Home / Romansa / Takdir Cinta Sang Ahli Waris / 2. Nggak Akan Pernah Berubah

Share

2. Nggak Akan Pernah Berubah

Author: Y Airy
last update Last Updated: 2024-05-29 22:50:17

Jam istirahat baru saja mulai, tapi Ruben dan Sita sudah dari 30 menit yang lalu mereka beduaan di taman belakang sekolah.

"Ben, apa lo nggak bisa serius sedikit saja dalam pacaran!" pinta Sita.

"Buat apa terlalu serius, kita masih muda, lo nggak berfikir mau nikah muda kan?" jawab Ben memainkan rambut Sita.

"Ya nggaklah, siapa juga mau nikah muda," jawab Sita.

Mereka duduk bersandar di kursi taman, tangan Ruben merangkul pundak Sita. Melanie melihatnya, tapi dia diam saja dan malah menyingkir, tentu, untuk apa marah, dirinya dan Ruben hanya berteman. Tetapi beda dengan Andien, ia langsung saja melabrak ke sana.

"Ben, gue cari-cari dari tadi rupanya lo di sini, ini lagi!" kata Andien menarik lengan Sita menjauh dari Ben, "Ngapain sih lo nemplok-nemplok ke Ruben!" tambah Andien.

Sita melempar tangan Andien dari dirinya lalu berdiri.

"Suka-suka gue dong, gue kan sekarang pacaran sama Ruben!"

"Apa! Ben itu masih pacar gue!"

"Mantan mulai sekarang!"

Andien menatap cowo bermata abu-abu itu.

"Ben, loe nggak bakal mutusin gue gara-gara dia kan?"

"Ya ... kalau lo masih mau jadi pacar gue juga nggak apa-apa, kalian kan bisa sharing!" jawab Ruben enteng.

"Apa!" kata keduanya serempak.

"Nggak, gue nggak mau putus sama lo!" seru Andien.

"Gue juga nggak mau sharing sama lo, enak aja, Ruben itu punya gue sekarang, mendingan lo pergi deh!" suruh Sita.

"Lo aja yang pergi, gue masih ada urusan sama Ben!" balas Andien.

"Lo lama-lama nyolot ya, dasar cewe gatel!" maki Sita,.

"Apa, lo tuh yang gatel, lo rebut Ben dari gue!"

"Gue nggak ngrebut dia, lo aja yang nggak bisa buat dia seneng!"

Mereka adu mulut cukup hebat, dan itu membuat Ben jenuh, akhirnya Ben menyingkir disaat keduanya masih berantem.

Sementara, Melanie duduk di samping Rico dengan wajah lesu, Rico menoleh.

"Eh, kenapa lo, kusut gitu kaya baju belum diseterika!" tanya Rico.

"Aku bingung, kenapa sih temen kamu nggak pernah berubah?"

"Temen gue, temen gue yang mana?" cengir Rico.

"Ben!"

"Yee ... dia temen lo juga!"

Tomi tertawa, "Ruben itu nggak bakalan berubah, sampai bumi berubah rotasinya dia ya gitu-gitu aja, playboy kelas tengiri!"

"Tapi aku nggak bisa lihat dia terus seperti itu, sekarang aja udah begini gimana kalau dewasa nanti!"

"Aduh Mel, kalau lo terus mikirin si Ben, lo bisa stress sendiri!" seru Rico.

"Makan nggak lo?" tawar Tomi.

"Nggak laper!" jawabnya.

***

Sita menunggu Ben di parkiran, tepatnya di samping mobil Ben, sementara Ben dan teman-temannya muncul bersamaan. Sita langsung menggadeng tangannya,

"Ben, gue pulang sama lo ya, tapi ... anterin gue ke mall dulu, ada yang mau gue beli!" pinta Sita.

"Gue mau pulang bareng temen-temen gue!" jawab Ben.

"Sekali-kali nggak pulang bareng kenapa, mereka kan punya mobil sendiri!"

Ruben melirik Melanie, gadis itu tahu harus bagaimana.

"Nggak apa-apa, Ben. Aku pulang bareng Rico sama Tomi!" katanya.

Ben masuk mobilnya diikuti Sita.

Melanie, Rico dan Tomi masih berdiri, "Korban sakit hati lagi, ngomong-ngomong si Andien di kemanain?" tanya Tomi, entah pada siapa!

"Pasti udah kelaut!" jawab Rico.

"Bunuh diri?"

"Berenang!" celetuk Rico memasuki mobil. Melanie mengikuti.

Di dalam mobil, Rico melirik gadis itu yang melamun, "Udahlah Mel, nggak usah terlalu dipikirin, suatu saat dia juga bakal nyadar!"

