartu debit khusus untuk berbagai pembayaran yang biasa diurus Pak Adi termasuk bensin atau tagihan makan saat ia bersamaku.

Kami berdiri, lalu mendekati meja sebelah. Berpamitan pada orang tua Dika atas dasar kesopanan.

"Tinggal di mana sekarang, Arta?" Ibu Dika bertanya saat aku menjabat tangannya.

Kusebutkan alamat rumah yang kutinggali saat ini. Seperti halnya Dika, mata ibunya pun membulat tak percaya. Namun, ia lekas menguasai diri. Tak ingin terlihat terkejut.

"Kamu belum punya anak?"

Bagaimana aku punya anak kalau menikah saja belum? Tentu saja pertanyaan itu hanya di dalam hatiku.

"Cepetan, lho. Umur kamu 'kan lebih tua dari Dika. Lewat dari tiga puluh udah bahaya buat perempuan melahirkan."

Aku hanya tersenyum. Orang seperti ini namanya sudah kugarisbawahi. Adalah sangat tidak beretika, jika menyinggung usia pada orang yang bahkan sudah lebih dari sepuluh tahun tak kau jumpai.

Segera aku undur diri dari hadapan perempuan yang berkilau itu. Kilau yang disebabkan emasnya bergantung di mana-mana, membuat ia seperti toko perhiasan berjalan.

Pak Adi ternyata sudah menunggu di mobil. Dalam sekejap, kami telah meninggalkan restoran. Menembus malam menuju selatan Jakarta.

***

Aku bergegas menuju lift untuk turun ke lantai tiga. Meeting bersama komisaris dan para pemegang saham baru saja usai, tapi aku harus hadir lagi di rapat berikutnya. Kali ini ada presentasi dari perusahaan lain yang menawarkan kerja sama.

Baru saja hendak menutup pintu lift, seorang perempuan dengan pakaian kantor yang tak menutup tubuhnya dengan sempurna berteriak. Kutahan pintu yang hendak tertutup. Wanita dengan perhiasan mencolok itu masuk sambil mengucapkan terima kasih. Di belakangnya ternyata ada seorang laki-laki yang mengikuti.

"Arta?"

Ternyata pria itu adalah Dika.

"Hai."

"Kamu kerja di sini?"

Sejenak aku memikirkan jawaban yang tepat. Haruskah mengatakan apa adanya?

"Yah, begitulah. Kamu sendiri?"

"Oh, aku ada rapat dengan pimpinan perusahaan ini. Kebetulan kantorku menawarkan kerjasama."

Dunia memang sempit. Ternyata orang yang akan meeting denganku kali ini adalah Dika. Dari sekian banyak wakil perusahaan di Indonesia, kenapa harus laki-laki ini yang meeting denganku? Baiklah. Pertunjukan baru saja akan dimulai. Kita lihat akhir dari salah satu episode drama ini.

"Berarti kamu mau ke ruang Arta Loka?"

"Seperti itu yang diinfokan padaku. Kamu tahu lokasinya?"

"Aku juga mau ke sana. Bareng aja."

"Pak Dika, tolong pegang ini sebentar."

Perempuan yang tadi masuk lift bersama Dika tiba-tiba berkata dengan suara manja berlebihan. Ia menyerahkan map yang dibawanya pada laki-laki itu, lalu terlihat sibuk mencari sesuatu dalam tasnya. Saat barang yang dicarinya belum ditemukan, pintu lift terbuka.

Aku keluar lebih dahulu dari keduanya. Berjalan menyusuri lorong menuju ruang Arta Loka, tempat rapat antar perusahaan. Suara langkah kaki Dika dan perempuan itu terdengar di belakangku.

"Silakan. Ini ruang rapatnya," ujarku sambil menunjuk ke arah pintu.

"Makasih, Ta."

Aku tersenyum dan meninggalkan kedua orang itu. Biarlah mereka masuk lebih dahulu. Toh, di sana ada Niar. Ya, sahabatku itu adalah juga sekretaris di kantor ini. Dika pasti terkejut melihatnya.

Menjauh dari ruang Arta Loka, aku membuka ponsel. Mengetik sebuah nama dan menelponnya. Dalam hitungan detik, panggilanku dijawab.

