"Jangan cari alasan lagi! Aku memang bukan orang kota seperti kalian, jadi nggak terbiasa makan makanan dari luar. Aku ini lebih tua dari kalian lho. Apa salahnya minta kamu buatkan sarapan sekali saja? Kalau kamu nggak mau, aku akan pergi mencari ibu mertuamu dan mengadu!"Sambil berbicara, dia mulai mengeluh. Kadang bilang kepalanya sakit karena marah, kadang bilang dia lapar. Mendengar ini, orang-orang langsung berdiri dan mulai menyalahkan Irene.Irene melihat wajah-wajah menyebalkan mereka. Sepertinya mereka ini sudah biasa saling mendukung dan menggunakan jumlah untuk menindas orang lain."Kamu ingin makan sarapan buatan rumah, 'kan? Ya sudah, aku akan minta Jeremy buatkan. Tunggu sebentar.""Bukan itu maksudku! Kamu nggak ngerti ya? Aku minta kamu yang masak, bukan Jeremy! Laki-laki itu tugasnya cari uang, perempuan itu tugasnya di dapur, itu sudah hukum alam!""Oh, aku paham kok. Tapi ...." Irene tersenyum tipis. "Di rumah kami, aku yang penghasilannya lebih besar daripada Jere
Chyntia berkeliling terlebih dahulu, lalu tersenyum menyapa para kerabat yang hadir.Setelah itu, dengan tangan terlipat di depan dada, dia menghampiri Irene dan berkata, "Irene, bukannya aku mau komentar, tapi rumah ini berantakan sekali. Kamu nggak beberes sedikit?"Irene sudah mencoba, tetapi setiap kali rumah dibereskan, kondisinya malah lebih kacau dari sebelumnya, bahkan hanya butuh waktu kurang dari 30 menit.Chyntia melanjutkan, "Orang yang nggak tahu pasti mengira kalian pemalas banget. Lihat tuh lantainya, ada lumpur. Meja penuh barang, baunya juga nggak enak. Gimana saja sih? Waduh, handuk ini sudah hitam begini, masih disimpan buat apa? Buat lap toilet ya?"Wanita tua itu datang sambil menarik handuk itu, "Kenapa kamu pegang handuk cuci mukaku?"Chyntia langsung terdiam."Pokoknya, besok pesta ulang tahun Ibu yang ke-80. Kalau kita sendiri yang lihat rumah kotor dan berantakan, masih bisa dimaklumi. Tapi kalau orang luar yang lihat, kalian yang malu. Lebih baik diperhatikan
Nadine segera membuka laptopnya. Kamar miliknya dilengkapi dengan kamera pengawas. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menemukan rekaman hari ini.Setelah memperbesar tampilan, dia langsung mengenali siapa pelakunya, cucu kesayangan Vera.Nadine langsung turun ke lantai bawah. Vera sedang menonton TV, sementara orang tua si anak duduk di sofa dan makan buah sambil bermain ponsel masing-masing. Anak itu tengah bersiap menghancurkan puzzle milik Jeremy yang sudah diberi bingkai.Mata Nadine menyipit. Saat anak itu hendak menarik puzzle, dia dengan sigap merebutnya. "Kamu masuk ke kamarku, 'kan? Di mana barang di mejaku? Sebelum terlambat, cepat kembalikan."Ekspresi Nadine serius, suaranya sedingin es. Usia anak itu sekitar 5 atau 6 tahun, jadi sudah cukup besar untuk membaca situasi. Melihat wajah Nadine yang tegas, dia tahu situasinya serius. Setelah berpikir sejenak, tiba-tiba ...."Huwee!" Dia menangis sekencang-kencangnya."Ya ampun! Kok tiba-tiba nangis? Jangan nangis. Kalau ada y
"Selain itu, kenapa kalau dia mengambilnya? Bukankah itu cuma beberapa lembar kertas tak berguna? Kamu mau memukul atau membunuh dia? Katanya kaya, kenapa begitu perhitungan dengan anak kecil?""Lihat, dia sampai ketakutan seperti ini! Kesehatan anakku kurang baik. Di masa depan, dia akan masuk universitas ternama. Gimana kalau matanya rusak karena nangis?"Nadine hanya menonton wanita itu bersandiwara, lalu tersenyum dingin. "Sepertinya aku nggak pernah bilang kalau yang dia ambil itu kertas, 'kan?"Tubuh wanita itu langsung tegang. Sementara itu, Jeremy dan Irene mulai panik."Barang-barang di kamar Nadine itu bukan sembarang kertas, semuanya adalah dokumen penting! Selain itu, Nadine nggak pernah sembarangan menuduh orang. Kalau dia bilang anakmu ambil, pasti ada buktinya. Jadi, lebih baik kalian suruh dia kembalikan biar masalah ini selesai."Wanita itu sama sekali tidak mau mendengarkan. "Kalian kira kalian raja! Hari ini, aku akan buktikan kalau bukan anakku yang ambil. Aku nggak
