Chan tersenyum tipis ketika memori masa lalu itu menguar begitu saja di dalam benak. Lantas melihat potret lainnya di bingkai yang berbeda dan kembali teringat kenangan bersama Rossie. Ia kembali tersenyum dengan tatapan teduh. Diam-diam Chan mencuri lihat ke arah Rossie, Kris, dan Granny yang tengah asyik bercengkrama. Topik yang mereka bicarakan hanya seputar fashion yang sedang trend, tetapi entah mengapa terdengar begitu sangat mengasyikkan. Ia membalikkan bagian daging yang sudah berubah kecoklatan. Brisket memang bagian yang paling cocok untuk barbeque.Rossie berjalan mendekati Chan, kali ini sikapnya sudah terlihat lebih santai dan biasa saja. Ciuman yang sempat mereka lakukan tidak berarti apapun. Mereka hanya terbawa suasana senja yang romantis. Just it!Apalagi setelah mendengar permintaan maaf yang sempat disampaikan oleh Chan tempo hari. Semakin meyakinkan, bahwa Chan tidak mempunyai rasa apapun untuknya."Apa ada yang sudah matang?" tanya Rossie sambil menatap daging be
Rossie menyangga kepalanya dengan kedua tangan. Ia memasang rungu dengan baik sebab Chan sedang bercerita. Netra Rossie enggan berpindah dari pria itu. Mereka sedang duduk di salah satu restoran Italia dan memilih duduk di depan sembari menikmati terpaan mentari pagi. Dua cangkir vanilla latte dan cornetto. Jenis makanan dan minuman yang biasa disantap oleh orang Italia sebelum mengawali hari. Sekilas cornetto mirip dengan croissant. Namun keduanya memiliki langkah pembuatan yang cukup berbeda. Cornetto memiliki tekstur yang lebih lembut dibandingkan golongan pastry lainnya. Aroma gurih yang berpadu dengan wangi vanilla menjadikan pasangan yang pas. Seperti pagi ini, awal hari yang sempurna dengan Chan yang tengah berceletuk panjang lebar. Sementara Chan bercerita dengan antusias, sembari menyatukan potongan memori masa lalu tentang bagaimana Rossie selalu menyebutnya dengan sebutan Dobby. Tubuh segar Chan muncul dari permukaan kolam. Perlahan tangannya menyugar rambut yang menutupi
Dada Rossie kembang kempis. Kedua netranya masih menatap lekat wajah Edric yang sama sekali tidak menampilkan rasa berdosa. Pria itu merogoh ponsel yang tertaut di dalam saku celana. Jemarinya terlihat menekan tombol angka."Bereskan mayat ini. Sekarang!" ucap Edric sambil mematikan panggilan.Edric membunuh manusia layaknya membunuh seekor lalat kecil. Sungguh, pria macam apa yang sedang berhubungan dengan Rossie? Sekali lagi, Rossie diperlihatkan bahwa Edric memang bukanlah seorang manusia. Ia sudah tidak memiliki hati nurani. Psikopat!Tubuh Edric membungkuk, jari telunjuknya mengangkat dagu Rossie. Sehingga membuat wajah mereka saling beradu tatap. Salah satu sudut bibir Edric tertarik ke atas. Sungguh, tampilan wajah iblis benar-benar tergambar jelas. Brewok tipis yang mengelilingi bibir, menambah kesan garang dan menyeramkan.Tubuh sintal Rossie masih gemetar. Sementara beberapa anak buah Edric dengan tampilan busana hitam-hitam sedang berjalan mendekat. Edric meluruskan tubuh.