"Aku hanya berharap dia nggak menyia-nyiakan hidupnya seperti ini!"

"Lo beneran suka sama Ruben?"

Melanie tak menjawab pertanyaan Rico, ia melempar pandangan keluar mobil. Mengamati jalanan luar, ia berfikir, seandainya Ben tahu apa yang dirasakannya selama ini! Entah ... kenapa sejak pertama bertemu ia miliki perasaan sayang yang berbeda pada Ruben di banding teman-temannya.

Ruben menemani Sita menghabiskan waktu di mall, shoping. Namanya juga cewe, tidak akan lepas dari hal itu, dan sebenarnya itu membuat Ben jenuh, hampir semua cewe yang ia pacari akan membawanya ke mall, ke salon, berbeda dengan Melanie, jika ia bersamanya mereka pasti hanya akan makan di lesehan, bercanda dan lebih lama di perpustakaan atau toko buku, meski begitu Ruben merasa lebih senang menemani Melanie ketimbang semua pacarnya. Bukan masalah, dia mengeluarkan uang untuk para pacarnya, hanya ... hal itu membuatnya boring.

"Ben, makasih ya udah nememin gue, ntar malem lo ada acara nggak?" manja Sita yang bergelayut di lengannya.

"Gue ada acara sama temen-temen gue!"

"Nggak bisa dibatalin apa!"

"Ya nggak bisalah, kan kita baru jalan!"

"Gue kan masih pingin jalan sama lo!"

"Masih ada lain waktu kali, udahlah pulang yuk!" katanya berjalan ke parkiran.

***

Di Caffe, "Ben ke mana sih?" resah Melanie.

"Kalau udah sama gebetannya pasti sering telat!" sahut Tomi.

Di caffe itu Melanie menyanyi untuk menyambung hidupnya, dan caffe itu juga tempat nongkrong mereka. Ben datang dan langsung duduk di tempat Tomi dan Rico duduk, sementara Melanie kini sedang menyanyi.

"Akhirnya lo dateng juga, kirain bakalan nungguin anak manja itu!" sinisRico.

"Sita maksud lo!"

"Siapa lagi!" sahut Tomi.

"Fiuuh ...!" sahut Ben.

"Tom, menurut lo berapa lama Sita bakal jadi gebetannya si kadal?" tanya Rico sambil memungut fries, memasukkannya ke mulut.

"Paling besok juga udah dilempar," suara Tomi setengah acuh sambil mendekatkan gelas berisi cairan coklat.

Rico mengangkat satu alis, "Taruhan yuk, lima juta. Sita bakal bertahan lebih dari tiga hari."

Tomi menyunggingkan senyum kecut, "Siapa takut, gue jamin ya ... tuh cewe manja bakal dibuang nggak sampai tiga hari!" yakinnya.

"Semprul!" Ben menoyor kepala dua temannya bergantian, "Enak bener ya ... cewe gue lo jadiin barang taruhan!"

Keduanya terkekeh, "Kek nggak biasanya ajah," sahut Rico.

"Daripada lo, ganti cewe kek ganti khutang!" celetuk Tomi.

"Emang lo pernah pake khutang, Kong?" balas Ben menarik piring fries di depan Rico.

"Boro-boro, Ben. Kan lo tahu dia nih jomblo ngenes...,"

"Males ngurusin cewe, bikin pusing!"

"Bilang ajah, emang nggak laku!" timpal Rico, lalu menatap Ben yang tengah mengamati Melanie.

"Eh, Ben! Kenapa lo nggak pacarin Melanie aja, dia kan jauh lebih cantik!" goda Rico.

"Melanie kan temen gue, nggak lucu kali pacaran sama temen!"

"Siapa tahu aja! Lagian perhatian lo ke dia kadang-kadang juga berlebihan!" Ben tak memyahut, ia menuang minuman ke gelasnya dan meneguknya. Mereka mengobrol sambil minum sembari menunggu Melanie selesai menyanyi. Tapi tampaknya malam sudah cukup larut, Tomi dan Rico pulang lebih awal, itu sudah kebiasaan, Ben selalu menunggu Melanie sampai selesai dan akan mengantarnya pulang. Tapi saat itu tampaknya Ruben terlalu banyak minum hingga mabuk, ia menyandarkan kepalanya di meja, dan mengigau.

"Nenek ... Nek ... jangan pergi!" lirihnya, itu sering terjadi, jika ia mengigau ia akan menyebut neneknya, memang selama ini yang merawatnya di rumah adalah neneknya selagi masih hidup, orangtuanya sangat sibuk bekerja, bahkan jarang di rumah. Dulu ia juga dekat dengan kakaknya, Dennis tapi sejak kakaknya ikut terjun ke dunia bisnis, dia juga jadi ikut sibuk dan jarang di rumah juga.

