Aden pun pergi meninggalkan Briella. Setelah menatap Briella untuk yang terakhir, akhirnya Aden keluar dari kamar Briella. Di luar kamar Briella, Aden bertemu dengan Sandera. Sontak saja Aden menghentikan langkah kakinya.
"Apa dia sudah tidur?" tanya Sandera.
"Tadi kutinggal, kedua matanya sudah terpejam," kata Aden.
Sandera manggut-manggut. Lantas ia mengedarkan pandangan ke arah Aden. Ditatapnya calon menantunya itu dengan tatapan yang datar.
"Lalu sekarang kau mau ke mana?" tanya Sandera.
"Tentu saja aku mau pulang. Briella sudah tidur. Ada kerjaan di kantor yang harus aku selesaikan," ucap Aden.
"Ya sudahlah. Pulang saja," kata Sandera.
"Tapi tidak usah khawatir. Nanti sore aku akan kembali lagi ke sini," ujar Aden.
Seketika itu pula kening Sandera mengerut. Terheran dengan apa yang dikatakan oleh Aden. Tidak menyangka kalau nantinya Aden akan kembali lagi.
"Untuk menjemput Briella. Kami akan jalan-jalan seperti biasa," kata Aden.
"Begitu rupanya. Jangan pulang larut malam," ucap Sandera.
"Baik, Tante. Seperti biasa, saya minta izinnya," kata Aden.
Setelah mendapat anggukan dari Sandera, Aden langsung berlalu pergi. Ia kembali menuju mobilnya dan lekas masuk ke dalam. Aden mengendarai mobilnya hingga tiba di kantor.
Aden lekas keluar dari mobil dan berjalan menuju ke dalam ruangannya. Dia lekas mendorong pintu yang terbuat dari kayu tersebut. Seolah mengabaikan tatapan dari para karyawannya, Aden segera duduk di kursinya.
Baru saja Aden membuka macbook miliknya, dia hendak memeriksa beberapa data kantor. Namun sayangnya seorang sekretaris pribadinya masuk ke dalam.
"Permisi, Pak Aden. Saya bawakan berkas tulisan untuk ditanda tangani," kata sekretaris pribadi tersebut.
"Taruh saja di situ, Win. Nanti saya tanda tangani," balas Aden kepada sekretaris pribadinya.
Sekretaris pribadi yang bernama Wina itupun langsung meletakkan berkas di atas meja Aden. Sesekali curi-curi pandang ke arah Aden yang tampan, Wina tersenyum.
"Saya sedang menunggu loh, Pak. Tidak baik membiarkan saya menunggu terlalu lama di sini," kata Wina.
Mendengar suara lemah lembut Wina, Aden langsung mengalihkan perhatiannya. Dia memandang ke arah Wina sembari menelan ludahnya sendiri.
Tidak punya banyak pilihan, Aden segera menandatangani berkas yang diletakkan Wina. Setelah Aden membaca dan menandatangani semua surat, Wina pun segera mengambil berkasnya.
"Nanti sore apa bapak ada acara? Saya ingin pergi bersama Bapak. Untuk menangani urusan projek bersama perusahaan Absee," kata Wina.
Sementara itu pandangan mata Wina mengarah tepat kepada mata Aden. Membuat jantung Aden sedikit berdesir lantaran tatapan indah Wina.
"Bagaimana, Pak? Apa bisa?" tanya Wina.
"Sore ini saya tidak bisa. Saya harus menemani tunangan saya. Bagaimana kalau kita ganti jadi sekarang saja?" tanya Aden.
Aden lalu melihat ke arah jam tangannya. Kebetulan masih jam satu siang. Kesempatan bagi Aden dan Wina untuk pergi bersama.
"Baiklah, Pak. Saya bisa," ujar Wina.
Aden mengangguk. Dia segera menutup macbook-nya dan beranjak berdiri. Aden segera melangkah lebih dahulu dari Wina. Diikuti oleh Wina di belakang. Mereka berjalan menuju ke kafe dekat kantor. Di sanalah mereka akan membicarakan urusan projek dengan perusahaan Absee.
