Share

Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat
Tak Pakai Perhiasan Dikira Melarat
Penulis: NH. Soetardjo

Reuni Menyebalkan

"Lu datang sama siapa, Beib?" Mira menyapaku to the point. Pastinya ia bukan tak tahu, bahwa sampai detik ini aku masih sendiri.

"Sama sopir," jawabku singkat.

"Sopir? Sopir taksi maksudnya?"

Aku hanya tersenyum. Malas menanggapi ocehan nyinyir seperti itu.

"Jangan marah, Beib. Makanya jangan jomlo terus. Nunggu apa, sih? Lu 'kan cantik. Pas SMA dulu bahkan jadi rebutan."

Aku masih belum menanggapi. Ini adalah satu dari banyak hal yang membuatku malas datang ke acara reuni. Kalau bukan karena Niar, tentulah aku tak akan datang.

"Pokoknya, kamu harus datang ke acara reuni kali ini!"

Kalimat itu diucapkan Niar berkali-kali dalam sebulan terakhir. Sahabat sejak kelas satu SMA itu sangat gigih mengajakku datang ke acara tahunan, tapi usahanya selalu gagal. Aku tak pernah mau hadir.

Bagiku, reuni adalah buang waktu. Lima belas menit bagi seorang Arta Intan Sari sangatlah berharga. Aku bisa menghasilkan ratusan dolar dalam waktu sesingkat itu. Lalu, untuk apa menyia-nyiakan waktu dengan menghadiri acara yang isinya hanya makan, pamer kekayaan, dan membicarakan aib orang?

"Iya, Ta. Kenapa Lu belum nikah? Bukannya dulu udah pacaran lama sama Dika?" tanya Meta. Play girl paling terkenal di sekolahku dulu.

"Belum jodoh aja, kali," jawabku malas.

"Eh, Dika juga nggak pernah dateng reuni, lho. Ajaibnya, hari ini dia mau ikutan," ujar Mira lagi.

Aku terkesiap. Satu hal lainnya yang kutakutkan ternyata terjadi. Mangkir dari reuni adalah caraku menghindari lelaki itu.

"Oh, ya? Kebetulan aja kayaknya."

Kucoba menampilkan ekspresi biasa, agar mereka tak melanjutkan pembahasan tentang Dika. Nama itu akan membuat semua yang hadir mengingat kami sebagai pasangan paling favorit, di masa putih abu-abu dulu.

"Ngomong-ngomong, lu kerja di mana, Ta?" tanya Meta lagi. "Nggak pernah ada kabar tentang dirimu sama sekali, deh."

"Gue pengacara."

"Pengangguran banyak acara maksudnya?" kali ini Winda yang bertanya.

Aku tak menjawab. Biarlah ia menyangka demikian. Toh, tak ada gunanya menjelaskan ke orang seperti Winda, bahwa statusku memang juga pengacara di salah satu kantor lawyer ternama negeri ini, 'kan?

"Pantesan dandanan lu biasa aja, Ta. Kenapa nggak pakai baju yang kerenan dikit, sih?" Entah suara siapa itu, aku malas memperhatikan.

"Iya, Ta. Kalau nggak ada, gue pinjemin, deh. Emangnya semenyedihkan itu nasib lu? Bahkan cincin sebiji aja lu nggak pakai. Nggak sanggup beli, ya?" Lagi-lagi entah itu suara siapa.

Aku menunduk. Memainkan dua tangan yang satu pun jemarinya tak berhiaskan emas permata. Niar merangkul bahuku. Gadis itu tetap diam, seperti yang aku minta sebagai syarat untuk mau hadir reuni.

"Iya, sih. Gue semiskin itu. Sampai nggak sanggup beli emas." Seutas senyum getir kuperlihatkan pada mereka.

"Arta maunya mas Jawa."

Semua yang duduk di sana tertawa mendengar ucapan Mira.

"Jadi, karena Dika bukan orang Jawa, makanya nggak berhasil bawa Arta ke pelaminan, ya?" kali ini Winda yang bicara. Suaranya terlalu keras hingga beberapa orang yang duduk di sudut lain memandang kami. Salah satu dari mereka kemudian berdiri, berjalan mendekat ke arah tempat dudukku. Dika.

Lelaki itu menatap tajam padaku. Membuat Mira, Winda, Meta, dan Niar bangkit. Mereka pindah ke sudut lainnya dan membiarkanku sendiri, dan memberi ruang untuk Dika.

"Hai, Ta. Apa kabar?"

"Baik."

"Akhirnya aku bisa lihat kamu lagi. Udah berapa tahun kita nggak ketemu, ya?"

"Sepuluh."

"Wah, aku seistimewa itu, ya? Sampai kamu pun ingat kapan terakhir kita ketemu."

