Share

Mulai mendekati Alex

"Eh, halo, Mas, ada apa?"

"Ini, saya mau mengembalikan obeng punya Mas Heri yang saya pinjam kemarin."

"Ya, Mas, titipin saya saja gak apa-apa. Rumah lagi kosong soalnya."

"Lagi pergi semua apa, Mbak?"

"Iya, Mas."

"Ya, sudah, saya langsung pulang saja. Mari, Mbak ..."

Miranda mengganggukkan kepalanya. Ia melepas kepergian Alex dengan senyum manis terkulum di bibir.

Akhirnya, ia bisa bertemu lagi dengan pria itu. Miranda menyibakkan tirai dapur, mengintip dari kaca jendela. Terjadi pergulatan batin pada diri Miranda.

Di satu sisi, ia ingin sekali mengobrol dengan Alex. Namun, di sisi lain ia menentang hal itu. Masih tergiang di ingatannya, ucapan sang tante beberapa waktu lalu, yang mengatakan bahwa Alex adalah lelaki yang sudah beristri. Miranda berjalan mondar-mandir di dapur, menimbang-nimbang apa yang akan dilakukannya.

"Selamat malam, Mas, boleh saya bergabung?" Dengan keberanian luar biasa, Miranda menyapa Alex.

Alex terkejut, tidak menyangka akan dikunjungi Miranda. "Silahkan, Mbak. Silahkan duduk. Tapi maaf, ya, saya ngobrolnya sambil merokok."

"Gak apa-apa, Mas, santai saja. Saya kesepian di rumah Tante, gak ada orang yang bisa diajak ngobrol. O iya, perkenalkan, nama saya Miranda." Miranda mengulurkan tangannya pada Alex.

"Ngomong-ngomong, Mbak Miranda kerja di mana?" Alex menyambut jabat tangan Miranda dengan ramah.

"Di sebuah CV, Mas. Kerja dengan pemborong, kontraktor gitu. Mas Alex sendiri kerja di mana?"

"Di kafe dekat jalan Gejayan sana, Mbak. Membantu teman mengurus kafenya. Dia sibuk mengurus bisnis lainnya."

Hening untuk beberapa saat. Tak ada pembicaraan antara Alex dan Miranda.

"Mmm ... kalau boleh tahu, istrinya Mas Alex ke mana? Tante Mira bilang, Mas Alex sudah menikah."

"Hehe ... iya, benar, saya sudah menikah. Tapi sudah beberapa bulan ini, istri saya kembali ke Salatiga. Ibunya sakit keras, Mbak, kena stroke. Tadinya saya mau ikut menemani, tapi gak diijinkan sama istri saya. Katanya sayang sekali jika harus keluar kerja, sementara cari kerja sekarang susahnya minta ampun."

"Oh, begitu. Memangnya istri Mas Alex anak tunggal, ya?"

"Enggak, Mbak. Dia punya kakak laki-laki, tapi tinggalnya di Kalimantan sana. Jadi, mau tidak mau, istri saya yang merawat ibunya. Apalagi, kami ini belum punya momongan. Padahal sudah menikah delapan tahun. Maaf, loh, Mbak, saya jadi curhat." Alex merasa tidak enak pada Miranda, karena merasa mendominasi pembicaraan.

"Santai saja, Mas. Saya senang kok bisa ngobrol banyak sama Mas Alex, daripada bengong aja di rumah," jawab Miranda, sembari mencuri pandang ke lawan bicaranya, menikmati wajah manis Alex diam-diam.

"Mbak Miranda kok gak minta pacarnya nganterin ke sini? Jogja-Magelang kan jauh, Mbak." Alex meneruskan pembicaraannya lagi.

Miranda tak menyangka akan mendapat pertanyaan ini. "Saya jomlo kok, Mas, belum pernah pacaran malah."

"Bohong, ah! Gadis secantik Mbak Miranda kok njomlo. Saya yakin Mbak Miranda ini pasti banyak yang ngejar." Alex tidak percaya pada jawaban Miranda.

"Iya, Mas, banyak yang ngejar. Dikejar debt collector, sama tukang kredit panci," kilah Miranda, sambil tertawa.

Alex pun tertawa, ia merasa senang mengobrol dengan gadis itu. Selama ini ia selalu kesepian, sendirian di rumah itu. Alex diam-diam memperhatikan sosok Miranda. Di matanya, gadis itu cantik sekali. Tinggi, langsing, menawan, tipe idaman setiap pria.

Miranda tahu, Alex sedang memperhatikannya diam-diam. Rona merah menjalar di pipi Miranda. Ia merasa malu. 

