Arkan duduk di selasar panjang menunggu dokter memeriksa keadaan Jessie. Ia terus berdoa agar istrinya bisa selamat, tidak akan rela jika dirinya ditinggal begitu saja.
"Kamu harus selamat atau aku tidak akan pernah memaafkanmu, Jes!"
Arkan mengusap kasar wajahnya kemudian menghempaskan punggung ke sandaran kursi. Matanya memerah, buliran kristal bening masih luruh dari pelupuk mata. Arkan mengeluarkan ponselnya, ia mendial nomor kakaknya.
"Kak, Jessie kambuh tidak sadarkan diri!" ujar Arkan begitu panggilan itu dijawab kakaknya.
-
--Di sisi Lain, Alesha sedang menyiapkan sarapan untuk suami dan putrinya, hingga Lala tampak menuruni anak tangga dengan berteriak memanggil ibunya.
"Mi! Om Arkan, Mi!" teriak Lala berlarian kecil menghampiri Alesha.
"Ya ampun, La! Pagi-pagi kok udah lari-larian!" Alesha langsung menangkap tubuh mungil putrinya.
"Om Arkan, Mi!" Lala menunjukkan ponsel Alesha di mana panggilan Arkan masih terus
Tempat itu terlihat putih, sejauh mata memandang hanya ada warna putih dengan cahaya yang begitu menyilaukan. Jessie menatap jauh ke arah depan, ia tidak melihat siapapun di sana kecuali perasaan damai dengan angin yang berembus menerpa wajahnya.Jemari kecil menggenggam tangan Jessie, membuat wanita itu menoleh dan melihat ke arah bawah. Seorang gadis kecil tersenyum hangat padanya, ia bisa melihat betapa miripnya gadis kecil itu dengan Arkan."Mami," sapanya.Mata Jessie terlihat berkaca, mendapat sebutan 'mami' membuatnya ingin menangis karena terharu. Ia pun berjongkok menatap gadis kecil itu, menyematkan helaian rambut yang menutupi wajah mungil gadis itu."Mami, papi minta agar Mami bangun," ucap gadis kecil itu.Jessie menggelengkan kepala, ia menepuk pelan kedua lengan gadis kecil itu dengan senyum getir di wajahnya."Tapi Mami harus ke sana!" Jessie menunjuk sebuah cahaya putih yang begitu menyilaukan mata, gadis kecil itu juga ikut menol
Alesha, Tian, dan Finlay langsung naik taksi menuju rumah sakit tempat Jessie dirawat begitu mereka mendarat di Amsterdam. Ketiganya butuh waktu hampir setengah jam untuk menuju rumah sakit.Sepanjang perjalanan tidak ada yang bisa duduk dengan tenang, mereka benar-benar mengkhawatirkan keadaan Jessie. Alesha terus menatap pada sisi jalanan di mana hamparan tanah lapang dengan beberapa bunga tumbuh liar di sana, sungguh perjalanan yang begitu memanjakan mata jika mereka datang dengan rasa bahagia. Namun, sayangnya mereka datang karena sebuah kesedihan dan kepedihan yang sedang melanda.Alesha berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit setelah mencari tahu kamar inap Jessie dari pihak customer service. Ia langsung membuka pintu yang dimaksud dan mendapati Arkan tengah menyuapi Jessie."Ar!"Arkan dan Jessie sama-sama menoleh ke arah pintu, mereka tersenyum bersama ketika melihat Alesha, Tian, dan juga Finlay ada di sana."Kak!" Arkan bangun dan me
Selama Jessie dirawat, Baik Arkan, Alesha, Tian, dan Finlay menjaganya secara bergantian. Mereka tidak membiarkan Jessie sendirian meskipun sedang tidur.Arkan memeras washlap, ia ingin membersihkan tubuh Jessie karena istrinya mengatakan jika merasa tidak nyaman. Dengan telaten Arkan mengusap wajah Jessie kemudian turun hingga leher, ia bahkan mengusap area dada hingga perut Jessie. Arkan menyentuh permukaan kulit Jessie dengan jemarinya, perut istrinya semakin membesar karena umur kandungan Jessie sudah memasuki umur tujuh bulan, ia melihat pergerakan kecil ketika jemarinya menyentuh garis halus di perut Jessie."Dia bergerak, Jes!" Arkan menatap Jessie dengan mata berbinar."Sepertinya dia sangat menyukaimu," ucap Jessie yang langsung disambut seulas senyum oleh Arkan.Arkan kembali mengusap dengan lembut tubuh Jessie sebelum akhirnya membantu istrinya berganti piyama. Ia duduk di tepian ranjang menatap wajah Jessie yang masih saja pucat meski kondis