"Ben!" Melanie menggoyang tubuh Ruben, tapi pria itu tak menyahut, tentu, dia setengah tak sadarkan diri. "Ben, caffenya udah mau tutup, pulang yuk!" ajak Melanie, Ben membuka mata dan mengangkat kepalanya.

"Apa?" tanyanya pelan.

"Mabuk lagi, kalau gini caranya aku yang repot!"

"Mabuk? Siapa yang mabuk, gue cuma minum dikit!"

"Dikit, kamu habis dua botol bilang dikit, kamu gila ya!" seru Melanie marah, ia menarik Ruben ke kakinya dan memapahnya keluar dari caffe. Karena Ruben tak mungkin menyetir sendiri maka ia yang membawa mobil. Sesampainya di rumah Ruben, Melanie membawanya masuk dan menidurkannya di kamarnya, itu sering terjadi. Melanie membuka sepatunya, kemudian membuka jacket lalu menyelimutinya, ia memandang wajah cowo yang kini menjadi bagian dari hidupnya sejenak kemudian bangkit tapi tangan Ruben menariknya hingga ia jatuh ke dalam pelukannya.

"Ben, Ruben, lepasin!" Melanie meronta, tapi Ruben malah makin mempererat pelukannya seperti sedang memeluk guling, tak lama setelah itu terdengar nafasnya yang panjang karena sudah terlelap tapi ... ia masih tak melepas pelukannya.

Akhirnya Melanie pun terlelap di sana.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   44. Mel, Ini Aku (End)

    Ben duduk di dapur di rumah yang dulu ia beli untuk Melanie tinggali. Di setiap sudut rumah itu ada wajah Melanie, ada tawanya, ada senyumannya. Ia jadi tersenyum sendiri mengingat dirinya sedang menunggu hidangan yang dibuat Melanie selesai sambil terus menggodai gadis itu. Tiba-tiba seseorang menepuk bahunya hingga ia terkejut. "Kunyuk loe!" serunya. Rico dan Tomi tertawa. "Loe tuh kadal tengik, senyum-senyum sendiri. Kirain udah normal loe!" samber Rico. "Sialan loe, emangnya gue gila!" "Eh, dia nggak nyadar!" keluh Tomi. "Loe tuh emang sempet gila sehari tahu nggak, nih buat sarapan. Loe belum ngisi perut kan!" tambahnya. Ruben melirik bungkusan McD yang ditaruh Tomi di meja, ia menyambarnya, membuka isinya dan langsung melahapnya. "Thanks! " jawabnya sambil mengunyah. "Kepsek bilang loe tetap boleh ikut UAN bulan depan , mengingat loe murid nomor satu dilihat dari otak!" seru Rico memberitahu temannya. "Kalau dari badung, nomor satu juga!" tambah Tomi. "Eh!" se

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   43. Tak Bisa Tinggal

    Semua orang berkumpul di ruang keluarga, Dennis baru pulang dini hari tadi. Artika meyakinkannya bahwa tak sepenuhnya itu kesalahan dirinya. Kita tidak akan bisa mengulang waktu, yang bisa di lakukan sekarang hanyalah memperbaiki semuanya. Ya, itu benar. Kita tak akan bisa mengulang waktu dan mengubah yang telah terjadi. Handy Wirata, kini mengerti mereka memang lebih mementingkan bisnis bukan putranya. Ia bahkan tak mengenal siapa putranya. Mengingat apa yang terjadi pada Ben pasca meninggalnya melanie ia tahu betapa gadis itu sangat berarti bagi putranya. Dan selama ini gadis itulah yang mengisi kekosongan hidup Ruben. Setelah ini ia tak tahu apa yang akan terjadi, ia khawatir dengan keadaan psikis putra bungsunya. Sementara Erika sibuk mondar-mandir di depan keduanya. "Ma, duduklah!" pinta Dennis. "Apa menurut kalian Ben akan keluar kamar hari ini?" tanyanya cemas. "Ma, melihat dari apa yang terjadi semalam kurasa dia sudah mulai membaik!" jawab Dennis. "Mama takut mengetuk pi