Sungguh nyaring."Sebelum kita pergi, apa yang Nenek katakan? Harus patuh, nggak boleh sembarangan ambil barang orang lain! Apa kamu hanya menganggapnya angin lalu? Cepat kembalikan sekarang juga! Apa kamu sudah bosan hidup dan mau masuk penjara? Anak nggak tahu aturan!"Wanita tua itu bergerak dengan cepat, langsung memarahi setelah memukul. Semua orang belum sempat bereaksi.Anak itu tertegun, begitu juga orang tuanya. Bahkan, Nadine juga terdiam di tempat."Huwe .... Nenek memukulku! Huhuhu ...." Anak itu akhirnya sadar dan langsung menangis keras di tempat. Kali ini benar-benar menangis, tanpa dibuat-buat."Aku nggak ambil! Aku juga nggak tahu barang itu di mana!""Coba ulangi lagi? Aku bisa menghajarmu sampai mati!" Wanita tua itu semakin marah dan cemas."Nggak mau bilang! Aku nggak mau bilang!""Berani-beraninya kamu melawan! Cepat kembalikan barang itu!" Wanita tua itu sangat serius kali ini. Dia memukul pantat anak itu beberapa kali.Di tengah keributan, pria dan wanita itu me
Nadine membuka pintu, lalu melangkah keluar dan memanggil dengan hati-hati, "Kak?"Pria itu menoleh. Detik berikutnya, matanya memancarkan kegembiraan, "Nadine?"Ternyata benar itu Aditya, putra tunggal Jonny dan Riana.Dia tidak membawa payung, kausnya sudah basah sebagian dan ujung rambutnya terus meneteskan air. Nadine segera mengeluarkan tisu dan menyerahkannya."Lap dulu. Sekarang memang musim panas, tapi rambut basah bisa menyebabkan masuk angin.""Terima kasih." Aditya menerima tisu itu, lalu mulai mengelap sambil berkata dengan penuh rasa syukur, "Kamu masih sama seperti dulu, perhatian dan baik hati."Toko buku ini terhubung dengan mal di sebelahnya. Karena sudah bertemu dan hujan masih turun, mereka memutuskan untuk makan siang bersama.Nadine menelepon Irene untuk mengabari bahwa dia tidak akan pulang makan siang. Irene hanya bertanya sedikit, lalu menutup telepon.Di restoran, musik merdu yang mengalun pelan membuat suasana hari hujan yang suram menjadi lebih cerah. Mereka
Hidangan segera tersaji. Selama makan, ponsel Aditya terus berdering. Yang dibahas adalah urusan bisnis.Setelah akhirnya ada jeda, dia menatap Nadine dengan penuh penyesalan. "Kemarin di pesta ulang tahun Nenek terlalu sibuk, jadi aku nggak sempat menyapamu.""Nggak apa-apa."Aditya adalah cucu tertua Keluarga Wicaksono, sekaligus satu-satunya laki-laki di generasi mereka. Jadi, wajar jika dia harus banyak berinteraksi dengan orang lain."Kudengar kamu sekarang sedang mengambil program pascasarjana di Universitas Brata? Kebetulan aku juga di Kota Juanin. Kalau ada yang perlu dibantu, hubungi saja aku. Nomor ponselku masih yang lama. Kamu masih punya, 'kan?""Ada, ada." Nadine buru-buru mengangguk. "Terima kasih, Kak.""Kamu jadi lebih sungkan sekarang," ujar Aditya.Nadine membalas, "Bukan sungkan, tapi sopan."Aditya terkekeh-kekeh."Kak, sekarang kamu kerja apa di Kota Juanin?"Aditya mengambil makanan sebelum menjawab, "Aku dan beberapa teman membuka perusahaan rumah pintar. Fokus