"Owalah, kamu lagi di situ to, Mir." Tiba-tiba Mira nongol di jendela dapurnya. 

"Iya, Tante. Ini dah mau pulang kok," jawab Miranda sambil mengeluarkan ponselnya.

"Boleh minta nomor kontaknya, Mas?" Miranda memberanikan diri menanyakan nomor kontak Alex.

"Oh, tentu saja boleh. Saya senang punya banyak teman," jawab Alex, lalu lalu menyebutkan nomor kontaknya.

"Makasih ya, Mas. Nice to see you, bye ..." Miranda berpamitan pada Alex.

Alex menganggukkan kepalanya, sambil tersenyum manis. Miranda segera pulang ke rumah tantenya, sementara Alex langsung masuk rumah, ia berniat membuat secangkir kopi malam ini.

"Ngobrol apa aja sama Alex?" Mira membuka obrolan dengan Miranda, di teras rumahnya.

"Ngobrol biasa aja, Tante. Gak ada yang spesial. Eh, ngomong-ngomong, Miranda sekarang sudah tahu kenapa dia hidup sendiri di kontrakannya." 

"Kenapa, Non?"

"Istrinya Mas Alex ada di Salatiga, Tante, merawat ibunya yang lagi kena stroke. Gitu."

"O, gitu, pantesan. Tante lihat istrinya tuh cuma sekali dua kali pas awal pindah dulu. Eh, makan malam dulu, yuk, kamu dah kelaparan pasti, kan? Tiba-tiba sang tante mengalihkan pokok pembicaraan.

"Oke, Tante." Miranda beranjak dari kursi, mengikuti Mira masuk rumah.

Mereka makan malam sambil mengobrol ini itu. Sesekali, mereka tertawa bersama.

"Menurutmu pantas gak, Mir, kalau lauk-pauk yang ada di meja ini Tante kasihkan sama Mas Alex?" Mira mengutarakan idenya pada Miranda.

"Menurutku sih, pantas-pantas saja, Tante. Semua masih dalam keadaan baik kok."

"Okelah kalau begitu," jawab Mira, lalu ke dapur mengambil dua buah piring.

Setelah siap, Mira menyodorkan kedua piring itu pada Miranda. "Nih, tolong anterin ke rumah Mas Alex. Tante mau ngetik-ngetik di kamar dulu."

"Oke, Tante."

Sejurus kemudian.

"Mas Alex ...." Miranda mengetuk pintu rumah Alex, piring-piring ia taruh di meja teras.

"Mas Alex ...." Miranda memanggil sekali lagi.

Masih tidak ada suara. 

Miranda berinisiatif membuka pintu depan, siapa tahu tidak dikunci. Benar saja, pintunya memang tidak dikunci. Miranda melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Ia meletakkan kedua piring berisi lauk itu di meja makan Alex. 

Miranda membuka pintu dapur, terdengar suara seseorang sedang mandi. Pantesan tadi ketuk-ketuk pintu Alex tidak mendengar. Miranda memutuskan untuk segera keluar dari rumah Alex, nanti sesampai di rumah sang tante, ia berniat akan mengirim pesan via aplikasi WA, memberitahunya perihal makanan itu.

Baru saja Miranda membalikkan badan, Alex sudah membuka pintu penghubung dapur dan ruang makan. Alex terkejut, tak menyangka Miranda ada di dalam rumahnya. Miranda juga tak kalah terkejut, melihat Alex setengah telanjang, dengan tubuh berbalut handuk sepinggang saja. 

Miranda tersadar, ia langsung menutup kedua belah matanya. "Maaf, Mas. Miranda cuma disuruh Tante Mira mengantarkan lauk. Tadi Miranda sudah ketuk-ketuk pintu, tapi gak ada yang ngebukain. Jadinya Miranda langsung masuk saja. Kalau ditaruh di luar, takutnya nanti lauknya malah dimakan kucing."

"Wah, merepotkan saja. Terimakasih loh ya. Sampaikan juga terimakasih pada tantemu. Maaf, ya, tak tinggal. Aku mau ke kamar, ganti baju." 

Miranda menjawab dengan anggukan kepala, tanpa berani membuka mata. Jantungnya masih berdegup kencang, darahnya berdesir tak karuan. Sungguh sebuah sensasi yang mendebarkan.

"Miranda pulang dulu, ya, Mas!" Pamit Miranda, tanpa menunggu Alex keluar dari kamarnya, keburu malu soalnya.

Sesampai di rumah sang tante, Miranda langsung masuk ke kamar Hani. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang, lalu memejamkan mata, mencoba merekontruksi kejadian yang baru saja dialaminya barusan.