"Satu jam dari sekarang, aku minta data lengkap tentang perusahaan tempat Dika Mahendra Winata bekerja. Termasuk kondisi keuangan perusahaan itu, juga data lengkap kehidupan pribadi Dika."

Lelaki di ujung telepon itu langsung menyatakan kesiapannya. Bima. Ia memang sangat bisa diandalkan.

Aku bergegas ke ruang rapat. Saat membuka pintu, seluruh stafku berdiri dan membungkuk hormat, termasuk Niar. Dengan ragu, Dika dan perempuan yang kuduga adalah sekretarisnya itu melakukan hal yang sama. Ada tanda tanya di wajah mereka.

Seluruh yang hadir di ruangan itu segera duduk kembali setelah kupersilakan. Pak Anto Wijaya, wakilku, berdiri dan angkat bicara.

"Karena pimpinan kita, Ibu Arta Intan Sari sudah hadir, marilah kita mulai rapat ini."

Kutatap Dika yang kini matanya membulat tak percaya. Orang yang pernah dicampakkan oleh keluarganya, ternyata adalah pimpinan tertinggi sebuah perusahaan besar. Aku ingin melihat, apa reaksi ibunya jika Dika mengabarkan tentang hal ini.

***

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Bulan Madu Kedua

    Aku keluar kamar guna mencari keberadaan Evan. Bagaimana lelaki yang dulu begitu dingin, sekarang ulahnya ada-ada saja. Setelah memasuki beberapa ruangan, Evan sama sekali tak kutemukan. Di ruang tengah aku berpapasan dengan Bik Ijah yang sedang membersihkan rak hiasan. "Bik, lihat Pak Evan?""Tuan ada di halaman belakang, Non.""Oke. Tolong bilang ke Feni buat jagain Anin yang lagi tidur di kamar. Saya mau ke belakang dulu."Aku melangkah ke halaman belakang. Ternyata Evan sedang duduk di gazebo sambil menekuri laptopnya. Biasanya ia tak membawa pekerjaan ke rumah. Kenapa kali ini sepertinya sibuk sekali?Saat jarak kami semakin dekat, aku ragu untuk melanjutkan langkah. Namun, sepertinya Evan mengetahui kehadiranku. Tanpa menoleh ia bertanya. "Ada apa, Sayang?"Tiba-tiba wajahku terasa panas mengingat lingerie pemberiannya. Tak terbayang aku memakai pakaian itu. Pasti malah terlihat seperti lemper yang dibungkus daun

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Balas Dendam

    Ia kembali melemparkan senyum, tapi kali ini sangat terlihat meremehkan. "Ya, aku Tiara. Calon istri Dika. Harusnya sebulan lagi kami menikah, tapi kamu menghancurkan segalanya."Aku berdiri dan sengaja menatap matanya dengan tajam. Wanita ini perlu disadarkan rupanya. "Jangan merasa paling hancur, Mbak. Apa yang dilakukan calon suamimu justru hampir merenggut nyawaku, juga bayi yang ada dalam kandunganku."Tiara membalas tatapanku dengan kilat menyala di matanya. Sementara itu kudengar bunyi ponsel di tas milikku. Itu pasti Evan. Hanya namanya yang kuberi nada dering khusus. Maaf, aku mengabaikanmu kali ini, pikirku. Dalam hati aku berjanji akan meneleponnya setelah urusan dengan Tiara selesai. "Hah, bicaramu seakan paling suci, padahal sama-sama busuk. Sudahlah Evan brengsek itu membuat kekasihku kehilangan pekerjaan, kini Dika juga harus mendekam di penjara.""Itu balasan yang sangat setimpal untuk orang