Alesha menemani Alvin beristirahat di hotel, bagaimanapun ia sudah mengabaikan suaminya demi menjaga adik dan adik iparnya, akhirnya malam ini Alesha memilih kembali ke hotel, lagi pula sudah ada Tian dan Finlay yang menemani Arkan."Kamu mikirin apa?" tanya Alvin yang melihat istrinya melamun.Alvin langsung berbaring berbantalkan paha Alesha, meraih tangan istrinya untuk memijat kepala."Mikirin Jessie, kenapa aku merasa jika sebenarnya dia sudah tidak hidup," jawab Alesha yang langsung menatap pada Alvin.Alvin terkesiap dengan ucapan sang istri, ia sampai mengernyitkan dahi karena tidak mengerti dengan apa yang dimaksud oleh ucapan Alesha."Tidak hidup bagaimana?" tanya Alvin."Entahlah, hanya merasa jika tubuh Jessie tidak seperti orang pada umumnya, ketika dia mengucapkan kata kematian langsung membuat bulu kudukku merinding," ujar Alesha seraya mengedi
Jessie melirik pada Arkan yang sedang berjongkok di samping ranjang, ia tengah membersihkan sesuatu di sana. Karena kondisi Jessie yang lemah membuatnya harus menggunakan selang untuk buang air kecil, kini Arkan sedang membersihkan kantung yang sudah penuh. Jessie merasa malu dengan hal itu, bagaimanapun sudah seharusnya dirinya yang melayani suaminya, tapi kini dirinyalah yang dilayani oleh Arkan."Ar, itu pasti menjijikkan," kata Jessie lirih, ia sampai memejamkan matanya ketika bicara.Arkan menengok ke atas dengan seutas senyum, ia kemudian membalas ucapan istrinya, "Tidak juga, bukankah ini yang namanya hidup semati, aku akan ikut merasakan kesusahan yang sedang kamu alami. semua kita tanggung bersama. Ingat itu!"Arkan berdiri kemudian berjalan menuju kamar mandi untuk membuang apa yang baru saja dikeluarkan dari kantung. Arkan keluar dari kamar mandi setelah benar-benar membersihkan tangan sebelum menyentuh Jessie, bagaimanapun kebersihan sangat diutam
Arkan duduk menatap pintu ruang operasi, kedua telapak tangannya tampak menutup sebagian wajah, matanya terlihat merah karena menahan amarah dan rasa sakit serta kekecewaan."Berikan kami keajaiban, aku mohon berikan kami keajaiban!" Arkan terus bergumam dengan kedua kaki yang digerakkan untuk menutupi rasa gugup.Alesha menatap adiknya, ia tahu jika Arkan benar-benar sedang berada dalam kebimbangan. Ia ikut berdoa untuk adik iparnya, semoga saja bayi dan Jessie bisa keluar ruangan dengan keadaan selamat dan sehat.Lampu indikator pada pintu ruang operasi terlihat menyala berwarna hijau, menandakan jika tindakan operasi telah selesai. Arkan langsung berdiri dan menghampiri dokter yang baru saja keluar, ia benar-benar merasa cemas dengan keadaan sang istri."Bagaimana keadaannya?" tanya Arkan langsung.Dokter itu menatap Arkan, kemudian menatap anggota keluarga lainnya. Sepertinya pria itu membawa kabar buruk dan baik bagi Arkan."Kami sudah
Selagi Arkan masuk melihat keadaan Jessie, Alesha dan Alvin memilih melihat keadaan keponakannya. Mereka diantar perawat menuju ruangan khusus tempat perawatan bayi itu."Karena prematur, bayi ini harus masuk inkubator sampai kondisi tubuhnya mencapai batas normal bayi pada umumnya," ujar perawat itu.Alesha mengangguk mengerti dan berterima kasih pada perawat itu. Alesha menatap bayi Jessie yang sangat kecil karena berat badannya hanya satu koma lima kilogram dengan beberapa alat penunjang pada tubuhnya. Alesha menyentuhkan tangan di atas kaca bagian atas yang menutup dan melindungi bayi itu."Dia sangat mungil dan lucu," ucap Alesha yang tidak bisa mengalihkan tatapan dari bayi Jessie, matanya terlihat berbinar bahagia menyambut kehadiran keponakannya di dunia."Iya, lihat pipinya yang merah." Alvin yang berdiri di belakang sang istri menimpali ucapan Alesha, pria itu ikut menatap bayi mungil yang masih memejamkan mata."Hidungnya sangat mirip Arkan,
Hari itu menjadi hari terkelam bagi Arkan, hujan seakan tahu kesedihan yang tengah dirasakan pria itu. Begitu tanah menutup makam Jessie dan pusara ditancapkan dengan sempurna, langit menumpahkan genangan air yang sudah tersimpan membentuk awan hitam dilangit.Arkan masih berdiri di depan pusara mendiang istrinya, ketika semua orang berlari mencari tempat berlindung. Hujan menyamarkan air mata yang kembali tumpah, Arkan menatap nama yang tertera di pusara itu, benar-benar nama yang akhirnya ikut terkubur dalam hatinya.'Jika cinta bisa membawa sebuah kebahagiaan, maka cinta juga bisa memberikan sebuah penderitaan'Arkan melangkahkan kakinya meninggalkan pemakaman itu, setiap langkah begitu terasa berat. Beberapa bulan kebersamaan kini hanya sebuah kenangan yang ikut terkubur dengan kepergian sang istri.___Lala menatap Arkan yang baru saja kembali dari pema