Mentari yang tadinya berdiri gagah di langit, kini sudah mulai tenggelam dan menampilkan cahaya orange yang sangat cantik. Rossie sedang duduk di depan rumah sambil melihat Dobby bermain. Anjing kecil itu melompat ketika akan menangkap piring karet yang dilemparkan oleh Rossie. Sesekali wanita berambut blonde yang dibiarkan terurai itu tersenyum lebar. Ia menunggu kedatangan Chan dan ingin mengadukan keluh kesahnya. Entah mengapa keberadaan Clara membuat Rossie tidak tenang. Ia ingin meminta Chan untuk mengganti maid untuk mengurus rumah mereka. Cukup lama Rossie berada di pelataran rumah dan menunggu kedatangan Chan. Pria berlesung pipi itu bilang jika hari ini akan terbang ke California dengan menggunakan pesawat jet pribadi alih-alih helikopternya. Mobil warna hitam yang baru saja memasuki pelataran rumah, membuat Rossie mendongakkan kepala dan langsung berdiri. Kaus crop tee warna hitam dipadukan dengan short pants warna senada melekuk apik tubuh rampingnya. “Kau menungguku di
Rossie naik ke lantai dua, melewati tangga besi yang melingkar. Tidak terlalu lebar, hanya cukup untuk satu orang saja untuk melewatinya. Sementara itu Chan membuntut di belakang. Kedua tangan mereka masih tertaut satu sama lain. Di kamar Juliet terpasang tempat tidur single bed dengan warna sprei yang putih bersih. Terpasang sedikit serong, dengan dua jendela kecil di sampingnya. Dan tentu, Rossie menemukan balkon yang melegenda itu, balkonnya tidak terlalu luas, tapi tempat ini bisa disebut sebagai icon-nya house of Juliet.“Jadi di sini, Romeo menemui Juliet secara diam-diam,” celetuk Chan. “Iya benar. Chan, bukankah itu sangat romantis,” ujar Rossie dengan wajah yang berseri. “Romantis, tapi aku tidak perlu melakukan hal itu,” terang Chan kemudian. “Kenapa?”“Ya karena kedua orang tua kita tidak bermusuhan. Aku bisa datang kapan saja melalui pintu utama, alih-alih bersembunyi dan menaiki tangga ke balkon kamarmu.”Rossie menghela napas panjang. Chan benar, semua ucapannya masu
Rossie menyikut perut Chan uang sedari tadi asal bicara. Wajah wanita itu tersipu malu tentu saja. "Kau jangan asal bicara," ujar Rossie dengan suara teramat lirih. "Aku tidak asal bicara. Aku serius ingin menikahimu," tutur Chan penuh percaya diri. Sekretaris Juliet yang berada di ruangan itu tertawa bersama. Melihat gairah cinta pasangan muda mencetak lengkungan lebar di wajah mereka. Cinta memang ajaib, bisa menciptakan sesuatu yang berbeda. Eleanor mengajak Rossie bergabung, membaca beberapa surat yang sudah diambilnya dari rumah Juliet. Ada beberapa surat yang tertulis dengan rapi, tak jarang juga Rossie melihat surat yang tulisannya sulit terbaca, karena tinta luntur bercampur air mata. Ya, surat itu biasanya ditulis oleh mereka yang sedang patah hati, mengalami cinta yang bertepuk sebelah tangan, cinta yang tak direstui, atau dikhianati oleh pujaan hatinya. Di awal surat mereka mengawali dengan kalimat “Dear Juliet, you are the only one who can understand how I f
Chan terus mengetukkan ujung pena di atas meja sembari memikirkan ucapan yang terlontar dari bibir Rossie. Ia yakin jika isi hati dan kalimat yang terucap itu sangat berbanding terbalik. Membuka laci meja dan mengeluarkan satu lembar foto yang dirobek. Entah mengapa Chan masih menyimpan foto Edric dan Rossie. Foto itu sudah dirobek oleh Chan menjadi dua bagian. Tidak seharusnya tersimpan di dalam laci. Tangan Chan lantas meremas foto tersebut kemudian membuangnya ke dalam tong sampah. Ia kembali menghela napas. Berbohong bukanlah niat awal Chan. Namun, hanya dengan itu ia bisa menyelamatkan Rossie. Itulah salah satu wujud Chan memberikan cinta kepada sang pujaan hati. Ia tidak ingin Rossie kembali mengingat luka lama itu. Ketika akan beranjak, Chan mengingat celetukan Rossie yang mengajaknya untuk bermain di kebun lavender. Wanita berambut blonde itu sudah beberapa kali mengajaknya kesana. Tetapi karena sibuk, Chan belum sempat. Chan lantas mengayunkan kaki dan menemui Rossie. Ada
Flasback Sesampainya di villa, Chan segera mengganti pakaiannya dengan Rash guard (pakaian khusus untuk surfing). Setelan yang terbuat dari bahan sejenis karet itu melekat pas di tubuh atletis Chan. Tak lupa memasang leash yang terhubung dengan papan selancar. Kemudian bergegas menuju bibir pantai, di sana sudah ada Kris, Granny, dan wanita yang membuat wajah Chan merah seperti tomat ketika menatap matanya--Rossie.Rossie dan Kris sudah siap dengan Rash guard warna senada. Sementara Granny memilih untuk menjadi penonton, mengamati atraksi mereka di atas kapal."Chan, kamu sudah siap?" tanya Kris ketika menyadari kehadiran Chan."Yes, I'm ready," tukas Chan sambil tersenyum disertai lesung pipi yang tercetak. Sungguh itu terlihat sangat manis, membuat Rossie berdebar-debar.Chan dan Rossie saling curi-curi lihat, menatap sebentar kemudian berpaling. Keduanya terlihat malu-malu kucing, seperti berada dalam situasi yang canggung. Ini lebih canggung dari pada saat mereka pertama kali ber