Nadine duduk di sofa dan merentangkan kedua tangannya sambil bersandar. Setelah menghela napas lega, dia berucap, "Akhirnya rumah ini kembali terasa seperti rumah.""Tentu saja." Jeremy tertawa ringan. "Tiga petugas kebersihan yang mengerjakannya dari lantai atas sampai lantai bawah. Mereka menghabiskan 3 jam dan diawasi ibumu. Nggak ada satu pun sudut yang terlewatkan."Membahas tentang Irene ...."Eh, Ibu di mana?" Nadine melirik ke kiri dan kanan."Tadi masih nonton TV di sini. Kenapa tiba-tiba hilang?"Saat ini, Irene keluar dari ruang kerjanya dengan memegang ponsel. Wajahnya memerah dan matanya berbinar-binar karena semangat."Meledak!""Hah?" Jeremy kebingungan."Apa yang meledak?" tanya Nadine yang juga heran.Irene menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan diri. "Buku baru! Bukuku yang baru!"Hugo bergerak dengan sangat cepat. Setelah pertemuan merek di Kota Juanin beberapa waktu lalu, Hugo langsung mengatur segala hal terkait penerbitan.Pertama adalah promosi awal
Bahkan, Jinny tidak panik meskipun nilai rata-rata ujian akhirnya hanya 70 dan ada beberapa mata kuliah yang nilainya pas-pasan. Toh dia memang tidak ambil pusing soal itu. Untuk apa capek-capek mikirin hal yang bukan prioritas?Sebagai perempuan, kuliah tinggi-tinggi, mengejar gelar dari kampus top, pada akhirnya tujuannya hanya untuk menikah dengan pria mapan dan hidup enak.Saat ini, dia duduk di antara Nella dan Clarine. Wajahnya tenang, tidak terburu-buru, seolah-olah dia hanya penonton yang tidak terlibat.Nella tahu Jinny punya pacar tajir dan sekarang tidak peduli lagi pada urusan akademik. Wanita ini hanya ingin menikah dengan pria kaya.Nella paling jijik dengan tipe-tipe perempuan yang hanya mengandalkan pria kaya dan ingin hidup sebagai istri manja.Namun, yang membuatnya bingung adalah Eden juga terlihat santai seperti Jinny. Laboratorium mereka sedang dalam masa perbaikan. Selain Diana, orang yang paling panik seharusnya adalah Eden!Beberapa topik riset penting yang dita
Diana menantang, "Pergi saja! Kalau aku kena masalah, kamu juga bakal kena batunya!"Clarine membalas, "Siapa takut ...."Diana menyipitkan mata. "Clarine, kayaknya kamu lupa gimana dulu bisa keterima S2?"Langkah kaki Clarine langsung terhenti.Diana tertawa kecil. "Aslinya kamu itu nggak lulus tes. Kalau bukan karena aku buka jalan untukmu, kamu pikir kamu bisa berdiri di sini hari ini?""Silakan saja kalau kamu mau lapor, aku nggak akan halangi. Pokoknya kalau harus jatuh, kita jatuh bareng. Kalau aku dipecat, kamu yang masuk pakai cara kotor dengan sogok sana sini juga bakal kena. Bagus, 'kan?"Clarine sampai gemetar karena marah. "Dasar nenek sihir jahat!""Jahat?" Diana mendengus. "Kita sama saja."Tanpa nilai tambahan dari proyek, nilai akhir semester Clarine benar-benar menyedihkan. Dia gagal di tiga mata kuliah. Nilai mata kuliah lainnya pun rata-rata cuma 70-an. Kalau orang lain tahu, dia bisa ditertawakan. Bahkan nilai Kaeso si penjilat itu pun lebih bagus dari dia!Setiap k
Selain itu, laboratorium atas nama Diana dilaporkan karena tidak memenuhi standar keselamatan kebakaran dan terpaksa menjalani perbaikan.Sampai sekarang pun perbaikannya belum juga disetujui. Selama masa itu, sudah pasti tidak mungkin ada hasil akademik apa pun. Jadi, dalam rapat kali ini, tim Diana jauh lebih sunyi dibanding sebelumnya.Kaeso yang biasanya setiap rapat selalu menyeringai sinis, kali ini justru diam seperti ayam di kandang.Wajah Clarine pun tampak masam. Karena laboratorium sedang dalam proses perbaikan, proyek riset yang sebelumnya susah payah dia rebut dari Diana juga ikut menguap.Saat dia mencoba meminta Diana mengaturkan proyek lain, dia malah langsung disemprot habis-habisan."Proyek! Proyek! Aku juga ingin proyek! Sekarang labku harus diperbaiki, semua proyek mandek. Terus, aku harus cari di mana buat kamu?""Lagi pula, kalaupun aku punya proyek, kamu yakin sanggup mengikuti ritmenya dan menghasilkan sesuatu yang konkret?""Jangan serakah kalau nggak sanggup!