"Jadi apa yang ingin kamu bicarakan, Win?" tanya Aden.
"Begini, Pak. Anggaran untuk melakukan projek kerja sama dengan perusahaan Absee sangat besar jumlahnya. Saya khawatir perusahaan kita tidak akan mampu," kata Wina.
"Kau tidak perlu khawatir soal itu. Ada dana segar yang akan mengucur di perusahaan kita," balas Aden.
Kening Wina lantas berkerut. Terdengar sedikit heran dengan balasan dari Aden. Wina pun terkejut dengan suara Aden yang terdengar santai, namun membicarakan hal-hal di luar dugaan.
"Dana segar? Dari mana, Pak?" tanya Wina.
"Ada investor dari perusahaan lain yang mau bergabung dengan kita. Untuk bekerja sama menyelesaikan projek dengan perusahaan Absee," jelas Aden.
Wina pun manggut-manggut. Menyaksikan hal tersebut, Aden hanya tersenyum puas. Merasa senang karena urusan kantornya berjalan dengan lancar.
"Kau sudah pesan makanan, Win?" tanya Aden.
"Saya pesan saja sendiri, Pak," kata Wina.
Aden dan Wina pun akhirnya memesan makanan secara terpisah. Saat itulah Aden menyadari adanya keberadaan Gietta. Ternyata Gietta juga sedang berada di kafe yang sama.
"Aden?" ucap Gietta dengan kening yang berkerut.
Tanpa sengaja Gietta melihat Aden yang sedang memesan makanan. Tidak banyak basa-basi lagi akhirnya Gietta menghampiri Aden.
"Kau di sini juga?" tanya Gietta.
"Ya. Kau sendiri sedang apa di sini?" ujar Aden.
"Aku sedang ada pertemuan dengan klienku. Tidak sangka kita akan bertemu lagi di sini," ucap Gietta.
Terang saja Gietta tersenyum lebar. Ia sangat senang bisa melihat wajah Aden yang tampan. Lagi, ini adalah kesempatan bagi Gietta untuk mendekati Aden. Tanpa adanya Briella di samping Aden.
"Tampaknya kau sibuk sekali ya. Sampai tidak sempat mengurus dirimu sendiri," sambung Gietta setelah menyadari rambut Aden yang sedikit berantakan.
"Apa maksudmu?" tanya Aden.
Gietta hanya menyeringai saat mendapati pertanyaan dari Aden. Gietta lalu menyentuh rambut Aden dan merapikannya dengan penuh rasa. Sontak dalam sekejap, Aden langsung menampik tangan Gietta.
"Terima kasih. Tapi tidak perlu," ucap Aden.
Aden kemudian meninggalkan Gietta. Dia kembali lagi menuju meja tempat Wina memakan makanannya. Melihat Aden yang kembali dengan wajah bersungut, Wina langsung tertawa.
"Ada apa, Pak Aden? Kenapa wajahnya kesal begitu?" tanya Wina.
"Tidak apa-apa. Habiskan saja makananmu itu dan kita balik," ujar Aden.
"Jangan buru-buru, Pak. Urusan kita belum selesai," kata Wina.
Aden pun melahap makanannya dengan kesal. Terpaksa dirinya ada di sana. Berada dalam satu kafe dengan Gietta. Aden ingin segera buru-buru pulang, namun tampaknya pembicaraannya dengan Wina belum selesai.
Sepanjang waktu yang dihabiskan di kafe, Aden dan Wina tampak berdiskusi. Topik yang mereka bicarakan pun tidak ringan. Terkesan berat dan cukup memeras isi kepala. Tampak keringat mengalir di dahi Aden. Wina yang menyadari itu pun langsung tersenyum senang.
"Baiklah, Pak. Karena hari sudah sore, sebaiknya kita sudahi percakapan kita," kata Wina.
"Bagus! Saya pun harus buru-buru menjemput tunangan saya. Saya tinggal duluan ya," ujar Aden.