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   42. Bunuh Saja Aku

    Tiga hari setelah kepergian Melanie ....Ruben duduk di lantai kamarnya, duduk bersandar ranjang, kakinya ditekuk, kedua lengannya ia sandarkan pada lutut. Pandangannya kosong, sesekali air mata turun menggelinding melewati pipinya. Sudah tiga hari setelah pulang dari makam ia seperti itu. Ia berada di kamar itu pun karena Rico dan Tomi yang membawa tubuhnya. Dia pingsan saat berdiri setelah terlalu lama duduk di samping makam Melanie, tak mengucapkan apa pun selain Al- Fatihah dan nama gadis itu yang terucap puluhan kali. Hingga detik ini ia sama sekali tak beranjak sejak ia tersadar dari pingsannya. Saat ia sadar, ia mencari Melanie di setiap sudut kamar seperti orang gila. Setelah sadar bahwa Melanie telah pergi, ia menangis dan menyambar semua barang yang ada di meja kamarnya hingga berhamburan ke lantai sambil berteriak. Setelah itu tubuhnya melemas dan ia terduduk di sana hingga sekarang. Duduk melamun, tanpa makan, minum dan bicara. Erika sudah berusaha bicara padanya berkali-

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   41. Bahagia Bersamamu

    "Mel, maukah kamu menikah denganku hari ini?" tanya Ben memberikan pinangannya."Ha!" hanya itu yang keluar dari mulut Melanie dengan mata melebar."Aku nggak mau kita terus seperti ini, hidup serumah tanpa ikatan resmi. Bukankah seharusnya itu nggak boleh?""Ya, itu memang nggak boleh, seharusnya!" jawabnya."Kalau begitu kita harus menikah kan?"Melanie tertawa ...."Kita masih terlalu muda, Ben!""Kamu ragu dengan cintaku?" serunya membuat Melanie terdiam. Ben menghela nafas panjang dan menghembuskannya hati-hati."Aku sangat mencintai kamu, dan cintaku tulus sama kamu. Aku ingin kita hidup dalam ikatan yang suci, menikahlah denganku!" ungkapnya serius."Ben!" desis Melanie.Melanie masih bingung harus berkata apa, ia juga sangat mencintai Ruben. Ia juga ingin menikah dengannya, tapi usia mereka kini masih terlalu muda. Ia tak mau pernikahan mereka hanya didesak dengan keadaan."Kita menikah hari ini, dan setelah itu nggak akan ada lagi yang memisahkan kita, aku hanya ingin hidup

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   40. Dilema Dennis

    Artika menghampiri Dennis yang sedang menenggak minuman di dalam gelas yang ada di genggamannya. Tiga botol sudah kosong, kini botol di mejanya bertambah menjadi enam. Terlihat ia sedang menenggak langsung dari mulut botol itu. Tika berdiri di sampingnya."Dennis, kamu kenapa?" tanyanya.Dennis tak menjawab, ia hanya melirik kekasihnya. Ia sudah setengah mabuk, tapi masih sadar. Wajahnya terlihat babak belur tanpa ada pengobatan, ia tak sempat lakukan itu. Sesampainya di pelabuhan ia langsung mengendarai mobilnya ke tempat ini, tempat di mana sekarang ia sedang mencoba menenangkan diri di dalam botol anggur dan Wisky."Apa kamu berkelahi dengan Ruben?" tanya Tika."Aku hanya ingin dia pulang, apa itu salah?" jawabnya, "Dia begitu keras kepala!" lanjutnya."Mungkin memang nggak seharusnya kamu memaksanya.""Aku tahu. Dia ... bahkan nggak bisa memaafkan aku!" serunya sambil menenggak lagi minumannya."Jika kamu sungguh-sungguh minta maaf, mungkin ....""Sudah kulakukan, tapi kesalahanku

  • Takdir Cinta Sang Ahli Waris   39. Semua Milikmu

    Dennis keluar dari taksi dan memasuki area pembangunan itu. Ia berjalan menghampiri Ruben. "Ben!" desisnya. Ruben yang sedang mengaduk pasir dengan semen pun menoleh mendengar suara itu. Ia cukup terkejut karena Dennis ada di sana. Ben memandangnya, tak percaya. Heran dan marah. "Kenapa Kak Dennis ada di sini?" tanyanya. "Aa ....""Lo ngikutin gue!" katanya lagi sebelum Dennis sempat menjawab pertanyaan sebelumnya."Ben, apa yang kamu lakukan di sini?" desisnya. Ben tak langsung menjawab, "Kamu nggak perlu bekerja seperti ini, kamu bisa menggunakan uangmu sesuka hatimu!" "Gue mau bekerja di mana dan seperti apa, itu bukan urusan lo." "Ben, tapi bukan bekerja seperti ini!" "Memangnya kenapa? Ada apa dengan pekerjaan ini. Apa pekerjaan seperti ini itu hina? Kak, pekerjaan ini halal dan seenggaknya ini lebih baik dari pada gue meminta pada kalian!" "Kamu nggak perlu meminta, semua itu milikmu. Ben, aku mohon. Mama pasti akan sedih jika tahu kamu bekerja seperti ini!" "Mereka ngg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status