Nadine sempat termangu, lalu tertawa geli. "Ada! Tentu saja ada! Aku kasih ke kamu, kamu bantu kasihkan ke dia ya?""Oke, oke!"Nadine mengambil beberapa kaleng lagi dan meletakkannya di mobilnya."Hehe. Kak Nad, kamu baik banget!""Aku rasa kamu dan Darius cocok juga." Usai mengatakan itu, Nadine turun dari mobil, lalu menarik koper dan berjalan menuju gedung apartemen.Mikha sama sekali tidak menyadari nada menggoda dalam ucapan tadi. Dia mengeluarkan ponselnya dengan gembira."Halo! Darius! Kamu di apartemen nggak? Aku bawain dendeng dan saus daging sapi buat kamu! Ya, dari Kak Nadine."Di seberang sana, Darius menyahut, "Ya, aku di apartemen. Kamu datang saja.""Oke deh! Aku bakal sampai dalam 20 menit.""Hm, hm."Setelah menutup telepon, Darius segera berlari turun, mengenakan jaket, dan mengganti sepatu. "Nenek, siang ini aku nggak makan di rumah, malam ... malam juga nggak pulang!""Kamu mau ke mana?""Balik ke apartemen!""Eh? Bukannya sudah janji makan di sini hari ini?"Dariu
Terutama Safir, selama dua hari ini tinggal di vila, matanya sudah membaik, pinggang juga tidak sakit lagi. Sepanjang hari dia tersenyum, makannya juga lahap sekali.Corwin sampai memanggil dokter pribadi, sopir, serta pengawal kemari. Sepertinya, mereka sudah siap untuk tinggal lama di sini.Irene sempat khawatir Jeremy tidak terbiasa. Hasilnya ...."Terbiasa dong! Kenapa nggak? Ibu bisa tanam bunga dan sayur bareng aku, Ayah juga bisa main catur sama aku."Sebelumnya, dia justru bingung apa yang harus dilakukannya selama liburan musim dingin. Irene kebanyakan menghabiskan waktu di ruang kerja untuk mengetik. Namun, sekarang Jeremy bukan hanya punya partner bercocok tanam, tetapi juga teman bermain catur.Irene hanya bisa tersenyum. Sepertinya dia yang berpikir terlalu jauh.Jeremy pun terkekeh-kekeh melihat istrinya. "Hehehe."Nadine hanya tinggal dua hari. Hari ketiga, dia langsung balik ke Kota Juanin. Eksperimen belum selesai, tesis juga harus dikejar sebelum tahun baru.Seperti o
Rebut? Stendy langsung tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, harus yakin bisa direbut juga."Paulus berkata, "Kalau nggak coba, bagaimana bisa tahu nggak bisa direbut?""Kenapa? Kamu ingin merebut Bibi Irene? Hah. Kamu harus bisa melewati Kakek dan Nenek dulu," kata Stendy.Paulus yang tidak tahu harus bagaimana menanggapinya pun langsung menatap Stendy dengan tajam. "Wanita mana yang sebenarnya sudah meninggalkanmu? Coba ceritakan."Stendy pun terdiam."Bukankah tadi kamu begitu pandai melawan? Kenapa tiba-tiba jadi diam?" sindir Paulus."Kamu juga nggak kenal," jawab Stendy.Paulus juga tidak bertanya lebih lanjut lagi, melainkan mengangkat gelasnya. "Sini. Kita jarang bisa bertemu seperti ini, ayo kita minum."Klang.Setelah mengatakan itu, keduanya bersulang dan menelan kembali kekhawatiran masing-masing.Saat malam makin larut. Stendy yang sudah minum cukup banyak pun pandangannya mulai kabur. Sebaliknya, Paulus yang sudah minum banyak pun ekspresinya tetap terlihat sadar dan tang