Tanpa menunggu jawaban dari Wina, Aden lekas pergi. Dia masuk ke dalam mobil dan menyetir dengan kecepatan penuh menuju rumah Briella. Di depan, Aden sudah menyaksikan Briella berdiri menyiram tanaman-tanamannya.
"Kau sudah baikan, Briel? Sudah bisa jalan?" tanya Aden.
"Sudah," jawab Briella.
Namun tak lama kemudian, Briella terkekeh. Ada perasaan lucu saat ia menatap ke arah Aden yang dahinya penuh dengan keringat. Sontak saja Briella segera mengusapnya dengan sapu tangan yang dia bawa dalam dompet.
"Sebegitu capeknya kah dirimu bekerja? Sampai dahimu berkeringat begitu banyak," ujar Briella setelah berhenti terkekeh.
Setelah mendengar kata-kata Aden, Briella bisa bernapas lebih lega. Tadi yang semula dadanya sesak bagaikan terikat oleh ucapan Gietta, kini menjadi leluasa dan ringan.Memang Aden adalah laki-laki yang bisa menjaga diri Briella agar tetap tenang seperti semula. Meskipun kadang Aden dapat membuat Briella merasa ragu akan cintanya karena perbuatan Aden sendiri."Aku juga tidak percaya sepenuhnya kepadamu, Aden. Bukankah kamu ini yang selalu membuatku bimbang dengan ketulusan cintamu," kata Briella."Kamu ini bagaimana sih, Briel. Kita ini sudah bertunangan, tetapi kamu masih meragukan diriku," kata Aden, tidak kalah sengit dari kata-kata Briella."Lalu apa aku harus mempercayai semua ucapanmu itu, Aden?" tanya Briella."Kamu percaya boleh, tidak juga tak masalah. Tapi satu yang perlu kamu ingat, Briel. Bahwa aku telah memilih kamu sebagai pasanganku," kata Aden."Itu tidak ada hubungannya dengan perkara saat ini," ujar Briella.Aden lantas mengalihkan perhatiannya dari Briella. Tatapan
Gietta hanya memasang senyum kaku setelah mendengar perkataan Briella. Terlihat dengan jelas bahwa saat ini teman lamanya itu sedang menunjukkan wajah yang kesal.Tetapi demikian, Gietta tidak tertawa untuk meluapkan perasaan puas yang dia rasakan. Kedua matanya masih tertuju ke Briella dan Aden secara bergantian."Aku tidak bermaksud untuk membuatmu jengkel, Briel. Tapi apa yang aku katakan memang benar, sekali-kali coba memahami Aden sebelum pasanganmu diambil perempuan lain," kata Gietta."Apa yang kamu bilang, Giet? Aku tidak ingin menentang kata-katamu. Apa yang kurang dariku, aku sudah mengerti Aden lebih dari yang kamu tahu, sudah bersabar untuk setiap kelakuannya," ujar Briella."Mungkinkah benar begitu? Ketika kulihat kamu dan Aden hampir setiap hari bertengkar karena masalah yang tidak terlalu penting," kata Gietta."Sebab aku ini jengkel, Giet. Kamu tahu tidak, kalau Aden ini terlalu menyepelekan perempuan-perempuan yang menyukai dia. Tentu semua gosip yang beredar tentang
Setelah mengetahui apa yang dikatakan Aden adalah agar dirinya dapat mempersiapkan diri, Briella membulatkan mata. Tidak menyangka sedikitpun bahwa akan ada masa di mana mereka berdua tidak dapat menghabiskan waktu bersama.Briella sama sekali tidak menduga bahwa Aden memilih untuk menyibukkan diri di kantor, ketimbang bersamanya. Karena itulah, saat ini Briella hampir tidak akan menerima alasan apapun yang akan diucapkan Aden padanya."Jadi begitu kamu sekarang, Aden. Kamu lebih memilih untuk tidak menyisakan sedikitpun waktu bersamaku," kata Briella."Bukan begitu, Briell. Aku mendapat tugas untuk memeriksa seluruh perkembangan di kantorku. Tidak mungkin aku mengabaikan urusan penting semacam ini," kata Aden, menjelaskan yang terjadi sesungguhnya kepada sang tunangan.Meskipun Briella sudah mendengar alasan yang dikatakan Aden adalah benar, tetap saja hati perempuan itu tidak mau menerima. Rasanya dia masih tidak terima jika jatah waktu untuk bersama sang kekasih menjadi berkurang.