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Terungkap

    Wajah Evan pucat, sementara Bima membalik foto itu. Ada tulisan tangan di sana. Karena penasaran, aku ikut membaca isinya. [Harusnya aku yang ada di posisimu saat ini.]"Ardi," gumam Evan lirih. Aku dan Bima menatap dengan penuh rasa ingin tahu ke arah Evan. Serentak kami bertanya. "Siapa Ardi?"Evan melangkah ke sofa yang ada di sudut ruangan. Aku dan Bima mengikutinya. Saat kami sudah duduk, Evan mulai bercerita. "Rahasia ini hanya keluargaku yang tahu. Sebenarnya, Evan Taqi Hermawan ini adalah anak lelaki yang tak tahu siapa ayah dan ibunya. Aku tinggal di sebuah panti asuhan sejak bayi. Hingga saat berumur delapan tahun, sepasang suami istri datang untuk mengadopsi anak."Aku menarik napas berat. Ternyata ada rahasia besar dari hidup Evan yang baru dibukanya sekarang. Ia menatapku dan meminta agar duduk lebih dekat di sampingnya. Tangannya meraih jemariku dan meremasnya beberapa saat. "Ibu panti memperk

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Kangen

    Setelah beberapa hari di rumah sakit, aku pulang. Tidak. Lebih tepatnya kami semua pulang. Aku, Evan, bayi kami, dan dua orang yang ditugaskan untuk berjaga di depan kamar rawat inap. Kupikir setelah di rumah, tak ada lagi penjaga-penjaga itu. Ternyata justru Evan semakin menambah jumlahnya. Termasuk tim sekuriti yang mengawasi rumah kami. Bahkan kini ada yang perempuan, khusus menjaga aku dan bayi. "Apa kita nggak berlebihan, Van?""Berlebihan gimana? Kamu itu dalam bahaya. Setiap saat bisa jadi sasaran empuk orang-orangnya mereka.""Siapa? Dika? Bukannya dia di penjara?""Saat ini yang mengincar kamu bukan hanya Dika.""Lalu?""Udah, nurut aja kenapa, sih?"Kalau sudah begitu, aku memilih diam. Termasuk ketika kami berdebat tentang nama untuk bayi. Hampir seminggu, buah hati kami belum punya nama. Selalu saja berujung debat tak berkesudahan, saat aku dan Evan mendiskusikan nama yang cocok untuknya.

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Penerimaan

    "Bagaimana perasaan Anda, Nyonya Evan?" tanya suster saat ia memeriksaku yang baru tersadar."Badan saya rasanya sakit semua, Sus. Seperti remuk.""Sebentar lagi dokter akan datang memeriksa. Apakah anda merasa sangat haus atau lapar?"Aku memandang perempuan muda berseragam hijau itu sambil mengernyitkan dahi. Apa tadi dia bilang? Haus? "Ah, iya. Anda benar. Saya sangat haus."Tiba-tiba Evan sudah mengulurkan tumbler berukuran sedang. Tatapannya terlihat khawatir. "Hai, makasih. Aku baik-baik aja."Aku meminum air dari dalam tumbler dan hampir menghabiskan separuhnya."Baik versi kamu itu bukan yang sesungguhnya," ujarnya ketus.Suster yang sedang mengambil alat pemeriksa tekanan darah tersenyum melihat kami berdua. Kemudian dengan cekatan memasang alat itu di bagian atas lenganku. "Kamu nggak lapar?" bisik Evan mengabaikan suster yang sedang bekerja Aku melirik padanya

  • Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat   Bayiku

    "Bisakah kau diam?" ujar lelaki di balik kemudi sambil mengunci semua pintu.Suara itu seperti aku kenal."Dika?"Ia menoleh, lalu menyeringai. Aku bergidik melihatnya"Akhirnya kau mengenali suaraku, Ta. Ternyata kamu sejahat itu. Mengenal Evan sebentar saja, aku langsung kau lupakan."Ia mulai fokus pada kemudi, sementara tanganku mengepal. "Apa maumu, Dika? Kenapa harus melibatkan nyawa Bunda? Kenapa melakukan ini? Apakah kamu dendam karena kisah kita selesai?"Dika tertawa sambil melirikku sekilas dari kaca tengah. Mata itu, merah dan menyiratkan dendam yang teramat dalam. "Sebaiknya kamu diam, Ta. Jangan banyak bicara kalau mau selamat!""Nggak! Kamu udah salah orang, Dika! Bebaskan Bunda!"Dika tertawa lagi. Kali ini Sinta ikut tergelak."Dika Mahendra Winata tak pernah salah orang. Dendamku cuma satu, pada si brengsek Evan. Maka satu-satunya cara adalah menguras harta, sekalig

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status