"Apa? Pria berengsek ini begitu hebat? Datang ke bar untuk mabuk pun sampai bawa pengawal?" kata gadis itu."Mana tahu," jawab temannya.....Stendy sengaja meminta dua pengawal untuk mendekat. Setelah telinganya akhirnya tenang, dia kembali menuangkan segelas minuman untuk dirinya lagi. Namun, kali ini dia tidak minum dengan liar seperti semalam lagi, melainkan meminumnya perlahan-lahan dan ekspresinya datar. Pada saat itu, pandangannya tiba-tiba berhenti dan fokus pada tempat duduk yang tidak jauh darinya.Saat menyadari ada orang yang mengamatinya, Paulus melihat ke arah yang sama dan ternyata matanya bertemu dengan mata anaknya. Suasananya menjadi hening sejenak dan keduanya langsung mengalihkan pandangan mereka.Setelah berpikir sejenak, Stendy membawa botol minuman dan mendekati tempat duduk Paulus. Dia langsung duduk di samping ayahnya dan bertanya, "Wah, datang buat minum ya?"Paulus melihat ke sekeliling sekilas dan berkata, "Omong kosong."Jika datang ke bar bukan untuk minum
Kini, Paulus dan Aileen bukan pasangan masa kecil seperti sebelumnya lagi. Mereka sudah memiliki pasangan masing-masing dan kehidupan yang berbeda."Kamu masih ingat saat masih kecil kita berdoa akan menjadi apa kalau sudah besar?" tanya Paulus yang memecah keheningan.Irene menganggukkan kepala. "Ingat. Kamu suka astronomi, jadi kamu ingin masuk ke Badan Antariksa Nasional."Paulus tersenyum pahit. "Kalau sekarang dipikir-pikir lagi, dulu kita benar-benar bodoh dan polos. Kita selalu merasa impian bukan impian, tapi kehidupan yang bisa dicapai. Pada akhirnya, aku tetap mengambil alih bisnis Keluarga Sanjaya dan menjadi pewaris yang diharapkan orang tua."Irene tersenyum. "Aku lihat di berita, sekarang bisnis Keluarga Sanjaya berkembang pesat. Nggak seperti 20 tahun yang lalu lagi, kamu sangat sukses sekarang."Mendengar perkataan itu, Paulus ingin berkata dia kehilangan Irene. Dia sudah membuka mulut, tetapi akhirnya memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa. Setelah itu, dia mulai me
Paulus melambaikan tangannya. "Nggak perlu, aku ambil sendiri saja ....""Nggak perlu sungkan, kita ini sekeluarga," kata Jeremy yang langsung menyendokkan dua sendok besar nasi putih sebelum Paulus sempat selesai berbicara."Sayang, lihatlah, Adik Ipar begitu perhatian. Pantas saja Irene bisa jatuh cinta pada dia," kata Inez.Inez tetap tersenyum saat mengatakan itu, tetapi menatap suaminya dengan tatapan menyindir. Namun, Paulus hanya menundukkan kepala dan makan, sama sekali tidak peduli dengan ucapannya. Dia marah sampai menggertakkan giginya, tetapi dia tetap tidak bisa menunjukkan emosinya dan hanya bisa menarik napas dalam-dalam untuk menahan dirinya.....Setelah makan siang, Jeremy membereskan mejanya dan mencuci piring bersama Nadine.Irene juga tidak bisa tinggal diam saat suami dan anaknya mencuci piring, sehingga dia mengelap meja dan mengupas buah.Sementara itu, kedua orang tua duduk di sofa dan menonton TV. Stendy sudah pamit terlebih dahulu setelah selesai makan, sehin