Mimpi apa coba, dilihatin pria setengah telanjang di depan mata. Masih terekam dengan baik, sosok Alex yang sangat menawan, berambut basah, dalam balutan handuk sebatas pinggang, dengan tetesan air yang belum mengering di tubuhnya. Malam itu, Miranda tak mampu memejamkan mata. Ia bingung, kenapa memikirkan Alex terus-terusan? 

Minggu pagi, Miranda diajak sang tante jogging, keliling kampung Gejayan. Pukul enam pagi, mereka sudah keluar dari rumah.

"Banyak juga yang jogging ya, Tante?" Miranda melihat-lihat sekelilingnya. Tua, muda, anak-anak, semua tumpah di jalan kampung.

"Ya, beginilah kalau minggu pagi, selalu ramai. Biasanya, mereka sekalian cari sarapan, kaya' kita."

Kadang-kadang, Miranda berlari sambil menguap lebar. 

"Masih ngantuk, Non?" Sang Tante bertanya, sembari mengajak Miranda berbelok ke arah penjual bubur kacang ijo.

"Asyik, sarapan!" Seru Miranda, seperti anak kecil. Ia sudah lupa akan kantuknya.

"Lho, Mas Alex di sini juga to?" Sapa Mira pada seorang pria berkaos hitam, yang tengah makan di warung itu.

Jantung Miranda mulai berdebar. Segala hal tentang Alex, selalu membuat jantungnya berdebar.

"Eh, iya, Mbak, silahkan duduk, Mbak Mira, Mbak Miranda!" Alex menjawab dengan sopan, lalu mempersilahkan mereka duduk.

Alex meneruskan sarapannya. Mira dan Miranda pun sudah mendapatkan pesanannya. Alex mengobrol dengan sang tante, Mira hanya mendengarkan saja, sambil sekali-kali mencuri pandang ke arah Alex. Kadang-kadang mata mereka bersirobok, sehingga membuat pipi Miranda bersemu merah.

Mereka bertiga pun akhirnya berjalan beriringan menuju rumah. Di tengah jalan, Mira bertemu dengan salah satu pengurus PKK, yang kemarin malam ikut rapat bersamanya. Ia menyuruh Miranda pulang bareng Alex. Miranda tak mampu menolak perintah sang tante.

Akhirnya, Alex dan Miranda pun berjalan beriringan. Keduanya berjalan dalam diam, tanpa obrolan. Masih canggung dengan peristiwa tadi malam rupanya.

"Maaf, ya, yang tadi malam itu ...." Alex berusaha mencairkan suasana. 

Miranda tersipu-sipu. "Iya, gak apa-apa, wong aku juga yang salah."

"Kamu pulang jam berapa nanti?" 

"Jam empat sore. Memangnya kenapa?"

"Nanti sebelum pulang, mampir ya, ke rumahku."

"Ngapain?"

"Ya, ngobrol-ngobrol aja lah. Hari ini aku berangkatnya jam 12 siang. Mau, kan?"

Sebelum menjawab, Miranda melirik wajah Alex terlebih dahulu. Ia menemukan kesungguhan di raut wajahnya.

"Oke. Nanti jam 10 aku ke sana."

Tak terasa Alex dan Miranda telah memakai kata ganti 'aku' dan 'kamu', sebagai tanda dimulainya keakraban mereka.

"Duduk dululah, sini!" Ajak Miranda pada Alex, ketika sudah sampai di rumah Mira.

"Oke." Alex mengiyakan dengan senang hati.

Miranda masuk ke dalam, mengambil dua gelas air putih dingin. Walaupun terbilang masih pagi, udara di Jojga selalu panas, gerah.

"Tadi malam aku menunggu WA-mu, loh." Lagi-lagi, Alex mulai membuka obrolan dengan Miranda.

Miranda bengong, seakan tak percaya dengan apa yang barusan didengarnya. "Beneran?"

"Beneran lah. Masa' iya, aku bohong."

"Memangnya kamu nungguin aku nulis pesan apa di WA?"

"Entahlah ... apa aja, lah. Asal jangan membahas yang tadi malam aja tuh." 

"Udah, ah, jangan membahas itu lagi. Aku lebih malu, tau'!"

Dan mereka pun sama-sama tertawa terbahak-bahak. 

Ketika tengah asyik mengobrol, ada seseorang yang menyapa Alex. "Loh, Mas Alex to ternyata. Kirain lagi ngobrol sama Mbak Rania."

Miranda menatap Alex, tatapan matanya tajam, seolah ingin menanyakan, siapa itu Rania?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status