Sebenarnya perutku mual mendengar kalimat yang Dika ucapkan.

"Jelas aja aku ingat malam di saat ibumu menghina dan memperlihatkan penolakan, karena aku cuma gadis miskin yang tak sesuai harapannya."

Dika diam sejenak, lalu menghela napas dan mulai bicara kembali.

"Maaf, aku nggak pernah berpikir Ibu akan memperlakukanmu seperti itu."

"Nggak apa. Udah lewat juga."

Hening beberapa menit, hingga terdengar musik mengalun. Beberapa orang di antara teman-teman mulai menari bersama. Tak peduli pria atau wanita, dan sudah menikah atau belum. Ini satu hal lainnya yang kubenci dari acara reuni. Banyak batasan yang rawan dan bahkan sering dilanggar.

"Kamu udah nikah?" Dika tiba-tiba memecah keheningan di antara kami.

Aku menggeleng. Lelaki itu menatap tajam. Membuatku jengah dan ingin segera meninggalkan tempat ini.

"Kenapa?" Dika bertanya lagi.

"Nggak laku kayaknya," jawabku asal yang disambut gelak tawa Dika. Mira dan teman-temannya bahkan sampai menoleh memperhatikan kami di tengah aktivitasnya menari. Ada banyak tanya yang terlihat jelas di raut wajah mereka.

"Bisa aja kamu, Ta. Seorang Arta Intan Sari yang cantiknya diakui sejagat, mana mungkin nggak laku? Kamu aja kali yang pemilih."

Seutas senyum kembali kulempar pada lelaki itu, masih dengan kegetiran yang sama.

"Aku udah takut buat milih, karena sepuluh tahun lalu justru dicampakkan oleh satu-satunya orang yang kupilih."

"Kok, gitu ngomongnya? Kamu nyindir aku?"

"Nggak perlu sindiran untuk sesuatu yang jelas-jelas itu fakta."

Dika masih ingin bicara, tapi urung saat tiba-tiba musik berhenti dan diganti suara pembawa acara. Sosok di panggung itu menyampaikan bahwa sudah tiba saatnya acara beralih pada lelang amal. Hasilnya akan digunakan untuk membangun lapangan basket dan laboratorium sekolah kami yang sudah tak layak pakai.

Aku dan Dika menyimak acara lelang dalam kebisuan. Laki-laki yang duduk di sebelahku ini sudah mengeluarkan uangnya dua juta rupiah untuk satu kaos bertuliskan nama sekolah kami. Benda itu dilelang pertama kali. Setelahnya ada beberapa benda lain yang mencapai nilai lelang masing-masing sepuluh juta rupiah. Dana yang terkumpul sudah seratus lima puluh juta rupiah.

"Teman-teman, kini tiba benda terakhir yang akan dilelang. Sebuah lukisan yang menampakkan sekolah kita dari sudut paling menakjubkan. Dibuka dengan harga lima juta rupiah. Siapa yang akan memberikan tawaran pertama?"

Sebuah lukisan dibawa ke atas panggung. Cukup indah. Sepertinya cocok kalau kuletakkan di perpustakaan kantor. Pemikiran itu membuatku tersenyum lagi, kali ini tanpa rasa getir seperti sebelumnya.

"Kenapa senyum-senyum?" Dika ternyata sedang menatapku dengan pandangan tajam.

"Eh, i-itu ... aku hanya teringat sesuatu yang lucu tentang sebuah lukisan."

Dika tak bereaksi mendengar kalimatku. Ia membuang pandangnya ke arah panggung.

Satu persatu teman-temanku memberikan penawaran. Hingga lima belas menit, angka tertinggi diberikan oleh Angga. Lima puluh juta rupiah. Pembawa acara mulai menghitung. Jika sampai hitungan ke lima tak ada yang memberi nilai lebih, maka lukisan itu akan jatuh ke Angga.

Salahkah jika aku ingin memiliki lukisan itu? Tidak, aku bukan egois atau ingin pamer kekayaan. Ini tidak lebih sebagai kontribusi di acara lelang kali ini, selain memang sudah jatuh cinta pada lukisannya.

Tepat saat pembawa acara menyebutkan hitungan ke empat, aku berdiri dan mengangkat tangan. Dika terkejut menatapku, juga Mira dan hampir seluruh yang hadir.

"Arta Intan Sari. Berapa tawaran yang akan diberikan?"

"Seratus lima puluh juta."

Hening. Semua mata menatapku tak percaya. Termasuk Dika yang kini mulutnya setengah terbuka. Aku ingin lihat, bagaimana sikap mereka setelah ini pada seorang Arta. Gadis yang dianggap miskin karena tak memakai perhiasan di tubuhnya.

***

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status