Gietta mengangguk, tetapi dalam hatinya enggan untuk menggubris kata-kata Briella. Kedua matanya menjelajah ke seisi ruangan, seolah tidak bisa diam."Padahal aku sangat menantikan kedatangan Aden, Briel," kata Gietta."Kamu tunggu saja. Pasti nanti dia datang kemari," balas Briella.Gietta kemudian menunduk. Tangannya lekas menyodorkan sebungkus oleh-oleh yang sedari tadi dibawanya."Ini ada kue krim keju untukmu, Briel. Aku tadi sengaja mampir ke toko kue untuk membelikan ini," kata Gietta.Briella memandang ke arah bungkusan kue yang disodorkan Gietta. Tanpa banyak bicara, Briella pun lekas menerima bingkisan kue tersebut."Duduklah, Giet. Akan aku buatkan teh lemon untukmu," kata Briella.Gietta mengangguk setuju. Ia lantas duduk di sofa yang berada tidak jauh di belakangnya. Briella tersenyum, sesaat kemudian ia mulai berjalan menuju dapur.Ketika sampai di dapur, Briella membuka lemari pendingin dan mengambil racikan teh. Tangannya yang ramping dengan terampil meracik semua baha
Mata Sandera mengekor pada kepergian Briella yang langsung masuk ke dalam kamar. Sandera hanya bisa menghela dengan kasar. Masih saja anak gadisnya satu itu tidak terketuk hati untuk segera melangsungkan pernikahan.Sandera berdiri dan menyusul Briella. Setelah tiba di depan pintu kamar Briella yang tertutup, Sandera mengetuk pintunya."Bukakanlah, Briel. Jangan membantah mama seperti ini," kata Sandera setengah berteriak agar Briella mendengar.Sandera masih mengetuk pintu kamar Briella. Hingga beberapa menit berlalu, Briella pun terusik dan membuka pintu kamarnya."Mari kita bicara. Ada banyak hal yang perlu kita bicarakan berdua," ujar Sandera.Meskipun awalnya Briella keberatan dan ingin menolak ajakan mamanya, tetapi Sandera langsung menarik lengan Briella. Inilah yang membuat Briella tidak punya pilihan lain selain mengikuti kemauan mamanya.Sandera mengajak Briella untuk duduk di tepi ranjang. Meskipun tampaknya wajah Sandera sangat tegas dan terlihat seolah akan membicarakan h
"Perihal nikahan kalian berdua," ucap Sandera.Sekejap saja Aden membelalakkan matanya. Tiada angin tak ada hujan, tiba-tiba Sandera menanyakan tentang pernikahan mereka.Wajar saja jika Aden kaget. Dia lantas menatap kaku ke arah Briella yang sama kagetnya dengan dirinya."Pernikahan kami, Ma?" tanya Briella."Ya. Nikahan kalian. Bagaimana? Apa sudah terencana?" tanya Sandera.Briella spontan langsung terdiam. Ia menoleh ke arah Aden dan menatap calon suaminya tersebut. Briella menggeleng pelan."Kami masih belum ada rencana ke sana, Tante," ucap Aden."Bagaimana bisa? Kalian kan sudah lama bertunangan. Masa iya belum merencanakan pernikahan sama sekali," kata Sandera.Aden langsung terdiam seketika. Bibirnya menutup rapat sama seperti Briella. Tampaknya Aden dan Briella sama sekali tidak menyangka jika Sandera akan menanyakan tentang hal ini."Kalau kalian belum merencanakannya, mari kita bicarakan. Kebetulan Mama ada waktu senggang untuk kalian," kata Sandera.Aden menggaruk kepala